Translator : Yan Luhua
Proffreader : Yan Luhua
Bab 3
(Note: Di Raw nya emng langsung bab 3,Untuk bab 1 sama bab 2 ya di volume 1)
Di atas tempat tidur, rambut putih berkilau itu bergerak lembut, menyentuh tubuhku seakan menggelitik.
"Eh he he... Souta-kun."
Seorang gadis cantik yang membuat siapa pun terpana. Bahkan wajah seriusnya saja terlihat seperti sebuah lukisan. Kini, dia tersenyum lembut, dan itu terjadi... di dalam pelukanku, sambil memanggil namaku.
"Ada apa?"
"Aku mencintaimu."
Dia memelukku erat dengan kedua tangannya yang melingkari punggungku. Hanya dengan itu saja, jantungku berdetak kencang sampai terasa menyakitkan.
──Shinonome Nagi.
Gadis cantik dengan rambut putih bak salju pertama yang turun, kulit seputih susu, dan mata biru sedalam lautan. Dahulu, ekspresinya cenderung datar dan sulit ditebak.
Aku, Minori Souta, awalnya bahkan tidak mengenalnya secara langsung karena kami bersekolah di SMA yang berbeda. Satu-satunya koneksi antara kami hanyalah kereta yang sama yang kami tumpangi setiap hari. Sampai pada hari itu.
Hari ketika aku melihatnya menjadi korban pelecehan di dalam kereta, dan aku membantunya. Namun, insiden itu membuat Nagi mengalami trauma terhadap laki-laki. Untuk mengatasi rasa takutnya, dia mulai berbicara denganku, dan sejak saat itu, kami berteman.
Setelah itu, banyak hal terjadi. Dia memasakkan makanan untukku sebagai hadiah karena berhasil dalam ujian. Dia meminta agar aku mengelus kepalanya, bahkan pernah memintaku menjadi sandaran kepalanya. Jarak kami terlalu dekat untuk disebut hanya sekadar teman. Saat aku mengingat kembali, rasanya semua yang kulakukan tidak cukup sebagai balasan atas kebaikannya.
Kenangan yang paling membekas tentu adalah penampilannya di acara seni dan perjalanan kami ke taman hiburan.
Di situlah aku sadar bahwa aku menyukainya. Namun, aku butuh waktu lama untuk mengambil keputusan.
Aku bahkan tidak menyadari bahwa Nagi sedang memiliki masalah dengan kedua orang tuanya. Pada akhirnya, dia hampir saja dijodohkan dengan putra seorang pemilik perusahaan besar atas usulan ayahnya.
Ketika aku merasa Nagi sudah berada di luar jangkauanku, aku hanya bisa terpuruk. Hingga temanku, Makizaka Eiji, menyemangatiku.
Dengan bantuan Eiji dan teman-teman lainnya, aku pergi ke rumah Nagi, menyatakan perasaanku, dan berhasil menyelesaikan masalah antara Nagi dan orang tuanya. Kami pun menjadi sepasang kekasih. Namun, akibat kurang tidur dan tekanan mental, aku akhirnya pingsan.
Ketika aku membuka mata, Nagi sudah berada di sisiku. Setelah memastikan aku terbangun, dia langsung menyelinap ke dalam selimutku. Begitulah situasi saat ini.
Mendengar orang yang kucintai menyampaikan perasaannya, bukan hanya lewat kata-kata, tetapi juga lewat pelukan erat seperti ini, membuat hatiku dipenuhi kebahagiaan. Meski begitu... ini sudah berlangsung hampir satu jam.
Jujur saja, aku tidak tahan lagi. Jantungku seperti ingin meledak.
"N-Nagi, mungkin kita harus..."
"Tidak mau."
Dia menjawab singkat sambil memelukku lebih erat lagi. Suara detak jantungku menggema di seluruh tubuh.
"Aku ingin merasakan kehadiran Souta-kun sepenuhnya... seluruh tubuhku. Lagipula, rasanya masih seperti mimpi."
Dia menyandarkan wajahnya di dadaku. Senyumnya lembut dan hangat.
──"Putri Salju."
Itulah julukan yang diberikan orang-orang padanya. Dengan sikap dingin dan tajamnya, konon katanya siapa pun yang mencoba mengungkapkan perasaan padanya akan ditolak mentah-mentah. Aku sendiri sering melihatnya mengabaikan para siswa laki-laki di kereta.
Namun, semua itu ternyata akibat ajaran ayahnya yang mengatakan, "Jangan pernah menunjukkan kelemahan pada orang lain." Setelah ayahnya meminta maaf, hubungan mereka pun membaik.
Dan sekarang, gadis yang dulu dijuluki "Putri Salju" sudah tidak ada lagi. Seluruh lapisan es yang membekukannya telah mencair.
Dia meletakkan tangannya di dadaku sambil memejamkan mata.
"Kelembutan SĆta-kun... atau lebih tepatnya, suaramu, detak jantungmu, dan kehangatanmu. Semuanya, semuanya membuatku bahagia. Jadi, izinkan aku seperti ini sedikit lebih lama."
Setiap kata-katanya mengguncang hatiku. Tapi... apa aku harus memberitahunya?
Bahwa Chie-san dan Suzaka-san ── ibunya Nagi dan pelayan pribadinya ── sedang mengintip kami dari pintu yang sedikit terbuka? Bahkan, mereka tersenyum lebar sekali.
Saat pandangan kami bertemu, Chie-san meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya, memberi isyarat untuk diam.
Yah... sudahlah. Meski begitu, apakah ini pantas? Dua orang di satu ranjang, di rumah orang lain pula.
"…Aku tidak akan menahan diri lagi," ucap Nagi sambil tertawa kecil.
Melihat senyumnya seperti itu, aku tidak peduli lagi tentang hal-hal kecil. Aku mengusap rambutnya yang selembut sutra, dan dia tersenyum seperti anak kecil yang polos. Saat aku memeluknya, kehangatannya begitu terasa.
Aroma manis tercium di hidungku, dan sesuatu yang lembut menyentuhku.
Jujur saja, ini tidak baik untuk jantungku. Sejak bangun tadi, jantungku terus berdetak kencang, dan wajahku panas seperti akan meledak.
Namun, di atas semua itu ── aku hanya merasa sangat menyayangi dia.
Aku ingin melindungi gadis ini, yang kini berada dalam pelukanku, dan membuatnya bahagia.
"Nagi," panggilku.
Dia menggerakkan wajahnya sedikit, menatapku dengan pandangan dari bawah.
...Apa ini? Makhluk menggemaskan apa dia ini?
Aku menelan kata-kata itu dan berbisik pelan agar tak terdengar oleh siapa pun.
"Aku juga mencintaimu. Segala tentang dirimu."
Meski masih ada rasa malu, aku mengatakannya. Mendengar itu, wajah Nagi berseri-seri.
"Aku juga mencintaimu!"
──Setelah berkata demikian, dia sedikit menggerakkan tubuhnya ke atas dan memelukku erat.
Pipinya yang lembut menempel di pipiku.
Kehangatan, kelembutan, dan rasa kasih sayang dari seluruh tubuh Nagi terasa begitu jelas menyelimutiku.
...Tapi, dengan begini, apa gunanya aku bicara pelan tadi?
Di tengah dua tatapan hangat yang terasa menusuk dari kejauhan, aku hanya bisa menepuk-nepuk punggung Nagi dengan lembut.
∆∆∆
“Te-Terima kasih banyak atas semuanya.”
“Iya, tentu saja. Silakan datang lagi kapan-kapan. Aku yakin Soichiro juga akan senang.”
Satu jam kemudian, tiba saatnya aku membawa Nagi pulang.
“Oh iya, Minori-kun... atau bolehkah aku mulai memanggilmu Souta-kun sekarang?”
“Ah, ya. Tidak masalah.”
Chie-san menatapku dengan serius, berbeda dari sebelumnya. Tapi, meskipun serius, ia tetap terlihat sangat muda. Sama seperti Soichiro-san, ayah Nagi. Bahkan, atmosfer yang dimiliki Nagi sangat mirip dengannya. Atau mungkin sebaliknya, Nagi-lah yang mewarisi atmosfer dari Chie-san.
Meskipun tidak ada hubungan darah, tinggal bersama di rumah yang sama pasti membuat beberapa kesamaan muncul.
Saat aku memikirkan itu, aku mengembalikan fokusku untuk mendengarkan perkataan Chie-san.
“Souta-kun, ada sesuatu yang ingin kupastikan. Apakah kamu bersedia menjadi tunangan putriku, Nagi?”
Aku terbelalak mendengar pertanyaannya.
“Dengan memiliki tunangan, orang-orang tidak akan mendekati Nagi lagi. Ini juga akan membuatmu merasa lebih tenang, bukan? Soal apakah kamu akan masuk ke keluarga kami atau tidak, kita bisa membicarakannya nanti. Bagaimana menurutmu?”
──Pembicaraan tentang menjadi bagian keluarga mengalir begitu saja. Tapi, untuk saat ini, aku kesampingkan dulu.
Masih bingung dengan perkataan tiba-tiba itu, aku menoleh ke arah Nagi. Dia terlihat sedikit gugup sambil menatapku. Namun, di balik mata birunya, aku bisa melihat harapan yang besar.
Yah, aku sudah tahu jawabanku sejak awal.
“Dengan senang hati, aku menerimanya.”
Setelah mendengar jawabanku, Chie-san mengangguk dengan wajah bahagia.
“Oh, benar juga. Nagi, sini sebentar.”
“…? Baiklah.”
Chie-san berbisik sesuatu ke telinga Nagi, dan wajah Nagi perlahan memerah seperti tomat.
“M-Mama!? A-atau maksudku, Ibu!”
“Panggil Mama saja. Iya, Mama. Aku ingin dipanggil begitu.”
“Ibu… ma, Mama.”
Wajah Nagi semakin memerah seperti apel matang.
‘Mama...’ Jadi, Nagi memang ingin memanggilnya seperti itu, ya.
Aku hampir tersenyum lebar, merasa hatiku penuh dengan kehangatan. Chie-san menutup mulutnya dengan elegan sambil menahan tawa.
“Fufu, maafkan aku. Nagi terlalu menggemaskan. Oh, barang-barangmu sudah disiapkan. Ambillah sebelum pergi.”
“…Baik, aku mengerti. Souta-kun, tunggu sebentar, ya.”
Aku tidak terlalu mengerti maksudnya, tapi aku hanya mengangguk.
“…? Oh, baiklah.”
Nagi masuk ke kamarnya untuk mengambil sesuatu. Tak lama kemudian, dia kembali dengan membawa tas besar. Itu tas yang biasa dia bawa ke sekolah, tapi tampaknya kali ini isi tasnya lebih banyak, karena terlihat cukup berat.
“Nagi? Apa itu?”
“…Tidak usah dipikirkan. Ayo, kita pergi.”
Dia menggeleng kecil, tapi wajahnya masih terlihat agak merah. Kurasa aku tidak perlu terlalu memikirkannya.
Setelah berpamitan pada Chie-san dan Suzaka-san, kami keluar dari rumah. Aku ingin mengucapkan salam pada ayah Nagi, Soichiro-san, tapi ternyata dia sedang keluar untuk memberitahu pihak keluarga calon pasangan bahwa perjodohan itu dibatalkan. Aku harus menyampaikan rasa terima kasihku lain kali.
Kami berjalan keluar gerbang, dan aku mengambil ponsel dari saku.
“Maaf, baru keluar tapi aku harus menghubungi Eiji dulu. Mereka banyak membantuku kali ini. Aku sudah janji akan memberi kabar.”
“Begitu, ya... Tapi kurasa itu tidak perlu.”
Nagi tersenyum kecil dan berkata, “Lihatlah ke sana.” Dia mengarahkan pandanganku ke ujung jalan.
Di sana──
“Hei, akhirnya kalian keluar juga.”
“Yo! Kelihatannya berhasil, ya. Dari ekspresi kalian saja sudah ketahuan.”
“Ah, sudah selesai? Jadi, sudah kena jitakan tadi?”
Eiji, pacarnya Nishizawa Kirika, dan Hayama Hikari teman yang kukenal melalui Nagi sudah menunggu.
“…Apa itu dekopin?”
“Ah, kamu tidak bereaksi seperti itu. Yah, menurutku kamu tidak bisa melakukannya.”
Hikari tertawa kecil sambil menghampiri kami.
“Apakah kamu menungguku? Ini hampir musim dingin.”
“Aku datang karena kupikir ini sudah waktunya.”
"Kamu bohong. Kamu tinggal di sini sepanjang waktu dan mengatakan hal-hal seperti, 'Aku harus memeriksa apa yang terjadi pada Souta terlebih dahulu. Apakah aku berhasil atau gagal.’”
"Ah, Kau, jangan bilang begitu... itu tidak keren."
"Ngomong-ngomong, aku juga cuma bawa mantel dan menunggu di sini. Soalnya aku penasaran," ujar Hayama santai.
Itu memang khas Eiji. Begitu juga Nishizawa dan Hayama.
Benar-benar... aku punya teman-teman yang luar biasa.
Aku menepuk bahu Eiji yang sedang menikmati secangkir cokelat panas.
"Terima kasih."
"Yang berjuang itu kamu."
"Yang membuatku mau berjuang itu kamu. Kamu juga yang membuatku bangkit lagi. Jadi, terima kasih."
"…Sama-sama."
Melihat Eiji yang sedikit malu-malu, aku secara alami tersenyum. Lalu, aku mengalihkan pandanganku ke Nagi.
"…Maaf sudah membuat kalian khawatir, dan juga merepotkan. Aku benar-benar minta maaf."
"Ah, Tidak perlu minta maaf. Aku juga punya tanggung jawab kok. Tapi, Shino… eh, maksudku, Nagi. Tutup matamu sebentar."
Mendengar perkataan Hayama, Nagi tampak bingung, tapi akhirnya menurut dan menutup matanya.
Hayama mengangkat tangannya, mengarahkan jarinya, lalu──
‘Plak!’
Sebuah suara yang cukup keras menggema di sekitar.
"Ah!"
Nagi mengeluarkan suara kecil yang terdengar lucu sambil memegangi dahinya dengan tangan.
"Itu hukuman karena kamu tidak menceritakam apa-apa ke aku. Aku sempat minta Minori-kun untuk melakukannya, tapi ya... aku tahu itu tidak akan mungkin."
Hayama berkata demikian sambil menampilkan senyuman lembut.
"Mulai sekarang, jangan ragu untuk cerita, ya. Kita kan teman."
"…Iya! Maafkan aku. Dan… terima kasih banyak," jawab Nagi sambil menundukkan kepala dengan sopan.
Hayama mengangguk kecil dan berkata, "Hmm," sementara aku dan yang lain memperhatikan interaksi itu dengan senyuman. Setelah itu, kami mulai berjalan pulang.
"Ngomong-ngomong, makan siang gimana? Kita majuin aja dan pesan pizza sekarang?" tanya Eiji.
"Jangan begitu. Gimana kalau makan di luar saja?" jawab Nishizawa.
Aku sudah memberitahu Nagi bahwa kami berencana mengadakan pesta pizza bersama Eiji dan teman-teman. Saat kami sedang berdiskusi, Nagi tiba-tiba bersuara, "Ah!"
"Kalau begitu, bagaimana kalau makan siang kali ini aku yang masak? Di rumah Souta-kun ada daftar menu kan? Aku lihat di sana ada ayam goreng. Bagaimana kalau itu saja?"
"Kamu yakin?" tanyaku.
Hari ini Nagi pasti lelah setelah semua yang terjadi sejak pagi. Tapi, dia tersenyum dan mengangguk.
"Iya! Anggap saja ini permintaan maafku karena sudah merepotkan kalian semua. Lagi pula, kalau aku masak dalam jumlah banyak, bisa juga kita jadikan bekal makan siang untuk aku dan Souta-kun besok!"
"…Kalau begitu, aku serahkan padamu. Bagaimana menurut kalian bertiga?" tanyaku pada yang lain.
"Tentu saja! Aku suka ayam goreng!" sahut Nishizawa penuh semangat.
"Wah, aku juga suka sekali!" Jawab Hayama.
"Aku juga!" ujar Eiji antusias.
Dengan kesepakatan itu, kami memutuskan untuk mampir ke supermarket dalam perjalanan pulang.
Saat berjalan menuju supermarket, aku merasakan jari Nagi menyentuh tanganku. Ketika aku menoleh, dia tersenyum lembut.
Jari kelingkingnya perlahan melingkari kelingkingku, dan dia mendekatkan wajahnya ke telingaku. Lalu, dengan suara lirih, dia berbisik,
"Aku sangat mencintaimu, Souta-kun."
Aku langsung menutupi mulutku dengan tangan. Pasti sudah ketahuan, tapi aku tak bisa menahan reaksiku.
Nagi hanya tersenyum manis sambil memandangku dengan penuh kebahagiaan.
"Ayo, kita lanjutkan perjalanan, Souta-kun."
"…Iya."
Sepertinya hari-hari seperti ini akan terus berlanjut.
Bisakah aku menahan semua ini…?
Tidak, mungkin aku tak perlu menahannya… tapi tunggu dulu, tidak boleh begitu. Segalanya harus dilakukan sesuai urutan yang benar. Jika aku salah langkah, bisa-bisa aku membuat Nagi tidak nyaman.
