[LN] Bishoujo Seito Kaichou no Togami-san wa Kyou mo Ponkotsu de Houtte okenai ~ Chapter 8 [IND]


 

Translator : Nacchan 


Proffreader : Nacchan 


Chapter 8: Bahaya jika gadis kaya yang tidak tahu dunia hidup sendiri


Pada suatu hari di akhir Oktober, menjelang ujian tengah semester kedua. Aku tetap tinggal di ruang OSIS untuk belajar.

Karena aku sudah bergabung dengan OSIS, aku merasa harus menghindari nilai merah. Aku merasa kagum pada diriku sendiri karena ternyata cukup serius.

Selama periode ujian, kegiatan OSIS, seperti halnya kegiatan klub lainnya, diliburkan. Jadi, sekarang hanya aku yang menggunakan ruangan ini.

Di rumah, banyak sekali godaan yang membuatku cenderung malas, jadi ini adalah lingkungan yang pas untuk fokus belajar menghadapi ujian.

Aku juga menghindari menggunakan perpustakaan atau ruang belajar karena khawatir menakuti siswa lain.

“Haa, kenapa aku harus menghindari orang lain seperti ini...,” pikirku. Tapi, setengah dari alasan aku kehilangan motivasi belajar dan menjadi tertinggal adalah karena salahku sendiri. Sisanya adalah karena platform seperti VouTube dan TokTik yang terus-menerus menampilkan video-video menarik. Ini semua salah dunia modern yang penuh dengan hiburan.

Tln: VouTube dan TokTik keknya plesetan dari YouTube dan TikTok, dari RAWnya di tulis VouTube dan TokTik.

Karena sudah lama malas, otakku yang biasa kupakai untuk belajar jadi tumpul. Tapi, meskipun terpaksa, kalau aku terus menatap buku teks atau kartu kosakata, serta menuliskan jawaban soal latihan di buku catatan, sedikit demi sedikit naluri belajarku akan kembali.

Benar juga, belajar untuk ujian memang seperti ini. Semakin banyak belajar, semakin banyak hal yang tidak kita pahami muncul, tapi itu adalah tanda bahwa proses belajarku berjalan.

Jika terlalu malas untuk belajar, kita bahkan tidak tahu apa yang tidak kita pahami. Ketika sudah begini, sulit menentukan area yang harus dipelajari, dan efisiensi belajar terus menurun. Lambat laun, materi baru juga akan bertumpuk, dan semakin sulit untuk memahami inti masalah.

Akhirnya, semakin kita malas, semakin sulit untuk mengejar ketertinggalan. Sebaliknya, meskipun belum bisa, jika terus belajar, kita akan mulai melihat poin-poin yang perlu diatasi.

Melalui belajar hari ini, aku menyadari bahwa buku soal matematika yang digunakan di sekolah terlalu sulit untukku. Matematika memang sudah menjadi mata pelajaran yang sulit bagiku, dan kurangnya belajar hanya memperparahnya.

Saat pulang nanti, aku akan mampir ke toko buku di gedung stasiun untuk membeli buku soal yang tingkat kesulitannya lebih rendah.

Tanpa kusadari, hari sudah mulai gelap dan waktu sudah hampir mendekati jam pulang terakhir.

“Haa, hari ini cukup sampai sini saja,” gumamku sendiri tanpa maksud berbicara pada siapa pun, lalu aku mengemas barang-barangku dan keluar dari ruangan.

Saat keluar dari pintu masuk sekolah, udara dingin menyentuh pipiku yang panas karena belajar. Angin sore semakin sejuk. Aku merasa begitu tenang, menyadari bahwa musim gugur benar-benar sudah tiba.

Ketika aku selesai membeli buku soal yang kucari di toko buku gedung stasiun, perutku sudah sangat lapar. Biasanya, aku cukup hemat, tapi bagi seorang siswa SMA laki-laki, menahan lapar itu sangat sulit. Mungkin lebih sulit daripada belajar untuk ujian.

Aku keluar dan menuju ke toko ramen di sisi lain stasiun. Di dalam gedung stasiun juga ada toko ramen, tapi di sana nasi putih dikenakan biaya tambahan. Bagi siswa SMA laki-laki yang lapar, tidak ada yang lebih menarik daripada makan nasi sepuasnya.

Saat aku berjalan, di ujung jalan gelap yang sepi, lampu dari sebuah minimarket mulai terlihat. Jika aku berbelok di sudut minimarket itu, toko ramen yang kucari akan ada di sana.

Kemudian, tepat saat aku mendekati minimarket, seseorang muncul dari dalam dan berjalan ke arahku.

"…Hm?"

Dari kejauhan, aku tidak bisa melihat dengan jelas, tapi tampaknya itu seorang wanita. Cara berjalannya yang anggun terlihat familiar. Ditambah lagi, rambut panjang hitam itu… di mana aku pernah melihatnya?

Ketika jarak kami hanya tinggal beberapa meter dan sosoknya diterangi oleh lampu jalan, aku tanpa sadar berhenti. Meski mengenakan pakaian santai—hoodie dan celana training—gaya tubuhnya yang luar biasa serta rambut panjang hitamnya membuatnya sangat mencolok. Wajahnya yang putih pucat dengan hidung mancung, dan mata panjang yang tajam ditempatkan dengan sempurna di wajahnya. Aku mengenali wajah itu.

"…Togami?"

Sepertinya dia juga menyadari keberadaanku, dan terlihat terkejut, lalu mundur selangkah.

“Gujou-san!? Kenapa kamu ada di sini...!”

“Eh, aku hanya mau pergi ke toko ramen di dekat sini saja,” jawabku.

Ketika aku menundukkan kepala, aku melihat dia membawa kantong plastik dengan logo minimarket di kedua tangannya. Rupanya Togami baru saja pulang dari minimarket.

Aku menghela napas kecil dalam hati dan menjelaskan kepada Togami.

“Aku belajar untuk ujian di ruang OSIS, lalu mampir ke toko buku saat perjalanan pulang. Minggu depan kan ujian tengah semester.”

“Oh, begitu.”

“Ngomong-ngomong, ini pertama kalinya aku melihat Togami pakai baju biasa, tapi, bagaimana ya...”

“Ah! Tolong, jangan lihat terlalu lama!”

Togami memerah dan memeluk tubuhnya dengan kedua lengan. Memang, pakaian yang dia kenakan bisa dibilang santai, tapi kalau mau jujur, agak sederhana dan kurang menarik.

“Biasanya aku tidak berpakaian seperti ini! Ini hanya baju rumahan... karena aku Cuma mau ke minimarket malam ini...”

“Oke, oke, tenang saja. Aku nggak berpikir bajumu jelek kok, santai aja.”


Waktu kecil, bahkan Arisu juga berpakaian seadanya. Yah, mungkin agak aneh kalau membandingkan anak SD dengan anak SMA.

Namun, melihat pakaian santai teman sekelas yang biasanya hanya terlihat dengan seragam sekolah tetap terasa aneh, bagaimanapun bentuk pakaiannya. Apalagi dalam kasus Togami, kesan rapi dan teratur yang biasa ia tampilkan di sekolah membuat perbedaan ini terasa lebih mencolok, seperti memiliki nilai keunikan yang tinggi. Ah, apa sih yang kupikirkan?

