Translator : Finee
Proffreader : Finee
Chapter 1 : Di tengah wilayah yang di keliling oleh warna merah muda.
Musim semi benar-benar musim yang penuh semangat.
Dunia yang kering dan cokelat selama musim dingin tiba-tiba dipenuhi oleh warna hijau yang segar, seolah-olah kehidupan baru bermunculan di mana-mana. Bunga-bunga pun mulai mekar di berbagai tempat. Kehidupan yang tertahan oleh embun beku seperti tak bisa lagi menahan diri begitu merasakan angin utara yang mulai menghangat.
Bunga yang paling cepat muncul, tentu saja, adalah Plum. Saat masih berjalan sambil menahan dingin, angin terkadang berembus membawa aroma harum yang kuat, seolah ada sebuah pameran parfum. Itu tandanya bunga Plum sedang mekar. Setiap tahun, saat aku melihat cabang-cabangnya yang dihiasi warna merah atau putih, aku pun sadar, ‘Ah, musim ini sudah tiba.’
Bersamaan dengan aroma bunga Plum, hidungku juga mulai terasa gatal. Itu karena serbuk sari pohon Cedar. Setelah perang, permintaan kayu meningkat tajam untuk rekonstruksi, dan pemerintah, dalam kebijakan perluasan hutan, menanam pohon Cedar dalam jumlah besar. Akibat kebijakan masa lalu itu, kami sekarang harus menanggung dampaknya. Bunga jantan pohon Cedar melepaskan serbuk sari kuning yang beterbangan seperti asap, menyerang mata dan hidung orang-orang. Saat aku merasa hidungku gatal dan aku terus bersin, bunga Plum sudah berguguran.
Kemudian tibalah bintang utama musim semi, bunga Sakura.
Tak ada tanaman lain yang membuat seluruh Jepang begitu bersemangat. Bunga Sakura mulai mekar dari selatan dan bergerak ke utara, bahkan berita perkiraan cuaca pun setiap hari melaporkan waktu mekarnya bunga ini. Jenis yang mekar secara berurutan ini adalah Somei Yoshino, varietas yang dikembangkan pada zaman Edo. Somei Yoshino tumbuh melalui teknik sambung dan stek dari satu pohon induk, sehingga semua pohon ini adalah kloning, atau bisa dikatakan perpanjangan dari pohon yang sama. Karena memiliki gen yang sama, pohon-pohon ini mekar serempak di tempat yang sama.
Ketika bunga-bunga berwarna merah muda bermekaran, saatnya menikmati Hanami, (pesta melihat bunga Sakura). Orang-orang pergi ke taman terdekat, anak-anak makan kue Sakura, dan orang dewasa minum bir sepuasnya. Tempat-tempat terkenal untuk menikmati Sakura di seluruh Jepang, yang jumlahnya lebih dari seratus, dipenuhi oleh pengunjung.
Di wilayah Kanto, setelah melalui semua itu, akhirnya bulan April tiba.
Saat itu, aku yang tak begitu kuat secara fisik sudah merasa kelelahan. Tak ada lagi tenaga tersisa untuk menikmati hangatnya musim semi. Yang bisa kulakukan hanyalah melihat kelopak Sakura yang sudah kecokelatan di pinggir jalan, sambil terus menghirup serbuk sari Cedar yang masih membuat hidungku gatal.
Begitu pula, meskipun aku adalah siswa kelas satu SMA yang baru memasuki masa muda yang katanya penuh harapan dan dikagumi, itu tidak ada yang berubah.
“Selamat pagi, Delta! Ini pagi yang sempurna, bukan?”
Sebuah suara yang ceria sekali menyapaku. Aku menghela napas, lalu menoleh ke belakang.
Seorang pria yang sudah sering kulihat melambai dengan senyum lebar di wajahnya.
Aku mengangkat tanganku sedikit sebagai balasan, lalu kembali menatap ke depan. Ketika aku memperlambat langkahku, dia berjalan di sampingku dengan semangat seolah-olah benar-benar menikmati pagi yang indah ini.
Dia adalah Mizusaki Ryuichi. Katanya setiap hari adalah rekor kebahagiaan baginya, dan dia selalu menyapa dengan semangat seperti ini. Sikap ceria dalam dirinya tidak hanya terlihat dari kepribadiannya, tetapi juga dari penampilannya yang sedikit berkesan santai dan sedikit bebas.
“Hei, baru hari kedua kehidupan SMA, tapi auramu sudah terasa suram.”
“Itu karena aku berjalan di tempat teduh.”
Matahari pagi bersinar terik. Jika berjalan di sisi timur jalan, cahaya matahari akan terhalang oleh rumah-rumah. Udara sudah cukup hangat, dan jika aku membiarkan sinarnya mengenai blazerku, pasti akan terasa panas. Jadi, berjalan di tempat teduh adalah keputusan yang cukup logis.
“Hmm, masuk akal. Tapi, aku agak kesulitan kalau sahabatku berjalan di tempat teduh pagi ini.”
Mizusaki melangkah melewati garis putih dan bergerak ke arah jalan, melompat ke tempat yang diterangi sinar matahari.
Aku hampir mengatakan “Ayo kembali, itu berbahaya,” tapi kemudian aku menyadari alasannya.
Ada sesuatu yang berbeda—dia mewarnai rambutnya. Warnanya seperti cokelat tua, hampir tidak terlihat jika dia berada di tempat teduh, sehingga sulit menyadari perubahan dari warna aslinya.
Menyadari tatapanku, Mizusaki memiringkan wajahnya dengan gaya sok keren.
“Bagaimana? Ada yang kamu perhatikan?”
“Kamu agak botak, ya?”
“Bukan botak. Aku mewarnainya. Ini yang disebut debut SMA.”
Tidak seperti di SMP kami sebelumnya, SMA Tsunagai tidak punya aturan khusus tentang warna rambut. Tetapi tetap saja, mewarnai rambut di hari kedua setelah upacara masuk adalah tindakan yang cukup berani. Tapi warna yang dipilihnya terlihat sangat halus—ciri khas Mizusaki, yang tidak bisa sepenuhnya menjadi anak gaul.
“Aku kagum dengan debut SMA-mu, tapi bukankah mewarnai rambut itu merepotkan? Rambut hitammu akan tumbuh satu sentimeter setiap bulan.”
“Kamu nggak ngerti, ya? Merepotkan itu nggak masalah. Ini seperti setetes air yang dibawa burung kolibri untuk memadamkan kebakaran hutan. Aku hanya melakukan apa yang bisa kulakukan untuk menarik perhatian para gadis .”
“Jangan gunakan kisah inspiratif burung kolibri dari Amerika Selatan untuk tujuan yang tidak murni.”
“Wah, kamu bilang ‘tidak murni’? Keinginan anak SMA untuk menarik perhatian gadis itu seperti burung merak jantan yang menunjukkan bulu ekor mereka yang indah. Kalau diungkapkan dengan gaya Delta, ini adalah ‘hukum alam’. Kamu juga punya modal bagus, Delta, harusnya kamu lebih memperhatikan penampilanmu.”
Hukum alam, ya? Betapa sok tahunya anak ini!.
“Kamu boleh saja menjadi merak yang mencolok, Mizusaki, tapi aku cukup menjadi gagak saja.”
“Eh, gagak? Kenapa memilih burung yang sederhana itu?”
“Karena gagak itu cerdas.”
“Oh, begitu ya. Artinya kamu mau fokus belajar. Memang beda, ya, anak pintar!”
Mizusaki tampak senang mendengar jawaban yang terasa seperti argumen ini. Kami sudah berteman sejak SD. Percakapan kami seringkali seperti pertunjukan kecil, dengan sebagian besar tanggapan sudah bisa ditebak.
Jika Mizusaki adalah merak dengan rambut diwarnai, maka aku adalah gagak yang berwarna hitam pekat.
Aku tidak peduli bagaimana orang melihatku. Mizusaki suka tampil mencolok dan menggunakan wax untuk rambutnya, sementara aku hanya membasahi sedikit rambutku jika ada yang kusut. Mizusaki rajin berolahraga, tetapi aku cukup puas dengan tubuhku yang agak kurus. Mizusaki menyarankan agar aku beralih menggunakan lensa kontak, tetapi aku tetap memakai kacamata sejak SMP.
Perbedaan seperti ini justru membuatku nyaman berada di dekatnya.
Akhirnya, Mizusaki kembali ke tempat teduh, mungkin karena merasa tidak nyaman berjalan di luar garis putih.
“Ngomong-ngomong, Delta, aku punya sesuatu yang sangat penting untuk dibicarakan.”
Jika dia berkata begitu, biasanya akan ada sesuatu yang tidak terlalu penting setelahnya.
“Apa itu?”
“Kau tahu siswi bernama Iwama-san, kan?”
“Oh, yang duduk di belakangku?”
“Wah, ternyata ingat, ya? Delta benar-benar ingat nih!.”
Mizusaki tersenyum menggoda.
Bagaimana aku tidak ingat? Nomor absen kami hanya terpaut satu nomor, posisi duduk saat upacara masuk bersebelahan, dan tempat duduk di kelas pun berdekatan, jadi aku otomatis mengingat wajah dan namanya.
Iwama Rio. Seorang siswi yang tampak cerdas dengan rambut dikuncir ponytail. Cukup dengan melihat wajahnya, kesan pertamanya sudah menunjukkan bahwa dia berada di dunia yang berbeda dariku. Dia adalah sosok yang anggun, seanggun Sakura, dan namanya benar-benar cocok dengannya.
“Lalu, apa yang mau kamu katakan tentang dia itu?"
"Yah, dia sangat imut, kan?"
"...Jadi, ini yang kamu bilang sebagai 'pembicaraan penting'?"
“Ayolah, Delta, kau juga pasti berpikir begitu, kan? Kau pasti melihat senyumnya, bukan?”
Memang benar, Iwama memiliki penampilan yang bisa dibilang menarik secara objektif. Wajahnya memiliki fitur yang tegas, alisnya melengkung memberikan kesan cerdas, dan senyumnya sangat imut dan memikat.
"Memang, dia adalah orang yang sering tersenyum."
"Iya, kan? Bukan hanya penampilannya. Cara dia bergerak menunjukkan bahwa dia berasal dari keluarga baik-baik, dan cara bicaranya yang jelas dan lancar, benar-benar seperti siswa teladan yang berjalan dengan mengenakan pakaian."
"Kalau siswa teladan berjalan tanpa pakaian, itu malah heboh tau."
"Orang yang terlalu detail nggak bakal disukai gadis , lho. Jadi, kamu setuju dia kelihatan seperti siswa teladan?"
"Yah, kurasa dia memang tipe seperti itu."
Dengan penampilannya, sulit membayangkan kalau dia akan mendapat nilai buruk. Iwama memang terlihat seperti siswa teladan sejati. Dia pasti akan mendapat kepercayaan dari teman-teman sekelas dan para guru. Hampir pasti dia akan dipilih sebagai ketua kelas. Mungkin dia juga pandai dalam olahraga dan akan dikejar-kejar oleh berbagai klub olahraga saat perekrutan anggota.
Bagaimanapun, dia seperti bunga Sakura. Iwama Rio, seorang siswa teladan yang namanya mengandung kata “Sakura.” Seperti bunga Sakura yang selalu menjadi pusat perhatian setiap musim semi.
"Eh, Delta, aku menemukan sesuatu yang sangat jenius!"
Mizusaki menatapku dengan pandangan yang penuh makna.
"Penemuan jenius?"
"Ya! Ini tentang kesamaan luar biasa antara kamu dan Iwama-san. Pasti penasaran, kan?"
Aku sebenarnya tidak terlalu tertarik, tapi sepertinya Mizusaki sangat ingin memberitahukannya kepadaku. Aku mengisyaratkan dengan mengangguk agar dia melanjutkan.
“Pertama, ingat asal usul nama belakangmu, Delta.”
"Pertama-tama, nama belakangku itu Izuta."
Nama panggilan “Delta” berasal dari suatu kejadian di masa SMP. Tidak ada sejarah atau alasan bahwa leluhurku tinggal di delta sungai. Mizusaki tampaknya ingin menyebarkan kesalahpahaman ini di SMA, tetapi aku berharap dia berhenti melakukannya.
"Yah, lupakan detail kecil itu. Sekarang giliran nama Iwama-san."
Seperti sedang menciptakan suasana dramatis, Mizusaki berhenti sejenak.
"Coba bacalah huruf kanji ‘Iwama’ dengan cara bacaan yang jarang digunakan."
Iwama — 'Iwa', 'Ma' — 'Gam', 'Ma' — Gamma.
“Lihat, kan? Benar, kan?"
Mizusaki terlihat sangat bangga, seperti baru saja menemukan cara menyelesaikan soal matematika hanya dengan tiga langkah.
"Kamu itu Delta, dan dia Gamma. (α)Alpha, (ÎČ)Beta, (Îł)Gamma, (ÎŽ)Delta... Bukan hanya nomor urut absen kalian berdekatan, bahkan dalam alfabet Yunani pun kalian berdekatan. Luar biasa, bukan?"
"Wehh, itu benar-benar luar biasa."
“Jangan memuji dengan begitu datar. Ayo, pasti ada sesuatu di antara kalian. Kalau mau, gunakan ini sebagai pembuka percakapan, aku tidak keberatan sama sekali.”