Meski kami sudah dekat, tetap harus ada batasan. Terutama sekarang, karena kami sedang berada di luar. Aku harus menjaga sikap.
Sambil melangkah di samping Nagi, yang terlihat sangat bahagia dengan kelingkingnya masih melingkari milikku, aku mendengar suara-suara dari belakang.
"Astaga, pasangan mesra itu bikin iri sekali."
"Bahkan kita tidak pernah se-ekspresif itu, ya. Emangnya kita dulu pernah ada masa-masa seperti itu?"
"…Yah, biarin saja. Kelihatannya mereka senang."
Aku berusaha mengabaikan komentar-komentar itu, batuk kecil untuk mengalihkan perhatian, dan melanjutkan langkahku.
Mungkin Nagi juga mendengar suara-suara itu, tapi dia hanya tersenyum riang tanpa sedikit pun terganggu.
∆∆∆
"Hari ini harga daging babi murah. Apa yang harus kita lakukan besok? Bolehkah aku pergi ke rumah Souta - kun besok juga ?"
"...? Apakah kamu tidak ada les besok?"
"Iya, tapi aku juga ingin bersama Souta-kun besok. Itu tergantung apa yang sudah selesai. Ma...Kohon. Kurasa aku akan membicarakannya dengan ibuku. "
Nagi mengatakan ini dengan sangat alami. Pipinya agak memerah
Dari sudut pandangku, kata-kata itu membuatku bahagia,tapi...ada sesuatu yang menggangguku.
"... Bolehkah ? Aku sudah berbaikan dengan Soichiro-san dan yang lainnya , jadi bukankah lebih baik kalian bersama ? "
“Tidak apa-apa. Yah, ayah dan ibuku adalah teman baik. Aku bertanya-tanya apakah sebaiknya menyediakan waktu untuk mereka berdua sesekali. Tentu saja, aku akan berada di rumahmu ketika kamu kesepian. Aku tidak ingin mengganggumu, yang terpenting, mulai sekarang, kita akan memiliki lebih banyak waktu bersama keluarga selain makan.”
Matanya berbinar penuh kebahagiaan. Kalau dia bilang begitu, aku yakin dia tahu apa yang terbaik. Pasti ke depannya Nagi bisa makin deket sama keluarganya dan ngomong apa aja dengan lebih bebas.
“Kalau begitu aku mengerti. Aku juga menantikan hari esok.”
"Aku juga...Ah, daging ayam makin murah. Pas sekali."
Saat aku melihat Nagi memeriksa dagingnya, aku sekali lagi merasakan tatapan yang kuat dari belakangku.
"Jadi, menurutmu sudah berapa tahun mereka menikah?"
"Satu tahun.. tidak. Aku yakin dia akan seperti itu bahkan dalam sepuluh tahun. Aku melihat souta sebagai tipe orang yang ingin pergi berbelanja bersamanya setiap saat. "
“Sudut pandang itu membuatmu ingin menempatkan anakmu di tengah. Sepertinya kamu bisa berpegangan tangan dengan mereka.”
Mulutku berkedut mendengar kata-kata yang kudengar dari belakangku.
Saat aku mencoba memutuskan apakah akan mengatakan itu terlalu lucu, aku memperhatikan dari sudut mataku bahwa wajah Nagi berubah menjadi merah padam.
“Ada apa?”
"Ah, um. Souta-kun ... "
Nagi sedang memegang beberapa bungkus ayam dan bawang putih sambil melihaku.
“B-berapa banyak anak yang kamu inginkan?”
Untuk sesaat, Aku tidak dapat memahami arti kata-kata itu.
... Apa yang Nagi katakan?
Aku mengarahkan seluruh wajahku ke arahnya.
Aku otomatis menoleh penuh ke arahnya, dan pas mata kami bertemu, dia langsung panik. Karena aku takut daging yang dia pegang jatuh, aku ambil dan taruh ke keranjang belanja.
"Tidak, tidak, itu saja. Yah, kurasa kita memang membutuhkan ahli waris."
"Ahli waris?"
"Ya, ya. Tapi...kalau aku bersama Souta-kun, Aku tidak peduli dengan ahli warisnya, aku tidak peduli berapa banyak anak yang kita miliki . Itu yang kupikirkan. "
"T-tunggu sebentar, kamu terlalu cepat. Kamu tahu, masalah uang atau semacamnya."
"Tidak, bukan itu. Sebelumnya, kalian adalah pelajar. Kalian tidak akan bisa menikah selama dua tahun lagi."
Eiji datang dari belakang untuk membantu ku.
Namun, Nagi sepertinya sibuk dengan hal ini dan memegang tanganku erat-erat.
“Oh, aku baik-baik saja dengan uangnya. Ibuku akan mendukung kita dengan sekuat tenaga.”
"Tidak, tidak. Hal seperti itu jelas tidak baik."
“Oh, atau mungkin kamu ingin punya banyak anak, Souta-kun?”
“Baiklah, itu saja, Pasangan bodoh-san. Ini akan menjadi masalah besar di mata semua orang.”
“Kyu!”
Di sana Hayama-san memberikan pukulan ringan ke dahi Nagi menyebabkan Nagi berteriak karena terkejut.
“Percakapan macam apa yang kalian lakukan di tengah hari? Kalian berdua harus melakukan itu di malam hari.”
"Ah..."
“Juga, Minori-kun. Jika kamu tidak menghentikannya dengan benar, dia akan terus melaju. Tapi kamu tidak bisa meniru keduanya.”
"Ayolah teman-teman. Tidak ada pasangan panutan yang lebih baik dari kita."
"Benar, benar! Kami pasangan yang sehat dan saling mencintai! ...tetapi tidak di luar!"
"Ya, ya. Aku akan berpura-pura tidak mendengar kata-kata terakhirmu."
Nagi cuma ketawa kecil sambil mengelus kepalanya sendiri. Tapi tiba-tiba dia mendekat dan berbisik pelan di telingaku,
“Kalau begitu kita akan melanjutkannya nanti malam”
Bisikan lembut itu bikin pikiranku langsung kosong sejenak. Aku cuma bisa terpaku di tempat.
Pipinya yang semula putih perlahan memerah, tapi dengan alami dia tetap menggenggam tanganku.
Saat kami berjalan, terasa banyak tatapan menusuk dari belakang, terutama dari tiga orang yang berjalan di belakang kami. Jarak kami yang terlalu dekat mungkin jadi penyebabnya. Ketika aku mencoba melepas genggamannya, dia langsung menunjukkan ekspresi sangat sedih.
“…Kalau cuma jari saja, boleh ya?”
Dia berkata begitu dengan wajah senang, lalu mengaitkan jari kelingkingnya pada jari kelingkingku.
Kami melanjutkan belanja hingga Hayama-san mendekat dan berdiri di samping Nagi.
“──Ngomong-ngomong, aku jadi sadar satu hal. Kalian berdua kelihatan semakin dekat. Bukan cuma jarak fisik, tapi lebih ke hubungan batin. Gimana ya jelasinnya…”
Mendengar komentar Hayama-san, Nagi tertawa kecil. Dia lalu menyandarkan bahunya padaku sambil berkata,
“Kami sudah saling memahami perasaan masing-masing. Dan lebih dari itu… aku merasa tenang saat berada di dekat Souta-kun. Mungkin karena itu terlihat seperti ini.”
Pipinya yang semula putih kini berubah merah, seolah seperti susu stroberi yang bening dan lembut. Melihat itu, aku merasa pipiku mulai mengendur. Tapi karena kami masih berada di luar, aku mencoba menahan diri dengan merapatkan bibirku kuat-kuat.
“Ngomong-ngomong, sepertinya kita kehabisan minyak goreng deh. Ayo beli, Nagi.”
“Eh? Oh, iya! Baik, ayo kita cari!”
Sambil mendorong troli, Nagi berjalan di sampingku. Jari kelingkingku yang menggenggam gagang troli tetap terhubung erat dengan jari kelingking Nagi.
(TLN:Biji ini dah kek pasutri beneran)
∆∆∆
Belanja selesai, dan kami akhirnya sampai di rumah dengan selamat. Setelah mengantar Eiji dan yang lain ke ruang tamu, aku bersama Nagi menuju dapur.
“Belanjaannya banyak juga ya,” kata Nagi sambil tersenyum.
“Banyak barang yang diskon tadi. Semua sudah dicek tanggal kedaluwarsanya, jadi harusnya aman.”
Sambil menjawab, aku mulai mengeluarkan barang-barang dari kantong belanja bersama Nagi. Dia mengambil bahan yang akan digunakan segera, sementara aku menyimpan sisanya di kulkas, freezer, dan rak sayur.
Ketika semuanya sudah rapi, aku menoleh ke arah Nagi. Dia tampak terdiam di dapur. Matanya yang biru menatap lekat-lekat ke arah wastafel, kompor, dan lemari piring. Bibir bawahnya sedikit tergigit.
“Nagi?”
“Pagi tadi… aku berpikir mungkin aku tidak akan pernah bisa ke sini lagi,”
Katanya dengan suara pelan sambil memegang talenan dan menatap wajan di depannya.
“Aku pikir aku tidak akan bisa datang lagi meskipun aku ingin. Tidak bisa memasak untuk Souta-kun, tidak bisa makan bersama, bahkan untuk sekadar menyentuhmu atau bertatap mata pun rasanya mustahil.”
Dia meletakkan talenan itu dan tersenyum. Namun, senyum itu tampak sedih. Seiring waktu, senyumnya berubah menjadi lebih cerah.
“Tapi semua itu tidak terjadi. Semua ini… berkat Souta-kun dan teman-temanmu. Terima kasih banyak.”
Dia melangkah mendekat, lalu memelukku erat dengan kedua tangannya melingkar di leherku.
Aroma manisnya langsung menusuk pikiranku. Meski aku merasa seharusnya sudah terbiasa, ternyata belum. Aroma itu membingungkan pikiranku dan membuat jantungku berdegup kencang.
Namun, melihat wajahnya yang lembut dan dihiasi senyuman tipis, meskipun matanya sedikit berkaca-kaca, aku tak bisa menahan senyum.
“Sama-sama,” jawabku sambil membalas pelukannya.
Karena aku lebih tinggi darinya, dia harus sedikit berjinjit dan meletakkan dagunya di pundakku. Tubuhnya terasa lembut, seolah mudah rapuh. Tapi aku tahu dia lebih kuat dari yang terlihat.
Aku tersenyum ketika dia semakin erat memelukku, seakan ingin meyakinkan bahwa dia tidak akan melepaskanku. Aku membalasnya dengan pelukan yang lebih erat.
“Hehehe…”
Dia tertawa kecil, dan nafasku terasa gatal di telingaku. Tapi aku tidak ingin dia berhenti. Saat aku mengusap rambutnya yang lembut, dia tertawa lagi, kali ini lebih riang.
Namun momen itu terhenti ketika…
“Eh, eh, aku cuma mau nanya sesuatu—”
Hayama-san membuka pintu geser dan menyembulkan kepalanya.
Dia langsung terdiam, seperti deja vu.
“Ah, tidak jadi. Bisa nanti saja.”
Sambil menggelengkan kepala, Hayama-san kembali menutup pintu dan pergi, mungkin setelah memahami situasinya.
Nagi, di sisi lain, tampak sama sekali tidak peduli.
“Ehehe… aku benar-benar bahagia kalau sedang seperti ini dengan Souta-kun.”
Aku hanya bisa tertawa kecil, meskipun dalam hati bertanya-tanya apakah semua akan baik-baik saja jika dia terus begini. Saat di sekolah, Hayama pasti akan menjaganya. Tapi ketika hanya kami berdua, aku harus lebih berhati-hati. Kalau dia sampai terlalu bersemangat, seperti tadi saat belanja, akan merepotkan.
Aku menepuk punggungnya pelan, dan dia mengeluarkan suara senang.
Melihatnya begitu bahagia membuatku lega, hingga aku merasa ada sesuatu yang hangat mengalir di pipiku.
“Souta-kun?”
“Tidak apa-apa,”
Aku mempererat pelukanku, suaraku sedikit bergetar. Hidungku terasa perih. Meski mungkin dia merasa tidak nyaman, Nagi tetap membalas pelukanku dengan penuh kasih.
Aku tidak ingin mengatakan apapun. Kalau aku bicara, rasa cemas ini mungkin akan sampai padanya. Dan aku tidak ingin dia melihat sisi lemahku.
Aku hanya ingin melindunginya, membuatnya bahagia. Pikiran-pikiran itu bercampur aduk dalam diriku dan terwujud dalam bentuk helaan nafas panjang.
“Souta-kun,” dia memanggil namaku.
Sebuah tangan yang hangat menyentuh kepalaku. Lembut, penuh kasih sayang, seakan dia memegang sesuatu yang sangat berharga.
“Aku sangat mencintaimu, Souta-kun,” katanya pelan, tapi penuh ketulusan.
“Dan aku tidak akan pernah menyerahkanmu pada siapapun. Aku sendiri yang akan memastikan kamu bahagia.”
Aku tertawa kecil, merasa seperti pikiranku telah terbaca. Aku membalasnya dengan mengusap rambutnya. Rambutnya begitu halus, tidak ada yang terasa kasar saat disentuh. Itu membuatku terus melakukannya, hanya karena menyenangkan.
Dia tertawa kecil, tawa yang jarang terdengar, seperti hanya muncul saat aku mengusap rambutnya.
“Aku juga merasakan hal yang sama,”
Dia menyembunyikan wajahnya di leherku. Rambutnya yang bergerak menyentuh pipiku, membawa aroma lembut yang menyenangkan.
“Nagi, aku akan memastikan kamu bahagia.”
“Iya!” jawabnya penuh semangat.
Aku memeluknya lebih erat lagi, penuh rasa syukur karena dia ada di sini bersamaku.
∆∆∆
“Bagaimana menurutmu? Apakah sudah bagus?”
“Ah, luar biasa. Rasanya, teksturnya, semuanya sama. Sangat enak.”
Karaage buatan Nagi terasa sangat familiar dan lezat. Meski terasa nostalgik, aku sebenarnya baru saja merasakannya saat pulang kampung musim panas lalu, ketika ibuku memasaknya. Jadi, sebenarnya tidak terlalu lama sejak terakhir kali aku menikmatinya.
Tapi, makanan enak tetaplah enak. Rasanya, aku bisa memakan karaage ini setiap hari selama seminggu penuh tanpa bosan.
“Wah, gila. Rasanya karaage buatan rumah orang lain enak sekali”
“Benar sekali, Karaage yang dimakan di rumah orang itu rasanya beda.”
“Apaan itu…? Yah, aku mengerti sih maksudnya.”
Percakapan Eiji dan yang lainnya memang khas mereka. Begitulah cara mereka memuji.
Saat kami terus makan, karaage yang awalnya terlihat banyak—bahkan cukup untuk lima orang—tiba-tiba habis tanpa sisa.
“Terima kasih untuk makanannya. Sungguh… sungguh enak sekali, Nagi.”
“Fufu, syukurlah kalau begitu.”
Aku sampai menambah nasi karena tidak tahan dengan kelezatannya. Sambil berpikir untuk bergerak sedikit, aku berdiri dan mulai merapikan piring-piring di meja.
“Biar aku bantu,”
“Tidak perlu, kau tamu. Santai saja.”
“Kalau begitu, aku saja yang bantu,”
“Tidak usah. Kamu sudah masak, jadi aku yang bereskan.”
“Tapi, membersihkan setelah masak juga bagian dari memasak.”
“…Baiklah.”
Aku tidak bisa membantah argumennya. Saat kami mulai merapikan piring bersama, Nishizawa memandang kami sambil menyeringai.
“Kalau dilihat-lihat, kalian berdua benar-benar seperti pasangan suami istri, ya.”
Tanganku yang sedang mengambil piring langsung terhenti. Hal yang sama terjadi pada Nagi, terdengar suara piring beradu di tangannya.
“Oh, aku juga setuju. Rasanya seperti waktu aku main ke rumah pamanku yang baru menikah dulu. Suasananya sama persis”
“Jangan bercanda terus, kalian berdua.”
“Eh, aku serius, jadi gimana menurutmu, Hikari?”
“Hmm… iya sih. Tapi jarak di antara kalian itu unik ya. Kadang seperti pasangan mesra yang baru jadian, kadang seperti pasangan tua yang sudah lama menikah. Tapi yang jelas, auranya selalu terasa hangat.”
Mendengar itu, wajahku mulai terasa panas. Berbeda denganku, Nagi malah—
“Ehehe, benarkah?”
Dia tersenyum lebar dengan pipi yang memerah. Setelah meletakkan piring, dia berusaha menyembunyikan wajahnya dari ketiga orang itu, tapi dari tempatku berdiri, aku bisa melihat semuanya. Bahkan aku yakin mereka pun tahu dari suaranya bahwa Nagi sedang sangat senang.
Dengan wajah yang ceria, dia merapikan piring-piring itu dan membawa semuanya ke dapur lebih dulu.
“Kalian bertiga santai saja, ya,” kataku kepada Nishizawa dan lainnya yang masih tersenyum penuh arti. Lalu, aku menyusul Nagi ke dapur.