Ketika aku mencoba mengalihkan pandangan, mataku tanpa sadar tertuju pada isi kantong plastik yang dipegang Togami. Kantong itu penuh dengan berbagai barang, dan aku bisa melihat sedikit roti kemasan, mi instan, serta camilan dengan kemasan penuh warna yang memberi kesan junk food.

“...Ngomong-ngomong, Togami beli apa aja?”

“Aku beli makan malam, atau lebih tepatnya persediaan makanan untuk beberapa hari ke depan.”

Ingat-ingat, waktu kami makan siang di ruang OSIS bersama, dia juga hampir selalu makan roti kemasan. Jika malam pun dia makan seperti ini, gaya makan Togami tampaknya sangat tidak seimbang.

“Kamu... selalu makan yang seperti ini?”

“Apa salahnya! Tidak ada makanan di minimarket yang rasanya tidak enak!”

“Yah, memang jarang ada yang nggak enak, tapi kalau makan itu terus, nanti tubuhmu bisa sakit.”

“Aku juga makan di luar, kok! Seperti di toko ramen gaya Jiro di dekat rumah, atau di toko ramen yang mau Gujou-san datangi sekarang.”

“Kamu hanya menambah kekhawatiranku! Keseimbangan nutrisimu benar-benar hancur!”

“Tidak masalah. Kalorinya sudah cukup!”

“Selain kalori, semuanya tidak cukup.”

“Kalau soal nutrisi, aku sudah minum suplemen, jadi tenang saja.”

Togami dengan bangga menyatakan hal itu, entah kenapa dengan ekspresi penuh kemenangan. Mengandalkan suplemen untuk nutrisi di usia SMA justru membuatku semakin khawatir, tapi sepertinya dia sama sekali tidak sadar akan hal itu.

“Yah, kalau menurutmu itu baik-baik saja, terserah...”

Ketika percakapan sampai di situ, aku merasa ada sesuatu yang aneh.

...Bagaimana dengan keluarganya Togami?

Aku sendiri hidup dalam situasi yang sedikit berbeda—tinggal hanya berdua dengan bibiku—jadi aku tidak terlalu memikirkannya. Tapi jika dipikir-pikir lagi, rasanya aneh seorang siswi SMA membeli makan malamnya sendiri untuk beberapa hari dari minimarket.

Oh iya, hari saat aku mengetahui rahasia Togami, dia juga bilang kalau keluarganya tidak khawatir meskipun dia pulang larut. Apakah ini karena hubungannya dengan keluarganya sangat buruk, atau mungkin...?

“Bagaimana dengan keluargamu, Togami?”

Setelah sedikit ragu, aku memberanikan diri untuk bertanya. Sebagian dari diriku merasa putus asa, berpikir bahwa karena aku juga tidak punya orang tua, mungkin tidak apa-apa untuk menanyakan hal ini. Namun, di dalam hati, aku tahu bahwa ini adalah alasan yang pengecut.

Sejenak, mata Togami menyipit, dan ada jeda sejenak sebelum dia menjawab.

Lalu, dengan tenang, seolah hanya melaporkan fakta, dia menjawab.

“Aku tinggal terpisah dari orang tuaku. Aku tinggal sendirian di apartemen di sana.”

“............”

Itulah jawaban yang sudah kuduga. Namun, mendengarnya secara langsung membuatku tidak tahu bagaimana harus merespons.

Apakah aku harus menghiburnya, atau berpura-pura tidak peduli?

Lagipula, hubungan kami bukanlah teman atau kekasih. Kami hanya memiliki hubungan di mana aku membantu Togami menjalankan tugasnya sebagai ketua OSIS. Dengan hubungan seperti itu, apakah pantas bagiku untuk ikut campur dalam urusan keluarganya yang rumit?

Melihatku yang kebingungan mencari kata-kata, Togami tersenyum kecil.

"Tak perlu, Gujou-san tidak perlu mengkhawatirkannya. Ini masalah keluargaku."

"Ya, memang begitu."

"Ah, tapi aku menyembunyikan hal itu di sekolah, jadi tolong jangan ceritakan pada siapa pun. Kalau teman sekelas tahu aku tinggal sendiri sebagai anak SMA, mereka akan khawatir."

"Baiklah."

Memang, itu bukan sesuatu yang perlu diumbar. Di sekolah, hanya Arisu dan wali kelasku yang tahu kalau aku tinggal berdua dengan bibiku Mungkin hanya staf pengajar yang tahu tentang situasi Togami.

"Kalau begitu, aku pergi dulu."

"Ah..."

Punggung Togami yang menjauh semakin lama semakin kecil.

Biasanya, sosoknya terlihat percaya diri, tetapi hari ini, entah kenapa, dia tampak kecil dan rapuh.

Togami masih seorang siswi SMA berusia enam belas tahun.

Kenyataan sederhana itu tiba-tiba terasa sangat nyata dan menghantam dadaku. Aku merasa tidak bisa membiarkan Togami pergi begitu saja.

Tanpa tahu apa yang harus aku katakan, aku memanggil punggungnya.

"Hei, Togami!"

"Ada apa?"

Wajah Togami yang berbalik diterangi samar-samar oleh cahaya lampu jalan yang berwarna putih pucat.

Togami mungkin berpikir bahwa hanya dirinya sendiri yang berada dalam situasi seperti ini. Itulah sebabnya dia berpura-pura seolah-olah tidak peduli. Dia telah menyerah, berpikir tidak ada yang akan mengerti.

Aku menjilat bibirku dan mencari kata-kata yang dapat kusampaikan kepada Togami.

"Aku juga tidak punya orang tua di rumah."

"Apa?"

Mata Togami terbelalak, dan pandangannya sedikit bergetar.

Tentu saja dia terkejut mendengar kata-kata seperti itu tiba-tiba.

Namun, aku tidak bisa membiarkan hal ini tidak kusampaikan kepada Togami. Aku tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja.

"Ibuku meninggal saat aku masih kecil, dan ayahku bekerja di luar negeri. Jadi aku tinggal bersama bibiku. Sebenarnya aku juga tidak bermaksud menyembunyikan ini, tapi mungkin hanya Arisu yang tahu di antara teman-teman sekolah kita. Aku juga tidak punya teman yang cukup dekat untuk bercerita soal ini."

Aku membeberkan keadaan keluargaku dengan cepat.

Aku tidak tahu apakah cara ini benar atau tidak, tapi aku tidak punya waktu untuk memikirkannya.

Togami, yang masih tampak bingung, perlahan membuka mulutnya.

"Mengapa kau menceritakan hal ini... padaku?"

"Rasanya tidak nyaman kalau hanya aku yang tahu tentang situasi keluargamu, kan?"

"...Terima kasih. Gujou-san baik sekali."

Togami sedikit melonggarkan ekspresinya dan menundukkan kepala kecil.

"Kalau begitu, sampai ketemu lagi di sekolah."

"Ya."

Setelah itu, Togami pergi tanpa menoleh lagi, berjalan menyusuri jalan di depan toko serba ada.