“Kenapa aku harus butuh pembuka percakapan?”
"Kenapa lagi? Tentu saja supaya bisa lebih dekat dengannya."
Aku melihat Mizusaki, yang kini berjalan lagi di sisi jalan yang terkena sinar matahari. Rambutnya yang berwarna seperti larutan ferisianida besi (III) yang bercahaya di bawah sinar matahari musim semi cocok sekali dengan dirinya. Entah dia burung kolibri atau merak, dia terlihat jelas sangat menikmatinya .
"Aku tidak berniat mendekatinya. Kamu tahu kan, seperti apa karakterku?."
Mizusaki menoleh padaku sambil tersenyum lebar.
"Siapa tahu? Terkadang, takdir itu seperti iseng dan suka main-main."
"Aku bilang aku tidak punya niat untuk mendekatinya. Takdir tidak akan mengubah apapun."
"Jangan bilang kata yang menyedihkan begitu. Bagaimanapun juga, kalian sekelas. Pasti lebih baik kalau kalian berteman."
“Tipenya beda, kan? Itu jelas terlihat, dia menjalani hidup dengan cara yang berbeda dariku."
"Tapi coba pikirkan,"
Tanpa memedulikan apa yang aku katakan, Mizusaki sambil mengangkat telunjuknya tinggi-tinggi berkata,
"Syaratnya sudah sempurna sekali, tau! Tempat duduk Delta dan Iwama-san ada di barisan paling pinggir dekat lorong kelas. Ditambah lagi, Iwama-san duduk paling belakang di barisan itu. Jadi, kalau dia duduk, cuma ada dua orang yang bisa jadi teman bicara, yaitu orang yang di kiri atau di depannya. Dan coba tebak, siapa yang duduk di depannya?"
"Siapa lagi, selain aku."
Begitu masuk sekolah, tempat duduk diatur berdasarkan nomor absen. Di kelas kami, ada banyak orang yang namanya berawalan "A," seperti Aizawa dan Arasa. Akibatnya, aku dan Iwama yang memiliki nomor absen paling terakhir duduk di barisan lorong paling belakang.
"Lihat? Pastinya, di ruang kelas mana pun, Delta dan Iwama-san pasti selalu duduk berdekatan karena nomor absen."
Mizusaki mendekat dengan semangat, seperti saat dia memaksaku menghafal mnemonik buatannya untuk tabel periodik. Rasanya aku sampai curiga apakah ada maksud tertentu di baliknya.
"Kasihan juga ya, kalau dia harus duduk di dekatku terus."
"Apa sih yang kamu bilang! Duduk di dekat Delta itu bukan tempat yang tidak nyaman!"
"Aku senang mendengar hal itu, tapi mungkin cuma kamu yang berpikir begitu, Mizusaki."
Mizusaki tertawa ceria.
"Mungkin saja!"
Tentu saja, aku tidak membahayakan orang-orang di sekitarku. Namun, aku bukan tipe orang yang aktif secara sosial. Aku bukan orang yang suka bersosialisasi. Aku bukan orang yang berjalan di bawah sinar matahari.
Bisa dibilang, aku adalah tipe orang yang lebih suka berada di bayang-bayang—seorang introvert, jika ingin jujur.
Dalam situasi di mana satu-satunya teman bicara berada di depan atau di kiri, dan orang di depan hanya melewatkan kertas ke belakang, Iwama mungkin akan merasa kesepian.
Dia jelas adalah tipe orang yang suka berinteraksi dan berjalan di bawah sinar matahari, bukan tipe orang sepertiku.
Di balik deretan pohon Ginkgo yang menanjak perlahan, gerbang SMA Tsunagai mulai terlihat. Gerbang kuno yang dibangun dengan tumpukan batu tinggi ini memancarkan kewibawaan sebagai sekolah unggulan terkemuka di prefektur.
Pohon-pohon Ginkgo di sepanjang jalan mengeluarkan tunas hijau muda, memancarkan kilau di bawah sinar matahari pagi di bawah langit biru.
Hari ini cuacanya bagus, tapi diperkirakan cuaca akan memburuk pada sore hari, dan malamnya akan ada badai.
Saat istirahat makan siang, Mizusaki menghilang entah ke mana untuk “mengintai kelas lain.” Aku tidak punya alasan untuk ikut bersamanya, jadi aku membuka kotak makan siangku di meja. Ini adalah bekal yang kusiapkan sendiri dengan penuh perhatian. Meski begitu, setengah dari isinya hanyalah tomat ceri.
Ngomong-ngomong, menurutku tomat ceri adalah salah satu pencapaian besar dalam sejarah pertanian.
Di balik kulit tipisnya terdapat keajaiban alam dan kebijaksanaan manusia. Keseimbangan antara keasaman segar dan manis yang tidak pernah membosankan. Kulitnya yang tahan air membuatnya mudah dicuci dan tetap mudah dimakan. Ukurannya yang sekali gigit membuatnya bisa dimakan tanpa alat potong dan tanpa mengotori tangan. Jika membeli langsung dari tempat penjualan, harganya juga terjangkau. Berkat perkembangan metode hidroponik dan budidaya di rumah kaca, sekarang tomat ceri bisa didapatkan sepanjang tahun.
Sambil menggigit satu butir, aku memikirkan informasi genetik yang tertanam dalam sel-sel nya. Nenek moyangnya yang tumbuh liar di Pegunungan Andes, hanya menghasilkan buah kecil. Rasa aslinya mungkin asam dan sepat. Tetapi manusia membudidayakannya, dan secara bertahap memperbaikinya sesuai selera mereka dari generasi ke generasi. Sejarah evolusi panjang makhluk hidup dan usaha panjang manusia terukir dalam setiap butirnya. Sebuah simfoni yang dimainkan! Tumbuhan yang terkena sinar matahari menggunakan energi yang didapat melalui sistem fotosintesis yang canggih, menggerakkan banyak gen untuk melalui proses panjang menghasilkan beragam zat. Hal itu menciptakan keseimbangan rasa dan aroma yang sempurna di atas lidah. Tidak mungkin manusia dapat menciptakan sistem ini dari awal. Jika ini bukan keajaiban, lalu apa?
“Kamu suka tomat ceri?”
Suara yang tiba-tiba membuatku terkejut dan berbalik menoleh ke belakang.
Iwama Rio, dengan mata besarnya yang bulat, sedang melihat ke arahku. Aku langsung menundukkan pandangan.
“Ah, iya… yah."
Aku merasa jawaban itu terdengar bodoh, jadi aku menambahkan,
“Apakah aku terlihat sangat menikmatinya “
Setelah mengatakannya, aku baru sadar bahwa Iwama seharusnya hanya bisa melihat punggung dan bagian belakang kepalaku. Aku mengucapkan hal yang bodoh.
"Tidak kok. Hanya saja jumlahnya sangat banyak. Aku rasa ini pertama kalinya aku melihat seseorang yang bekalnya penuh dengan tomat ceri."
Dengan jarinya yang agak kecokelatan karena matahari, Iwama menunjuk ke meja tempat bekalku diletakkan.
Kotak bekalku yang bertingkat, salah satu bagiannya penuh dengan tomat ceri. Sementara di bagian lainnya, nasi putih yang ditaburi bubuk umeshiso serta lauk lainnya terkemas rapat.
“Karena tomat ceri sangat enak, kan?”
Aku menjawab, meski tidak yakin apakah jawabanku masuk akal, dan Iwama tersenyum lembut, seperti bunga yang mekar. Jika memakai kata-kata Mizusaki, mungkin ia akan berkata, "Lihat senyuman itu."
"Iya! Tomat ceri memang enak."
Hanya dengan mengulang hal yang sama, ia membuatku merasa seolah-olah menerima seluruh dukungan dari dirinya. Kemampuan yang luar biasa untuk memikat hati orang lain.
"Tapi, apa kamu tidak bosan makan sebanyak itu? Aku bahkan sampai berpikir kamu bertengkar dengan orang tuamu."
Sepertinya Iwama sempat menduga bahwa orang tuaku sengaja mengisi bekal dengan tomat ceri sebagai bentuk protes. Tapi bukan itu alasannya.
“Bukan, aku makan sebanyak ini karena memang suka. Bahkan sebenarnya masih kurang."
Aku yakin bisa bicara panjang lebar tentang "simfoni" tomat ceri ini, tapi kutahan saja. Sebagai gantinya, aku menunjukkan kotak bekal yang penuh dengan tomat ceri kepada Iwama. Meski beberapa sudah kumakan, sisanya masih terisi penuh tanpa berkurang sedikitpun, seakan menjadi puzzle yang tak bergerak.
"Wow! Struktur pengisian maksimal!"
Kata-kata yang tak kuduga keluar dari mulut Iwama, membuatku sedikit bingung.
Sepertinya dia menyadari perubahan ekspresiku, dan segera melambaikan kedua tangannya dengan canggung.
"Ah! Maaf, ya! Aku mengatakannya dengan aneh! Maksudku, kamu menyusunnya dengan sangat efisien."
"Bukan begitu, aku tidak menganggapnya aneh sama sekali."
“Jadi, Izuta-kun, kamu membuat bekalmu sendiri?”
Pindahnya pembicaraan yang tiba-tiba terasa sedikit janggal, tapi aku hanya mengangguk sambil berpikir ‘tidak apa-apa.’
"Tidak bisa dibilang membuat sih, lebih tepatnya hanya menyusun saja."
Sebagian besar isinya hanya tomat ceri.
"Hebat! Kalau aku, bekal makan siangku dibuatkan oleh… ibuku."
Walaupun pembicaraan kami biasa saja, dia terlihat terburu-buru mengalihkan topik.
Tangan Iwama bergerak membuka bekalnya sendiri dan memperlihatkannya padaku.
Di dalamnya ada lauk yang tersusun rapi, serta nasi putih dengan sedikit acar umeboshi di atasnya. Tanpa ragu memperlihatkan isi bekalnya kepada seorang pria yang hampir tak pernah diajak bicara sebelumnya, menunjukkan bahwa dia bukan orang yang mudah curiga, atau mungkin dia tumbuh di lingkungan yang baik.
Apakah dia tadi hampir menyebut ‘Mama’?
Saat melihat jari-jarinya yang memegang kotak bekal, kukunya terpotong rapi. Mungkin dia mengikuti kegiatan seperti seni bela diri atau renang.
... Tidak boleh, aku malah terlalu memperhatikannya. Aku melanjutkan percakapan agar terdengar alami.
"Kalau ada yang membuatkannya untukmu, menurutku itu baik-baik saja. Kedua orang tuaku bekerja di Tokyo, jadi mereka harus berangkat pagi-pagi sekali. Makanya, aku menyiapkan bekalku sendiri."
"Benarkah? Wah, begitu ya! Ibuku bekerja dari rumah, jadi aku selalu bergantung padanya. Tapi, karena aku sudah SMA, mungkin aku harus mencoba membuat bekalku sendiri."
Sambil berkata begitu, Iwama mengeluarkan sumpit berlapis pernis.
Orang yang bekerja dari rumah… pekerjaannya apa, ya? Programmer, desainer, penulis… atau mungkin pekerjaan yang membuat rumahnya menjadi toko. Namun, jika rumahnya menyatu dengan toko, biasanya orang tidak menyebutnya bekerja dari rumah. Mungkin seperti membuka les privat yang murid-muridnya datang ke rumah…
Aku melihat Iwama sedikit memiringkan kepalanya, dan aku segera mengalihkan pandangan, aku memasukkan tomat ceri ke dalam mulut. Namun kali ini aku tak sengaja memakannya dengan tangkainya, tapi aku tak bisa mengeluarkannya begitu saja, jadi aku menelannya. Aroma khas tangkai tomat yang sedikit seperti herbal tercium lembut di hidungku.
Apa yang sedang kulakukan? Padahal aku tidak tertarik, tapi entah mengapa aku jadi ingin tahu tentang kondisi keluarga Iwama. Sungguh aneh.
Iwama dengan hati-hati mengambil nasi dengan sumpitnya dan memakannya. Cara dia mengunyah pelan dengan porsi kecil sambil menggelengkan sedikit kepalanya membuat rambut ponytailnya bergoyang lembut, mengingatkanku pada kelinci atau hewan pengerat kecil lainnya.
Ikat rambut yang digunakan untuk mengikat rambut ponytailnya, baik kemarin maupun hari ini, adalah karet hitam polos tanpa hiasan.
Mungkin ini hanya pikiranku saja.
"Izuta-kun, apa kamu sudah memutuskan mau ikut klub apa?"
Iwama membuka topik baru. Aku menggeser posisi dudukku di kursi, berbalik menghadapnya.
"Klub, ya… hmm, belum sih. Aku ingin mencoba melihat beberapa dulu sebelum memutuskan."
"Oh begitu. Iya ya, aku juga masih bingung nih,"
Seperti yang diprediksi, atau mungkin seperti yang diharapkan Mizusaki, aku akhirnya berbicara dengan Iwama dalam suasana yang terjadi secara alami.
Ngomong-ngomong, di sebelah kiri Iwama duduk seorang anak laki-laki yang tampak sedikit berandal, mungkin sedang keluar bersama teman-temannya.
"Iwama-san, apa ada klub yang ingin kamu masuki?"