“Piringnya taruh di sini saja. Tidak terlalu banyak, jadi cepat selesai kalau langsung dicuci,”
“Baik,”
Ketika aku hendak mundur agar tidak mengganggu, Nagi menghentikanku.
“Tunggu sebentar.”
Dia meletakkan piring yang dipegangnya, lalu menatapku.
“Aku… sangat senang,”
“Karena ucapan Nishizawa tadi?”
“Itu juga, tentu saja. Tapi lebih dari itu… aku merasa senang karena aku bukan lagi tamu. Aku yang menjadi tuan rumah di sini. Itu membuatku sangat bahagia.”
Pipinya terlihat bergerak, seperti menahan senyum yang tidak bisa ditahan. Aku juga merasakan hal yang sama dari tadi.
“Begitu, ya. Hei, Nagi. Tunggu sebentar,”
“Eh? Ada apa?”
“Sebentar saja.”
Aku meninggalkan Nagi di dapur dan kembali ke kamarku. Dari laci yang paling dalam, aku mengambil sesuatu yang sudah lama ingin aku berikan.
Ketika kembali ke dapur, dia menatapku dengan wajah bingung.
“Maaf membuatmu menunggu.”
“Tidak apa-apa. Ada apa, Souta-kun?”
“Ini. Aku ingin memberikan sesuatu padamu. Boleh ulurkan tanganmu?”
Dengan ekspresi penasaran, dia mengulurkan telapak tangannya. Aku meletakkan sebuah kunci di atasnya.
“Ini…!”
“Kunci kamarku. Ini kunci cadangan. Memang biasanya kita selalu bersama kalau ke kamarku, tapi aku ingin memberikannya padamu.”
Wajahku terasa panas, tapi aku tidak bisa mengalihkan pandangan darinya. Setelah menarik napas dalam-dalam, aku bertemu langsung dengan matanya.
“Karena Nagi adalah tunanganku, aku ingin kau merasa seperti bagian dari keluarga. Tidak hanya sebagai tamu, tapi sebagai seseorang yang menyambut. Itu sebabnya, aku ingin kau menerimanya.”
Nagi menggenggam kunci itu dengan erat, memeluknya di dada dengan penuh sayang.
“Tentu saja!” katanya dengan mata biru yang bersinar bahagia.
Senyumnya begitu cerah, dia terus memandangi kunci itu dengan wajah penuh sukacita.
“Sejujurnya…” katanya pelan.
“Aku baru pertama kali memegang kunci. Biasanya sopir yang mengantarku pulang, dan di rumah selalu ada pelayan. Jadi aku tidak pernah membutuhkannya.”
“Begitu, ya.”
“Jadi aku sangat senang. Kunci pertamaku adalah kunci rumahmu, Souta-kun. Rasanya hangat di dada.”
Dia tersenyum lembut, penuh kebahagiaan.
“Aku akan menjaganya baik-baik.”
“Ya, terima kasih.”
Kata-katanya membuatku sangat senang, hingga tanpa sadar aku meletakkan tanganku di atas kepalanya. Dia menerima sentuhan itu dengan senyuman yang sama bahagianya.
Momen itu berlangsung cukup lama, hingga akhirnya kami selesai mencuci piring bersama.
∆∆∆
Setelah itu, kami mengikuti keinginan Eiji untuk menonton berbagai film.
Eiji dan Nishizawa ternyata sering menonton film, dan mereka mengatakan bahwa kami yang jarang menonton film telah menyia-nyiakan banyak hal.
Eiji punya langganan layanan streaming, dan kebetulan aku pernah membeli kabel untuk menghubungkan ponsel ke televisi, jadi kami menggunakannya untuk menonton.
Kami mulai dengan film Barat yang terkenal. Sesuai ekspektasi, film itu memang menarik, bahkan untukku yang jarang menonton. Nagi, dan bahkan Hayama-san juga tampak sangat menikmatinya, jadi aku senang melihatnya.
Meskipun awalnya Hayama-san hanya mengenal Nagi, dia cepat akrab dengan Eiji dan Nishizawa. Yah, mereka berdua memang punya kemampuan sosial yang tinggi, jadi tidak mengejutkan mereka bisa dekat dalam waktu singkat.
Film kedua juga seru. Namun, entah sejak kapan, aku lebih sering melihat ke arah Nagi daripada layar.
Ekspresi Nagi saat menonton film terus berubah-ubah, dan itu terlihat sangat indah.
Di awal film, dia condong ke depan dengan mata tertuju pada layar. Saat adegan komedi, senyumnya mekar. Pada adegan aksi, dia menyatukan kedua tangan, tampak tegang. Dan ketika adegan romansa muncul, pipinya memerah.
Setiap ekspresinya terasa seperti lukisan, dan jika aku lengah, pandanganku bisa terhisap ke arahnya, seperti dulu.
Saat itulah—tatapan mata biru Nagi bertemu denganku. Dia tersenyum lembut dan menumpangkan tangannya di atas tanganku.
...Ini pasti sudah ketahuan oleh Eiji dan yang lainnya.
Namun, mereka tidak mengatakan apa-apa, dan kami menyelesaikan film kedua tanpa komentar apapun.
Saat Eiji mencari film berikutnya, dia berkata,
“Aku suka film ini. Ini film horor, tapi kalian tidak apa-apa kan kalau nonton?”
“Oh, yang ini! Kita sampai tiga kali nonton di bioskop, kan? Sangat menyeramkan, tapi seru!” kata Nishizawa antusias.
“Film horor, ya. Aku belum pernah nonton, jadi tidak bisa bilang apa-apa. Bagaimana dengan kalian?”
“Aku baik-baik saja” Kata hayama -san
“Aku… juga tidak tahu. Sama seperti Souta-kun, belum pernah nonton,” kata Nagi.
Mendengar jawaban Nagi, aku sedikit berpikir.
Apa dia benar-benar akan baik-baik saja? Saat di rumah hantu di taman bermain dulu, dia sangat ketakutan. Mengingat itu, dadaku terasa sedikit sesak. Tapi aku segera menggelengkan kepala, mencoba menepis pikiran itu.
Aku melihat ke arah Nagi. Wajahnya dipenuhi rasa penasaran. Sepertinya dia ingin mencoba menonton karena penasaran dengan sensasinya.
Kalau dipikir-pikir, meskipun ketakutan, dia juga terlihat menikmati pengalaman di rumah hantu waktu itu… kurasa.
Akhirnya, kami memutuskan untuk menonton film horor itu.
Namun…
“Souta-kun, bolehkah aku menggenggam tanganmu?” tanya Nagi tiba-tiba.
“Bukankah sudah dari tadi tanganku di genggam olehmu,”
Film ini dimulai dengan adegan orang yang langsung diserang. Ternyata, pelakunya bukan hantu, melainkan makhluk aneh yang menyeramkan.
Sesuai dugaanku, Nagi tampak sangat ketakutan. Dia menggenggam tangan kananku dengan erat, bahkan mungkin tidak menyadari seberapa kuat dia mencengkeramnya.
“Oh, iya, ya. Kalau begitu… bolehkah aku sedikit lebih dekat?”
“Tentu saja, .
Nagi menyandarkan tubuhnya ke bahuku, membuat wajahnya sangat dekat denganku.
Dia menatapku dalam-dalam, dan meskipun ini bukan waktu yang tepat, jantungku berdegup kencang.
“Souta-kun, bisakah kau mengulurkan tangan satunya?”
“Eh… begini?”
Saat aku mengulurkan tangan kiriku, Nagi sedikit menjauhkan diri untuk memperbaiki posisinya.
“Maaf, sebentar saja.”
Dia duduk di pangkuanku, menyelipkan lengannya dari bawah untuk menggenggam tangan kiriku. Setelah itu, dia kembali menggenggam tangan kananku. Kini tubuhnya sepenuhnya bersandar padaku.
Kedua tanganku kini tergenggam erat oleh tangan kecilnya. Jantungku berdegup kencang, bukan karena filmnya, melainkan karena keberadaan Nagi.
“Dengan ini, aku tidak terlalu takut lagi…,” katanya dengan suara pelan.
Aku sendiri tidak bisa lagi fokus pada film, tapi kalau Nagi bisa menikmati, aku akan mencoba menahan diri.
Di sisi lain, Nishizawa yang melihat kami dari kejauhan berkomentar sambil tersenyum kecil,
“Sang Putri Es kini sudah meleleh sepenuhnya, ya.”
∆∆∆
Setelah itu, kami menghabiskan hari dengan menonton film tanpa henti. Menjelang sore, kami memesan pizza dan menikmatinya bersama berlima. Tanpa sadar, malam pun tiba.
“Kalau begitu, kami sepertinya harus pulang” kata Eiji
“Iya, kalau pulang terlalu malam juga tidak baik. Lagipula, malam ini harus tidur nyenyak,” tambah Nishizawa.
“Kurasa aku juga akan pulang sekarang,” ujar Hayama-san
Benar juga. Besok kami harus kembali ke sekolah, dan mereka bertiga sudah begadang demi aku.
“Baiklah, aku akan mengantar kalian,”
“Aku juga ikut mengantar,”
Saat mereka mulai bersiap untuk pulang, aku dan Nagi mengantar mereka ke pintu depan.
“Kalau begitu, sampai ketemu besok, Souta,”
“Iya. Terima kasih banyak, Eiji. Nishizawa, Hayama, kalian juga. Kalian sangat membantuku. Jika bukan karena kalian, aku mungkin tidak akan punya keberanian untuk datang ke rumah Nagi,”
Setelah aku bicara, Nagi juga menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Aku telah melakukan hal yang sangat buruk pada Souta-kun. Aku juga telah merepotkan kalian semua. Aku sungguh meminta maaf. Dan… terima kasih banyak,” ucap Nagi dengan penuh penyesalan, refleksi, dan rasa syukur.
Eiji dan yang lain mengangguk mendengar ucapannya.
“Yah, sama-sama. Jaga Souta baik-baik, ya,” kata Eiji
“Ya, jangan pikirkan terlalu serius! Aku malah senang rasanya makin akrab sama Nagi!” kata Nishizawa riang.
“Benar. Aku juga senang bisa akrab dengan kalian berdua. Jadi, mari kita tetap menjaga hubungan ini,” tambah Hayama-san
Mendengar itu, Nagi mengangkat kepalanya dan tersenyum lebar.
“Baik! Terima kasih banyak!”
Aku merasa lega. Akhirnya aku bisa bersama Nagi lagi seperti ini.
“Kalau begitu, sampai besok,”
“Ya, sampai besok,”
“Baiklah, aku akan datang main lagi bersama Eiji” kata Nishizawa sambil melambaikan tangan.
“Aku juga. Sampai jumpa di sekolah, Nagi,”
“Ya! Sampai jumpa!”
Kami berdua terus melambaikan tangan sampai mereka bertiga hilang dari pandangan.
Setelah kembali ke kamar bersama Nagi, aku baru menyadari sesuatu.
“…Baru saja aku mengantar mereka, tapi kapan Nagi akan pulang?” tanyaku.
Benar juga, aku sama sekali lupa soal itu. Atau lebih tepatnya, aku lupa karena kehadiran Nagi di sisiku terasa begitu alami.
Ketika aku melihat ke arahnya, bahunya sedikit bergetar mendengar pertanyaanku. Dia menatapku dengan ekspresi ragu-ragu.
“…Sebenarnya, aku ingin meminta sesuatu,”
katanya dengan wajah memerah dan mata sedikit berkaca-kaca, mungkin karena gugup.
Aku mengangguk perlahan agar dia merasa lebih tenang.
“Tentu. Apa yang ingin kau minta?”
Nagi menatap mataku dalam-dalam dan berkata,
“Hari ini, aku ingin menginap di rumah Souta-kun.”
Aku terdiam sejenak, tidak bisa langsung memproses ucapannya. Setelah beberapa detik, pikiranku mulai bekerja kembali.
“Tunggu, menginap? Tapi… kau tidak membawa apa-apa, kan? Oh, tunggu,” kataku, tiba-tiba teringat bahwa dia membawa tas sekolah saat datang tadi.
“…Ya. Aku sudah membawa seragam dan barang-barang untuk menginap,”
“Tapi… apa kau sudah bicara dengan orang tuamu?”
“Aku sudah bilang ke Mama. Atau lebih tepatnya, Mama yang menyarankan. ‘Kenapa tidak menginap saja? Papa akan kuberitahu. Dan aku juga sudah menyiapkan sampo, sikat gigi, dan barang-barang lain yang kau butuhkan,’ katanya.”
“…Jadi, artinya?”
“Ya! Barusan Mama juga mengabari bahwa Papa sudah memberikan izin!” katanya dengan senyum cerah.
Nagi tampak sangat bahagia, seolah tidak ada kemungkinan aku akan menolaknya. Dan sebenarnya, aku juga tidak punya alasan untuk menolaknya.
“Baiklah. Kau boleh menginap di sini,” jawabku akhirnya.
“Terima kasih banyak!” jawabnya dengan senyum lebar, wajahnya bersinar seperti bunga matahari.
Melihat dia begitu bahagia membuatku lega, tapi aku juga tahu bahwa aku harus menjaga diriku dengan baik.
Satu-satunya kekhawatiranku sekarang adalah… apakah aku bisa menjaga diriku tetap tenang sepanjang malam.
Tidak, aku pasti bisa. Aku hanya perlu tetap fokus dan mengendalikan diriku sendiri.
∆∆∆
“Souta-kun.”
Saat aku selesai merapikan barang-barang, Nagi memanggil namaku. Dia memeluk tasnya erat-erat di depan dadanya.
“Aku ingin meminjam kamar mandimu. Bolehkah aku mandi duluan?” tanyanya.
“Hmm? Oh, tentu saja. Aku akan mengisi air hangatnya dulu, tunggu sebentar,” jawabku sambil berdiri. Namun, dia kembali memanggilku.
“Souta-kun, e-err… sebenarnya ada satu hal lagi yang ingin kuminta soal kamar mandi…”
“...?”
Dia terlihat gelisah dan sedikit malu-malu menatapku. Aku mulai menduga ini adalah permintaan utamanya, jadi aku menunggu dia melanjutkan.
“Sebenarnya… film horor yang kita tonton siang tadi lebih menyeramkan dari yang kukira. Lalu, aku ingat pernah mendengar bahwa tempat dengan air, seperti kamar mandi, itu rawan mendatangkan arwah…”
“...Oh. Ya, aku juga pernah mendengar hal seperti itu,” jawabku, merasa ada firasat buruk. Rasanya punggungku mulai dingin berkeringat.
“Ja-jadi, kalau boleh… bisakah kau menemaniku dengan berbicara di dekat sana saat aku sedang mandi?”
Mendengar itu, aku merasa lega.
Tadi sempat terpikir bahwa dia akan memintaku untuk mandi bersama, dan itu membuatku gugup. Tapi kemudian aku merasa malu pada diriku sendiri karena berpikiran seperti itu. Apa yang sebenarnya kupikirkan? Lagipula, Nagi tidak mungkin meminta hal seperti itu, kan?
“Aku sebenarnya ingin… mandi bersama, tapi kurasa… itu masih terlalu cepat untuk sekarang,” katanya tiba-tiba, dengan wajah memerah.
Ternyata ada! Dan dia bilang “masih terlalu cepat”, yang artinya mungkin suatu saat dia benar-benar akan memintanya.
Ah, aku tidak suka menyadari bahwa ada sedikit rasa kecewa dalam diriku. Aku harus menjaga pikiranku tetap kuat. Setelah menarik napas dalam-dalam, aku menatap mata birunya yang sedang menunggu jawabanku.
“Kalau hanya itu, tidak masalah,”
“Be-benar? Terima kasih banyak!”
“Ya, tapi aku hanya bisa berbicara dari dekat pintu kamar mandi, ya.”
“Ya! Itu sudah cukup!”
Menjadi teman bicara saat dia mandi sepertinya tidak akan menjadi masalah. Aku mengangguk, lalu berjalan ke kamar mandi untuk menyalakan pengisian air hangat.
∆∆∆
“Shururi,”
Suara gesekan kain terdengar menusuk telinga. Bahkan detak jantungku sendiri terasa berisik.
Setelah suara itu berhenti, terdengar suara pintu kamar mandi yang digeser.
“K-Kau bisa masuk sekarang,” terdengar suara Nagi dari dalam.
Setelah memastikan pintu tertutup rapat, aku melangkah masuk ke ruang ganti. Namun begitu aku melakukannya—
“...Ah.”
Aku langsung memalingkan tubuhku.
Kaca kamar mandi itu memang buram, tapi tidak sepenuhnya menghalangi pandangan. Jika diperhatikan, samar-samar aku bisa melihat siluet tubuh Nagi di dalamnya.
Dengan segera, aku memuji diriku sendiri karena refleks langsung memalingkan pandangan.
Berjalan mundur dengan hati-hati, aku berhenti di depan rak yang ada di dekat kamar mandi.
Ah, kenapa jantungku berdegup sekencang ini?
Aku mencoba memejamkan mata dan memikirkan hal lain, tapi—
“S-Souta-kun? K-Kau masih di sana, kan?”
“Ah, ya. Aku di sini,”
Tidak mungkin aku melupakan alasan aku berada di sini. Aku datang untuk menemani Nagi berbicara.