◆◆◆

Keesokan harinya saat istirahat siang. Ketika aku pergi ke ruang OSIS seperti biasa dengan membawa bekal, Togami terlihat lemas, tubuh bagian atasnya bersandar di atas meja panjang. Di tangan kanannya tergenggam kantong roti manis, tapi tampaknya dia tidak punya selera makan karena roti itu hampir tidak berkurang.

"...Hei."

"Ah, Gujou-san, ya..."

Dengan gerakan lamban, Togami menoleh ke arahku.

Wajahnya terlihat kehilangan semangat, dan dia menghela napas panjang dari mulutnya.

"Ada sesuatu yang terjadi?"

"Dua minggu lagi... ada praktek memasak di pelajaran ekonomi..."

Aku sempat khawatir kalau ini ada hubungannya dengan pembicaraan kami kemarin, tetapi sepertinya bukan itu masalahnya.

Setelah ujian tengah semester, ada praktek memasak di pelajaran ekonomi, dan Togami merasa tertekan karena dia sama sekali tidak bisa memasak.

Aku teringat bahwa kelas kami juga sempat membahas hal serupa.

Dalam pelajaran ekonomi, nilai diberikan berdasarkan ujian tertulis dan praktek, jadi biasanya praktek memasak dilakukan pada waktu yang hampir bersamaan dengan ujian tengah semester.

Menu kali ini sepertinya adalah kari, menu yang cukup standar.

Dari apa yang dia beli di minimarket dan dari percakapan kami kemarin, aku bisa menebak bahwa Togami hampir tidak pernah memasak sendiri.

Praktek memasak pasti jadi tantangan besar baginya.

"Haa... Ini gawat. Kalau begini terus, kemampuan memasakku yang nol besar akan ketahuan..."

"Yah, nggak ada pilihan lain, kan? Lagipula, di manga sering ada karakter putri bangsawan yang nggak bisa masak karena di rumahnya ada koki."

"Memang, di rumahku ada koki pribadi..."

"Serius?"

Aku setengah bercanda, tapi ternyata itu benar. Imajinasi manusia memang terbatas.

"Kalau begini terus, karierku sebagai ketua OSIS akan berakhir... Semua orang akan tahu kalau aku ini benar-benar tak berguna dalam hal keterampilan hidup. Mereka akan berkata, 'Anak orang kaya memang nggak bisa masak, ya,' atau 'Mungkin di rumahnya ada koki pribadi,' atau 'Dia pasti berpikir ikan berenang dalam bentuk fillet.' Dan parahnya, sebagian dari itu benar, jadi aku nggak bisa membantah..."

"Benarkah ada yang pernah bilang begitu padamu?"

"Ugh, trauma masa kecil di SD..."

Sepertinya memang ada.

Togami kembali menyandarkan kepalanya di meja, rambutnya acak-acakan, dan dia menyeret dirinya seolah tidak peduli. Dari luar, dia terlihat seperti karakter dalam film horor, jadi aku berharap dia berhenti melakukan itu.

Berusaha menghibur Togami yang tampak terpuruk, aku mencoba berkata,

"Tapi, yah, menurutku tidak masalah kalau kamu tidak bisa memasak. Pasti ada orang lain juga yang tidak pernah masak di rumah."

"Kamu hanya berkata begitu karena tidak tahu betapa tidak bergunanya aku..."

"Tidak berguna, sih?"

"Satu-satunya 'memasak' yang bisa kulakukan adalah membeli bento di minimarket, memesan ramen dengan lancar, memanaskan bento di microwave, atau membuat ramen instan dengan ketel listrik."

"Kalau diambil sisi positifnya, kupikir bagian pertama tidak ada hubungannya dengan memasak..."

Sebenarnya, aku ingin mengatakan bahwa bagian kedua juga tidak ada hubungannya dengan memasak, tapi rasanya terlalu kejam.

Mendengar perkataanku, Togami yang masih menyandarkan kepalanya di meja tertawa kecil dengan lemah.

"Hehehe, aku tahu kok. Pekerjaan di praktek memasak pasti lebih dari sekadar itu... seperti memotong sesuatu dengan pisau atau memanggang sesuatu dengan api."

Gambaran tentang memasak di benaknya terlalu kabur.

"Bukan 'sesuatu,' tapi biasanya sayuran dan daging, kan? Apa ada hal lain yang perlu dipotong atau dipanggang?"

"Haa... Kamu enak saja, Gujou-san. Kamu jago memasak, bisa membuat makan malam dan bento sendiri... Kamu pasti tidak mengerti perasaan kami yang tidak bisa masak... Eh?"

Sampai di situ, Togami tiba-tiba duduk tegak.

Dia menatap bento setengah makannya dengan intens, lalu mengalihkan pandangannya ke wajahku.

"Gujou-san, kamu sangat jago memasak, kan?"

"Entahlah apakah bisa dibilang jago, tapi setidaknya aku bisa memasak biasa."

"Kalau begitu... bisakah kamu mengajariku memasak!?"

"...Hah?"

◆◆◆

Sore itu setelah pulang sekolah.

Aku dan Togami berkumpul di depan minimarket tempat kami bertemu kemarin, lalu berjalan menuju supermarket di dekat situ.

Untuk mengajari Togami cara membuat kari, pertama-tama kami harus membeli bahan-bahannya.

"Gujou-san, bahan untuk membuat kari itu berasal dari tumbuhan dan hewan, kan?"

"Tolong bilang sayuran dan daging. Rasanya seram kalau kamu bilang begitu."

Lagipula, sebagian besar bahan makanan memang berasal dari tumbuhan dan hewan.

Pengecualiannya mungkin hanya jamur dan bumbu-bumbu.

"Oh, lihat, ada pisang dijual."

"Kita sedang membuat kari, ingat?"

"Bagaimana kalau dipakai sebagai bahan rahasia?"

"Jangan mikir bahan rahasia kalau kamu belum tahu dasar-dasarnya. Coba pikir, apa yang kamu asosiasikan dengan kari, dan dari sana kita putuskan apa yang harus dibeli."

"Begitu ya. Kalau begitu, untuk memberikan rasa pedas pada kari, bagaimana kalau beli cabai...?"

"Rasanya akan diatur oleh bumbu kari."

Membeli rempah-rempah dari awal terlalu tingkat lanjut. Aku sendiri pernah berpikir untuk mencoba membuat kari dari rempah-rempah asli, tapi akhirnya bosan, dan kebanyakan rempah-rempah itu sekarang tertidur di bagian belakang lemari. Apakah rempah punya tanggal kedaluwarsa, ya?

"Kalau begitu, soal warnanya... tanah, mungkin?"

"Jangan pakai tanah untuk masakan! Aku pernah dengar ada budaya yang makan tanah, tapi itu bukan di sini! Soal warna, serahkan saja pada bumbu kari."

"Na-nasi...?"

"Agak sulit dikategorikan sebagai bahan kari, tapi aku bisa memberikan nilai tambahan untuk itu."

Mungkin karena jawaban-jawaban sebelumnya terlalu buruk. Kalau tidak memberinya dua poin di sini, dia mungkin akan berakhir dengan nilai nol.

Sepertinya Togami jarang masuk ke supermarket. Dia terus melihat sekeliling dengan tidak tenang, dan tertarik pada bahan-bahan yang jelas tidak masuk dalam kari.