Aku mengembalikan pertanyaan sebagai sopan santun, dan dia berpikir sambil menggumamkan, "Hmm…"
"Entahlah, ibuku menyarankan ikut klub olahraga, tapi aku sendiri tidak terlalu jago olahraga…"
Sungguh rendah hati. Iwama memang cukup tinggi, tetapi tidak terlihat rapuh. Dari kerangka tubuhnya, dia tampaknya bisa melakukan olahraga apa pun dengan baik.
"Kalau di SMP? Ikut klub apa?"
Iwama terdiam sejenak, meskipun tidak sedang mengunyah apa pun, tampak sedikit ragu untuk menjawab.
“Umm, sebenarnya klubnya aneh. Izuta-kun mungkin akan tertawa setelah mendengarnya."
"Aku tidak akan tertawa kok."
Kalau itu klub seperti "Klub Penelitian Petak Umpet" atau "Klub Gadis Bangsawan"... mungkin aku akan tertawa.
"Benarkah?"
Aku mengangguk, penasaran seaneh apa klubnya hingga membuatnya tampak ragu untuk membicarakannya.
Dengan sedikit ragu-ragu, Iwama membuka mulutnya dengan pelan.
“Sebenarnya, aku dulu di klub Sains. Kami melakukan hal-hal seperti menumbuhkan kristal tawas, mengamati bintang, dan melakukan survei vegetasi... Kami tidak terlalu serius dalam beraktivitas, lebih seperti kelompok yang bersenang-senang.”
Terlepas dari apakah serius atau tidak, menurutku tidak ada yang lucu dari klub itu.
"Hee, Sebenarnya aku juga—"
Aku hendak mengatakan bahwa aku juga di klub sains, namun kemudian menyadari sesuatu yang janggal. Kalau menumbuhkan kristal tawas mungkin masih masuk akal, tetapi klub kimia tidak akan mengamati bintang, apalagi melakukan pengamatan tumbuhan.
"Klub Sains itu yang 'science' kan?"
"Iya! Yang ilmiah, sains!"
Sains dan kimia—artinya mirip dan pengucapannya sama, jadi terkadang terjadi kesalahpahaman seperti ini.
"Menurutku klub itu sama sekali tidak aneh. Sebenarnya, aku juga dulu ikut Klub Sains. Tapi yang 'chemistry,' klub kimia. Bagianku klub ilmu alam."
"Heeeh, sungguh?"
Iwama bereaksi dengan suara cukup keras, lalu cepat-cepat menutup mulutnya.
Namun, aku tidak melewatkan kilauan di mata hitamnya yang tampak tulus, bukan sekadar retorika. Mungkin karena ia sedikit condong ke arahku, sehingga sudutnya membuat cahaya lampu neon memantul.
Iwama berkata pelan, seakan suaranya berbisik.
"Kurasa, Izuta-kun pasti cocok memakai jas lab."
Ini pertama kalinya aku mendengar komentar semacam itu. Kedengarannya seperti pujian, tapi mungkin sebenarnya tidak. Mungkin lebih tepatnya, ini cara halus untuk mengatakan bahwa aku "terlihat seperti orang yang suka di dalam ruangan." Kemampuan membuat segala sesuatu terdengar seperti pujian ini mungkin adalah salah satu keahlian siswi teladan di depanku.
"Ya, aku memang sering pakai jas lab. Dalam seminggu ada tiga kali kegiatan klub, dan setengahnya berupa eksperimen."
"Contohnya? Eksperimen apa saja yang Izuta-kun lakukan?"
"Yang paling menarik mungkin... reaksi luminol. Kamu tahu, Iwama-san?"
"Iya! Itu reaksi yang dipakai dalam investigasi forensik, kan? Yang membuat darah bersinar kalau terkena luminol."
Sebagai mantan anggota klub sains, Iwama paham dengan cepat, membuat percakapan ini jauh lebih mudah.
"Benar. Reaksi itu bisa mendeteksi darah, bahkan dalam jumlah sangat kecil. Kami sampai bermain peran dalam permainan investigasi, berpura-pura menjadi penjahat yang menghilangkan bukti dan petugas forensik yang mencari jejaknya. Akhirnya, seperti yang diduga, tim forensik menang telak. Saat itu kami menyadari betapa hebatnya reaksi katalis."
Aku sendiri menjadi petugas forensik. Meski Mizusaki yang berperan sebagai penjahat berusaha sekuat tenaga menghilangkan noda darah, usahanya tidak bisa mengalahkan kekuatan ilmu kimia. Aku masih ingat betul wajah Mizusaki yang tampak kesal waktu itu.
Aku baru sadar kalau Iwama melihat ke arahku dengan mulut sedikit terbuka, tampak terpaku.
──Gawat, aku bicara terlalu banyak.
Setiap kali aku melakukan ini di depan orang biasa, reaksi mereka biasanya seperti ini. Bahkan saat aku berbicara tentang “simfoni tomat ceri,” Mizusaki hanya bisa tersenyum kecut.
“Maaf, abaikan saja.”
Begitu aku berkata demikian, Iwama menggelengkan kepalanya seolah tersadar dari lamunan.
“Ah, tidak, bukan begitu──”
Tapi apa yang sebenarnya ingin dia pikirkan, aku tak pernah mengetahuinya.
“Wah, wah, Delta, kau memang tidak boleh diremehkan. Pria keren memang bertindak cepat rupanya!”
Mizusaki datang dengan senyum penuh arti dan duduk di sebelah Iwama. Sungguh, ingin rasanya aku membunuhnya.
“Ah, um... Mizusaki-kun!”
Iwama menaikkan alisnya, tersenyum ramah pada Mizusaki. Hebat, pikirku. Bahkan di kelas yang besar, ia sudah mengingat nama teman sekelas yang duduk di sisi lain ruangan. Iwama benar-benar teladan yang berjalan. Ini baru hari kedua sejak kami bertemu kemarin, namun dia sudah hafal nama seluruh siswa di kelas 1C yang berjumlah empat puluh orang.
Mizusaki, yang tampak terkejut namanya diingat, berdiri kaku di depan Iwama.
Jarang sekali aku melihat Mizusaki terdiam tanpa ada maksud tersembunyi di baliknya.
“...W-wow. Hebat sekali, Iwama-san, kamu sudah menghafal nama semua teman sekelas?”
“Iya, semacam itu. Tapi, Mizusaki-kun juga mengingat namaku kan?,"
"Ya, tentu saja, karena ini Iwama-san yang terkenal itu, kan?"
Sambil berkata begitu, Mizusaki mengembalikan senyum usilnya dan melihat kami berdua, aku dan Iwama. Warna rambutnya yang sedikit dicat tampak hampir hitam di bawah cahaya kelas.
"Eh, aku terkenal ya?"
"Ya jelaslah. Di tengah keramaian, jika ada sekuntum Sakura cantik yang mekar seperti ini, pasti semua orang akan memperhatikannya. Iya, kan, Delta?"
Jangan tanya ke aku!!.
Aku menunjukkan niatku untuk tidak menanggapi dengan langsung memasukkan tomat ceri ke mulutku.
Melihat aku tak memberi jawaban, Iwama tersenyum lalu menoleh ke Mizusaki.
"Uhm, Mizusaki-kun... siapa itu Delta?"
Cara Iwama mengalihkan pembicaraan sangat halus. Pasti ia sudah sering menghadapi pria genit seperti ini sebelumnya.
Namun, sayangnya ia malah menyentuh topik yang pasti akan membuat Mizusaki semakin bersemangat.
"Oh! Pertanyaan bagus! Jadi, Delta itu sebenarnya nama asli dari orang yang ada di sini, Izuta Sho."
"Eh? Jadi, Delta itu nama aslinya...?"
Meskipun jelas tahu bahwa itu bohong, Iwama bertanya dengan tulus tanpa nada sindiran.
“Begitulah. Izuta itu seperti nama anumerta (pemberian), kan? Saat SMP, dia dipanggil ‘Delta’ oleh semua orang. Iwama-san, panggil saja dia ‘Delta’ juga, ya.”
“Jangan sembarangan ‘membunuh’ orang.”
Astaga, dia benar-benar bicara sembarangan...
Sementara kami berbicara, bel peringatan berbunyi.
Waktu istirahat siang pun berakhir saat Iwama buru-buru menghabiskan sisa bekalnya.
*
“Sepertinya ada insiden besar.”
Biasanya ketika Mizusaki berkata seperti ini, biasanya itu hanya kejadian yang sangat sepele.
“Wah, parah banget. Yuk, kita cepat pulang saja.”
Sambil mengganti sepatu dan keluar dari pintu masuk, aku bersiap untuk pulang karena pelajaran sudah selesai.
“Hei, jangan buru-buru pulang. Maaf, deh. Kamu masih marah soal tadi waktu istirahat?”
“Aku nggak marah cuma karena hal kecil begitu. Tapi soal Iwama-san, itu sangat tidak sopan terhadapnya”
“Iya, kamu benar. Begitu dia manggil aku ‘Mizusaki-kun’, otakku langsung kayak seperti di kelilingi warna bunga Sakura.”
“Bukankah otakmu memang selalu ‘warna merah muda’?”
“Ya, sih. Soalnya warna putih sel otak dan warna merah hemoglobin membuat otak jadi mirip warna merah muda, kan?”
Sungguh, dia ini memang orang yang bisa berbicara lancar tentang hal-hal yang tidak penting.
“Renungkanlah kesalahanmu itu!."
"Tenang saja. Aku sudah minta maaf dengan sopan, karena telah mengganggu."
Aku merasa lega karena ternyata dia cukup menyesali perbuatannya. Mizusaki adalah orang yang kadang melakukan hal-hal ceroboh dan kurang peka akibat keterampilan komunikasinya yang tinggi, tapi di dalam hati sebenarnya dia cukup bertanggung jawab.
"...Lalu, insiden besar apa tadi?"
Saat aku bertanya, Mizusaki tiba-tiba berhenti. Senyuman lebar terpancar di wajahnya saat menatapku.
"Di belakang gunung sana, ada dua pohon Sakura."
" Belakang gunung?"
Aku menoleh. Melihat ke arah gedung sekolah, ada hutan kecil di gunung yang agak tinggi.
Kota Tsunagai, tempat kami berada, berbatasan dengan Samudra Pasifik di sebelah selatan dan dikelilingi pegunungan di tiga sisi lainnya. Dari laut ke utara, ketinggiannya perlahan-lahan bertambah. SMA Tsunagai kami berada di bagian utara kota. Gerbang sekolah menghadap laut di selatan, dan di belakang gedung sekolah, melewati lapangan, ada pergunungan.
"Ya,belakang gunung. Memang tidak terlihat dari sini, tapi di sana ada dua pohon Sakura. Mereka tumbuh berdampingan dan katanya disebut 'Pasangan Sakura'. Tempat itu sangat populer."
"Senang mendengarnya."
"Bagus, kan? Nah, pohon Sakura ini, ternyata sedang mekar sekarang."
Jadi, dia mengajakku untuk melihatnya, rupanya.
"Jenis yang agak terlambat mekar, ya."
“Benar. Dan Sakura itu memiliki legenda — legenda yang sangat menarik.”
Aku mengangguk, memintanya melanjutkan.
“Katanya, dua pohon Sakura itu, saat berbunga, membentuk sebuah pola Inome berupa tanda hati yang sangat indah. Dan, pasangan yang melihatnya… pasti akan bersatu.”
“Hanya terbatas untuk pasangan pria dan gadis saja? Di era Reiwa ini?”
Aku menyelanya, dan Mizusaki sedikit memiringkan kepala dengan ekspresi agak serius.
“Hm… itu hanya cara penyampaian, sih. Aku rasa nggak harus pria dan gadis . Intinya, legendanya adalah tentang cinta yang bersatu .”
“Jadi, Mizusaki ingin melihat Sakura itu denganku, ya?”
“Yup, kurang lebih begitu.”
Mendengar jawabannya yang riang, aku sengaja terdiam sejenak.
“…Apakah ini bisa dianggap sebagai pernyataan cinta?”
“Apa?! Delta memang sahabat yang penting bagiku, tapi… b-bukan berarti aku memandang Delta… seperti itu, kok!”
Dan begitulah, akhirnya kami memutuskan pergi ke belakang gunung.
Begitu keluar gerbang sekolah, kami melihat bagian pusat kota di ujung jalan berbaris pohon Ginkgo yang menurun. Di ujung pandangan, terlihat laut. Matahari cerah membuat ombak berkilauan. Hari ini diperkirakan cuaca akan memburuk, tapi sepertinya masih akan cerah untuk sementara waktu.
Alih-alih menuruni jalan berderet pohon itu, kami berbelok ke gang kecil yang mengarah ke belakang sekolah. Meski sempit, gang itu sudah diaspal. Karena sekolah ini dikelilingi pegunungan, jalan itu mungkin digunakan untuk mengangkut sesuatu ke arah lapangan.
“Tapi rasanya meragukan, ya. Kalau dengan melihatnya pasti akan bersatu, sepertinya cukup mudah menemukan pengecualiannya kalau kita mencarinya,”
Mizusaki menggelengkan telunjuknya sambil tersenyum.
“Yah, memang sih, bilang ‘pasti’ itu mungkin agak berlebihan. Tapi katanya, selama sembilan belas tahun terakhir, setiap tahun ada minimal satu pasangan yang berhasil bersatu. Keren, kan?”
“Cerita mencurigakan begitu, kamu dengar dari siapa?”