“E-Er… Kalau begitu, aku akan mulai mencuci rambut. A-Aku minta maaf, tapi…”
“Cukup aku terus berbicara, kan?”
“Ya… Tolong, ya.”
“Baiklah.”
Aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Dengan suara yang sedikit lebih lantang agar terdengar di atas gemericik air, aku mulai berbicara.
“Hmm, bagaimana kalau kita membicarakan rencana ke depan?”
Setelah berpikir sejenak, aku memutuskan topik pembicaraan: rencana-rencana yang ingin kulakukan bersama Nagi.
“Aku ingin pergi ke banyak tempat bersamamu. Kalau kau punya pertunjukan lagi, aku ingin menontonnya. Kalau kau punya tempat yang ingin kau kunjungi, aku juga ingin ikut.”
Aku berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, “Dan… suatu hari, aku ingin kau datang ke rumahku, ke rumah keluargaku. Tempatnya agak di pedesaan, tapi tidak buruk. Ayah dan ibuku orang yang baik, dan aku ingin memperkenalkanmu pada mereka.”
Begitu aku mulai berbicara, kata-kata terus mengalir tanpa henti. Aku bercerita tentang rumah keluargaku, kenangan masa kecilku, hingga berbagai pengalaman lucu. Semua yang menyenangkan, tentu saja—aku sengaja menghindari cerita yang menyedihkan.
Waktu berlalu begitu cepat saat kami berbincang, hingga tiba-tiba—
“Souta-kun,”
“Oh, sudah selesai?”
“Ya. Aku punya satu pertanyaan. Apa yang biasanya kau lakukan saat liburan akhir tahun? Apakah kau pulang kampung?”
“Ya, aku selalu pulang. Kalau tidak, ibuku mungkin akan datang ke sini, jadi itu sudah jadi rencana setiap tahun.”
Beberapa detik berlalu dengan hanya suara gemericik air yang terdengar. Sepertinya Nagi sedang memikirkan sesuatu.
Namun, dia tak butuh waktu lama untuk berbicara lagi.
“Bolehkah… aku ikut denganmu?”
Suara Nagi sedikit lebih kecil dari suara air, tapi aku bisa mendengarnya dengan jelas. Ucapannya membuatku terkejut.
“Eh… Tapi, apa kau yakin? Bagaimana dengan keluargamu?”
“Tidak masalah. Tapi, sebagai gantinya, aku ingin Souta-kun menghabiskan liburan tahun depan di rumahku. Ayah dan ibuku juga tidak keberatan jika kau membawa keluargamu.”
Itu bukan ide yang buruk. Mungkin terdengar terlalu dini bagi seorang siswa SMA untuk membicarakan hal seperti ini, tapi aku adalah tunangannya. Hubungan baik dengan keluarganya adalah sesuatu yang penting.
“Lagipula, aku ingin berbicara dengan ayah dan ibumu. Semakin cepat, semakin baik,”
“Oh, begitu.”
Dia mungkin ingin membicarakan tentang apa yang terjadi belakangan ini. Aku merasa itu tidak perlu, tapi dari sifat Nagi, aku tahu dia tidak akan melewatkan kesempatan itu.
“Selain itu, aku juga ingin melihat tempat di mana kau tumbuh besar,” katanya.
“Baiklah. Kalau begitu, nanti aku akan mengajakmu saat aku pulang.”
“Benar-benar?!”
“Ya, tapi tolong pastikan kau bicara dengan keluargamu dulu. Dan, meski aku tidak perlu mengingatkanmu, jangan lupa untuk menghabiskan waktu bersama mereka juga.”
“Tenang saja! Aku sangat mencintai ayah, ibu, dan Suzaka-san!”
Aku tersenyum mendengar jawaban itu.
Setelah beberapa saat, aku mendengar suara Nagi yang sedang membasuh tubuhnya, diikuti suara dia berendam di dalam bak mandi. Kami terus berbincang hingga tiba-tiba—
‘Piron.’
Suara notifikasi ponselku berbunyi. Saat aku melirik layar, tubuhku seketika menegang.
“Nagi, ada yang harus kubicarakan.”
“Ada apa?”
“Orang tuaku bilang mereka akan datang ke sini dalam waktu dekat.”
Aku menjelaskan bahwa biasanya aku menghubungi mereka setiap hari, memberi kabar tentang kesehatanku dan memastikan tidak ada masalah. Namun, kemarin aku melewatkannya karena berbagai kejadian. Rupanya, mereka cukup khawatir hingga memutuskan untuk datang.
“Kapan mereka akan datang?”
“Sabtu depan. Apakah kau bisa?”
“Tidak masalah. Aku ingin berbicara langsung dengan mereka.”
Setelah percakapan itu, aku berusaha mencairkan suasana dengan mengganti topik. Kami kembali berbicara tentang tempat-tempat yang ingin kami kunjungi bersama.
Namun, saat aku menoleh ke rak di sudut ruangan, aku melihat sesuatu—pakaian Nagi yang terlipat rapi di keranjang cucian. Di atas tumpukan itu—
“Souta-kun? Ada apa?”
Suara Nagi mengembalikanku ke kenyataan.
“Ti-tidak, tidak ada apa-apa.”
Suaraku terdengar sedikit gemetar. Aku mencoba menenangkan diriku, tapi sulit. Dengan cepat, aku mengambil handuk dari rak dan meletakkannya di atas tumpukan pakaian untuk menyembunyikannya.
“K-Kalau begitu, Nagi, bagaimana biasanya kau menghabiskan waktu saat liburan akhir tahun?” tanyaku, mencoba mengalihkan perhatian.
Kami kembali berbincang, tapi bayangan pakaian itu terus menghantuiku, membuat jantungku terus berdetak tak karuan sepanjang percakapan.
∆∆∆
Entah bagaimana. Entah bagaimana aku berhasil menenangkan diriku... atau setidaknya aku ingin berpikir begitu. Tidak, aku harus meyakinkan diriku. Semua akan baik-baik saja.
Sambil menunggu Nagi mengenakan pakaian di luar, aku berusaha keras untuk menghilangkan segala godaan dengan menggelengkan kepala. Aku juga terus menghirup napas dalam-dalam.
Beberapa saat kemudian, Nagi keluar.
Wajahnya—meskipun baru saja mandi—tetap sangat merah.
“K-kamu lihat?’”
“...Aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak melihat.”
Aku tidak ingin berbohong. Sebenarnya, meskipun aku menutupi tubuhnya dengan handuk, rasanya aneh kalau aku tidak menyadari hal itu.
Nagi menatap wajahku dengan wajah yang sangat merah... tanpa berkata-kata.
“...Begitu ya.”
Dia tidak terlihat marah, tapi dia terlihat sangat malu... Ah, wajahku juga terasa panas.
Namun, di balik ekspresi itu—aku merasa ada perasaan lain yang bercampur, sesuatu yang bukan hanya rasa malu.”
∆∆∆
“……”
Sambil berendam di dalam bak mandi, aku berulang kali menyiramkan air ke wajahku.
Kejadian tadi terus melekat di pikiranku. Begitu aku menutup mata, ingatan itu kembali muncul.
“Ini tidak baik. Benar-benar tidak baik.”
Jika ditanya apakah aku pernah memandang Nagi dengan cara seperti itu, aku tidak bisa dengan jujur menggelengkan kepala.
Selama ini pun, ada beberapa kali aku tanpa sengaja menyadari sisi femininnya.
Namun, aku selalu berusaha untuk tidak melihatnya dari sudut pandang seperti itu. Alasannya──
“Dia pasti... tidak nyaman dengan hal seperti itu.”
Aku bertemu Nagi pertama kali ketika menyelamatkannya dari seorang pelaku pelecehan di kereta.
Sejak itu, Nagi menjadi takut pada laki-laki. Sentuhan fisik mungkin tidak masalah, tetapi dia pasti memiliki ketakutan atau perasaan jijik terhadap hal-hal yang bersifat seksual.
Bahkan, itu bisa memicu trauma masa lalunya. Kalau pun suatu saat aku bisa melakukan hal seperti itu dengannya, mungkin itu baru akan terjadi beberapa tahun ke depan… saat kami sudah dewasa.
“Sejujurnya… aku ingin… ingin mandi bersama denganmu.
Kata-kata itu terngiang di pikiranku, membuatku menenggelamkan kepala ke dalam air.
Pasti itu hanya karena dia takut menonton film horor, tidak mungkin maksudnya seperti itu.
“…Hah.”
Air hangat ini terasa begitu nyaman saat ini. Aku menghela napas dan menatap ke arah langit-langit.
∆∆∆
Saat aku mandi, Nagi berada di ruang tamu.
“Dalam kasusku, ada keadaan yang membuatku ingin tetap dekat, tetapi pada dasarnya, kamar mandi adalah tempat untuk bersantai. Aku akan membaca buku untuk mengalihkan perhatian, jadi silakan mandi dengan tenang, Souta-kun”
Kata-kata itu sangat melegakan, terutama setelah kejadian tadi.
Setelah selesai berganti pakaian, aku menuju ruang tamu—dan tanpa sadar menghentikan langkahku.
Nagi duduk di sofa, fokus membaca buku.
Mata birunya yang seperti lautan bergerak naik turun, dan jari-jarinya yang ramping seperti ikan putih dengan lembut membalik halaman. Gerakannya begitu anggun dan penuh perhatian hingga aku tidak bisa mengalihkan pandangan.
Sesekali, dia menyentuh dagunya, seolah memikirkan sesuatu, lalu menatap ruang kosong dengan serius.
Setelah pikirannya tersusun, tatapannya kembali ke buku, dan hanya suara halaman yang dibalik yang terdengar di ruangan itu. Mata indahnya kembali bergerak naik turun, melahap isi buku.
Ah, dia cantik.
Hanya kata itu yang muncul di pikiranku.
Wajah serius itu berbeda dari senyumnya yang biasa. Bahkan berbeda dari ekspresi saat pertama kali aku bertemu dengannya.
Tiba-tiba, aku teringat saat pertunjukan. Wajah serius yang sangat khas dari Nagi. Itu sangat indah, hingga aku tanpa sadar terpana.
Saat aku terus menatap, suara halaman yang dibalik terhenti.
”──Oh? Souta-kun, sudah selesai mandi?”
”Ah, ya. Aku baru saja selesai.”
Mata birunya, yang seperti dasar laut, menatapku tajam, dan alisnya yang indah sedikit mengerut.
“……Souta-kun. Duduk di sini, tolong.”
”Hm? Baik, baik.”
Nagi menyelipkan pembatas buku di bukunya dan meletakkannya di atas meja. Kemudian, dia menepuk-nepuk tempat di sebelahnya.
Sekarang aku menyadari, Nagi mengenakan piyama biru langit yang lembut dan berbulu. Mungkin itulah salah satu alasan aku terpana sebelumnya—karena kontras dengan ekspresi seriusnya.
Aku duduk di sebelahnya sambil memikirkan hal itu. Lalu, Nagi mengulurkan tangannya dan menyentuh rambutku. Tatapannya berubah menjadi sedikit jengkel.
“……Seperti yang kuduga. Rambutmu belum benar-benar kering, Souta-kun.”
“Ah.”
Aku baru menyadari itu. Kebiasaan burukku adalah mengeringkan rambut setengah-setengah.
“I-ini... Rambutku pendek, jadi kupikir akan cepat kering secara alami.”
”Meski ada pemanas di ruangan, itu tidak baik. Kau bisa sakit.”
”……Benar juga.”
Aku tidak bisa membantah. Kebiasaan malas ini harus segera kuperbaiki… atau mungkin sudah terlalu terlambat.
Sambil aku merenung, aku mendengar suara tawa kecil dari Nagi.
”Benar-benar tidak bisa dibiarkan, ya. Biar aku yang mengeringkannya!”
”Eh? Tapi… rasanya aku merepotkanmu.”
”Aku tidak keberatan. Malah sepertinya menyenangkan mengeringkan rambutmu, Souta-kun.”
Nagi berdiri, mengambil pengering rambut dari tasnya, dan berjalan ke belakang sofa.
”Baiklah, aku mulai, ya?”
”…Ya, terima kasih.”
Aku menerima kebaikannya dengan rasa syukur. Suara angin dari pengering rambut memenuhi ruangan, tapi tidak terlalu berisik.
Angin hangat menyentuh rambutku, dan jari-jari halus Nagi mengacak-ngacaknya.
“Panas tidak?”
”Tidak, ini nyaman.”
Jari-jarinya yang ramping menyisir rambutku, membuat kepalaku terasa hangat dan nyaman. Tanpa sadar, aku memejamkan mata.
Saat rambutku mulai kering, Nagi memijat kulit kepalaku. Sentuhannya begitu nyaman hingga aku mendesah pelan.
”……Fufu. Sepertinya kamu menikmatinya.”
”Ya. Ini sangat nyaman.”
Mendengar jawabanku, Nagi tersenyum kecil, lalu melanjutkan memijat kepalaku. Kehangatan dan kelembutan itu hampir membuatku tertidur.
”Baiklah, sudah selesai.”
“Terima kasih. Ini sangat menyenangkan.”
”Hehe, sama-sama.”
Nagi merapikan pengering rambutnya. Saat aku melihat jam, ternyata sudah lewat pukul sembilan. Itu adalah waktu tidur Nagi.
Dan tiba-tiba, aku ingat sesuatu: di mana Nagi akan tidur malam ini?
“Nagi, tidurlah di tempat tidurku.”
Namun, mendengar itu, tatapan Nagi berubah tajam lagi.
"……Souta-kun, kamu tidak akan tidur di sofa, kan?”
”Hah? Eh, iya. Aku bisa tidur di sofa. Gunakan bantal kecil sebagai pengganti.”
Sofa itu memang tidak besar, tapi aku bisa tidur di sana tanpa masalah.
Namun──
”Tidak boleh.”
Nagi berkata tegas, tampak sedikit kesal.
“T-tapi kalau tidak begitu, tidak ada tempat tidur untukmu…”
“Tidak boleh. Kita tidur bersama.”
Nagi sama sekali tidak berniat mengalah.
Menolak terlalu keras di situasi seperti ini juga tidak baik.
Berbagai pikiran dan perasaan bercampur aduk dalam kepalaku, membuatku memejamkan mata.
”…Baiklah.”
Apa pun yang kukatakan, Nagi mungkin tidak akan menerima alasan apa pun. Cepat atau lambat, aku akan mengalah. Kalau begitu, lebih baik menyerah dari awal. Lagipula, bukan berarti aku keberatan tidur bersama dengannya.
Mendengar jawabanku, wajah Nagi yang tadi sedikit kesal langsung berubah ceria.
”Ya! Kalau begitu, ayo ke tempat tidur bersama!”
Tentu saja aku tidak punya niat buruk. Detak jantungku yang semakin keras ini hanya reaksi tubuh yang wajar. Tenang, tenang, aku mencoba menenangkan diriku sendiri sambil mengikuti Nagi ke kamar tidur.
Setibanya di kamar, Nagi tersenyum manis.
“Kamar Souta-kun, baunya sangat seperti Souta-kun.”
“…Itu bukan maksud yang buruk, kan?”
“Tentu saja tidak. Baunya membuatku merasa tenang, tapi juga anehnya membuat jantungku berdebar. Ini aroma yang kusukai.”
Kata-katanya menusuk hati, membuatku tak mampu berkata apa-apa. Nagi, yang terlihat sangat menikmatinya, berjalan ke tempat tidur.
”Kalau begitu, aku duluan, ya.”
Dia berbaring santai di atas tempat tidur, lalu menepuk-nepuk sisi kosong di sebelahnya.
“Ayo, Souta-kun, cepat datang.”
”…Iya, aku tahu.”
Aku tertawa kecil sambil berpikir siapa sebenarnya yang punya kamar ini. Lalu, aku ikut berbaring di samping Nagi, yang masih tersenyum lebar.
Untungnya, aku memang membeli tempat tidur yang cukup besar, jadi masih cukup nyaman meski kami berdua berbaring di sini. Ketika aku menoleh, Nagi sudah ada di sana, sangat dekat. Dia berbaring miring, memandangku.
”Hehe… Ini pertama kalinya aku menginap di rumah orang. Rasanya mendebarkan.”
Tangannya yang kecil dan hangat tiba-tiba menggenggam tanganku.
”…Iya, sejak tadi detak jantungku sangat keras.”
Salah satu tangannya terulur, menyentuh dadaku, tepat di atas jantung. Telapak tangannya yang hangat terasa menyatu dengan denyut jantungku.
“Benar juga. Detak jantungmu sama kencangnya denganku.”
“Nagi juga merasa begitu, ya.”
“Souta-kun mau coba merasakannya?”
”Eh, tidak, tidak usah.”
“Hehe, baiklah.”
Matanya yang biru memancarkan sedikit kilauan nakal. Aku memalingkan wajah sambil berdeham pelan. Setelah itu, tangannya menjauh dari dadaku dan kembali menggenggam tanganku.
Aku kembali menatap Nagi, yang kini tersenyum lebih lebar.
”Hehe, aku senang sekali bisa berbaring di samping Souta-kun.”
”…Pagi tadi kau juga menyelinap ke tempat tidurku, kan?”
”Itu berbeda. Sekarang, aku merasa Souta-kun jauh lebih dekat daripada sebelumnya. Bukan jarak fisik, tapi jarak hati.”