Rasanya seperti orang tua yang membawa anak kecil belanja...

Apa pantas rasanya memiliki perasaan keibuan terhadap teman sekelas perempuan, apalagi ketua OSIS?

Selama belanja, Togami sempat ingin memasukkan hati ayam dan potongan salmon ke keranjang, tapi aku berhasil mencegahnya tepat pada waktunya.

Pada akhirnya, kami membeli bahan-bahan yang sangat umum seperti kentang, wortel, bawang, daging bahu babi, dan bumbu kari, lalu menuju rumah Togami.

"Ngomong-ngomong, rasanya sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali aku melihat bawang dengan kulitnya."

Aku merasa mendengar sesuatu yang menyeramkan, tapi aku biarkan saja untuk saat ini. Kalau terus-terusan aku tanggapi, aku tidak akan sempat mengejar yang lain.

Togami tinggal di sebuah apartemen bertingkat tinggi yang hanya beberapa menit dari stasiun. Berbeda dengan suasana melankolis khas daerah pinggiran kota di sekitar stasiun, area ini memiliki nuansa lingkungan perumahan yang tenang.

Di antara area ini, apartemen yang masih baru ini memancarkan kesan elegan dan mewah yang menonjol.

Togami membuka kunci otomatis di pintu masuk dan memandu aku masuk. Di dalamnya, ada ruang bersama yang luasnya hampir seukuran ruang kelas, dengan sofa yang tampak nyaman, meja rendah, dan beberapa tanaman hias di sudut ruangan. Di luar jendela koridor, ada taman dalam ruangan yang luas. Luar biasa, rasanya seperti berada di lobi hotel.

Di ujung lorong, terdapat dua lift. Apartemen tempatku tinggal bahkan tidak memiliki lift.

Saat kami masuk ke lift, Togami berkata pelan, "Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, orangtuaku tidak ada di rumah, jadi tak perlu khawatir."

"Oh, oke."

Aku menjadi gugup, sehingga jawabanku terdengar kaku. Sial, selama ini aku berusaha untuk tidak memikirkan hal itu.

Bagi seorang siswa SMA laki-laki, justru hal seperti inilah yang membuat khawatir. Aku memang pernah beberapa kali ke rumah Arisu saat masih SD, jadi ini bukan pertama kalinya aku masuk ke kamar seorang perempuan. Namun, tetap saja aku merasa gugup.

Yah, sampai di titik ini, apa pun yang aku khawatirkan sudah terlambat. Dengan perasaan pasrah, aku diam saja sambil melihat angka lantai yang terus naik.

Rumah Togami berada di kamar sudut lantai paling atas. Seperti yang diduga dari seorang putri bangsawan.

Dia membuka pintu yang memiliki dua lapis kunci dan mempersilakanku masuk ke depan pintu masuk.

"Di sini. Silakan masuk."

"Permisi."

Dengan perasaan agak tegang, aku memasuki pintu masuk yang ukurannya dua kali lebih besar dari rumahku. Aku tidak mengerti kenapa ruang depan perlu sebesar ini.

Aku melepas sepatu dan melangkah ke koridor.

Koridor yang tampaknya terhubung ke ruang tamu memiliki satu pintu di kanan dan dua pintu di kiri. Panjang koridornya juga dua kali lipat panjang koridor di rumahku.

Dari tampilan luarnya, ini jelas merupakan apartemen untuk keluarga.

Namun, orang tuanya tidak ada... yah, memikirkannya pun tidak ada gunanya.

Ketika aku masuk ke ruang tamu, pemandangan yang ada membuatku menutup mata.

Di mana-mana terdapat kantong plastik berserakan, penuh dengan sampah mi instan, bekas makanan siap saji, dan botol plastik yang dimasukkan secara acak. Untungnya, karena ruang tamu tidak memiliki banyak perabot selain furnitur, masih ada tempat untuk berpijak.

Kekurangan keterampilan hidup Togami terlihat dengan sangat jelas.

"...Seriusan, kamu benar-benar cuma makan mi instan dan makanan siap saji dari minimarket?"

"Kadang-kadang aku juga makan makanan beku."

"Kenapa kamu mengatakannya dengan nada tidak puas begitu?"

Aku bisa merasakan ekspresi wajahku yang menjadi lesu.

Ketika aku mengintip ke dapur, di bawah wastafel ada dua baris botol plastik yang menunggu untuk dicuci.

Aku sangat mengerti rasa malas untuk membilas isinya. Namun, ini pasti akan mengganggu kehidupan sehari-hari.

Atau, kalau dia tidak menggunakan dapurnya, mungkin itu tidak masalah?

"Ah, maaf soal botol plastiknya yang banyak. Aku masih belum terlalu paham kapan harus membuang botol-botol ini."

"Memang di awal pindah, sering lupa hari pembuangan sampah... Tapi, sejak kapan kamu tinggal di sini, Togami?"

"Sedikit sebelum masuk sekolah, jadi Maret tahun ini."

"Itu sudah setengah tahun!"

"Memang sekarang sudah lebih baik, tapi saat musim panas itu sangat merepotkan... Saat cuaca panas, botol plastiknya cepat mengembang dan itu menakutkan."

Aku tidak terlalu ingin membayangkan bagaimana rumah ini saat musim panas. Mungkin dia menggunakan pengharum ruangan atau semacamnya untuk penanganan darurat.

"Tapi tenang saja. Aku sudah menemukan bahwa sampah yang dapat dibakar dibuang setiap hari Senin dan Kamis, dan sampah plastik dibuang pada hari Selasa."

"Kamu menemukannya sendiri?!"

Dia berbicara seperti orang zaman kuno yang menyadari fase bulan dan pergantian musim. Apa ini malah hebat? Aku jadi bingung.

"Tapi sayangnya, untuk botol plastik, sepertinya jadwalnya acak."

"Tidak mungkin! Biasanya itu sekitar dua kali sebulan, pada minggu dan hari yang sudah ditentukan!"

"Eh, benar begitu!? Aku pikir aku hanya bisa membuangnya ketika aku beruntung melihat banyak botol plastik yang dibuang."

"Jadi kamu menganggap membuang sampah itu seperti permainan keberuntungan?"

Pasti di rumah orang tuanya dia tidak pernah mengalami membuang sampah.

Sering kali kita mendengar istilah 'putri bangsawan yang tidak tahu dunia luar,' tapi ada kesan lucu karena biasanya ada orang yang mengurus mereka. Ketika seseorang seperti ini mulai hidup sendiri tanpa pengetahuan dunia luar, jadinya seperti ini, pikirku sambil melihat Togami.

Meskipun begitu, seharusnya ada sedikit dukungan dari keluarganya, namun melihat keadaan ini, dia mungkin benar-benar dilepas begitu saja. Atau, mungkin dia memilih untuk pergi sendiri.

Yah, itu bukan urusanku. Pertama-tama, kita harus menyiapkan lingkungan yang memungkinkan dia untuk memasak.

"Sebelum memasak, bagaimana kalau kita bersih-bersih dulu?"

"Tapi, jujur saja, itu agak merepotkan bagimu..."

"Kalau tidak bersih-bersih, kita tidak bisa masak."