“Dari senpai yang bisa dipercaya. Pokoknya, sembilan belas tahun keajaiban itu adalah fakta yang tak terbantahkan.”
“Itu cuma masalah probabilitas. Sakura itu terkenal, dan setiap tahun banyak pasangan yang datang melihatnya. Kalau ada satu pasangan yang berhasil setiap tahun, itu masuk akal. Lagipula, kalau dua orang sudah cukup dekat untuk bersama-sama melihat Sakura dengan legenda seperti itu, tanpa bantuan Sakura pun mungkin saja cinta mereka bisa terwujud.”
“Benar-benar, cowok yang terlalu logis itu nggak akan populer.”
Setelah sedikit mengangkat bahu, Mizusaki tersenyum lebar sambil menatapku.
“Dan ya, soal ‘Insiden besar’ tadi itu masih ada lanjutannya.”
“Benarkah?”
“Benar.”
Mizusaki tampak menarik napas panjang seolah ingin memberikan kesan dramatis.
“Menurut senpai itu, katanya tahun ini belum ada yang melihat tanda hati itu.”
“...Kenapa?”
“Itu dia, aku juga penasaran. Katanya bentuknya sudah berubah, bahkan sudah nggak kelihatan seperti hati lagi.”
“Sayang sekali.”
Membayangkan pasangan yang pergi ke gunung belakang dengan harapan agar cinta mereka terwujud, tapi akhirnya tidak bisa melihat bentuk hati itu — rasanya kasihan. Malahan, pasti mereka merasa perjalanan cinta mereka terhalang.
Dikhianati oleh harapan jauh lebih menyakitkan daripada tidak memiliki harapan sejak awal.
“Yah, melihat langsung lebih baik daripada mendengar seribu kali. Ayo kita lihat saja. Pasti seru.”
“Iya.”
Aku mengikuti Mizusaki yang berjalan penuh semangat.
Kami berjalan menyusuri pagar hingga sampai di belakang semacam gudang olahraga. Di sana, jalannya menjadi lebih luas, bahkan ada kursi plastik yang diletakkan. Mungkin tempat bagi anggota klub olahraga untuk beristirahat. Tampaknya tidak sering digunakan, karena kaleng baja yang berkarat dan bola keras yang tertutup lumpur tergeletak di sudut.
“Seharusnya, kita masuk ke gunung dari sekitar sini,”
Sambil berkata demikian, Mizusaki melihat sekeliling.
Lalu tiba-tiba, dia berbalik menghadapku.
“Ah, astaga.”
Caranya mengatakan itu terdengar agak dibuat-buat.
“Maaf, ternyata hari ini aku ada urusan penting yang nggak bisa ditinggalkan. Sampai besok, ya.”
“Hah?”
“Aku pasti akan menebusnya! Aku akan membelikanmu sekotak tomat ceri, jadi maafkan aku. Sampai jumpa!”
Mizusaki menutup satu mata dan merapatkan kedua tangannya di depan wajah, lalu dengan cepat berlari menjauh. Yang aneh, dia pergi ke arah yang berlawanan dari arah kami datang.
Jika dia ingin segera pulang, seharusnya dia kembali melalui jalan terdekat, yaitu jalur yang baru saja kami lalui. Penasaran, aku menoleh ke belakang — dan segera menyadari alasan mengapa Mizusaki tiba-tiba pergi. Alasan itu juga cukup menjelaskan kenapa dia berlari ke arah yang berbeda.
Alasan itu sedang berjalan sendirian ke arahku dari seberang jalan.
Itu adalah Iwama Rio.
“Eh, Delta-kun, kenapa ada di sini?”
Iwama berhenti di depanku sambil membawa tas sekolahnya. Sepertinya dia sedang dalam perjalanan pulang.
“Sedang ‘diculik’ secara paksa... Oh, ngomong-ngomong nggak perlu memaksakan diri memanggilku Delta.”
“Begitu? Kalau begitu, Izuta-kun.”
Panggilan itu jauh lebih baik. Aku memang tidak terlalu suka dipanggil ‘Delta-kun.’
“Kalau Iwama-san sendiri, kenapa ada di sini?”
“Aku? Sebenarnya, aku mendengar cerita yang cukup menarik dan memutuskan untuk menyelidikinya.”
Entah kenapa, aku merasa firasat buruk. Sangat buruk.
“...Cerita menarik seperti apa?”
“Di belakang gunung ini, katanya ada pohon Sakura terkenal yang jika dilihat bisa membawa kebahagiaan. Hanya saat musim penerimaan siswa baru, pola pelindung dari roh jahat ‘Inome’, akan muncul di pohon itu! Aku penasaran sekali dan akhirnya memutuskan untuk melihatnya sendiri.”
“Begitu toh. Sedikit demi sedikit aku mulai paham situasinya.”
Bahkan tanpa menjadi detektif profesional, aku bisa menyadari bahwa situasi ini tidak tercipta secara kebetulan.
“...Apakah Iwama-san mendengar cerita itu dari Mizusaki, mungkin?”
“Iya! Aku juga tidak terlalu mengerti, tapi dia menceritakan kisah tentang Inome sebagai permintaan maaf.”
Dasar si brengsek…
“Kalau kamu sendiri, Izuta-kun, apa juga mendengar cerita itu dari Mizusaki?”
“…Yah, bisa dibilang begitu. Atau lebih tepatnya, aku dibawanya ke sini.”
Omong-omong, Inome tersebut sebenarnya adalah bentuk hati. Apakah itu legenda tentang cinta yang bersatu atau pelindung dari roh jahat, aku tidak tahu mana yang benar, tapi Mizusaki dengan cerdiknya mengubah ceritanya tergantung pada orang yang dia ajak bicara, dan mempertemukanku dengan Iwama di sini. Benar-benar seperti seorang penipu.
“Eh, tapi, Mizusaki-kun mana?”
“Katanya ada urusan penting, jadi dia pulang.”
Meninggalkanku di sini, tentunya.
“Begitu, ya… Padahal, Mizusaki-kun sepertinya juga tertarik sama pola Inome itu. Sangat di sayangkan.”
Jika hari ini dia tertarik pada sesuatu, mungkin satu-satunya objeknya adalah ingin melihat apa yang akan terjadi jika dia mempertemukanku dengan Iwama. Sambil memikirkan hal itu, aku merasa sedikit janggal dengan pernyataan Iwama.
“... Sangat di sayangkan? Mizusaki, maksudnya?”
“Iya. Karena malam ini katanya ada badai rendah besar yang datang, cuaca diperkirakan bakal buruk banget, kan? Bunganya mungkin akan berguguran semua.”
“Jadi, kalau kita nggak lihat hari ini, mungkin nggak ada kesempatan lagi.”
Sampai di sini, entah kenapa — benar-benar hanya entah kenapa — aku merasa bakal ada perkembangan yang kurang menguntungkan. Yang lebih parah, Mizusaki tampaknya tidak memberi tahu Iwama tentang kisah pohon Sakura yang konon bisa membuat pasangan yang melihatnya bersatu. Iwama mengira pohon Sakura di gunung belakang ini hanya tempat terkenal yang membawa kebahagiaan.
Dan yang lebih buruk lagi, Iwama tahu kalau aku datang ke sini untuk melihat Sakura itu juga.
Dengan situasi ini, bisa dipastikan Iwama akan—
“Kalau begitu, Izuta-kun, bagaimana kalau kita lihat bersama?”
Dengan senyum yang ceria, Iwama bertanya kepadaku ‘lihat kan senyuman manisnya itu ?’
“Ah….”
“Eh, Izuta-kun mau pulang sekarang?”
“Tidak, bukan begitu.”
“Kalau begitu, ayo! Kan seru kalau kita awali kehidupan SMA kita dengan kebahagiaan, kan?”
Awalan yang baik untuk kehidupan SMA, ya...
Sulit untuk menolaknya. Maksudku, aku bahkan tak punya alasan untuk menolak. Membahas cerita tentang ‘cinta yang akan bersatu’ dan bilang ‘mungkin akan canggung jika hanya berdua’ bukanlah sesuatu yang bisa kukatakan begitu saja.
Semuanya berjalan sesuai rencana Mizusaki. Pasti dia membayangkan apa yang akan terjadi jika dia membawa cahaya seterang ini pada seseorang sepertiku, yang biasa berada di bayang-bayang lalu bersemangat di suatu tempat, menunggu hasilnya.
Aku berpikir sejenak.
Kalau begitu... justru ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa tidak ada apa-apa.
Aku bisa menunjukkan padanya bahwa cara hidupku tidak akan tergoyahkan hanya karena ini.
“Yah, baiklah. Karena sudah di sini, mari kita lihat.”
“Ya! Ayo cari Sakura Kebahagiaan!”
Setelah berkata begitu, Iwama dengan penuh semangat memasuki jalan setapak menuju gunung . Meski tidak ada tanda petunjuk, tidak ada jalan lain untuk mendaki gunung. Jadi sepertinya ini jalan yang benar.
Merasa canggung, aku berjalan sedikit di belakang Iwama. Ini adalah hutan yang terang. Di bawah kakiku, terdapat biji pohon ek dari tahun lalu yang berserakan. Hutan di belakang gunung ini terdiri dari pepohonan gugur seperti Quercus acutissima dan Quercus serrata, yang menghasilkan biji ek ini.
Hutan yang di penuhi Pohon-pohon ini disebut hutan gugur karena mereka menjatuhkan daunnya di musim gugur. Daun mereka lebar dan datar, makanya disebut pohon berdaun lebar. Inilah hutan yang banyak ditumbuhi pepohonan seperti itu.
Wilayah ini sebenarnya beriklim hangat untuk hutan pohon berdaun lebar yang selalu hijau sepanjang tahun, manusia sudah sering memasuki hutan ini dan menebang pohonnya, sehingga pohon-pohon gugur yang tumbuh cepat menjadi dominan.
Hutan gugur ini memang terang.
Saat musim dingin ketika semua daun sudah rontok, sinar matahari bisa menembus sampai ke permukaan tanah. Pada musim tunas baru seperti sekarang, dedaunan hijau muda menghiasi cabang-cabang dengan jarang, dan saat melihat ke langit, rasanya seperti menatap kaca patri.
Sakura juga termasuk pohon gugur. Di hutan yang cerah ini, ia bersinar sebagai primadona yang disukai di tempat terbuka.
“Nee, Izuta-kun!”
Iwama berhenti berjalan dan menoleh padaku.
“Banyak bunga Katakuri bermekaran. Jarang sekali ya. Apa di gunung ini memang banyak?”
Tanah masih didominasi warna coklat. Di beberapa tempat, bunga berwarna merah muda keunguan bermekaran dalam gerombolan. Kelopak bunganya yang panjang dan melengkung ke belakang tampak seperti kincir angin kecil yang indah.
“Iya. Katakuri banyak ditemukan di hutan pohon gugur seperti ini,”
Menyebut nama tumbuhan membuat mulutku bergerak tanpa sadar.
Ini pertanda buruk. Aku buru-buru menutup mulut. Aku sangat menyadari bahwa jika sudah mulai berbicara, aku cenderung panjang lebar. Terutama di depan orang yang belum terlalu dekat, aku berusaha untuk menahan diri.
“Oh, kenapa bisa begitu?”
Iwama melihatku dengan penuh rasa ingin tahu.
“Maaf... Kalau diceritakan bisa panjang. Jadi, jangan khawatirkan itu.”
“Eh, aku mau dengar! Ceritakan saja sambil kita berjalan."
Dia malah memintanya secara langsung. Yah, mungkin lebih baik daripada diam saja. Aku memutuskan untuk berbicara sedikit.
"Kau tahu kan tepung Katakuriko? Yang biasa dipakai untuk mengentalkan masakan."
"Iya. Aku jarang pakai untuk masak, tapi aku pernah pakai sekitar tiga kilogram untuk eksperimen dilatansi!"
……….?
Rasanya seperti dia mengatakan sesuatu yang tidak biasa. Apakah ada eksperimen yang membutuhkan tiga kilogram tepung katakuriko? Setidaknya, rasanya tidak seperti bagian dari eksperimen kimia.
“Dilatansi?”
“Oh, maaf, aku mengatakan hal aneh! Jangan dipikirkan.”
Iwama berkata dengan nada sedikit menyesal dan mendorongku untuk melanjutkan. Karena aku juga tidak tahu apa itu dilatansi, aku melanjutkan ceritaku.
“...Tepung katakuriko sekarang kebanyakan dibuat dari kentang, tapi dulunya dibuat dari tanaman Katakuri ini. Mungkin Iwama-san sudah tahu.”
"Ya, pati dari akar Katakuri yang jadi bahan utamanya. Makanya disebut tepung katakuriko."
"Benar. Katakuri adalah tumbuhan yang menyimpan pati sebagai cadangan nutrisi di bagian rimpangnya. Dia menyimpan nutrisi sedikit demi sedikit selama bertahun-tahun, dan sekitar delapan tahun setelah bijinya berkecambah, barulah bunga pertamanya akan mekar."
“Delapan tahun... hidupnya panjang juga ya, padahal bunganya kecil."
"Itulah strategi bertahan hidup Katakuri."
Di lereng yang menghadap ke selatan, di bawah pohon yang masih memiliki tunas baru yang memancarkan cahaya, Katakuri menyerap sinar matahari dan memperlihatkan kemegahan yang sementara.
Mulutku sudah tak bisa berhenti berbicara.