Nagi bergerak sedikit lebih dekat, dan aroma manis seperti bunga menyeruak ke hidungku.
“Tapi, aku sedikit gugup. Ini pertama kalinya aku tidur di sebelah seorang laki-laki.”
“…Jangan terlalu gugup. Aku tidak akan melakukan hal aneh.”
Aku mencoba menenangkannya, agar dia bisa tidur dengan nyaman. Namun, Nagi hanya menatapku lagi, wajahnya merona merah.
”…Benarkah tidak akan melakukan apa pun?”
Suara kecilnya itu, meski lirih, terdengar jelas. Tubuhku membeku seolah berubah menjadi batu. Kata-katanya bergema di kepalaku, berulang kali.
Aku menatapnya, memastikan apakah aku salah dengar. Tapi, mata birunya, seperti permata yang menyimpan lautan, menatapku dengan tegas.
”Tidak apa-apa… tidak perlu menahan diri.”
Genggaman tangannya perlahan mengendur. Jemari rampingnya menyentuh pipiku dengan lembut.
”…Ja-jangan bercanda seperti itu.”
“Aku tidak bercanda. Aku serius.”
Nagi mendekat, dan aroma manis itu semakin kuat.
Jarak kami kini sangat dekat. Hanya sedikit gerakan, dan kami akan saling bersentuhan.
Mata birunya kini berada tepat di depanku.
Dia mengambil tanganku, lalu meletakkannya di dadanya sendiri.
”Nagi.”
Aku memanggil namanya. Gerakannya terhenti. Tapi, tanganku masih berada di posisi yang sangat berbahaya.
”…Nagi.”
Aku memanggilnya lagi. Perlahan, Nagi melepas tanganku.
Mata biru itu menatapku dengan sedikit rasa cemas. Aku pun menggerakkan tubuhku dan memeluk Nagi.
”So-Souta-kun?”
Dia tampak bingung, tapi aku memeluknya erat, agar dia merasa tenang.
“Aku mencintaimu.”
Aku berharap perasaanku ini bisa tersampaikan.
”Aku mencintaimu, Nagi. Aku benar-benar mencintaimu.”
Pelan-pelan, Nagi menggerakkan tangannya ke punggungku, lalu memelukku dengan erat.
”Karena aku mencintaimu, aku ingin menjagamu dengan baik.”
Namun, aku merasakan tangannya sedikit gemetar, seolah dia takut akan sesuatu.
”Tapi… apakah itu berarti aku tidak menarik sebagai seorang perempuan?”
”Tidak mungkin seperti itu. Sebenarnya… aku merasa kamu sangat menarik sebagai seorang perempuan. Bahkan, aku terlalu sering menahan diri agar tidak melihatmu dengan cara tertentu.”
”…Kamu tidak perlu menahan diri, lho.”
Bisikan kecil itu membelai hatiku dengan lembut namun menggoda. Aku berusaha tidak terlalu memikirkannya, lalu memeluk Nagi lebih erat.
”Nagi… apakah kamu masih merasa bersalah padaku?”
Aku mendengar dia menahan napas. …Ternyata, memang begitu.
“Tapi, aku benar-benar mencintaimu, Souta-kun. Dan… aku juga benar-benar ingin melakukannya denganmu.”
”Aku tahu itu. Aku ingin kamu merasa seperti itu. Tapi…”
Aku melonggarkan pelukanku, dan Nagi juga melonggarkan pelukannya. Aku mengangkat wajahku dari pundaknya dan menatap langsung ke dalam matanya yang biru bercahaya.
”Aku ingin kita setara, Nagi. Kalau kamu masih punya sedikit saja rasa bersalah di dalam hatimu… aku pikir sekarang belum saatnya kita melangkah sejauh itu.”
Mata birunya sedikit bergetar. Keyakinanku semakin kuat.
”Aku sangat senang mendengar kamu berkata seperti itu. Tapi menurutku, kita tidak perlu terburu-buru.”
Masalah antara aku dan Nagi baru saja terselesaikan pagi ini. Meski sudah selesai, aku yakin emosinya belum sepenuhnya stabil.
Jika kupikir lagi, sepanjang hari ini dia terus seperti itu. Ketika memasak siang tadi, dia menyebutnya sebagai “permintaan maaf.” Setelah mandi, dia juga tampak sangat perhatian meskipun aku baru menyadarinya sekarang.
Aku tidak tahu apakah dia melakukannya secara sadar atau tidak. Tapi menurutku, hubungan seperti ini belum bisa disebut setara.
Masih banyak waktu di depan kita. Lagipula, kami berdua masih SMA.
Mata birunya yang semula menatapku dengan penuh rasa percaya diri kini sedikit meredup
”…Maafkan aku.”
Suara itu terdengar seperti dipaksa keluar, penuh dengan rasa bersalah dan penyesalan.
…Apakah ada cara yang lebih baik untuk menyampaikan hal ini?
Sejenak, pikiran itu melintas di benakku. Tapi tak ada gunanya memikirkan hal itu sekarang. Aku yakin aku telah menyampaikan perasaanku dengan kata-kataku sendiri.
”Jangan minta maaf. Ini hanyalah keinginanku sendiri. Lagipula… aku juga belum siap secara emosional.”
Aku berkata sambil tersenyum, lalu mengusap kepalanya dengan lembut.
”Mari kita melangkah perlahan. Dengan langkah kita sendiri… aku yakin kita bisa bahagia bersama di masa depan.”
Aku mengusap kepalanya pelan agar tatanan rambutnya tidak berantakan. Sedikit demi sedikit, cahaya kembali ke mata birunya.
”Ya!”
Suaranya kembali ceria, membuatku merasa lega dari lubuk hati terdalamku.
Namun, tiba-tiba, wajah Nagi mendekat. Bibirnya yang lembut dan hangat menyentuh bibirku.
”Tapi, kalau kamu tidak bisa menahan diri, beritahu aku, ya. A-aku selalu siap…”
Dengan pipi memerah, dia menempelkan dahinya ke dahiku sambil berkata begitu.
Meskipun dia yang baru saja mengatakan hal itu, otakku terasa berputar-putar. Aroma manis dan hangat dari dahinya membuat pikiranku hampir terhenti, tetapi aku berhasil menahannya.
”Menahan diri itu tidak baik, kan?”
“…Baiklah.”
Meski terasa seperti berada di atas tumpukan puing-puing yang rapuh, aku tetap mengangguk tegas, mencoba menguatkan diriku sendiri.
Lalu, Nagi menatapku dengan serius.
”Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”
”Apa itu?”
Ekspresinya bukan serius yang berat, melainkan lebih seperti malu atau sedikit canggung.
”…Aku mungkin adalah gadis yang nakal”
Aku terkejut mendengar kata-kata yang sama sekali tidak terduga itu.
“Kenapa tiba-tiba berkata seperti itu? Kalau ini tentang tadi, kamu tidak perlu terlalu memikirkannya.”
“Bukan itu saja, tapi… ya, itu juga bagian dari alasannya. Maksudku, sebenarnya…”
Wajah Nagi memerah, dan ia menutup bibirnya yang berwarna merah muda lembut dengan kedua tangannya.
”A-aku… mungkin sangat menyukai… ciuman.”
Dengan wajah yang dipenuhi rasa malu, ia memalingkan pandangannya dariku.
”Setiap kali mencium Souta-kun, kepalaku terasa melayang, hatiku menjadi hangat, dan perasaan bahagia bercampur rasa cinta meluap begitu saja. Jadi, itu sebabnya…”
Nagi mengarahkan matanya yang berkaca-kaca ke arahku.
“…Bolehkah aku menciummu sekali lagi?”
Rasionalitasku perlahan terkikis. Tapi ketika aku melihat sedikit bayangan gelap yang masih tersisa di matanya, aku tidak mungkin menolaknya.
“Ten-tentu saja.”
Aku berusaha mengeluarkan kata-kata itu, dan bayangan gelap itu menghilang, digantikan dengan cahaya mata yang sedikit menggoda.
“Per-permisi.”
Bibirnya yang lembut dan hangat menyentuh bibirku. Kami berdua menahan napas.
Kali ini, berbeda dari sebelumnya yang sering kali tiba-tiba, aku bisa merasakan sensasinya lebih jelas.
Manis, seperti gula yang meleleh, yang membuat pikiranku terasa ikut larut. Tubuhku menegang, lalu mengendur, tanpa bisa tenang.
Beberapa detik kemudian, bibirnya menjauh. Tapi sebelum aku bisa berkata sesuatu…
“Sekali lagi saja.”
Ia kembali mendekatkan bibirnya ke bibirku. Matanya sedikit terbuka, dan tangannya perlahan melingkar di punggungku, memelukku dengan manja.
Seperti sebelumnya, ciuman itu hanya berlangsung beberapa detik sebelum terlepas lagi.
”Tidak… aku tidak bisa berhenti…”
Dengan suara kecil, ia menekan perasaannya, lalu memelukku dengan erat. Pelukannya begitu kuat hingga hampir sulit bernapas.
Aku memeluknya dengan kekuatan yang sama, dan tanpa sadar tersenyum.
“Kamu tidak perlu memaksakan diri untuk menahan, Nagi. Bukankah tadi kamu juga mengatakan itu padaku?”
Mendengar itu, pelukannya perlahan melemah… tapi kemudian kembali menguat.
“Ti-tidak! Kalau begitu, kita akan sampai pagi!”
“…Tapi bukankah menahan diri justru membuatmu merasa terbebani secara emosional?”
”Ugh… Baiklah, kalau begitu sekali lagi saja… Ti-tidak! Souta-kun, kamu sudah terlalu memanjakanku! Jangan terlalu memanjakan aku!”
Aku merasa dimarahi dengan cara yang sedikit tidak masuk akal. Tapi entah kenapa, meskipun ia marah, ia tetap terlihat menggemaskan.
“Menurutku, memanjakanmu sedikit tidak masalah. Kamu boleh sedikit egois.”
”Me-meski begitu… sungguh, kalau tidak, ini akan benar-benar sampai pagi. Tidak, tidak boleh!”
Nagi melepaskan pelukannya, lalu meletakkan tangannya di dadanya sendiri.
”Setiap kali aku mencium Souta-kun, aku merasa sangat bahagia, sangat senang. Di sini,”
katanya sambil menunjuk dadanya,
"Jantungku berdebar begitu kencang. Tapi karena ada Souta-kun di dekatku, aku juga merasa tenang. Aku jadi ingin terus melakukannya, berlama-lama. Itu sebabnya… tidak boleh terlalu sering. Karena aku takut, nanti di luar aku juga jadi ingin melakukannya.”
Benar juga. Itu tidak baik. Kita harus tahu tempat dan waktu, agar tidak mengganggu orang lain. Lagipula, beberapa orang mungkin merasa tidak nyaman melihatnya.
”Jadi, mungkin… cukup satu kali sehari… atau, mungkin dua kali saja, ya?”
Seperti saat dia dengan gugup mengoreksi jumlah usapan kepalanya sebelumnya, Nagi buru-buru mengubah pendapatnya. Aku tidak bisa menahan senyum melihat itu.
”Baiklah. Kalau kamu ingin menambahnya, katakan saja kapan pun.”
”Ya!”
Nagi menjawab dengan semangat, dan aku tersenyum mendengar itu.
Kami pun kembali berbaring bersama.
Dalam posisi terlentang, aku menoleh ke arahnya. Pandanganku bertemu dengan mata birunya yang cerah.
”Souta-kun.”
“Ada apa?”
“Aku mencintaimu.”
Dia menggenggam tanganku, bukan hanya menggenggam, tapi menyelipkan jarinya di antara jariku, seperti yang sering disebut “genggaman pasangan.”
”Aku juga mencintaimu, Nagi.”
Ketika aku menjawab, Nagi tersenyum begitu cerah, seolah ingin menunjukkan kebahagiaan yang meluap dari dirinya.
“Besok, ya.”
“Iya. Besok lagi.”
“Ya! Tapi… aku mungkin akan kesulitan tidur karena jantungku masih berdebar.”
Aku tertawa mendengar kata-katanya.
”Aku juga merasakan hal yang sama. Bagaimana kalau kita bicara sampai kita merasa mengantuk?”
“Ya! Ayo!”
Dia mengangguk penuh semangat, dan kami mulai berbicara.
Tentang tempat yang ingin kami kunjungi bersama, hal-hal yang ingin kami lakukan bersama. Kami terus berbicara, berulang-ulang, sampai kami berdua tertidur.
∆∆∆
Keesokan harinya, aku terbangun dengan tubuh yang terasa panas luar biasa.
”...Uta-kun.”
Seseorang memanggil namaku. Kesadaranku yang terasa seperti terendam dalam air mendidih perlahan mulai pulih dengan cepat.
“Souta-kun, kamu baik-baik saja... Tidak, kamu tidak baik-baik saja. Demammu tinggi sekali dan kamu penuh dengan keringat. Tunggu sebentar, aku akan mengambil air untukmu.”
Di depanku, wajah cantik Nagi terlihat jelas. Tangannya yang dingin menyentuh dahiku dengan lembut. Tak lama kemudian, dia menarik tangannya dan segera keluar dari kamar.
Aku mencoba bangun sambil bertanya-tanya apa yang terjadi pada tubuhku, namun pandanganku langsung terasa berputar.
──Ah, rasa ini. Sudah lama aku tidak mengalaminya.
Jadi, aku kena flu, ya?
Kepalaku terasa berat dan pusing. Bahkan saat duduk, aku hampir terjatuh sehingga harus menopang tubuh dengan tangan di tempat tidur. Beberapa saat kemudian, Nagi kembali dengan membawa segelas air.
Padahal sampai kemarin ── atau lebih tepatnya, rasanya baru saja aku masih sehat dan bugar.
“Bagaimana denganmu, Nagi? Kondisimu baik-baik saja?”
“Aku tidak apa-apa. Yang penting sekarang adalah kondisi Souta-kun. Minumlah air ini, setelah itu kita periksa suhu tubuhmu. Aku juga akan menghubungi Suzaka-san. Kalau ini masih pagi, mungkin teman dokter Papa bisa datang untuk memeriksa.”
“Tidak perlu sampai seperti itu. Aku rasa cukup tidur saja dan nanti juga sembuh.”
“Tidak bisa.”
Nagi menatapku dengan pandangan tegas. Sepertinya, kali ini aku harus menurut saja padanya.
“Baiklah.”
Aku mengangguk pelan, lalu mulai meminum air yang dibawanya.
∆∆∆
‘Kriuk, kriuk. Suara jernih yang menenangkan telinga menggema di seluruh ruangan.
”Baiklah, selesai. Souta-kun, ayo buka mulutmu. Aa~n,”
Nagi berkata sambil memetik sepotong apel dari piring menggunakan jarinya dan menyodorkannya padaku.
Aku ragu untuk duduk… penglihatanku masih sedikit berkunang-kunang, jadi aku berbaring menyamping dan membuka mulut.
Saat menggigit apel, rasa manis yang segar memenuhi mulutku. Dingin yang menyertainya terasa begitu nyaman.
“Enak?”
“Iya. Manis dan enak.”
Begitu terus, Nagi menyuapiku berulang kali. Meskipun sedikit malu, aku merasa lebih senang daripada apa pun.
“…Fufu, syukurlah.”
Nagi tersenyum dan kembali menyuapiku apel beberapa kali lagi.
Aku merasa tidak enak karena dia repot-repot melakukan ini, apalagi dia sudah mengupas apelnya. Namun, saat melihat Nagi yang tampak menikmati melihatku seperti ini, aku tanpa sadar memandangnya lekat-lekat.
“…? Oh, maaf. Umm… sebenarnya, ini mungkin tidak pantas, tapi…”
Nagi tersenyum malu-malu dan berkata lembut,
“Biasanya aku yang selalu bergantung padamu, jadi bisa merawat Souta-kun seperti ini terasa berbeda… dan menyenangkan.”
“…Padahal biasanya kau memang sering manja.”
“Tapi, kan, aku masih sedikit menahan diri, bukan?”
“Itu sih….”
Memang benar. Tapi lebih karena aku masih merasa malu daripada menahan diri.
“Tidak apa-apa, kok.”
Nagi menyodorkan apel ke bibirku lagi.
“Hari ini, biar aku yang merawatmu sepenuhnya. Souta-kun, manja saja sepuasnya. Bilang saja apa pun yang kau mau.”
“…Terima kasih.”
Aku menggigit apel lagi. Rasa manis dan asam memenuhi mulutku—
“Sama-sama!”
Melihat senyum Nagi dan mendengar ucapannya, suasana hatiku pun membaik secara alami.
∆∆∆
"…Uta-kun, Souta-kun."
Setelah minum obat dan kembali tertidur, kesadaranku tiba-tiba digugah oleh Nagi.
"…Nagi? Ada apa?"
"Maaf telah membangunkanmu. Tapi aku merasa sedikit khawatir dengan keringatmu, Souta-kun. Kalau dibiarkan, tubuhmu bisa kedinginan lagi."
Mendengar itu, aku bangkit dan… memang, keringatku sangat banyak. Bagian punggungku basah kuyup.