Jika dia merasa tidak enak, seharusnya dia menyesali keputusan untuk mengundang seseorang ke rumahnya. Namun, tidak ada gunanya mempermasalahkan hal itu.

"Akan lebih mudah memasak setelah merapikan area dapur. Togami, sementara aku membersihkan ini, kamu bisa membuka situs web pemerintah daerah dan mencatat jadwal pembuangan sampah di ponselmu."

"Eh? Tidak, aku juga ingin membantu beres-beres..."

"Karena kamu yang akan membuang sampahnya, lebih baik kamu mencari tahu jadwalnya dulu. Tidak ada gunanya kalau sudah dirapikan tapi tetap dibiarkan di dalam rumah."

Dengan kata-kata itu, aku berhasil meyakinkan Togami, dan aku mulai merapikan dapur.

Pertama, aku memasukkan barang-barang yang baru dibeli ke dalam kulkas untuk diamankan. Lalu, aku mulai membersihkan botol plastik dan sampah yang menumpuk di wastafel.

Meskipun rasanya agak canggung harus menangani sampah makanan di rumah seorang gadis, aku tidak punya pilihan lain. Lagi pula, aku sama sekali tidak punya perasaan aneh, hanya merasa seperti pekerja kebersihan saat melakukan ini.

Botol plastik itu aku bilas sedikit, lepaskan labelnya, dan pisahkan tutupnya dari badan botol sebelum dimasukkan ke kantong sampah. Setelah mencari info singkat di ponsel, aku merasa lega karena aturan pemisahan sampah di kota ini sedikit lebih longgar daripada di kota tempat aku tinggal.

Wadah mi instan juga aku cuci sedikit dan tumpuk untuk dibuang.

Untungnya, sampah organik tidak terlalu banyak, tetapi aku tetap membersihkan wastafel dengan spons dan sabun yang ada. Aku juga membersihkan keranjang saringan dan mengganti jaring saluran pembuangan.

Dalam waktu sekitar belasan menit, area dapur sudah jauh lebih rapi.

"Baiklah, sepertinya sudah selesai."

"Kamu bahkan sudah bersih-bersih juga, terima kasih banyak, Gujou-san."

"Tidak perlu terlalu dipikirkan... ah, sebenarnya, kamu seharusnya sedikit memikirkannya."

"Uuh, maaf..."

Togami menundukkan bahunya dengan wajah merasa bersalah.

"Dapur rumahku ternyata seluas ini, ya."

"Jika penuh dengan sampah, memang terlihat sempit."

Melihat dapurnya yang sekarang tidak jauh berbeda dengan saat pertama kali ditempati, dia tampaknya menyadari bahwa kondisi sebelumnya memang tidak normal.

"Ngomong-ngomong, apakah di rumah ini ada peralatan masak?"

Karena sama sekali tidak ada tanda-tanda dapur ini pernah digunakan untuk memasak, aku mulai merasa khawatir.

"Seingatku ada di bagian belakang tempat penyimpanan."

"Menakutkan juga jika penghuninya hanya mengingat samar-samar."

Setelah mencari, aku menemukan talenan, pisau, panci, dan peralatan masak lainnya dengan cukup mudah. Semuanya tampak tidak pernah digunakan, bahkan sedikit tertutup debu.

Ternyata pegangan pisau juga bisa berdebu...

Begitulah akhirnya kelas memasak untuk Togami dimulai.

"Baiklah, mari kita mulai."

"Ya! Mohon bimbingannya!"

"Jawaban yang bagus."

Togami melakukan salam hormat dengan penuh semangat. Dia mengenakan apron dan penutup kepala segitiga di atas seragamnya, tampak seperti sedang menjalani praktik memasak. Aku juga dipakaikan perlengkapan yang sama. Biasanya, saat memasak di rumah, aku tidak pernah repot-repot memakai apron, tapi hari ini, mungkin tidak ada salahnya membangun suasana.

Meskipun Togami tidak pernah memasak, dia tampaknya telah membeli peralatan dapur dan perlengkapan memasak saat pertama kali pindah. Dia kelihatan malu saat menyentuh tali apron, mungkin menyadari apa yang kupikirkan dari pandangan mataku.

"A-aku sebenarnya berniat untuk memasak suatu hari nanti! Saat ini hanya saja, waktunya belum tepat!"

"Baiklah, anggap saja begitu."

Namun, kalau sudah setengah tahun belum juga memasak, kemungkinan besar tidak akan memasak juga di kemudian hari.

Pertama-tama, kita harus mempersiapkan nasi putih, yang tak tergantikan saat membuat kari.

"Kamu punya rice cooker, kan?"

"Ya, ini dia."

Aku melihat sebuah rice cooker dengan desain yang elegan, didominasi warna hitam. Tombolnya bukan lagi berbentuk tombol biasa, melainkan panel sentuh. Mungkin harganya beberapa kali lipat lebih mahal daripada yang ada di rumahku.

"Terlihat bersih sekali, seakan-akan baru dibeli setengah tahun lalu..."

"Iya, aku selalu menyimpannya dengan rapi!"

"Itu bukan pujian."

Aku meletakkan sekantong beras dua kilogram di atas meja.

"Pertama-tama, aku mau masak sekitar dua cangkir beras, tapi aku nggak nemu gelas ukur."

"Gelas ukur... Oh, maksudnya bejana khusus beras itu ya?"

"Kurang lebih benar, tapi perumpamaan itu agak nggak enak didengar."

Meski sudah dicari, gelas ukur tak ditemukan. Ada rice cooker, tapi nggak ada gelas ukur, jelas menunjukkan bahwa tempat ini jarang dipakai untuk masak. Untungnya, ada timbangan digital, jadi aku ambil dua cangkir beras, yang kira-kira setara dengan 300 gram.

Aku masukkan beras dan air ke dalam rice cooker yang masih terlihat seperti baru. Nggak yakin berapa lama akan butuh waktu untuk memasak kari, tapi kalau aku mulai menumis bahan-bahannya, sepertinya saat itu waktu yang tepat untuk menekan tombol masak.

"Baiklah. Selanjutnya, cara memegang pisau. Coba pegang pisau dengan posisi yang natural."

"Seperti ini?"

Lalu, Togami memegang pisau dengan cara yang tampak mengancam.

"Hei, bodoh, jangan pegang pisau terbalik begitu!!"

"Aku pikir lebih mudah menusuk dengan cara ini..."

"Pisau itu untuk memotong, bukan untuk menusuk!"

Kalau sampai menusuk, bisa-bisa masuk berita kriminal.

Meskipun aku telah mengajari Togami cara memegang pisau, aku baru merasa tenang setelah yakin bahwa insiden seperti "siswi SMA menusuk teman sekelas laki-lakinya dengan pisau" tidak akan menjadi berita. Akhirnya, kami sampai pada tahap memotong sayuran.

"Kamu tahu tentang 'tangan kucing'?"

"Aku tahu istilah itu sebagai bagian dari pengetahuan umum."

"Aku tidak tahu itu dianggap pengetahuan umum. Pertama, pegang sayur dengan ujung jari seperti ini, lalu tekuk sedikit persendian jarimu dan condongkan ke arah potongan. Oh, jangan menggenggamnya seperti kepalan tangan, karena itu akan membuat sayuran sulit dipegang. Cobalah membuka sedikit jarimu."