"Sinar matahari bisa langsung mencapai tanah pada saat ini, ketika daun-daun di pohon belum rimbun. Katakuri hanya membuka daunnya untuk melakukan fotosintesis selama dua atau tiga bulan saja, mulai dari saat cuaca mulai hangat hingga tanah menjadi teduh ketika pohon-pohon menumbuhkan daun yang lebat."
“Cuma dua atau tiga bulan? Pantesan saja, aku jarang melihatnya saat musim panas...”
"Benar. Nutrisi yang dihasilkan selama periode fotosintesis itu disimpan di rimpang. Saat pohon-pohon mulai berdaun lebat dan sinar matahari tidak bisa mencapai tanah, Katakuri layu, hanya menyisakan rimpangnya. Dengan cara ini, ia tumbuh perlahan selama bertahun-tahun, itulah sebabnya butuh waktu lama sampai bunganya bisa mekar. Bisa dibilang, ia seperti berhibernasi panjang dari musim panas hingga musim dingin."
"Jadi begitu, makanya Katakuri tumbuh di hutan yang terdiri dari pohon gugur, ya."
Iwama menepukkan tangan seakan sudah mengerti.
"Karena fotosintesis bisa dilakukan hanya saat tanah mendapatkan sinar matahari, yaitu ketika daun-daun pohon gugur. Kalau berada di hutan dengan pohon yang daunnya tetap hijau sepanjang tahun, tanah akan teduh dan Katakuri tidak bisa menyimpan nutrisi."
Cepat sekali ia memahami penjelasanku.
Strategi bertahan hidup Katakuri hanya bisa dilakukan di hutan yang pohonnya menggugurkan daun di musim dingin.
“Benar. Karena hanya muncul sesaat di permukaan tanah saat musim semi, tumbuhan dengan cara hidup seperti Katakuri ini kadang disebut──"
"Spring ephemeral!"
Iwama sudah mengatakan jawabannya duluan, jadi aku terkejut.
"Eh, ternyata Iwama-san sudah tahu."
“Ah, um, sebenarnya aku tidak tahu secara detail... tapi saat membolak-balik buku pelajaran biologi, aku merasa pernah melihat istilah itu. Sepertinya lucu, jadi aku ingat.”
"Daya ingatmu hebat sekali."
Pembagian buku pelajaran baru saja diadakan belum lama ini. Aku sendiri bahkan belum membuka satupun bukunya.
Spring ephemeral—makhluk yang fana di musim semi. Penjelasan arti dalam bahasa Jepang tampaknya tidak diperlukan untuk Iwama.
Di jalur menaiki gunung ini, tangga yang terbuat dari batang kayu kecil terus berlanjut. Aku menyadari bahwa napasku mulai sesak dan menyadari bahwa aku sudah berbicara terlalu banyak. Karena terlalu asyik bicara, aku sampai melupakan pentingnya menghirup oksigen yang diperlukan untuk bergerak. Ternyata, aku juga lupa untuk memperhatikan lawan bicara.
Aku malah jadi terkesan sok tahu, seakan-akan pamer pengetahuan. Dan parahnya, ini kulakukan pada seorang perempuan yang hampir baru pertama kali kukenal. Ia adalah mantan anggota klub sains yang bahkan mengenal istilah-istilah seperti "struktur pengisian kepadatan maksimal" dan "spring ephemeral." Meskipun ia menyebut dirinya tidak serius di bidang sains, tampaknya pengetahuannya cukup luas juga.
Dan pada orang seperti itu, aku──
Iwama tiba-tiba berhenti melangkah.
“…Kenapa berhenti?"
"Maaf, aku jadi seperti sok tahu… padahal sebenarnya aku nggak begitu paham soal ini."
Ekspresinya benar-benar tampak menyesal. Ia sangat menggemaskan, dia malah khawatir soal hal semacam ini.
"Sok tahu itu kalau kamu berpura-pura tahu tentang hal yang kamu nggak tahu. Mengakui istilah yang kamu memang pernah dengar bukanlah sesuatu yang salah."
"Benarkah begitu… tapi aku cuma pernah sekilas baca istilah 'spring ephemeral' di buku pelajaran, dan soal akar Katakuri juga… aku belum pernah melihatnya langsung…"
Kebetulan ada ranting patah di dekatku, jadi aku mengambilnya.
"Kalau begitu, bagian pertama sudah teratasi, dan bagian kedua bisa diselesaikan dengan cara ini."
Aku mengamati tanah di sekitar, lalu menancapkan cabangke tanah lunak di dekat Katakuri. Aku mengulanginya beberapa kali, menggali dan mengangkat Katakuri beserta tanahnya. Dengan hati-hati, aku menyingkirkan tanah hingga muncul sebuah umbi kecil putih yang tampak sedikit menebal di pangkal batangnya.
Iwama menatapku dengan mata terbelalak, melihat proses penggalian Katakuri ini. Meskipun menggali bunga dari tanah agak kasar, karena ini di area sekolah, kuharap mereka memakluminya sebagai aktivitas pembelajaran.
"Inilah umbi Katakuri── yaitu rimpangnya. Sebenarnya, ini bukan akar, tetapi bagian batang tempat nutrisinya disimpan, seperti halnya kentang."
Saat kuperlihatkan, Iwama menerima umbi itu dengan hati-hati, seakan sedang memegang benda kaca yang rapuh, dan mengucapkan "terima kasih." Dia menatap umbi itu dengan saksama, seakan terpesona, sambil menyentuh dan memegangnya dengan lembut.
“Kecil sekali…"
"Pasti membuat tepung katakuriko dulu itu butuh usaha besar."
Aku mengeluarkan kantong plastik dari tas dan membukanya. Katakuriyang dikembalikan oleh Iwama aku masukkan ke dalamnya, lalu aku mengikatnya setelah mengisinya dengan udara. Iwama menonton semua gerakan itu dengan penuh minat.
“Apa yang akan Izuta-kun lakukan dengan itu?”
"Aku akan membawanya pulang, mungkin akan kujadikan spesimen daun kering."
Spesimen daun kering, singkatnya, adalah spesimen tanaman yang dikeringkan seperti bunga kering. Sebenarnya, aku sudah punya spesimen Katakuridi rumah, jadi tidak apa-apa kalau kubuang saja di sini, tetapi rasanya tak enak melakukannya di depan Iwama. Kantong plastik itu kumasukkan kembali ke dalam tas.
Tujuan kami hari ini sebenarnya adalah melihat bunga Sakura. Kami mulai berjalan lagi di jalur pegunungan.
"Izuta-kun dulu di klub kimia, kan? Yang ilmu kimia,kan!”
"…Ya, benar."
“Apakah Izuta-kun juga belajar tentang tumbuhan? Pembicaraan tentang Katakuri tadi, kupikir itu lebih masuk ke bidang biologi daripada kimia... Kamu sangat paham. Spesimen daun kering juga sepertinya bukan sesuatu yang biasa dibuat di klub kimia.”
“Ah... yah, begitulah. Karena berbagai alasan.”
Aku mencoba mengelak dengan cara yang seadanya, dan Iwama tersenyum manis padaku.
"Izuta-kun suka tumbuhan, ya?"
"Bukan sekadar suka… tapi lebih seperti mengaguminya."
"Mengagumi tumbuhan?"
"Iya. Soalnya tumbuhan itu lurus."
Melihat Iwama sedikit memiringkan kepalanya, aku sadar bahwa penjelasanku kurang lengkap.
“Tumbuhan selalu menjalani hidup mereka dengan cara yang lurus dan tanpa ragu, sesuai dengan diri mereka sendiri. Aku mengagumi hal Itu.”
Iwama menatapku dengan wajah terkejut. Namun, segera tersenyum seolah mencoba menutupi perasaan itu.
"…Hidup tanpa keraguan, memang sedikit membuat iri, ya."
"Benar, kan?"
Sudah cukup jauh kami berjalan. Ketika menoleh ke belakang, atap gedung sekolah terlihat jauh di bawah sana.
Iwama tiba-tiba berhenti, dan ketika aku melihat ke depan, aku melihat sepasang pria dan gadis , tampak harmonis, sedang turun sambil bercakap-cakap. Iwama menepi untuk memberi mereka jalan. Aku pun ikut menepi.
"Padahal udah naik jauh-jauh ya, beneran mengecewakan."
"Mau gimana lagi. Musim dingin kemarin anginnya kencang banget, soalnya."
Kedua orang itu tampaknya para senpai di kelas, dilihat dari penampilan mereka yang mencolok dan cara mereka berinteraksi yang tampak seperti pasangan. Saat mereka melewati kami, mereka melirik sebentar, lalu melambaikan tangan sambil tersenyum.
Iwama menundukkan kepala, jadi aku pun membalas dengan anggukan kecil. Itu adalah alasan yang bagus untuk mengalihkan pandangan.
Ketika kami berpapasan dengan pasangan itu, aku khawatir Iwama akan mengira bahwa pohon Sakura yang kami tuju adalah tempat yang romantis, tetapi tampaknya kekhawatiran itu tidak perlu. Iwama melanjutkan berjalan dengan cara yang sama seperti sebelumnya.
Suasana di gunung itu sunyi. Menurut Mizusaki, ini seharusnya menjadi "tempat yang sangat populer," tapi kami hampir tak bertemu siapa pun. Kami sudah naik cukup jauh, dan hanya berpapasan dengan senpai yang berpasangan tadi.
"Ah, itu mungkin di sana!"
Iwama menunjuk ke arah tikungan di depan.
Ketika kami mendekat, terlihat warna merah muda lembut dari bunga Sakura di depan. Di sekelilingnya, terdapat dedaunan hijau muda bagaikan lukisan cat air, namun hanya di tempat itu bunga Sakura mekar dengan cerah seolah-olah dicat dengan cat minyak. Bunga-bunga itu sedang dalam kondisi mekar penuh.
Ketika kami semakin mendekat, terdengar kicauan riang dari para burung.
Jika diperhatikan dengan baik, banyak burung pipit yang bertengger di pohon Sakura. Mereka dengan lugu menggigit bunga dari pangkalnya, hanya menghisap nektarnya, lalu membuang bunganya ke tanah. Dengan cara makan seperti ini, burung pipit tidak membantu penyerbukan dan hal ini disebut sebagai ‘mencuri nektar’. Bagi pohon Sakura, kehadiran mereka tidak membawa manfaat sama sekali.
"Seperti ladang bunga yang hancur berantakan."
"Tapi burung pipit itu imut sekali, kan, jadi bisa dimaafkan."
"Begitukah…?"
Kami berhenti di depan pohon Sakura, entah kenapa. Banyak burung pipit berkumpul di pepohonan sekitar. Iwama memandangnya dengan tatapan penuh kasih.
"Aku rasa burung pipit adalah makhluk yang didesain oleh Tuhan."
Tiba-tiba, dia berkata sesuatu yang terdengar aneh, tapi sepertinya serius.
"Dengan bentuk yang kecil, mata yang bulat, dan terutama bintik hitam di pipi mereka! Pasti, Tuhan berpikir untuk menciptakan makhluk yang luar biasa imut seperti ini."
Saat aku tertegun, Iwama tampak panik dan melambai-lambaikan kedua tangannya di depan dadanya.
“Tentu saja itu hanya bercanda... tapi, sekarang ini kan eranya Neo-Darwinisme."
Sambil berkata begitu, Iwama menghadap ke arah pohon Sakura.
Kecurigaan yang berkecamuk dalam diriku pun berubah menjadi keyakinan. Neo-Darwinisme adalah teori evolusi modern yang memperkuat konsep seleksi alam yang diperkenalkan oleh Darwin, dengan pengetahuan baru yang telah ditemukan.
Jika seorang siswa unggulan mempelajarinya secara mandiri lebih awal, mungkin itu tidak aneh, namun jika membicarakannya dengan begitu lancar dalam percakapan sehari-hari, ceritanya menjadi berbeda. Tampaknya dia bukan siswa unggulan biasa.
Iwama bukan sekadar seseorang yang menikmati belajar—tidak diragukan lagi, dia adalah seorang yang benar-benar serius.
Dua pohon besar Sakura berdiri berdekatan di sisi lembah lereng gunung, seolah saling bersandar. Jalur pendakian mendekati pohon Sakura hingga jarak tertentu, kemudian berbelok untuk mengitari dengan menjaga jarak. Bentuk Inome yang menyerupai hati belum terlihat. Kami melanjutkan perjalanan lebih jauh di jalur tersebut.
Namun, tak lama setelah berbelok, jalan itu berakhir di jalan buntu.
"Wah, ini masalah…"
Ada pohon tumbang raksasa. Sebuah pohon Konara besar yang dekat dengan Sakura telah patah dari akarnya dan tergeletak melintang menutupi jalan. Melihat kondisi tanah di sekitar akarnya, tampaknya pohon itu baru saja tumbang. Angin musim dingin tahun ini memang kuat. Pohon itu pasti tumbang selama musim dingin. Di batang pohon tumbang itu, terdapat pita hitam dan kuning yang melilitnya berkali-kali.
(Tln : Konara termasuk pohon dari genus quercus ( pohon ek ))
Kami berhenti. Sepertinya kami tidak bisa melanjutkan perjalanan tanpa melewati halangan ini. Meskipun tampaknya bisa dipanjat, pita yang melilitnya menunjukkan bahwa area tersebut mungkin dilarang untuk dimasuki.