"Untung saja tadi aku meletakkan handuk di tempat tidur. Selain itu, kamu pasti merasa tidak nyaman karena basah, jadi aku sudah membawa baju ganti, air hangat, handuk untuk mengelap, dan handuk baru untuk alas tidur. Bagaimana kondisi tubuhmu sekarang?"
"Jauh lebih baik daripada sebelumnya. …Meski belum sepenuhnya pulih. Terima kasih, Nagi."
Ketika aku duduk, Nagi juga duduk di sebelahku. …Eh, tunggu sebentar.
"Nagi?"
"Karena itu, silakan lepaskan bajumu."
"…Maaf, apa?"
Kata-kata Nagi terasa sulit masuk ke telingaku. Bukan karena aku tidak mendengar, tetapi otakku belum sepenuhnya mencerna, sehingga aku bertanya lagi.
Aku yakin aku salah dengar. Namun, pikiranku itu segera terbantahkan.
"Atau, apakah lebih baik kalau aku saja yang melepaskannya?"
Ucapannya itu langsung membuatku terdiam. Kemudian, Nagi mengeluarkan suara kecil, "Ah," dan wajahnya perlahan memerah.
"T-tidak. Maksudku bukan seperti itu…"
"Jeda itu justru membuatku semakin penasaran."
"…Hanya sedikit penasaran saja, sih. Maksudku, Souta-kun punya tubuh yang cukup atletis, kan?"
Kejujurannya membuatku tertawa kecil. Melihatku tertawa, Nagi jadi panik dan mencoba menjelaskan lebih lanjut.
"J-juga, aku tidak bermaksud meminta kamu melepas semuanya. Bagian punggung pasti sulit dijangkau, dan aku tidak akan melakukan hal aneh pada orang sakit. Jadi, tenang saja."
"Oh, aku tahu itu. Tapi, ya, aku juga tidak akan merasa nyaman jika harus telanjang bulat."
Meski hanya melepas bagian atas terasa agak canggung, aku tidak merasa keberatan. Saat ini, aku sedang sakit, jadi bantuan seperti ini sangat aku hargai.
"Kalau begitu, boleh aku minta bantuanmu?"
"Tentu saja! Aku dengan senang hati membantu!"
Aku memang merasa tidak nyaman dengan keringat yang lengket ini. Meski masih merasa sedikit pusing, aku melepas piyamaku dengan bantuan Nagi. Walau begitu, jarak di antara kami jadi semakin dekat, dan aroma manis darinya membuatku sedikit gugup.
Panas di wajahku ini, apakah karena demam atau hal lain? Aku memutuskan untuk tidak memikirkannya.
"Maaf ya, pasti bau keringatku mengganggu."
"Tidak kok. Kalau itu dari Souta-kun, aku tidak merasa terganggu sama sekali. Malahan… aku suka—"
Nagi mendekatkan wajahnya lagi. Namun, tiba-tiba dia tersadar dan buru-buru menggelengkan kepalanya.
"T-tidak! Maksudku bukan itu! Sungguh, bukan seperti itu!"
"Ah, baiklah. Aku mengerti, tenang saja."
"Ugh…"
Nagi menutup wajahnya yang memerah dengan tangan. Namun, dari sela-sela jari, matanya yang biru mengintip ke arahku.
"…Souta-kun."
Dia berbisik kecil, tetapi karena ruangan ini sunyi, aku bisa mendengarnya dengan jelas.
"Souta-kun, kalau aku ternyata anak yang tidak sopan… atau bahkan sedikit aneh, kamu tidak akan membenciku, kan?"
Pandangan mataku tiba-tiba goyah. Tubuhku condong ke belakang, bersandar pada handuk yang terlipat.
"S-Souta-kun!?"
"Nagi, tolong jangan katakan hal yang bisa menaikkan demamku. …Jantungku jadi berdebar-debar."
"Ma-maaf…"
Aku tanpa sadar mengatakan hal seperti itu pada Nagi. Aku berdeham kecil, lalu duduk tegak kembali.
"…Dan juga. Aku tidak akan membenci Nagi. Kalau pun ada sesuatu yang benar-benar tidak bisa aku terima, mungkin aku akan mengatakannya, tapi aku rasa itu tidak akan terjadi."
"Ya! Aku juga begitu! M-maaf tiba-tiba mengatakan hal aneh. Kalau begitu, aku akan mulai mengelap tubuhmu sekarang."
"Terima kasih."
Nagi merendam handuk ke dalam air hangat, memerasnya, dan aku membalikkan badan agar dia bisa mulai membersihkan punggungku.
Handuk yang hangat menempel di punggungku.
Tidak terlalu panas, tapi terasa nyaman.
"Bagaimana rasanya? Perlu sedikit lebih kuat?"
"Ah, sedikit lebih kuat lagi. …Ya, itu pas. Terima kasih."
Dia menggosok punggungku dengan kekuatan yang pas. Karena keringatku sangat banyak, ini terasa sangat nyaman.
"…Sambil membersihkan, aku baru sadar. Punggungmu besar juga ya, Souta-kun."
"Benarkah?"
"Iya. Kalau kamu sudah sehat, aku ingin bersandar di sini."
"Kalau sudah sembuh, kapan saja boleh."
Kami berbincang ringan sementara dia membersihkan tubuhku. Setelah selesai dengan punggungku, Nagi mengambil tanganku.
"Aku juga akan membersihkan tanganmu. Bagian ini sering terlupakan, padahal penting."
"Terima kasih."
Nagi membersihkan mulai dari bahuku, lengan, hingga tanganku.
"Souta-kun, ternyata tubuhmu cukup berotot ya."
"Meski tidak ikut klub, aku tetap menjaga kebugaran tubuhku. Meski tidak terlalu serius sih."
"Itu hal yang baik."
Nagi terlihat senang saat membersihkanku dengan lembut dan teliti. Bahkan jari-jariku, satu per satu dibersihkan. Rasanya agak geli.
Namun, tiba-tiba dia meletakkan tangannya di atas tanganku.
"Telapak tanganmu besar juga."
Sepertinya rasa ingin tahunya muncul. Dia mengagumi, lalu menggenggam tanganku erat-erat.
"…Menggenggam tanganmu seperti ini membuatku merasa dekat denganmu. Aku suka."
Sekali lagi, pandanganku bergoyang.
Senyumnya, sikapnya, semuanya terlalu membuatku gugup.
"Ma-maaf!"
"Nagi, tolong sadari betapa lucunya dirimu."
Setelah kejadian kecil itu, Nagi melanjutkan membersihkan tanganku. Sementara dia mengambil pakaian ganti, aku menyelesaikan membersihkan bagian depan dan bawah tubuhku sendiri. Rasanya jauh lebih segar.
Setelah itu, aku kembali tidur. Tubuhku semakin membaik. Keesokan harinya, kondisiku sudah cukup baik untuk ke sekolah, tetapi aku memutuskan untuk tetap di rumah agar tidak menularkan penyakit.
Awalnya aku meminta Nagi untuk pergi ke sekolah saja, tetapi dia menolak.
"Hari ini aku akan tetap menjagamu. Masih ada banyak yang perlu dilakukan seperti mencuci dan memasak. Selain itu, aku khawatir kalau kamu memaksakan diri dan sakit lagi."
Aku khawatir dia akan tertinggal pelajaran, tetapi ternyata dia sudah meminta catatan dari Hayama. Katanya, dia juga sudah cukup melakukan persiapan sebelumnya, jadi tidak masalah jika absen satu hari lagi. Bahkan orang tua Nagi setuju dengan keputusan itu.
Aku sendiri sudah meminta catatan dari Eiji nanti. Meski terlihat santai, dia ternyata cukup rajin mencatat. Aku sangat terbantu.
Di hari kedua, aku makan sup hangat dan makanan lain yang ringan untuk perut. Dengan bantuan Nagi, akhirnya aku pulih sepenuhnya.
∆∆∆
“Hei! Kau masih hidup?”
“Ya, pagi, Eiji. Aku berhasil bertahan.”
Begitu aku memasuki kelas, Eiji langsung menyapaku dan tanpa basa-basi merangkul pundakku.
“…Aku baru saja sembuh, jadi jangan terlalu dekat, oke?”
“Hah? Ah, sebelum itu, ada sesuatu yang perlu kubicarakan.”
Dia mendekatkan mulutnya ke telingaku dan berbicara pelan.
“Ada rumor kalau kalian berdua pacaran. Katanya ada yang melihat kalian menuju taman hiburan Sabtu kemarin. Jadi, bagaimana menurutmu?”
Dia menyampaikan itu dengan suara kecil.
“Bagaimana ya... Aku harus memikirkannya dulu.”
Aku merenung sejenak. Rasanya lebih baik membicarakannya dengan Nagi terlebih dahulu.
“Menurutku, lebih baik diumumkan saja. Kalau tidak, bisa-bisa ada yang mendekatinya dengan niat aneh. Lagi pula, ini pasti akan terbongkar cepat atau lambat.”
“Kau benar. Aku setuju.”
Nagi, yang biasanya dikenal sebagai ’Sang Putri Es’ , memancarkan aura yang begitu kuat hingga hanya beberapa orang yang berani mendekatinya. Namun, meski begitu, kecantikannya tetap membuat banyak orang mencoba untuk mendekatinya.
Hal itulah yang membuatku merasa sedikit khawatir. Kalau saja Nagi menunjukkan sisi manisnya seperti saat bersamaku di sekolah...
Hanya membayangkannya saja sudah membuatku takut. Aku tak mau Nagi menghadapi hal-hal buruk atau menjadi objek perhatian yang tak diinginkan.
Selain itu, aku juga menyadari sesuatu—aku tidak suka kalau ada orang lain memandang Nagi dengan cara yang berbeda.
“Kau memang seperti itu. Selalu lembut terhadap orang-orang yang kau anggap keluarga.”
“Aku hanya punya sedikit lingkaran pertemanan. Setidaknya aku ingin menjaga mereka yang berada di dalamnya.”
Meski aku tidak mengatakannya secara langsung, tentu saja Eiji adalah salah satu dari mereka. Dia sudah banyak membantuku, dan dia juga seseorang yang secara alami ingin aku lindungi.
“Yah, aku sudah menduganya. Kalau begitu, aku akan menyebarkan kabar ini kalau ada yang bertanya.”
“Ya, aku percayakan itu padamu.”
Begitu Eiji menjauh, seorang siswi mendekat. Dia tipe orang yang suka mengobrol dan cukup populer di kelas.
“Hei, Minori-senpai. Apa benar kau pacaran dengan ’Sang Putri Es’ ?”
Pertanyaannya membuatku tertegun sejenak.
…Cepat sekali. Rumor ini menyebar begitu cepat.
Aku menarik napas lega karena Eiji sudah memberitahuku sebelumnya. Lalu, aku mengangguk.
“Ya, itu benar.”
“Serius!?”
Dalam sekejap, suasana kelas berubah ramai. Para gadis bersorak sementara para lelaki mengeluh. Kelas terbelah menjadi dua kubu.
Kemudian, para gadis mulai mendekatiku satu per satu.
“Hei, beneran nih!? Sejak kapan kalian pacaran?”
“Bagaimana caramu mendekati dia?”
“Apa cerita awal kalian?”
“Siapa yang pertama mengungkapkan perasaan?”
Pertanyaan demi pertanyaan menghujaniku tanpa henti. Aku melirik Eiji, berharap bantuan, tapi dia hanya menatapku dengan tatapan geli.
“Bagus kan? Akhirnya kau punya momen populer.”
“Kau ini…!”
Sementara aku memutar otak untuk menjawab, pertanyaan lain terus bermunculan.
“Eh, kalian sudah ciuman belum?”
“Rasanya tidak percaya, tapi… kalian sudah pernah pegangan tangan?”
Pipiku mulai memerah tanpa bisa dicegah. Aku mendesah panjang.
Sepertinya, aku tidak akan dilepaskan dalam waktu dekat. Baiklah, aku akan menjawab yang sekiranya bisa kujawab. Kalau menyangkut privasi, aku akan memilih untuk diam.
Sementara itu, Eiji terus menatapku sambil tersenyum penuh arti. Entah apa yang sedang dia pikirkan, tapi aku merasa sedikit tidak tenang.
∆∆∆
“Hei, hei, Minori-kun. Kami mau pergi karaoke sekarang, mau ikut? Aku masih ingin dengar cerita tentang Putri Es-nya.”
Yang mengejutkan, rentetan pertanyaan itu terus berlanjut hingga jam pulang sekolah. Silih berganti, para siswa terus melontarkan pertanyaan, baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan. Namun, yang terakhir lebih dominan. Bahkan, mereka sampai mengucapkan hal-hal seperti ini.
“Maaf, tapi aku ada urusan setelah pulang sekolah,”
Terus-menerus ditanya seperti ini mulai membuatku merasa jengkel. Aku segera mengambil tas dan bersiap untuk pergi menemui Nagi.
“Eh, tunggu dulu! Sedikit lagi, boleh kan?”
“Aku juga mau tahu!”
“Hei, aku juga mau tanya!”
Meski merasa kesal, aku tetap menahan diri dan berpikir bahwa cukup menjawab hingga mencapai gerbang sekolah saja. Kalau aku mengusir mereka sekarang, gelombang kedua dan ketiga pasti akan datang lagi.
Sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bisa kujawab, aku berjalan menuju gerbang sekolah. Namun, di sana aku melihat kerumunan orang.
Pemandangan ini terasa familiar. Sepertinya aku pernah mengalami hal serupa sebelumnya. Saat aku mencoba mengingat-ingat, kerumunan itu mendadak terbuka.
“Nagi...?”
Rambut putihnya terlihat jelas bahkan dari jarak ini. Rasa deja vu kembali menyeruak.
Namun, bersamaan dengan itu, aku merasa keringat dingin mengalir di punggungku.
Saat ini, di sekitarku ada banyak orang yang tidak dikenali Nagi. Terutama, jumlah anak perempuan tampaknya lebih banyak dibandingkan anak laki-laki.
Aku tidak melakukan apa pun yang salah, tetapi ini pasti bukan pemandangan yang menyenangkan bagi Nagi.
“Souta-kun.”
“Y-ya?”
Nagi memanggilku dengan nada tegas. Aku, yang biasanya santai, kali ini langsung menjawab dengan suara jelas.
Dengan senyum di wajahnya, Nagi melambaikan tangan, mengisyaratkan agar aku mendekat. Aku pun dengan tegap melangkah ke sisinya. Sepertinya orang-orang di sekitar cukup peka untuk tidak ikut mendekat.
“Berjalan di sampingku, tolong,”
Aku menuruti perintahnya dan berdiri di sebelahnya. Lalu, tiba-tiba—
“Eh, ini dia!”
Nagi memeluk lenganku erat, menekan lenganku ke dadanya.
“Hah!? Nagi!?”
“…Kalau aku tidak melakukan ini, mereka tidak akan mengerti,” gumamnya pelan sambil melihat sekeliling.
“Souta-kun adalah tunanganku.”
Suara Nagi tidak terlalu keras, tetapi entah bagaimana terdengar jelas oleh semua orang di sekitarnya.
“Apa!?”
“Serius!?”
“Tunangan!? Bahkan melewati tahap pacaran!?”
Keributan langsung pecah. Aku baru sadar kalau aku belum pernah mengungkapkan hal ini pada siapa pun. Aku berpikir harus meminta izin Nagi dulu sebelum melakukannya.
Masih bingung dengan situasi ini, aku melirik ke arah Nagi. Wajahnya memerah, tapi dia tetap menatap sekitar dengan serius.
“Jadi,” lanjut Nagi dengan nada yang sama.
Meskipun suara Nagi tidak meninggi, kata-katanya langsung menenangkan suasana. Semua orang mendadak diam.
“Souta-kun adalah milikku—dan aku yang akan membuatnya bahagia. Jadi, jangan ada yang mencoba mengganggunya. Baik laki-laki maupun perempuan, jika ada yang menyakitinya, aku tidak akan memaafkannya.”
Nada suara Nagi turun satu tingkat, menciptakan tekanan yang mengingatkanku pada dirinya sebelum kami bertemu— Putri es yang dulu terkenal.
Namun, reaksi yang didapatnya bukan ketakutan, melainkan sorakan dari anak-anak perempuan. Kerumunan perempuan yang lebih jauh mulai bersorak heboh, meski yang dekat hanya terdiam.
“Souta-kun adalah orang yang menarik. Di sekolahku, situasinya juga jadi cukup merepotkan. Hayama-san yang menyarankan aku untuk datang.”
“Situasimu juga?”
“Ya, sama merepotkannya.”
“…Kita sama-sama punya masalah, ya,” ujarku sambil tersenyum tipis.
Kalau aku sampai mendapat perhatian sebanyak ini, aku bisa membayangkan betapa repotnya situasi di sekolah Nagi.
Sambil berpikir begitu, aku melihat ke arah jauh dan menemukan sosok yang dikenal sedang mengacungkan tanda peace . Rupanya, semua ini berawal dari Eiichi.
“Ngomong-ngomong, aku sepertinya tidak bisa menahan ekspresi wajahku lagi,” kata Nagi mendadak.
“Apa maksudnya?”
Ketika aku menatap wajahnya, Nagi tampak seperti sedang berusaha keras menahan senyum, meski bibirnya sedikit bergerak.