"Be-begini? Ternyata lebih sulit dari yang aku kira."

"Ya, meskipun aku tampak tahu dasar-dasar memasak, sebenarnya aku juga tidak terlalu ahli."

Tangan aku terlalu besar, jadi agak sulit menekan sayuran kecil dengan posisi tangan seperti kucing. Sejujurnya, kadang aku merasa malas dan hanya menekan dengan ujung jari.

"Ada tips khusus untuk ini?"

"Mungkin kamu bisa berpura-pura jadi kucing dan menirukan suaranya."

"Ni-nyaw... Um, Gujou-san, apa manfaat dari ini?"

Tentu saja, menirukan suara kucing tidak ada hubungannya dengan teknik tangan kucing.

Aku hanya mencoba mencairkan suasana dengan candaan, tetapi Togami menganggapnya serius.

"...Maaf, itu hanya lelucon."

"Apa!? Jadi aku cuma menirukan suara kucing tanpa alasan!?"

Ini pertama kalinya aku mendengar kata "menirukan suara tanpa alasan". Togami menatapku dengan wajah yang memerah karena malu. Dengan apron yang dikenakannya, efeknya sangat kuat—bahkan bisa dibilang menghancurkan.

Aku tiba-tiba merasa aneh, tapi segera menyuruh diriku sendiri untuk mengingat "keadaan dapur yang berantakan!" dan segera mengalihkan pandanganku. Di arah yang aku lihat, ada tumpukan kantong sampah yang menggunung, membuatku tersenyum kecut.

Yah, setidaknya candaan tadi berhasil mencairkan suasana, jadi mungkin dia bisa memaafkanku untuk itu.

....Dua jam kemudian.

"Ada baiknya potong bagian atas dan bawah bawang dulu, biar lebih mudah dipotong." "Kamu nggak perlu memamerkan seni dalam memotong wortel." "Minyak bukan bumbu yang makin banyak makin enak... kecuali lemak babi di ramen, itu beda. Jangan tambah lagi." "Daging babinya masih merah. Untuk daging ayam dan babi, pastikan dimasak sampai benar-benar matang." "Jangan berpikir kalau masak dengan api besar sebentar sama saja dengan api kecil lama! Wah, apinya makin besar!"

Meski awalnya canggung, Togami cepat belajar. Setelah melewati berbagai rintangan, kami akhirnya masuk ke tahap akhir, yaitu merebus bahan-bahannya, meskipun butuh waktu lebih lama dari biasanya.

"Fuu, sekarang tinggal menunggu sampai roux (bumbu kari) meresap dengan baik," kataku sambil menarik napas panjang.

"Begitu ya... Aku capek," jawab Togami, terlihat kelelahan setelah menggunakan bagian otak yang biasanya tidak ia pakai. Setelah beberapa waktu bersama, aku menyadari bahwa Togami tipe yang tidak terlalu bisa melakukan banyak hal sekaligus seperti saat memasak. Wajar kalau dia pandai dalam pelajaran tapi kurang ahli dalam pekerjaan rumah tangga.

Akhirnya, aku juga bisa menarik napas lega dan meneguk segelas air untuk melembabkan tenggorokanku. Ternyata setelah berteriak memberi instruksi terus-menerus, tenggorokanku kering tanpa kusadari.

"Biarkan aku yang menjaga panci, Togami. Kamu bisa cuci piring... eh, tidak, biar aku yang ajari nanti."

"Tadi kamu sempat terdengar seperti sudah menyerah padaku. Rasanya sedikit sedih... Apakah aku tidak bisa dipercayai bahkan hanya untuk cuci piring sendiri?"

"Maaf, maaf. Baiklah, kalau begitu, cuci tangan dulu, lalu siapkan piringnya."

"Baik, aku mengerti."

Keputusanku adalah, lebih aman jika ia memegang piring dalam keadaan tangan kering—mengurangi risiko memecahkan piring. Selain itu, mempercayakan panci sepenuhnya pada Togami juga sedikit menakutkan. Setelah selesai menyiapkan piring di area kerja dapur, dia berdiri di sampingku, menatap panci. Meski sekarang sudah bisa dimakan, masih kurang sedikit kekentalan.

"Hari ini terima kasih banyak, Gujou-san. Jika aku sendirian, mungkin seumur hidup aku tidak akan bisa membuat kari."

Yang membuat sedikit takut adalah hal itu bukan hanya sekedar bercanda. Kalau sendirian, dia pasti sudah beberapa kali menyebabkan kecelakaan besar sebelum selesai memasak kari ini.

"Jangan terburu-buru. Kita bahkan belum tahu rasanya," kataku.

"Fufu, benar juga," jawab Togami sambil menutup mulutnya dan tertawa kecil.

Setelah itu, dia tampak meregangkan tubuhnya seolah-olah akhirnya bisa melepaskan diri dari ketegangan. Lalu, dia sedikit memiringkan kepalanya dan menatap wajahku.

"Bagaimana caramu belajar memasak, Gujou-san?"

"Pada dasarnya, aku belajar dari ibuku. Saat aku masih kecil, aku biasa menceritakan kejadian di sekolah sambil melihat ibuku memasak di dapur. Pada saat yang sama, aku sering memasak bersama dengannya."

"Begitu, ya... aku iri padamu."

"Togami?"

Tidak ada jawaban langsung.

Suara pelan mendidihnya kari dan suara rendah kipas angin memenuhi dapur. Rasanya tidak enak jika harus memaksanya bicara, jadi aku hanya menggambar garis tak berarti di atas meja dapur dengan ujung jariku. Dari permukaan meja batu itu, rasa dingin yang khas dari benda mati terasa di ujung jariku.

Keheningan terasa lama, meskipun sebenarnya hanya beberapa puluh detik.

Tiba-tiba, Togami menatap jauh ke depan dan mulai berbicara perlahan.

"Seperti yang sudah kubilang tadi, aku tinggal sendirian."

"Oh, jadi begitu. Karena rumah orang tuamu jauh?"

"Tidak. Rumah keluargaku juga masih di dalam prefektur, jadi tidak ada masalah dengan perjalanan sekolah. Hanya saja, aku yang memaksa untuk pindah dari rumah."

"Orang tuamu tidak menentangnya?"

"Sama sekali tidak. Itu mengejutkan, kan? Orang tua pada umumnya pasti akan menentang jika putri mereka yang berusia 15 tahun ingin tinggal sendiri, bahkan aku bisa mengerti itu."

Togami menampilkan senyum sinis di bibirnya dan berbicara dengan nada dingin. Beda sekali dengan Togami yang biasanya panik dan pesimis. Ada kesan ironi pada dirinya kali ini, hingga aku tak bisa mengatakan apa-apa.

"Kau pikir itu dingin?"

"Yah, kurasa begitu."

Tidak ada alasan untuk mengelak.

"Dalam pemikiran normal, ya, mungkin begitu. Tapi keluarga Togami itu bukan keluarga biasa. Paling tidak kau pernah mendengar desas-desusnya, bukan?"