“Jalan buntu, ya.”
“Tapi lihat! Sepertinya kita bisa melihat Sakura dari sana.”
Iwama menunjuk ke sisi jalur pendakian. Di sana, sebuah panggung kayu yang cukup untuk dua orang berdiri berdampingan dipasang mengarah ke pohon Sakura. Menariknya, panggung itu berbentuk hati.
Di panggung itu ada papan petunjuk yang mungkin sudah lama dipasang. Namun, permukaannya sudah tertutupi lumut abu-abu, sehingga tulisannya hampir tidak bisa terbaca.
Dengan menggunakan cabang yang jatuh di dekatnya, aku mengikis lumut tersebut hingga tulisannya bisa terbaca.
Tertulis di sana — “Tempat untuk melihat bunga Sakura.” Di bawahnya terdapat penjelasan:
“Sayangilah tumbuhan! Jangan keluar dari jalur pendakian, dan lihatlah Sakura dari panggung ini. ♡
Angkatan Lulusan Tahun 2004”
Tampaknya ini adalah proyek kelulusan. Jika dilihat dari cara pembuatannya, memang tampak kasar. Mungkin siswa kelas tiga SMA dua puluh tahun yang lalu yang memotong dan menyusunnya. Bahan yang digunakan tampaknya dari kayu berdaun lebar, terlihat dari serat kayunya, dan meskipun sudah lama, kondisinya tetap baik. Kemungkinan kayu itu dari pohon Kastanye. Kayu yang keras dan kaya akan tanin ini tahan terhadap pembusukan di tempat lembap dan sering digunakan sebagai pondasi bangunan atau bantalan rel kereta api.
Iwama membaca penjelasan di panggung pengamatan Sakura, mungkin setelah melihat simbol hati di akhir kalimat, lalu naik ke atas panggung untuk melihat Sakura.
“Indah sekali! Dari sini, memang Sakura terlihat paling jelas.”
Sementara Iwama tampak terkesan, aku tetap berdiri di jalur pendakian tanpa bergerak.
“lho? Izuta-kun, ayo naik juga! Memang agak sedikit tua, tapi cukup kokoh, kok!”
Iwama mengajakku dengan nada polos, tetapi bukan itu yang membuatku ragu.
Panggung berbentuk hati ini jelas dibuat untuk pasangan.
“Ada apa?”
Tanyanya sambil memiringkan kepala. Tidak mungkin aku bisa bilang, “Yah, rasanya agak malu naik ke atas panggung hati ini berdua dengan seorang gadis,” jadi aku berpura-pura tidak peduli dan berdiri di samping Iwama.
Pembuat panggung ini pasti pintar. Ukurannya pas, terlihat cukup luas untuk dua orang, tapi saat kami berdiri bersama, terasa agak sempit, hingga bahu kami hampir saling bersentuhan jika salah satu dari kami bergerak sedikit saja.
Aku berusaha tidak memikirkan hal itu dan fokus memandang Sakura.
Panggung ini sengaja ditempatkan sedekat mungkin ke pohon Sakura, namun tidak terlalu dekat atau terlalu jauh, sehingga dua pohon Sakura yang sedang mekar penuh memenuhi pandangan kami.
Tanpa sadar, napasku terhenti.
Rasanya seolah seluruh dunia berubah menjadi musim semi.
“Memang… ini sangat indah,”
Kelopak bunga berwarna merah muda yang lebih pekat dibandingkan Somei Yoshino melayang tertiup angin, lalu jatuh perlahan di sekitar kami. Burung-burung pipit yang sedang mencuri nektar ramai-ramai menjatuhkan bunga satu per satu.
(Tln : Somei-Yoshino' atau ceri Yoshino, adalah salah satu kultivar ceri yang paling populer dan banyak ditanam di daerah beriklim sedang, sejenis dengan Sakura namun sudah mengalami berbagai perubahan pencangkokan serta kloningan .)
Tanah di sekitarnya tidak hanya tutupi oleh kelopak bunga Sakura, tapi juga bunga Katakuri. Panggung bunga Sakura di luar jalur pegunungan mungkin juga berfungsi untuk melindungi Katakuri agar tidak diinjak oleh para pengunjung.
Di gunung belakang yang warnanya belum terlalu hijau, tempat ini mungkin adalah yang paling berwarna-warni.
"Hmmm..."
Namun, Iwama tampak seperti belum puas.
"...Hei, mana yang disebut Inome? Seharusnya ada pola yang bisa membawa kebahagiaan, bukan?"
“Oh iya, ada cerita seperti itu.”
Aku berkata sambil berpura-pura tidak tertarik.
"Inome itu pola seperti apa, Izuta-kun tahu?"
"Uh, tidak, gimana ya..."
Aku berharap percakapan ini bisa berakhir dengan samar-samar, tapi ternyata tidak. Iwama malah mengeluarkan ponselnya dan mulai mencari tahu.
"…Sudah ketemu?"
Saat kutanya, Iwama menatap layar ponselnya sejenak lalu mengangguk.
"Iya, Inome itu ditulis dengan huruf kanji ‘çȘ, dan ternyata pola berbentuk seperti hati."
"Ah, jadi begitu. Makanya panggung untuk melihat Sakura juga berbentuk seperti hati, ya."
“Begitu ya, mungkin memang begitu!"
Aktingku tidak terlalu bagus, tapi Iwama yang polos tampaknya tidak meragukan kepura-puraanku yang seolah-olah tidak tahu apa-apa.
Iwama mengalihkan pandangannya dari layar ponsel kembali ke arah bunga Sakura.
"Tapi aneh ya, aku tidak melihat bentuk yang mirip Inome... mungkin celah besar di antara dua pohon itu adalah Inome?"
Dua pohon Sakura yang dikenal sebagai ‘Pasangan Sakura’ mekar sepenuhnya, menutupi pandangan dengan warna merah muda. Di antara kedua pohon tersebut, terdapat sebuah celah besar yang memperlihatkan langit biru. Namun, celah itu berbentuk segitiga terbalik yang tidak beraturan. Tidak peduli bagaimana aku mencoba menafsirkannya, itu tidak terlihat seperti hati — apalagi disebut Inome.
"Menyebut ini sebagai Inome sepertinya agak sulit."
"Iya, benar..."
Suaranya terdengar lebih murung daripada yang aku duga, dan aku pun menoleh untuk melihat Iwama.
Mungkin ini hanya lelucon dari pohon Sakura, tetapi wajah Iwama tampak sedikit murung.
Oh, begitu.
Berbeda denganku yang sama sekali tidak menaruh harapan, ternyata Iwama sangat menantikan Inome yang bisa membawa kebahagiaan itu.
── “Aku ingin memulai masa SMA ini dengan penuh kebahagiaan !”
Aku teringat kata-kata Iwama sebelum kami mendaki gunung. Siswa teladan yang polos ini mendengar rumor menarik, dan meskipun itu hanyalah cerita sekelas legenda keberuntungan, ia mendaki gunung belakang untuk mencari kebahagiaan.
Namun, kebahagiaan seperti itu tidak ada.
Mizusaki pernah mengatakan, baik Inome maupun bentuk hati, tidak ada seorang pun yang berhasil melihatnya tahun ini. Mungkin pola itu sudah hilang.
Dia telah melakukan kesalahan besar. Demi menggodaku, dia sengaja melibatkan Iwama, membuatnya mengejar kebahagiaan yang tak bisa ia raih.
Dikhianati oleh harapan jauh lebih menyakitkan daripada tidak memiliki harapan sejak awal.
Aku berusaha mencari kata-kata untuk menghiburnya.
"Musim dingin ini anginnya sangat kencang. Mungkin ranting-rantingnya patah, jadi hatinya—maksudku, pola Inome itu—juga rusak. Lihat saja, ada pohon tumbang di sana."
Aku menunjuk ke arah pohon yang tumbang di jalan di depan kami.
"Tapi... pohon tumbang itu tidak mengenai pohon Sakura, kan?"
Benar seperti yang dikatakan Iwama, pohon tumbang itu tidak berada di posisi yang akan menabrak kedua pohon Sakura.
"Mungkin cabang-cabang Sakura itu patah karena angin. Itu adalah hal yang tidak bisa dihindari."
Namun, Iwama masih meletakkan tangannya di dagu, menatap pohon Sakura dengan tatapan yang serius.
"Benarkah begitu? Kita tidak tahu pasti. Lagi pula, belum ada bukti bahwa cabang-cabangnya patah."
"Ah, iya..."
Aku tanpa sadar mengeluarkan suara bingung.
Ada sesuatu yang aneh. Tatapan Iwama lebih serius dari sebelumnya, seolah-olah ada sesuatu yang ingin ia temukan.
Bukan lagi ekspresi gadis ceria yang datang untuk melihat "Sakura kebahagiaan" di pegunungan belakang, melainkan ekspresi seorang peneliti yang sangat kukenal.
"…Ah! Maaf!"
Tiba-tiba, Iwama kembali menunjukkan wajah aslinya dan menoleh ke arahku.
"Lupakan saja! Aku punya kebiasaan buruk, kalau ada sesuatu yang tidak kupahami, aku langsung jadi serius... Lagipula, kalau cuaca memburuk, kita harus segera pulang!"
Senyumnya cerah, tetapi aku menyadari bahwa itu berbeda dari “lihat senyuman manisnya itu” yang biasa. Setidaknya saat ini, dia tidak benar-benar tersenyum dari hati.
Cuaca masih tampak baik. Meskipun aku tidak bisa membantunya meraih kebahagiaan, menemani sampai dia merasa puas bukanlah hal yang buruk.
“Tidak, mungkin kita bisa menyelidiki apa yang bisa kita selidiki di sini sebelum pulang. Lagipula, aku tidak ada urusan lain setelah ini. Menurut Mizusaki, selama sembilan belas tahun hingga tahun lalu, pola Inome pada Sakura masih terlihat. Jika tahun ini tiba-tiba menghilang, pasti ada alasannya.”
Ada jeda singkat, seolah dia sedang mencoba memahami niatku.
“...Maukah Izuta-kun menyelidikinya bersamaku?”
"Iya. Jika berkaitan dengan tumbuhan, mungkin aku bisa sedikit membantu."
"Benarkah...?"
Iwama memastikan lagi dengan nada penuh keraguan. Yah, kalau hanya memeriksa apakah cabang-cabang itu patah atau tidak, seharusnya tidak memakan banyak waktu. Aku pun mengangguk.
Wajah Iwama kembali berseri-seri dengan senyuman cerianya.
"Terima kasih! Kalau begitu, ayo kita selidiki... secara ilmiah!"
Aku sedikit bingung dengan kata-kata yang tiba-tiba keluar itu.
"Secara ilmiah?"
"Iya. Kenapa pola Inome yang seharusnya terlihat selama ini, tiba-tiba menghilang tahun ini — aku ingin mencari tahu alasannya dengan pendekatan ilmiah."
Menyebut "ilmiah" untuk memecahkan misteri kecil di sekitar kami terasa agak berlebihan.
Namun, perubahan Iwama begitu drastis hingga bisa dikatakan dia sudah berubah total.
Ada semacam semangat yang terpancar, seolah-olah dia hanya bisa melihat ke depan dan tidak mempedulikan hal lain. Jelas, semangat ini tidak bisa dibatasi hanya sebagai siswa teladan biasa.
Orang yang menarik, pikirku.
Dari percakapan kami sejauh ini, tampak jelas bahwa Iwama sangat menyukai sains. Sebagai seseorang yang juga memiliki minat di bidang sains, mungkin tidak ada salahnya untuk ikut terlibat dalam pencariannya.
"Baiklah. Pertama-tama, mari kita periksa apakah ada cabang yang patah. Dari sini tidak terlalu terlihat jelas. Bagaimana kalau kita mendekat ke pohon Sakura?"
"Setuju! ...Tapi, kita harus berhati-hati agar tidak menginjak bunganya."
Aku melihat ke tanah seperti yang dikatakan Iwama. Di sepanjang jalur pendakian, bunga Katakuri mekar dengan lebat. Karena tempat ini mendapatkan banyak sinar matahari, keluar dari jalur berarti kita pasti akan menginjak bunga-bunga Katakuri yang tumbuh rapat tersebut.
“Apakah ada jalan yang bisa membawa kita lebih dekat ke pohon Sakura tanpa menginjak bunga-bunga?"
Sambil berkata begitu, Iwama segera mulai memeriksa sekeliling. Jalur pendakian memutar mengelilingi kedua pohon Sakura dengan menjaga jarak tertentu. Dari yang bisa kulihat, hampir seluruh permukaan tanah dipenuhi oleh bunga Katakuri .
"Ah, Izuta-kun! Mungkin kita bisa lewat di seberang pohon tumbang ini,"
Aku melihat ke sisi lain pohon tumbang yang ditunjukkan oleh Iwama. Memang ada bagian yang sama sekali tidak ditumbuhi bunga Katakuri, dan sepertinya kita bisa mendekati pohon Sakura tanpa menginjak bunga-bunga jika melewati sana.
“Tapi, ada pita larangan masuk di pohon tumbang ini—“
"Tidak ada tulisan 'Dilarang Masuk', kok. Cuma pita bergaris kuning dan hitam!"
Pernyataan berbahaya itu membuatku terkejut. Tampaknya semangat penjelajahan Iwama memang luar biasa. Namun, aku juga mungkin akan menggunakan alasan yang sama jika bukan Iwama yang mengatakannya.