“Soalnya, kalau di sebelah Souta-kun, wajahku otomatis jadi tersenyum.”
“Seperti anjing Pavlov saja,”
“Itu karena aku tidak bisa menahannya! Souta-kun ada di sampingku, bagaimana bisa aku tidak senang?”
Meski begitu, situasi ini mulai terasa berbahaya. Jika Nagi tersenyum di tengah perhatian sebanyak ini, mungkin akan memengaruhi kesan orang lain. Tapi… apakah itu masalah besar?
…Entahlah, tetapi aku merasa sedikit tidak nyaman.
Aku berpikir sejenak, lalu menatap Nagi.
“Nagi.”
“Ada apa?”
“Maaf, aku perlu menyembunyikanmu sedikit.”
Aku memeluk Nagi erat, menyembunyikan wajahnya di dadaku. Tentu saja, kerumunan perempuan di sekitar semakin bersorak riuh.
“Eiji!”
“Aku duluan, tahu!”
“Nishizawa!? Dari mana kamu datang!?”
Aku hendak memanggil Eiji,tetapi tiba-tiba Nishizawa muncul dari entah di mana.
“Aku dengar dari Eiji kalau ini akan jadi keributan, jadi aku datang.”
“Aku juga di sini,” kata Hayama-san sambil mendekat.
“Haya… Oh, jadi kamu yang mengantar Nagi ke sini.”
“Tepat sekali. Nah, sebelum guru-guru datang karena keributan ini, ayo kita pergi. Aku akan mengurus kerumunan ini, kalian ikut aku.”
“Eiji, bantu juga ya!”
“Siap, serahkan padaku!”
Sebelum guru datang, akhirnya kami berhasil meninggalkan sekolah.
Aku merasa sedikit cemas memikirkan hari esok, tetapi aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Karena Nagi datang ke sini, mungkin tatapan iri dari orang-orang akan berkurang.
…Semoga.
Untuk saat ini, aku memeluk Nagi lebih erat.
∆∆∆
“…Ma-maaf, aku sudah merepotkanmu.”
“Tidak, yah… aku juga. Akhirnya malah membuat kita jadi terlalu mencolok. Maaf.”
“Jujur saja, waktu kau tiba-tiba menarikku ke pelukanmu, aku sempat bertanya-tanya apa yang terjadi.”
Setelah menjauh dari sekolah, barulah kami berdua sadar bahwa kami tadi agak kelewatan.
Melakukan hal seperti itu di depan umum, apalagi di sekolah… Sekarang setelah dipikir-pikir, rasanya memalukan sekali.
“Tapi, dengan begini tidak akan ada lagi yang berani mengganggu Minorin, kan? Baik itu dari laki-laki ataupun para gadis.”
“Benar sih, tujuan awalnya tercapai… tapi, aku juga merasa itu agak berlebihan.”
Wajah Nagi memerah, dan dia mengatakannya dengan suara pelan. Hayama, yang mendengar itu, tersenyum licik.
“Kalau begitu, berikutnya, Minori-kun harus datang ke sekolah kami dan melakukan hal yang sama, ya?”
“…A-aku akan mati karena malu! Eh, tapi… sebenarnya aku akan senang juga, sih…”
“Ya, aku juga tidak yakin punya cukup keberanian untuk itu…”
Namun, pikiranku mulai memutar. Apa itu langkah yang sebaiknya aku ambil?
Kalau itu bisa mengurangi jumlah orang yang mengganggu Nagi, bukankah itu ide yang bagus?
“Yah, menurutku itu tadi memang berlebihan, tapi… Kalau hanya sekali, untuk menunjukkan bahwa kalian benar-benar pacaran, mungkin itu tidak masalah.”
“…Mungkin kau benar juga.”
“S-Souta-kun!?”
“Nagi mengkhawatirkanku sebelumnya, jadi aku pun ingin memastikan Nagi aman. Aku tidak bilang harus sekarang juga.”
Di sekolahnya, mungkin hampir tidak ada yang tahu siapa aku. Ada kemungkinan—meskipun kecil—seseorang di sana berpikir, “Aku lebih baik darinya.”
Ketika aku sedang mempertimbangkan itu, aku menyadari bahwa wajah Nagi sudah memerah. Dia menutupi pipinya dengan kedua tangan.
“Kalau kau tidak suka, kita tidak perlu melakukannya.”
“Bukan… bukan karena tidak suka. Malah sebaliknya… Membayangkan Souta-kun datang menjemputku saja, aku sudah senang sekali.”
Dia melirikku dengan malu-malu dan memberikan senyum manis.
…Serius.
“Pemandangan ini, aku tidak ingin orang lain melihatnya… Aku tidak ingin siapa pun melihatnya selain aku.”
Aku tidak pernah menyangka diriku memiliki rasa posesif seperti ini.
Saat aku mendesah panjang, Nagi tiba-tiba mendekat dan berbisik dengan lembut.
“Kita sama saja”
∆∆∆
“Selamat pagi, Souta-kun.”
“Selamat pagi, Nagi.”
Akhirnya, aku bisa berkata bahwa keseharianku kembali seperti biasa. Meskipun, mungkin lebih tepat disebut keseharian yang sedikit berbeda dari sebelumnya.
Nagi langsung berdiri di sampingku, seperti biasa, dengan jarak yang sangat dekat. Itu hal yang sudah sering terjadi. Namun, kali ini, jarinya yang ramping menyentuh-nyentuh jariku.
Ketika aku melirik ke arahnya, dia terlihat sedikit gelisah. Aku memutuskan untuk mengulurkan jari kelingkingku, dan ternyata itu adalah tebakan yang benar. Nagi langsung mengaitkan kelingkingnya pada kelingkingku.
Meski hanya dengan kelingking, dia menggenggamnya erat seperti sedang berjanji, tanpa berniat melepaskannya.
Dia menatapku dengan serius, lalu sedikit tersenyum. Kemudian, dia berjinjit dan mendekatkan mulutnya ke telingaku.
“Hanya dengan menyentuhkan jari kita seperti ini, aku bisa merasakan bahwa Souta-kun ada di sampingku. Itu membuatku sangat bahagia.”
Suara lembutnya menggelitik telingaku, menciptakan sensasi yang menenangkan namun juga membuatku merinding. Setelah berkata demikian, Nagi sedikit menjauhkan wajahnya, namun tetap menatapku lekat-lekat.
Saat tatapan kami bertemu, dia tersenyum lebar. Jaraknya sangat dekat—ini benar-benar berbahaya untuk hatiku.
Siapa bilang kecantikan akan membosankan setelah tiga hari? Aku sudah mengenalnya selama dua bulan, tapi dia masih terus membuatku terpesona dan gugup.
Awalnya, aku naik kereta ini hanya untuk melihatnya. Tapi lambat laun, aku mulai tertarik dengan tingkah lakunya dan ingin mengenalnya lebih dalam.
Tanpa sadar, aku hampir mengulurkan tangan untuk membelai kepalanya, tapi untungnya aku berhasil menahan diri. Melakukan itu di sini pasti akan mengganggu orang-orang di sekitar.
Seolah bisa membaca gerakanku, Nagi juga terlihat hendak mengulurkan kepalanya, tetapi dia berhenti di tengah jalan. Mungkin alasannya sama denganku.
Wajahnya sedikit merengut seperti anak kecil yang tidak mendapatkan apa yang diinginkan.
Jika dibandingkan saat pertama kali bertemu, ekspresinya kini jauh lebih beragam.
“Kalau nanti hanya kita berdua,”
“…Baiklah. Untuk sekarang, aku akan bertahan dengan ini.”
Dia menggenggam kelingkingku sedikit lebih erat sambil menyentuh lenganku dengan lembut.
Hanya dengan itu, jantungku berdetak lebih cepat. Sesuatu yang sederhana, tapi membuat hatiku berdebar tak karuan.
∆∆∆
Setelah turun dari kereta, aku tiba-tiba teringat sesuatu. Di saat yang sama, ponselku berdering menerima pesan.
‘Maaf! Aku lupa memberikan bekalnya!’
“Ah, jangan khawatir. Ini salahku juga karena lupa. Jangan minta maaf,” jawabku.
Biasanya, kami selalu menyerahkan bekal di pagi hari, tapi hari ini kami sama-sama lupa melakukannya.
Sekarang aku bingung. Haruskah aku membeli makan siang di kantin saja? Tapi kalau begitu, bagaimana dengan bekalnya? Apa bisa aku simpan untuk malam nanti? Meski cuaca belakangan ini cukup dingin, menyimpan makanan terlalu lama tetap berisiko, apalagi ruang kelas kami dilengkapi dengan penghangat.
“Ngomong-ngomong, Nagi, kau sekarang ada di mana?”
‘Aku baru sampai di kelas dan sedang mengeluarkan barang-barang dari tas. Baru sadar waktu itu.’
“Begitu, ya.”
Aku mengecek waktu. Karena aku terbiasa berangkat lebih awal, aku masih punya cukup banyak waktu luang.
“Bagaimana kalau aku ke sekolahmu?” tanyaku, lebih karena rasa penasaran.
”Benarkah? Aku akan menantikan kedatanganmu!” jawabnya dengan suara penuh semangat.
Responnya yang sangat antusias itu membuatku sedikit merasa aneh, tapi ya sudahlah. Aku kembali ke arah stasiun untuk menuju sekolah Nagi.
∆∆∆
Dalam perjalanan menuju sekolah Nagi, aku merasa banyak tatapan aneh dari para siswa yang berjalan ke arah yang sama.
Rasa “orang luar” ini begitu nyata. Memang, dengan seragam yang berbeda, aku cukup mencolok.
“Kalau dipikir-pikir, Nagi itu hebat juga,”
Dengan penampilannya, dia pasti merasakan tatapan yang jauh lebih intens dibanding aku.
Setelah berjalan beberapa saat, sekolah tempat Nagi belajar mulai terlihat.
“Ini sekolahnya... oh.”
Karena jarang datang ke daerah ini, semuanya terasa baru bagiku. Itu gedung olahraganya, dan yang itu mungkin gedung sekolah. Saat aku sedang mengamati, aku melihat sosok yang sudah sangat kukenal berdiri di depan gerbang.
“Nagi.”
Aku memanggilnya dengan suara pelan, khawatir akan menarik perhatian. Tapi meskipun begitu, Nagi tetap menyadari keberadaanku.
“Souta-kun!”
Ekspresi Nagi yang biasanya tegas terlihat sedikit melunak, menyiratkan kebahagiaan.
“Syukurlah. Ah, ini bekalnya.”
“Ah, ya. Terima kasih.”
Nagi berlari kecil mendekat dan menyerahkan bekal itu padaku. Aku hanya bisa tersenyum kecil.
“…Kamu tidak perlu menyembunyikannya?”
“Di depan Souta-kun, aku sulit berpura-pura. Jadi, aku pikir aku akan sedikit melonggarkan diri. Tapi biasanya, aku lebih menjaga ekspresi. Tidak apa-apa?”
“…Tidak apa-apa. Terima kasih.”
Aku tahu dari kejadian kemarin bahwa Nagi menyadari rasa posesifku terhadapnya. Jadi, mungkin dia sedang berusaha menjaga perasaanku.
Namun, tatapan dari sekitar benar-benar luar biasa. Beberapa siswa bahkan sampai menoleh dua atau tiga kali.
“Eh, Putri Es itu... tersenyum? Ini beda dari biasanya, kan?”
“Jadi benar dia punya pacar? Tidak mungkin... Jangan-jangan itu kakaknya?”
Sorakan ramai dari siswi perempuan terdengar, sementara para siswa laki-laki tampak penuh dengan rasa iri dan ragu.
Tepat saat itu, sosok lain yang kukenal muncul di dekat gerbang.
“Eh, Nagi. Apa dia pacarmu yang sering kamu ceritakan?”
Itu Hayama,-san yang berkata dengan nada menggoda sambil mengedipkan mata pada Nagi.
“I-iya, benar. Dia adalah pacarku... Tidak, dia tunanganku!”
Nagi menggenggam tanganku dan berbicara dengan tegas. Suasana sekitar pun semakin heboh.
“T-tunangan!?”
“Tidak mungkin... Tapi, kalau melihat keluarganya, mungkin saja?”
“Kalau begitu, dia pasti anak keluarga kaya, ya?”
“Bahkan lebih kaya dari Murata, anak direktur itu?”
Berbagai spekulasi mulai bermunculan, tapi aku tidak terlalu memedulikannya. Lagipula, ini bukan sekolahku, jadi dampaknya tidak terlalu besar.
“...Nagi, kita terlalu dekat.”
“K-kita ini tunangan. Wajar saja, kan?”
Nagi berkata dengan wajah memerah, namun tubuhnya semakin mendekat. Aroma manis yang lembut tercium, dan sisi tubuhku terasa hangat saat bersentuhan dengannya.
“Wow, mesra banget,”
“Me-mesra...”
Kata-kata Hayama membuat Nagi semakin merah, tapi entah bagaimana, dia terlihat senang.
“Bo-bohong! Aku tidak percaya!”
“Shinonome-san benar-benar berbeda dari biasanya!”
“Ya ampun, imut sekali!”
Suara iri dan histeris bercampur aduk di sekeliling kami. Aku merasa ini saatnya pergi sebelum seorang guru muncul.
“Nagi, aku harus pergi sekarang.”
“I-iya, sepertinya memang sudah waktunya.”
Namun, saat aku hendak pergi—
“Kenapa pria lemah seperti dia bisa jadi pacar Putri Es?”
Aku mendengar bisikan itu. Sebuah hinaan langsung, bukan sekadar gosip. Tapi aku sudah siap menghadapi hal semacam ini. Aku berniat mengabaikannya.
Namun, Nagi melangkah maju. Suasana langsung berubah seperti suhu yang turun drastis.
“...Nagi?”
“Siapa yang baru saja menghina dia?”
Suaranya dingin, penuh kemarahan.
“Menilai seseorang dengan standarmu sendiri, lalu dengan sengaja menghina mereka agar terdengar... Siapa yang melakukan hal itu? Rasanya sulit menyebut itu sebagai hal yang baik.”
Nagi melangkah maju lagi. Suasana yang sebelumnya penuh keributan kini hening.
“Sudah cukup, Nagi. Aku tidak keberatan.”
“Aku keberatan. Mereka tidak tahu apa-apa tentang Souma-kun... dan tidak berusaha untuk mengenalnya. Melampiaskan rasa iri seperti itu, aku tidak bisa membiarkannya.”
Hayama kemudian ikut melangkah maju.
“Yah, aku setuju sama Nagi. Tapi kalian, pikirkan sebelum bicara. Suara kalian itu terdengar, tahu? Apalagi kalau sengaja diucapkan keras-keras.”
Tatapan tajam Hayama membuat para siswa lelaki itu terdiam. Akhirnya, salah satu dari mereka pergi dengan wajah kesal.
“Baiklah, bubar, bubar. Kalau kalian lama-lama di sini, nanti kena omelan saat upacara pagi,” ujar Hayama-san,mengusir mereka dengan santai.
Setelah keadaan mulai tenang, Nagi membungkuk pada Hayama-san
“Terima kasih, Hayama-san. Aku tadi kehilangan kendali.”
“Ah, tidak masalah. Aku juga tidak suka kalau teman-temanku dihina.”
Aku tahu Nagi hanya ingin melindungiku, tapi aura tegasnya tadi mengingatkanku pada Ayahnya, Shinonome Soichiro.
Saat waktu semakin mendesak, aku memutuskan untuk berpamitan. Namun, Nagi memanggilku sekali lagi.
“Souta-kun, bolehkah aku mengatakan sesuatu sebelum kamu pergi?”
Aku mendekat, menunduk sedikit karena perbedaan tinggi kami. Nagi merapatkan tangannya seperti corong di telingaku, lalu berkata:
“Selamat jalan, Souta-kun.”
Dan bersamaan dengan itu, sesuatu yang lembut menyentuh pipiku.
“Eh!?”
“Wow, berani sekali,”
“Ah, ketahuan, ya?”
“Yah, aku ini dekat sekali, jadi wajar kalau aku melihatnya. Tapi yang lain kayaknya tidak sadar.”
Wajah Nagi merah padam, tapi dia tetap tersenyum padaku.
“Sampai jumpa nanti, Souta-kun.”
Senyumnya begitu indah hingga aku hanya bisa mengangguk.
“Ah, sampai nanti. Hati-hati, Nagi.”
Aku menyadari sekali lagi, bahwa aku takkan pernah bisa menang melawan Nagi.
∆∆∆
“Hei, hei, hei. Kalian ngobrolin apa sih sama si Putri Es itu?”
“A-aku juga penasaran,”
Sepertinya butuh waktu sedikit lagi sebelum semuanya kembali normal.
Memang, jumlah orang yang mendekat sudah berkurang dibanding kemarin. Tapi kalau pun ada yang mencoba mendekat, Eiji akan membantu dengan berkata, “Kalau bikin marah Putri Es , itu tanggung jawabmu sendiri,” jadi tidak ada masalah.
Saat siang hari—
“…Kalau dipikir-pikir, kamu memang luar biasa. Baru saja kemarin, sekarang kamu langsung nekat ke sana.”
“Aku tidak bisa tenang kalau makan siang bukan dari bekal buatan Nagi.”