"Ya, kudengar orang tuamu adalah direktur sebuah perusahaan."

"Betul. Lebih tepatnya, keluargaku adalah pendiri perusahaan yang memproduksi peralatan kantor dan elektronik rumah tangga. Di bawahnya ada beberapa anak perusahaan dan organisasi terkait, dan mayoritas saham dari kelompok perusahaan ini dimiliki oleh keluarga Togami. Biasa disebut sebagai perusahaan keluarga."

"Aku tidak begitu paham, tapi yang jelas, keluargamu sangat luar biasa."

Dunia tempat kami tinggal benar-benar berbeda. Hanya dengan mendengar dia adalah seorang direktur perusahaan sudah cukup mengesankan, tetapi ketika mendengar tentang anak perusahaan dan organisasi terkait, aku merasa itu terlalu jauh untuk kupahami.

"Jadi, apakahTogami juga akan menjadi direktur perusahaan itu di masa depan?

"Orang-orang yang benar-benar berbakat di keluarga kami akan terlibat langsung dalam manajemen. Jika tidak, mereka bahkan tidak akan diberikan posisi yang berarti. Itu seperti dipelihara tanpa tujuan."

"’Dipelihara tanpa tujuan’? Itu terdengar sangat kejam."

"Itu kenyataannya. Jadi…"

"…Togami?"

Togami, yang sebelumnya berbicara dengan nada dingin dan tenang, tiba-tiba terdiam. Dia menghela napas kecil dan menggelengkan kepalanya sebelum melanjutkan.

"Sejak kecil, aku diperlakukan sebagai bagian dari yang kedua."

"……"

Nada suaranya yang mekanis dan tanpa emosi membuatku tidak bisa memberikan respon. Mungkin karena dia menyadari bahwa aku tidak tahu harus berkata apa, Togami melanjutkan dengan nada yang lebih santai.

"Begitulah adanya. Aku punya dua kakak laki-laki dan satu kakak perempuan, dan mereka semua jauh lebih berbakat dariku. Sementara aku, sebagai anak bungsu yang jarak umurnya jauh, adalah anak yang lambat. Aku buruk dalam pelajaran, tidak atletis, dan juga tidak berbakat dalam piano atau biola yang aku pelajari. Pada saat aku berada di kelas menengah sekolah dasar, aku sudah tahu bahwa tak ada yang berharap apa-apa dariku. Anak kecil pun bisa memahami tatapan dari orang lain yang seakan berkata, 'Anak ini tidak ada harapan.'"

Togami berbicara dengan tatapan jauh, seakan mengingat masa lalunya.

"Namun sekarang, Togami adalah murid yang pintar dalam akademik maupun olahraga, kan?"

Setidaknya, itulah yang dipersepsikan oleh orang-orang di sekitarnya.

Meskipun aku mencoba menghiburnya, Togami hanya tersenyum lemah dan menggelengkan kepala.

"Aku sudah berusaha sebaik mungkin. Tapi pada akhirnya, aku tetap tidak bisa menandingi kakak-kakakku."

Sepertinya, kakak-kakak Togami adalah orang-orang yang luar biasa.

"Apa kata orang tuamu?"

"Saat SMP, aku mencoba berdiskusi tentang rencana masa depanku. Tapi mereka hanya menyampaikan pesan lewat pelayan, 'Hiduplah sesuka hatimu.'"

Kata "pelayan" keluar dengan begitu alami sehingga aku terkejut, tapi bukan itu poin utamanya.

Orang tua Togami bahkan tidak menyempatkan waktu untuk berbicara langsung tentang masa depan anak mereka.

Di sini, kata "Hiduplah sesuka hatimu" sama artinya dengan "Aku tidak peduli."

"Apa mereka tahu betapa menakutkannya perkataan 'Hiduplah sesuka hatimu' itu?"

Tangan Togami menggenggam erat sudut meja, dan buku-buku jarinya memutih, membuatku merasa tidak nyaman hingga aku berpaling.

"Aku takut hidup tanpa peran apa pun."

Kata-kata yang keluar pelan itu mungkin adalah ungkapan hati yang sesungguhnya.

"Menurutmu, bukankah menakutkan jika merasa tidak dibutuhkan oleh siapa pun?"

"Begitu, mungkin saja."

Jujur saja, aku masih belum bisa sepenuhnya memahami perasaannya. Soalnya, di rumahku ada seseorang yang tidak bisa hidup layak tanpa aku. Dalam arti tertentu, mungkin aku merasa memiliki makna keberadaan karena hal itu.

"Aku ingin diakui oleh keluargaku. Karena itulah, meskipun awalnya hanya ikut arus, aku lulus dari sekolah khusus perempuan yang berjenjang SMP-SMA, lalu mengikuti ujian masuk di sekolah terbaik di wilayah ini, Reishu. Aku meninggalkan rumah, hidup sendiri tanpa pelayan. Tapi, karena dianggap tidak pantas membiarkan putrinya tinggal di apartemen untuk orang lajang, mereka menempatkanku di apartemen yang besar dan diperuntukkan bagi keluarga. Haha, lucu, bukan? Mereka tidak peduli sama sekali tentang masa depanku, tapi tetap memikirkan hal-hal sepele seperti itu."

"Semua keluarga kaya begitu, ya?"

"Tidak semua. Keluarga Togami hanya sedikit lebih mementingkan meritokrasi."

"Pandai mengatakannya."

"Iya, begitulah. Walau bagaimanapun, itu adalah rumah tempat aku dibesarkan."

Setelah meluapkan semua perasaannya, Togami tersenyum kecil dan berkata dengan tegas.

"Aku menjadi ketua OSIS untuk membuktikan nilainya. Karena itulah, aku harus menjalankan tugas sebagai ketua OSIS dengan baik."

"Begitu, ya."

Pada hari di gudang olahraga ketika aku membuat kontrak dengan Togami, dia mengatakan bahwa dia harus menjadi ketua OSIS yang benar. Keinginan untuk membuktikan keberadaannya kepada orang tuanya yang telah mengabaikannya menjadi dasar dari semua tindakannya.

"Cerah sekali, ya," pikirku. Namun, di saat yang sama, masalah nyata mulai mengganjal di benakku. Apakah orang tua yang sudah sekali mengabaikan putrinya akan tiba-tiba mengubah pandangan mereka hanya karena dia menjalankan tugas sebagai ketua OSIS dengan baik? Masuk ke universitas bagus dan membangun karier mungkin bisa membuat mereka berpikir ulang, tapi sulit dibayangkan kalau pencapaian di masa sekolah menengah bisa mengubah penilaian mereka secara signifikan.

Saat aku terdiam, Togami sepertinya menangkap keraguanku dan tersenyum masam.

"Aku juga sadar. Meskipun aku berusaha keras sebagai ketua OSIS, kemungkinan besar orang tuaku tidak akan memperbaiki pandangan mereka terhadapku. Tapi tetap saja, aku tidak ingin menyerah. Meskipun mungkin itu tidak ada gunanya, aku tidak ingin menyerah begitu saja. Dan mungkin, perjuanganku sekarang ini akan memiliki makna bagiku suatu hari nanti."

"Togami..."

Kata-katanya mengingatkanku pada sesuatu yang pernah ia katakan sebelumnya di gudang olahraga.