"…Apa itu tidak berbahaya?"
"Tenang saja! Izuta-kun, tolong pegang ini sebentar, ya?"
Tanpa ragu, Iwama menyerahkan tas sekolahnya kepadaku, lalu dengan wajah tanpa keraguan sedikit pun, ia meletakkan tangannya di atas pohon tumbang, bersiap untuk memanjatnya.
Dengan cekatan, Iwama menggerakkan tubuhnya, menghindari cabang-cabang sambil menapakkan kakinya pada batang pohon tumbang.
"Tunggu, itu berbahaya."
Iwama menghentikan gerakannya dan menoleh dengan ekspresi bingung.
"Eh? Tapi, sepertinya cabangnya cukup kuat..."
"Bukan itu maksudku... maksudku..."
Sulit untuk mengatakannya, dan aku terdiam sejenak. Namun, karena sudah terlanjur mengatakan sesuatu, aku tidak bisa membiarkannya begitu saja.
"…Lihat, rokmu itu."
Aku mundur selangkah, mengalihkan pandangan, dan memberi isyarat. Jika Iwama melangkah satu langkah lagi, pasti hal itu akan terlihat ke dalam pandanganku.
"Ah…"
Iwama buru-buru kembali turun dari pohon tumbang.
"Maaf ya! Aku terlalu fokus sampai tidak menyadarinya. Ah, aku sempat bimbang tadi, seharusnya aku pakai celana panjang saja."
Yah, sebenarnya masalah ini bisa diatasi kalau saja aku membalikkan badan. Tapi, sepertinya sebagai seorang perempuan, Iwama perlu menjaga martabatnya. Akhirnya, dia memutuskan untuk tidak memanjat pohon tumbang tersebut. Setelah menerima kembali tas sekolahnya dariku, Iwama membuka resleting tasnya dengan wajahnya yang memerah.
"Ngomong-ngomong, aku ingat kalau aku membawa teropong. Mungkin ini bisa berguna."
Yang ia keluarkan adalah teropong lipat kecil dan portabel. Persiapannya benar-benar sangat matang.
“Kenapa sampai bawa-bawa teropong segala?"
"Yah, tahu kan, kadang-kadang dalam perjalanan ke sekolah, ada saat-saat ketika ingin melihat burung-burung kan?."
"…Benarkah?"
Mungkin karena kejadian soal rok tadi, Iwama terlihat agak canggung.
“Begini, ini hadiah dari ayahku untuk perayaan masuk sekolah.”
katanya sambil memperlihatkan teropong dengan bodi berwarna hijau tua yang indah. Itu adalah teropong merek Swarovski. Aku tidak tahu apakah Iwama sendiri menyadari atau tidak, tapi benda itu adalah barang yang cukup mahal.
Berbagai pertanyaan melintas di benakku: Ayah macam apa yang akan memberikan hadiah seperti ini? Bolehkah membawa barang seperti itu ke sekolah? Apakah dia benar-benar melakukan pengamatan burung dalam perjalanan ke sekolah? Namun, rasanya lebih baik aku mengabaikan hal-hal kecil seperti itu dan fokus pada masalah yang ada sekarang.
“Dengan pembesaran sepuluh kali, kita mungkin bisa melihat kondisi cabang-cabang Sakura dari sini.”
“Ya, mari kita coba.”
Iwama melihat melalui teropong dan dengan terampil menyesuaikan fokusnya.
“U-uh, mari kita lihat...hmm apa ya? Hmm..”
Setelah mencari-cari selama beberapa waktu, Iwama menurunkan teropongnya dan menyerahkannya padaku.
"Aku tidak bisa melihat ada cabang yang patah. Coba kamu lihat, Izuta-kun."
"…Tidak, aku tidak perlu."
Entah kenapa, rasanya agak canggung untuk melihat melalui teropong yang baru saja dipakai oleh teman sekelas perempuan.
“Kalau Izuta-kun juga melihat, kemungkinan terlewat lebih kecil. Ayo, coba saja!”
Sepertinya dia ingin memeriksa dengan sangat teliti. Lagipula, aku tak punya alasan kuat untuk menolak, jadi aku pun menerima teropong itu. Aku menaikkan kacamataku ke dahi, lalu mulai melihat melalui lensa.
“...Hebat sekali. Dengan ukuran sekecil ini bisa memberikan tampilan yang begitu jelas.”
Bukan bermaksud menyembunyikan rasa malu, tapi kesanku pertama-tama langsung tertuju pada kualitas teropongnya.
“Benar kan? Meski kecil, lensanya terang banget, jadi meskipun di dalam hutan pun kelihatan dengan jelas.”
Pembicaraan kami sedikit menyimpang dari tujuan awal. Aku kembali fokus mengamati cabang-cabang pohon Sakura di mana burung-burung Pipit sedang bermain. Memang benar, tidak ada tanda-tanda kerusakan besar pada cabang-cabang itu.
“Kamu benar, Iwama-san. Sepertinya cabangnya tidak patah.”
“Kalau begitu, kenapa pola Inome itu tidak terlihat lagi? Apa mungkin karena cabangnya tumbuh terlalu panjang tahun ini?”
Aku berpikir sejenak. Rasanya kemungkinan itu cukup kecil.
“Kurasa bukan itu masalahnya. Sakura itu berbunga di cabang yang tumbuh pada tahun sebelumnya. Semua bagian yang berbunga itu tidak terlalu panjang. Untuk pohon sebesar ini, hampir tidak mungkin cabang-cabangnya tiba-tiba memanjang begitu saja sehingga bentuk keseluruhan pohon berubah. Bahkan jika ada pertumbuhan, tidak mungkin itu sampai mengubah bentuk Inome secara drastis.”
“Wahh... sampai hal seperti itu pun Izuta-kun bisa tahu!”
Mungkin penjelasanku tadi terdengar agak terlalu mendetail.
Aku mengucapkan terima kasih singkat lalu mengembalikan teropong itu kepada Iwama. Dia langsung kembali mengintip ke arah pohon Sakura dengan teropongnya. Sambil memasang kembali kacamataku, aku merasa sedikit geli di sekitar mataku, entah kenapa, seperti rasa gatal yang bukan disebabkan oleh serbuk sari pohon Cedar di sekitar mata
“Hmm… jadi cabangnya tidak patah, dan juga tidak tumbuh terlalu panjang…”
Iwama bergumam sambil menurunkan teropong.
“Kalau begitu, kenapa pola Inome itu tidak terlihat lagi?”
Kenapa bentuk yang seharusnya di kelilingi oleh kelopak bunga berubah?.
Sambil memikirkan hal ini, aku mandi di bawah hujan bunga Sakura yang tertiup angin dan ditemani kicauan burung pipit.
Lalu —
“Mungkin… aku tahu jawabannya.”
Begitu mendengarku, Iwama berbalik dengan semangat yang menggebu-gebu.
“Alasan kenapa Inome tidak terlihat lagi?”
“Ya. Dan juga, bagaimana caranya agar bentuk hati itu bisa terlihat jelas lagi. Jika aku boleh meminjam kata-katamu, aku bisa menjelaskannya dengan cukup ilmiah.”
“Hati?”
“Maaf, maksudku Inome. Bukan hati.”
Itu adalah poin yang penting.
“Jadi, kenapa bisa begitu?”
Saat Iwama bertanya dengan penuh rasa ingin tahu, aku tidak menunjuk ke langit yang dipenuhi kelopak bunga, melainkan ke tanah di bawah kami.
“Petunjuknya bukan bunga Sakura. Itu ada pada bunga Katakuri,"
Dengan cara bicaraku yang tidak langsung, Iwama terkejut dan melebarkan matanya.
"Eh? Maksudnya apa?"
"Cabang Sakura tidak patah dan tidak tumbuh lebih besar. Jika bentuk pohon Sakura tidak berubah, maka yang berubah adalah sesuatu yang lain."
Iwama tampaknya belum menyadarinya. Aku melanjutkan.
"Itu adalah sisi dari mana kita melihat Sakura.”
Sejenak hening.
"...Eh, jadi maksudnya, posisi melihatnya yang berbeda?"
"Benar. Tidak ada penjelasan lain. Jika posisi berdiri berbeda, maka bentuk yang terlihat juga akan berbeda."
"Tapi, kalau begitu, panggung pengamatan Sakura ini..."
"Mulai tahun ini, posisi panggung pengamatan Sakura ini telah berubah. Dan yang menunjukkan posisi yang benar adalah—"
Aku menunjuk bunga Katakuri yang mekar di sekitar panggung pengamatan Sakura itu.
"Katakuri."
Iwama tampaknya belum menyadarinya. Aku melanjutkan.
"Katakuri adalah bunga yang muncul di musim semi. Untuk mekar, mereka perlu menyimpan nutrisi dengan melakukan fotosintesis hanya di awal musim semi selama sekitar delapan tahun. Tapi, bagaimana jika ada panggung pengamatan Sakura?"
Iwama tampaknya menyadari sesuatu, dan pipinya sedikit memerah.
“Kalau ada panggung, cahaya matahari tidak bisa mencapai mereka dan tidak bisa melakukan fotosintesis!"
"Benar. Pola Inome yang di bentuk oleh pohon Sakura telah terlihat selama sembilan belas tahun hingga tahun lalu. Panggung pengamatan Sakura berada di posisi yang benar untuk waktu yang lama. Artinya, di posisi yang benar tempat panggung itu berada, Katakuri tidak bisa mekar tahun ini."
"Luar biasa, ilmiah sekali!"
Sepertinya Iwama sangat menyukai kata "ilmiah."
"Di sekitar sini, di mana bunga Katakuri mekar di mana-mana, hanya ada satu tempat di mana bunga Katakuri tidak mekar. Berdiri di sana, kita bisa menguji hipotesis ini."
"Di seberang pohon tumbang...!"
Iwama tidak sabar dan mulai bergerak. Aku mengikutinya. Melihat ke seberang pohon tumbang, ada area di samping jalur pendakian di mana tidak ada bunga Katakuri yang berwarna merah muda.
Iwama berusaha melewati pohon tumbang itu untuk mendekati pohon Sakura dari area tanpa bunga.
Kemungkinan besar tempat ini adalah posisi asli dari panggung pengamatan Sakura. Dengan kata lain, jika aku tidak menahannya, Iwama mungkin sudah menemukan pola Inome.
Dengan niat untuk menanggung tanggung jawab, aku memanjat pohon tumbang itu lebih dulu.
Kemudian aku mengulurkan tangan kepada Iwama.
"Dengan cara ini, Iwama-san tidak perlu khawatir tentang rok, kan?”
“Terima kasih!"
Iwama menggenggam tanganku tanpa ragu. Sentuhan tangannya membuat lenganku sejenak menegang.
Kami berdua melewati pohon tumbang itu dan segera melepaskan tangan.
Iwama segera berdiri di area yang dipotong oleh merah muda dan memandang Sakura.
"Hei, Izuta-kun, luar biasa! Pola Inome yang indah!"
Aku berdiri di samping Iwama dan memandang ke arah yang dia tunjuk.
Sekejap itu juga, aku langsung terpesona.
Dua pohon Sakura berdiri berdampingan seperti pasangan, saling menyandarkan cabang yang dihiasi bunga merah muda.
Di tengah wilayah yang di kelilingi mereka, ada langit biru tanpa awan. Sakura membentuk pola hati yang luar biasa.
"Ternyata benar, di sinilah posisi yang benar,"
Kata Iwama pelan. Aku mengangguk.
"Mungkin ada seseorang yang tidak berpikir jauh dan memindahkan panggung pengamatan Sakura karena ada pohon tumbang yang berbahaya."
Pasti dilakukan untuk mempertimbangkan keselamatan para siswa yang datang melihat Sakura. Panggung itu dipindahkan ke depan pohon tumbang selama musim dingin agar mereka tidak perlu memanjatnya. Namun, ketika musim semi tiba, posisi yang sedikit berubah itu membuat pola Inome Sakura tidak lagi terlihat.
Iwama menyatukan kedua tangannya di depan dada, matanya tampak berkaca-kaca.
“Luar biasa! Sampai-sampai memperhatikan Katakuri, itu semua berkat kamu, Izuta-kun!"
Iwama membentuk tinju dengan tangan kanannya dan mengulurkannya ke arahku. Aku juga menggenggam tangan kananku dan dengan lembut menabrakkan tinju kami.
"Ini juga berkat Iwama-san. Jika sendirian, aku mungkin tidak akan berpikir untuk memanjat pohon tumbang itu. Dan aku mungkin juga tidak akan memeriksa apakah cabangnya patah atau tidak."
"Ya! Kalau begitu, ini berkat kita berdua."
Iwama berkata sambil tersenyum, lalu berbalik menghadap Sakura dan menyatukan tangannya. Seperti sedang berdoa, dia memejamkan mata. Tampaknya dia sedang membuat permohonan.
Sambil menatap Sakura, aku berharap agar kehidupan SMA gadis yang jujur ini di mulai dengan awal yang baik serta kebahagiaan.
"Terima kasih sudah menemaniku."
Iwama sekali lagi berterima kasih kepadaku, dan aku bingung bagaimana harus merespons.
"Tidak, tidak apa-apa... Aku juga menikmatinya. Jika dipikir-pikir, bisa memecahkan misteri seperti ini sungguh menyenangkan."