Tiba-tiba, Togami tampak cemas, menyadari suasana mulai sedikit melankolis.

"Ah, maaf! Tiba-tiba aku malah bicara seperti ini..."

"Jangan khawatir. Justru aku senang bisa ikut bantu masak kari hari ini."

"Eh? Apa maksudmu?"

"Ya, mungkin belajar atau memiliki pengaruh itu penting, tapi kemampuan memasak juga nggak kalah penting. Setidaknya, kamu lebih hebat dari bibiku, yang tidak bisa memasak sama sekali dan terus menghindar saat aku mencoba mengajarinya."

Perkataanku tampaknya di luar dugaan, sehingga Togami tampak kaget dan membulatkan matanya. Setelah beberapa saat, dia tidak bisa menahan diri dan tertawa kecil.

"Fufu, mungkin begitu."

Tepat pada saat itu, suara timer yang sudah diatur sebelumnya berbunyi. Aku mematikan timer dan menurunkan api, lalu menoleh ke arah Togami.

"Ini sudah selesai, kan?"

"Iya. Togami, tolong ambil nasi dari penanak nasi dan bawa ke sini."

"Baik!"

Suara Togami yang tadinya datar sekarang terdengar sedikit lebih ceria. Dengan antusias, dia membawa piring untuk kari ke arah penanak nasi. Melihat punggungnya yang sibuk, aku pun menghela napas lega.

Di meja ruang tamu, dua piring kari dan sendok telah tertata dengan rapi. Asap yang mengepul dari kari dan nasi putih itu membawa aroma rempah yang menggugah selera.

"Baiklah, selamat makan."

"Ya! Selamat makan."

Kami menyatukan tangan sebagai tanda syukur dan mulai menyantap kari. Aku menyelipkan sendok di perbatasan antara nasi putih dan kuah kari, memastikan ada potongan daging dan bawang di dalamnya. Dengan hati-hati agar tidak terkena bibir, aku membuka mulut lebar-lebar dan memasukkan sesendok kari.

"Mm!"

Togami, yang menutup mulutnya rapat-rapat, mengeluarkan suara aneh sambil mengunyah dengan penuh semangat. Setelah menelan makanan dengan pelan, matanya bersinar penuh kebahagiaan.

"...Ini enak sekali, luar biasa!"

"Benar, kan? Masakan yang kamu buat sendiri memang terasa lebih nikmat."

"Benar juga, ini mungkin tidak kalah dengan bento dari minimarket. Hanya saja butuh waktu dua jam untuk membuatnya, itu yang sulit."

"Itu juga soal keterampilan. Kalau sudah terbiasa, kamu bisa membuat kari dalam waktu tiga puluh menit, bahkan bisa kurang dari dua puluh menit jika bahan-bahannya dipotong kecil dan proses memasaknya dipercepat. Untuk makan di rumah, kari seperti ini sudah lebih dari cukup." 


"Jadi begitu, itu sangat membantu. Tapi, bukankah tetap memakan waktu lama untuk menanak nasi?"

"Kalau kamu sudah masak nasi sebelumnya dan membaginya ke dalam porsi kecil lalu membekukannya, kamu tinggal membuat kari saja. Selain itu, kari juga bisa disimpan untuk beberapa hari. Aku biasanya membuat cukup untuk dua hari."

"Benar juga! Gujou-san, kamu jenius, ya!?"

"Itu berkat kebijaksanaan para pendahulu kita."

Berkat para ibu, ayah, dan para ahli masak yang terus berusaha mencari cara untuk menghemat waktu di dapur, kita bisa lebih efisien. Nanti, aku akan memberitahu Togami tentang wadah penyimpanan makanan yang direkomendasikan untuk pembekuan.

Akhirnya, aku makan dua porsi kari. Setelah itu, aku mengajarinya cara mencuci piring dan panci, lalu aku pun meninggalkan rumah Togami.

Keesokan harinya setelah ujian tengah semester—hari di mana kelas Togami mengadakan praktik memasak. Ketika aku pergi ke ruang OSIS setelah jam pelajaran, Togami tampak memikirkan sesuatu dengan ekspresi aneh.

"Hei."

"Oh, Gujou-san rupanya. Terima kasih atas kerja kerasnya di ujian tengah semester."

"Kamu juga sudah bekerja keras... Tapi kenapa tampak murung? Apa kamu melakukan kesalahan di ujian?"

"Ah, bukan, tesnya sih tidak ada masalah. Tapi hari ini ada praktik memasak," jawab Togami dengan ekspresi rumit saat aku bertanya.

"Hah... rasanya seperti belum terselesaikan dengan baik..."

"Apa yang terjadi?"

"Setiap kali aku mencoba memegang pisau, teman-teman di kelompokku langsung berkata, 'Kami tidak bisa membiarkan Togami-san melakukan sesuatu yang berbahaya!' lalu mengambilnya dariku. Ketika aku ingin menggoreng atau memasak, mereka berkata, 'Jangan sampai terbakar!' dan menghentikanku. Bahkan saat aku mencoba mencuci piring, mereka berkata, 'Bagaimana kalau piringnya pecah dan kamu terluka?' dan menghalangiku..."

"Kenapa bisa sampai begitu?"

"Ngomong-ngomong, aku ingat pernah mengatakan di depan teman-teman sekelas bahwa 'Di rumah Togami ada koki pribadi.' Jadi, mereka mungkin berpikir aku sama sekali tidak bisa memasak... Hahaha..."

Ah, begitu rupanya. Kalau dipikir-pikir, memang jarang sekali orang berpikir bahwa seorang anak dari keluarga kaya bisa memasak. Biasanya, orang menganggap mereka hanya peduli dengan rasa yang enak... tapi melihat Togami, itu jelas bukan masalahnya. Dia lebih ke tipe yang puas dengan bento dari minimarket atau mi instan.

"Yah, kalau tidak sampai mempermalukan dirimu, kupikir tidak ada masalah besar, kan?"

"Ya, bisa dibilang begitu. Tapi kalau dipikirkan lagi, semua latihan intensifku jadi sia-sia... Setelah hari itu, aku membuat kari setiap hari selama seminggu sampai-sampai muncul dalam mimpiku... Aku bahkan sudah semakin ahli menggunakan ujung pisau untuk menghilangkan mata kentang saat menumis... Hah..."

Tampaknya setelah hari itu, Togami terus berlatih memasak kari setiap hari.

"Setiap hari selama seminggu? Bukannya jadi bosan?"

"Tidak, meskipun menggunakan bumbu yang sama, entah kenapa rasanya selalu berbeda setiap kali. Jadi aku tidak bosan."

"Syukurlah masih bisa dimakan."

Aku penasaran bagaimana cara dia memasak sehingga rasa kari dengan bumbu yang sama bisa berubah-ubah. Tapi bagaimanapun juga, membuat kari setiap hari selama seminggu menunjukkan betapa keras usahanya. Itu sebabnya dia masih bisa memainkan peran sebagai siswa teladan yang unggul di akademis maupun olahraga.

Togami tampak sedikit kesal, mungkin karena tidak bisa menunjukkan hasil latihannya dengan baik.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Join the conversation