"Kemenangan sains, ya!"
Meskipun terdengar agak berlebihan, mungkin itu tidak sepenuhnya salah.
Ketika ada tugas atau pertanyaan, pertama-tama amati objeknya, gunakan semua pengetahuan yang telah dipelajari untuk mempersempit kemungkinan secara objektif. Dari situ, buat hipotesis dan uji. Meskipun berbeda dalam skala atau jangka waktu, pencarian pola Inome kali ini bisa dibilang juga merupakan kegiatan ilmiah hingga batas tertentu.
“Ungkapan yang khas dari mantan anggota klub sains."
Angin sepoi-sepoi bertiup, dan kelopak bunga Sakura bertebaran mengelilingi kami. Iwama berkata dengan riang.
"Aku sangat menyukai sains. Dengan menggunakan pengetahuan yang dikumpulkan oleh orang-orang di seluruh dunia, kita bisa menghadapi misteri di sekitar kita. Berdiri di atas bahu raksasa dan melihat kota tempat kita tinggal. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari itu, kan?"
Aku merenungkan kata-kata Iwama. Melihat kota dari bahu raksasa—sungguh menarik.
Memang benar, SMA Tsunagai ini luar biasa. Aku tidak menyangka akan bertemu dengan teman sekelas yang memiliki pemikiran unik seperti ini.
Merasa beruntung bisa bertemu dengan seseorang seperti itu di awal masa sekolah, hatiku berdegup kencang dengan sendirinya.
“...Itu perspektif yang belum pernah kupikirkan.”
“Begitu? Izuta-kun juga terlihat menyukai sains.”
"Memang, penelitian itu menyenangkan. Tapi itu karena membuatku merasa bisa berkontribusi untuk umat manusia dengan kemampuanku sendiri. Aku berpikir bahwa sains adalah usaha untuk memperluas kemungkinan manusia—atau setidaknya dulu berpikir begitu."
Setelah menghirup udara musim semi dengan perlahan, aku menambahkan.
"Tapi memang, melihat sekeliling dari bahu raksasa tidaklah buruk. Kita bisa melihat pemandangan yang indah seperti ini."
Iwama mengangguk dengan senang.
“Dengan sedikit mengubah cara pandang, dunia bisa menjadi begitu indah, ya.”
Sungguh Pernyataan yang sangat khas dari seorang siswa teladan. Bahkan jika dipaksa, kata-kata seperti itu mungkin tidak akan keluar dari mulutku.
Tindakan yang aku ambil setelah itu bisa dibilang spontan, atau mungkin semacam kecelakaan. Dalam suasana ceria musim semi, aku terbawa suasana.
"Kalau kamu mau, bagaimana kalau kamu bawa ini pulang, Iwama-san?"
Aku mengeluarkan Katakuri yang terbungkus dalam kantong plastik dari tas. Sambil menyesal bahwa seharusnya aku menggunakan kantong yang lebih baik jika ingin melakukan hal seperti ini.
"Eh, boleh?"
"Sebenarnya, aku sudah punya spesimen Katakuri. Kalau Iwama-san tertarik, bagaimana kalau mencoba membuat spesimen daun kering? Bisa dibuat dengan bahan sederhana seperti koran atau karton."
Biasanya, aku bukan orang yang akan mengusulkan hal seperti ini kepada gadis yang baru aku kenal. Namun, bertemu dengan seseorang seperti Iwama, yang sefrekuensi dan bisa dibilang sebagai teman seperjuangan, sangat jarang terjadi. Mungkin aku sedikit terbawa suasana.
Katakuri dengan tanah yang masih menempel dan kantong plastik yang kusut. Sebuah hadiah yang terlalu sederhana untuk diberikan pada seorang gadis, tetapi Iwama menerimanya dengan senang hati.
"Akan kucoba buat, terima kasih!"
Setelah melihat pola hati—bukan, tapi Inome—kami memutuskan untuk turun gunung.
Sebelum meninggalkan lokasi asli panggung pengamatan Sakura, Iwama tampak teringat sesuatu dan mengeluarkan ponselnya. Dia mengaktifkan kamera dan mengarahkannya ke Sakura.
Beberapa kali terdengar suara jepretan kamera. Namun, sambil tetap memegang ponselnya, Iwama tampak memikirkan sesuatu.
"…Ada apa?"
Saat aku bertanya, Iwama menghela napas sambil berpikir keras.
“Ini memang Indah, tapi kalau seperti ini, dari foto saja tidak bisa diketahui kalau ini diambil tahun ini.”
Memang benar, foto dari tahun-tahun sebelumnya mungkin banyak beredar. Aku bisa memahami keinginannya untuk menjaga keunikan dari penemuan tahun ini.
"Bagaimana kalau kita memotret koran pagi ini juga?"
Aku bercanda, dan Iwama menatapku dengan cukup serius.
"Eh, Izuta-kun bawa koran?"
"Tidak, tidak bawa. Itu hanya bercanda. Maaf."
"Izuta-kun tidak perlu minta maaf sebanyak itu... Kita bisa menampilkan kalender hari ini di ponsel Izuta-kun dan memotretnya, tapi rasanya seperti penculik, ya, dan mungkin merusak suasananya."
Benar juga.
"Bagaimana kalau selfie saja? Atau aku bisa memotretmu dengan latar belakang Inome Sakura itu “
Aku pikir itu ide yang bagus, tapi Iwama sedikit cemberut dan menggelengkan kepala.
"Wajahku tidak... tidak perlu sampai difoto seperti itu."
Aku menahan diri untuk tidak mengatakan sesuatu seperti "jangan merendahkan diri" yang sudah hampir keluar dari mulutku.
Seperti yang Mizusaki katakan, penampilan Iwama memang luar biasa, tetapi terlepas dari itu, keinginan untuk mengambil foto tanpa dirinya di dalamnya adalah sesuatu yang aku juga bisa pahami.
Setelah berpikir sejenak, Iwama mengulurkan tangannya yang kosong ke depan kamera ponselnya.
"Apa yang sedang kamu lakukan?"
"Aku berpikir untuk memotret tanganku."
Tampaknya dia memiliki keinginan kuat untuk menyertakan sesuatu dalam foto. Namun, memang benar, jika foto itu menyertakan tangan Iwama, maka itu bukan sekadar foto pemandangan, melainkan sesuatu yang unik.
Secara logis, aku bisa memahaminya.
Setelah mencoba membuat tanda peace dan acungan jempol, Iwama tampaknya masih belum puas.
“Ada apa?”
"Entah kenapa, tidak ada yang cocok... Sepertinya tidak sesuai dengan pola inome yang berbentuk hati itu."
Karena aku tidak memiliki selera estetika yang disebut "instagenic (menghasilkan foto bagus,)," aku tidak yakin bisa membantu Iwama. Jadi aku memberikan saran seadanya.
"Karena latar belakangnya adalah pola Inome hati, bagaimana kalau membuatnya juga dengan tanganmu? Seperti membuat bentuk hati."
"Ide bagus !"
Kata Iwama, lalu dia membentuk setengah hati dengan satu tangan. Kemudian, dia melihatku dengan penuh harap.
“.........?”
Aku merasa bingung.
"Karena satu tanganku sudah terpakai, Izuta-kun, tolong bantu!"
Aku tidak mengerti logika ini.
"Bukankah ada cara membuat hati dengan ibu jari dan jari telunjuk? Biasanya dilakukan oleh para gadis ."
"Itu adalah finger heart! Ini adalah pola Inome, jadi sedikit berbeda."
"Begitu ya...?"
Memang benar, finger heart disebut jari hati karena terlihat seperti hati. Meskipun bentuknya sama, konsep hati tidak bisa diterapkan pada pola Inome. Di sisi lain, jika ingin membuat pola hati seperti Inome dengan cara Iwama, dibutuhkan kedua tangan. Iwama memegang ponsel, jadi satu tangan kurang. Sampai di situ, aku bisa memahaminya.
Namun, apakah dia akan meminta bantuan tangan yang kurang itu kepadaku?
Tapi, jika Iwama tidak keberatan, mungkin aku hanya terlalu memikirkan hal ini. Ini bukan hati, melainkan pola Inome, bentuk yang membawa kebahagiaan.
Berdiri di sampingnya, aku mencoba menyatukan tanganku dengan tangan Iwama yang terulur.
Namun, jantungku berdegup kencang dan aku tidak bisa melakukannya. Aku merasakan telingaku memanas dan keringat menetes.
Akhirnya, aku menarik kembali tanganku.
"......?”
“Yah, kalau sesama perempuan mungkin masih baik-baik saja..."
Aku mencoba mengatakannya dengan samar agar tidak terlihat terlalu sadar diri.
Iwama tampaknya baru menyadarinya, pipinya memerah sedikit dan matanya membulat.
"Ah... maaf! Aku jadi terlalu akrab, ya!"
"Tidak, tidak perlu minta maaf. Aku hanya mengusulkan bentuk yang berbeda."
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita berdua membuat tanda peace?"
Aku sama sekali tidak mengerti logika ini.
"...Kalau peace, satu saja sudah cukup, kan?"
Iwama menggelengkan kepalanya perlahan atas usulku.
"Aku menyadarinya, alasan aku ingin memasukkan tanganku dalam foto ini adalah karena ingin menangkap keunikan momen ini."
"Keunikan...?"
Istilah yang hanya pernah aku dengar dalam matematika.
"Ya. Karena aku ingin merekam fakta bahwa kita menemukan pemandangan indah ini bersama, rasanya sayang jika hanya pemandangan saja yang ada di dalam foto tanpa kita berdua..."
Penjelasan yang logis dan tidak bisa disangkal.
Yah, kalau hanya tanda peace, sepertinya tidak masalah. Tidak ada alasan untuk menolak, jadi aku berdiri di samping Iwama. Kemudian aku membuat tanda peace yang agak malas dan mengarahkannya ke depan kamera ponsel Iwama.
“Sedikit lebih dekat!"
Iwama melangkah lebih dekat ke arahku, hingga bahu kami hampir bersentuhan. Jantungku kembali berdebar kencang.
Aku membayangkan para pria yang mungkin tanpa sadar telah jatuh hati pada gadis ini, dan dalam hatiku mengucapkan doa untuk mereka.
Kamera berbunyi, "keclik"—Iwama menekan tombol shutter.
Di tengah langit biru berbentuk hati yang dilingkari bunga Sakura berwarna merah muda lembut, dua tanda peace yang sedikit gelap karena cahaya dari belakang tersusun seperti huruf "W".
"Ya, bagus sekali. Terima kasih!"
Iwama tampak puas dengan hasilnya.
Setelah itu, karena matahari mulai terbenam, kami cepat-cepat turun dari gunung. Saat kami kembali ke gerbang sekolah, waktu sudah mendekati sore.
“Oh ya. Izuta-kun, tolong beri aku informasi kontakmu.”
Sambil berjalan menuruni jalan yang dipenuhi pepohonan menuju kota, Iwama mengusulkan.
"Aku akan mengirimkan foto tadi."
"Oh... terima kasih."
Lalu, kami bertukar kontak LINE.
Setelah deretan pohon berakhir, ada persimpangan jalan. Rumahku berada di kota, jadi aku harus berbelok ke kiri dari jalan yang dipenuhi pohon, sedangkan Iwama, yang pergi ke sekolah dengan kereta, katanya akan terus menurun ke arah stasiun.
Kami pun berpisah menuju rumah masing-masing.
Awan hujan yang tebal di atas laut mulai mengulurkan lengan gelapnya ke arah matahari terbenam.
"Wow, hujan deras sekali!"
Malam harinya, ketika mendengar suara adikku, aku melihat ke luar dan pemandangannya seperti badai.
Sambil mendengarkan suara hujan deras yang mengetuk jendela dan suara angin yang menderu, sebelum tidur, aku sekali lagi melihat foto yang dikirim oleh Iwama. Kemajuan teknologi memang luar biasa. Meski hanya dengan kamera kecil di ponsel, kontras antara bunga Sakura dan langit terlihat sangat tajam dan cerah.
Di bagian depan foto itu, tangan Iwama dan tanganku berdampingan. Mungkin setelah pengambilan gambar, foto itu telah mengalami pengeditan warna, sehingga kegelapan akibat cahaya belakang tidak terlalu terasa.
Tanda peace Iwama yang dibuat dengan percaya diri dan punggung yang tegap, serta tanda peace milikku yang dibuat dengan postur membungkuk dan tidak bersemangat.
Aku bahkan terkesan dengan betapa perbedaan kepribadian bisa terlihat hanya dari tangan.
Badai tak kunjung reda. Sakura yang sebelumnya mekar penuh mungkin telah berguguran dengan menyedihkan.
Aku tiba-tiba berpikir.
Mungkin saja—
Aku dan Iwama adalah satu-satunya pasangan yang melihat bentuk hati itu tahun ini.
Jika demikian, dengan asumsi berdasarkan takhayul konyol yang ada, ini bisa jadi masalah.
Inome Sakura yang berbentuk hati di gunung belakang yang selama sembilan belas tahun berturut-turut dikatakan telah menyatukan cinta.
Rekor dua puluh tahun berturut-turut mungkin bergantung padaku dan Iwama.
Aku memutuskan untuk merahasiakan bahwa kami benar-benar melihat bentuk hati itu dari Mizusaki.