“Hah, benar-benar perutmu sudah ditaklukkan ya. Yah, aku juga sih, nggak bisa ngomong banyak soal itu.”
Eiji mengeluarkan kotak bekal berwarna biru. Aku belum pernah melihatnya sebelumnya, jadi aku bertanya dengan penasaran.
“Eiji, kamu juga dibuatin bekal?”
“Iya. Katanya terinspirasi sama kalian berdua, jadi dia mulai bikin untukku juga. Aku sih bersyukur aja dan nerima.”
“Begitu ya. Baguslah kalau begitu.”
Namun, aku harus ingat untuk tidak melupakan rasa terima kasihku. Aku juga harus sesekali melakukan sesuatu sebagai balasan. Baiklah, akan kupikirkan.
“Ngomong-ngomong, kalian ada rencana pergi ke mana pas Natal bulan depan?”
“Natal, ya. Aku belum tanya rencananya sih… Tapi kalau bisa, aku ingin menghabiskannya bersama dia.”
Masih ada sedikit waktu. Aku harus menanyakannya nanti. Tapi kalau sampai Nagi menolak, aku bakal menghabiskan Natal sendirian. Yah, mungkin ayah dan ibu bakal datang kalau kukatakan begitu.
“…Entah Nagi akan bersama keluarganya atau denganku. Tapi kalau diperlukan, aku mungkin akan datang ke rumahnya. Harus dibicarakan dulu.”
“Paham. Kalau kamu sampai sendirian—meski itu kecil kemungkinan—bilang aja, ya. Aku sama dia bakal nemenin kamu.”
“Ya, terima kasih. Kalau sampai begitu, aku pasti bilang.”
Aku tersenyum kecil melihat Eiji yang tampak terkejut.
Tapi Natal, ya. Kalau begitu—
“Aku harus memikirkan hadiah Natal,”
“Iya, lebih baik disiapkan dari sekarang.”
“Benar juga. Apa ya yang bisa bikin dia senang… Meski aku pengin minta saran kamu, kayaknya itu bukan ide yang bagus.”
“Setiap orang punya hal yang bikin mereka senang sih… Tapi menurutku, apa pun yang kamu kasih, dia pasti senang.”
“…Mungkin memang begitu, tapi aku tidak bisa asal pilih. Yah, akan kupikirkan nanti. Aku pasti bisa.”
Beberapa ide mulai muncul di kepalaku. Tapi tetap saja, aku harus tanya dulu apakah Nagi punya keinginan tertentu.
Sambil memikirkan hal itu, aku menyuap tamagoyaki dari bekalku ke mulut. Seperti biasa, bekalnya sangat lezat.
∆∆∆
Di hadapanku, aku melihat diriku sendiri.
Awalnya, aku pikir itu hanya bayangan di cermin. Tapi, diriku yang ada di sana memiliki mata yang suram, dengan ekspresi yang gelap dan kosong.
Begitu aku sadar bahwa ini adalah mimpi, dunia di sekitarku perlahan mulai dipenuhi warna.
Lokasinya—di dalam kabin bianglala. Pemandangan yang sangat kukenal. Dari sudut pandang yang seperti melayang, aku tahu persis di mana aku berada dan kapan ini terjadi.
“Hari ini adalah hari terakhir aku bisa bertemu dengan Souta-kun.”
Hari itu—hari ketika aku mengkhianati Souta-kun.
Rasanya seperti ada jarum yang menusuk dadaku. Namun, aku tidak bisa lari dari rasa sakit itu. Aku tidak boleh lari.
Ini adalah kenangan yang tidak boleh dilupakan. Aku terus meyakinkan diriku seperti itu, sehingga kenangan ini selalu menghantuiku dalam mimpi.
“Maafkan aku. Aku tidak bermaksud melibatkanmu—“
Melihat kejadian itu membuatku dilanda penyesalan yang mendalam… sekaligus amarah.
Apa yang sedang dia, aku, katakan?
Dia hanya memikirkan caranya untuk melindungi dirinya sendiri. Bahkan permintaan maaf itu, hanya akan melukai Souta-kun lebih dalam.
Aku menggigit bibir dengan kuat. Anehnya, aku tidak merasakan sakit apa pun.
Kemudian, adegan berganti. Kali ini adalah kenangan saat aku berpisah dengannya.
“Sebagai kenangan terakhir, boleh aku mengambil sesuatu darimu?”
Dengan serakahnya, aku—aku yang dulu—mencuri sebuah ciuman dari Souta-kun. Saat itu, dunia di sekitarku menjadi gelap, meninggalkan aku dan diriku yang lain di dalam kegelapan.
”Apakah kamu bahagia?”
Diriku yang lain bertanya padaku.
”Kamu bahagia, bukan? Akhirnya bisa bersama orang yang kamu cintai.”
Aku tidak bisa menjawab. Tapi, dia adalah bayangan dari diriku sendiri, seperti cermin yang memantulkan semua isi pikiranku.
”Apa kamu benar-benar yakin bisa membuatnya bahagia?”
Kata-kata “bisa” tidak keluar dari mulutku. Yang ada hanya suara serak yang tercekik di tenggorokan.
”Kamu tidak memberikan apa pun padanya. Kamu membalas kebaikannya dengan pengkhianatan, dan sekarang kamu hanya ingin menerima kebahagiaan darinya.”
Mata biru yang suram menatapku tajam. Bayanganku di matanya… sama suramnya.
”Kamu mungkin akan mengkhianatinya lagi.”
Kata-kata itu adalah duri yang selalu tersangkut di hatiku.
”Tapi dia tidak akan meninggalkanmu. Dia pasti akan menolongmu lagi. Kamu juga berpikir begitu, kan?”
Benar. Dia pasti akan menolongku lagi. Dia adalah orang seperti itu.
”Justru karena itu, kamu tidak boleh bergantung padanya.”
Apakah itu kata-katanya atau pikiranku sendiri? Aku tidak bisa membedakannya lagi.
”Aku harus membuatnya bahagia. Bukan orang lain, tapi aku sendiri.”
Potongan-potongan kenangan hari itu terus mengalir dalam pikiranku.
Kenangan yang tidak boleh dilupakan. Bahkan sampai hari aku dikuburkan nanti, aku tidak boleh melupakannya.
Rasa mual, sakit kepala—semua itu tidak ada artinya dibandingkan penderitaan yang dia rasakan.
Kekacauan hitam yang mengerikan berputar dalam pikiranku. Untuk menghapusnya, aku mengepalkan tangan dan menekannya kuat-kuat ke dadaku.
Dan pada saat yang sama—aku terbangun.
∆∆∆
Di dalam kamar yang gelap, suara detak jarum jam menggema. Matahari belum terbit, masih tengah malam.
Biasanya, kenangan dari mimpi akan segera memudar. Tapi kali ini, semuanya tetap terasa begitu jelas.
Hari ini pun—aku melihatnya lagi. Mimpi tentang hari itu.
“……”
Ketika aku menyentuh pipiku, jari-jariku merasakan sesuatu yang hangat dan lembap.
...Aku ini lemah.
Aku bangkit, menyadari bahwa piyamaku basah oleh keringat dingin. Bahkan sekarang pun, keringat dingin terus mengalir. Mual yang naik dari dalam dadaku terasa begitu akrab, seperti déjà vu.
”Souta-kun, aku pasti… akan membuatmu bahagia.”
Rasanya seperti ada jarum yang menusuk hatiku. Tapi aku tidak berusaha untuk mencabutnya—tidak bisa mencabutnya.
Apa yang telah dia berikan kepadaku begitu besar. Tapi apa yang bisa kuberikan sebagai balasan… begitu kecil. Terlalu kecil.
Aku berdiri perlahan, mengambil pakaian ganti.
”Bagaimana caranya aku bisa membuatnya bahagia?”
Dengan pertanyaan itu terngiang di kepala, aku melangkah menyusuri lorong yang gelap, sambil mengingat kembali hal-hal yang bisa kulakukan.
Langit di luar hitam pekat, tanpa jejak bulan yang terlihat.
∆∆∆
Sabtu minggu itu.
Sejak pagi, Nagi berada di rumahku. Alasannya sederhana—hari ini, ayah dan ibuku akan datang berkunjung.
”Nagi, tidak perlu terlalu tegang seperti itu.”
”…Terima kasih.”
Namun, punggungnya tetap tegak lurus, dan ekspresinya begitu kaku. Siapa pun yang melihatnya akan tahu bahwa dia sangat gugup.
Meski dia mencoba tersenyum padaku, senyum itu terasa canggung. Aku sempat memikirkan cara untuk menenangkannya, tapi sepertinya kata-kataku tidak akan cukup.
Alasan dia begitu tegang ini sudah jelas… tentu saja, itu karena apa yang terjadi di masa lalu.
Aku memang telah menceritakan sedikit tentang Nagi kepada ayah dan ibu… tapi hanya secara garis besar, tidak menyentuh detail-detail tentang apa yang terjadi saat itu.
Sulit untuk menjelaskan semua itu lewat pesan tertulis. Sulit pula untuk menyampaikan emosi tanpa risiko disalahpahami. Jika dilakukan lewat telepon, pembicaraannya pasti akan sangat panjang.
Awalnya, aku berniat untuk menjelaskan semuanya saat mereka datang. Namun, Nagi menolaknya. Dengan yakin, dia berkata, ”Biar saya yang menjelaskan.”
Sebagai kekasih, aku tentu tidak ingin membebani Nagi secara mental. Tapi saat dia memohon dengan sepenuh hati, aku tidak bisa menolak.
Saat aku masih memikirkan apakah ada hal lain yang bisa kulakukan untuk membantunya, ponselku berbunyi.
”…Sepertinya mereka sudah hampir sampai.”
”Baik, aku mengerti.”
Nagi terlihat semakin tegang. Melihat itu, aku mengambil keputusan.
”Nagi.”
”Ada apa?”
”Boleh aku memelukmu? Tidak, aku akan melakukannya.”
”…S-Souta-kun?”
Dia tampak sedikit terkejut, tapi aku mengabaikannya. Aku merangkul punggungnya dan memeluknya erat.
Tubuhnya hangat seperti sinar matahari, tapi bahunya kaku, dan detak jantungnya terasa cepat.
”Nagi, mari kita tarik napas dalam-dalam.”
”…Iya.”
Dia menerima perlahan, dan aku merasakan cengkeraman lembut di pakaianku.
Detak jantung kami seakan berpadu. Setelah beberapa kali menarik napas bersamanya, perlahan detak jantungnya menjadi lebih tenang, dan ketegangannya mulai mencair.
”Terima kasih, Souta-kun. Aku merasa lebih tenang sekarang.”
”Sama-sama.”
Ketegangan di bahunya mereda, dan senyum lembutnya mulai kembali. Saat itu juga—
”Ding dong.”
”Mereka datang. Ayo, Nagi, kita sambut.”
”Iya!”
Dia bangkit berdiri, dan dengan alami menggenggam tanganku. Aku tidak bisa menahan senyum kecil di wajahku saat kami berjalan ke pintu depan.
”Tunggu sebentar, aku buka pintunya!”
Sambil menyerukan itu, aku bertukar pandang sebentar dengan Nagi. Sekarang, dia sepertinya sudah siap.
Saat aku membuka pintu—
”Soutaaaaaaa! Anak lelaki tercintakuuu!”
”Ugh!”
Aku langsung tenggelam dalam pelukan ayahku, tubuhku terhimpit oleh aroma yang begitu familiar dan kain putih yang mendominasi pandanganku. Namun, pelukannya begitu erat hingga aku kesulitan bernapas.
Aku berusaha melepaskan diri, tapi kekuatannya masih jauh melampauiku. Ternyata aku belum bisa mengalahkan ayahku dalam hal tenaga.
”Sudah, Ayah! Kita sudah sepakat untuk bersikap serius hari ini, kan?”
”Duk!”
Suara tumpul terdengar. Itu pasti ibuku yang memberi “chop” keras pada ayah.
Dengan itu, aku akhirnya bisa terbebas dari pelukannya. Ketika aku melirik ke sebelah, Nagi tampak terkejut dengan mata yang membelalak. Seandainya aku sudah menjelaskannya sebelumnya, mungkin ini tidak akan terjadi… tapi sekarang sudah terlambat.
“…Sebelum masuk, biarkan aku memperkenalkan seseorang terlebih dahulu.”
Ibuku, yang sejak tadi tampak ingin tahu, kini melihat ke arah Nagi dengan penuh perhatian. Ayahku, yang baru sadar, juga tampak terpana.
Aku sempat ragu apakah aku yang harus memperkenalkannya. Tapi, sebelum aku sempat membuka mulut, Nagi melangkah maju dan berdiri di sampingku. Tatapannya lurus ke arah orang tuaku.
”Perkenalkan, nama saya Shinonome Nagi. Saya adalah kekasih dari Souta-kun. Terima kasih banyak atas semua yang telah dilakukannya untuk saya. Mohon bimbingannya.”
Dia membungkuk dengan anggun. Ayah dan ibuku terdiam sesaat, lalu tersenyum lebar—senyum yang belum pernah kulihat sebelumnya.
“Ara~ Ara! Ibu memang sudah dengar kalau Souta punya pacar, tapi tidak menyangka ternyata pacarnya seimut ini. Senang bertemu denganmu. Aku ibunya Souta, Minori Kazumi!”
”Aku... Ayahnya Souta, Minori Daigo.”
”Jangan memperkenalkan diri sambil menangis dengan wajah datar seperti itu, Ayah. Sudah, sudahlah, ayo masuk dulu. Pasti banyak yang ingin kalian bicarakan.”
“Benar juga.”
Sambil menepikan ayahku yang wajahnya tetap datar meski air mata mengalir deras, kami menyelesaikan sesi perkenalan dan mengajak mereka masuk ke dalam rumah.
Kudapan sudah kusiapkan sebelumnya, jadi aku hanya perlu membuatkan teh. Tidak perlu terlalu berlebihan menghadapi orang tua sendiri, pikirku.
Setelah itu, kami menuju ruang tamu. Ayah dan ibu duduk berdampingan di sofa, sementara aku dan Nagi duduk di sisi lain meja, juga berdampingan.
“Permisi... Maaf. Pasti ada banyak hal yang ingin kalian tanyakan, tapi sebelumnya, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan terlebih dahulu.”
Dengan nada sedikit gugup namun tetap tegas, Nagi menatap kedua orang tuaku.
...Memang, lebih baik hal ini dibahas dari awal.
“Apakah ini tentang hal yang Souta ceritakan sebelumnya?”
”Iya. Tapi aku mendengar bahwa Souta hanya menceritakannya secara garis besar. Aku merasa ini adalah sesuatu yang harusku jelaskan sendiri pada kalian.”
Ekspresi ayah dan ibu berubah serius. Mungkin mereka bisa menangkap kesungguhan dari ekspresi Nagi.
Aku melihat tangan Nagi yang bertumpu di pangkuannya sedikit gemetar. Aku menyentuh tangannya, menumpangkan tanganku di atasnya. Dia menoleh padaku dan tersenyum kecil sebelum kembali menatap lurus ke arah mereka.
Setelah jeda singkat, dengan penuh keberanian, Nagi mulai bicara.
”Aku pernah mengkhianati Souta-kun... dan membuatnya sangat terluka.”
—Nagi pun mulai menceritakan segalanya tentang masa lalu kami.
∆∆∆
Nagi memulai ceritanya dari saat pertama kali kami bertemu. Dia bercerita tentang bagaimana aku menyelamatkannya dari seorang pelaku pelecehan di kereta, lalu berjanji akan selalu berada di sisinya selama kami naik kereta bersama.
“Setelah mengalami pelecehan itu, aku jadi takut pada laki-laki. Tapi... aku tahu, aku harus bisa mengatasinya. Karena aku tahu, dalam waktu dekat, aku akan memiliki seorang tunangan," katanya dengan suara yang sedikit bergetar.
Mata Nagi terlihat suram, seolah diliputi keraguan. Namun, dia tidak menghentikan ceritanya.
"Namun, saat aku menghabiskan waktu bersama Souta-kun... aku menyadari sesuatu. Dia sangat mudah diajak bicara, dan berada di sisinya terasa begitu nyaman. Aku mulai melihat pesonanya dan... aku jatuh hati padanya," ucap Nagi sambil menggenggam erat tanganku.
“Seharusnya, aku segera menceritakan hal ini kepada Ayah dan Ibu. Tapi... aku tidak punya keberanian untuk melakukannya. Akibatnya, aku malah menyakiti Souta-kun dengan sangat dalam."
"Sebentar," potongku, "Nanti dia akan menceritakan lebih rinci, tapi aku ingin mengatakan bahwa ada kesalahpahaman antara Nagi dan orang tuanya. Nagi berada dalam situasi yang sulit. Aku ingin kalian tahu itu dulu sebelum mendengar ceritanya."
"Benar," Nagi mengangguk kecil, "Namun, bagaimanapun juga, kenyataannya aku telah menyakiti Souta-kun tetap tidak berubah."
Dia tersenyum kecil, tapi aku tahu itu adalah senyum yang penuh penyesalan. Melihatnya seperti itu, hatiku terasa sesak.
Nagi mengalihkan pandangannya ke arah orang tuaku dan berkata dengan nada tenang, "Maaf, aku belum masuk ke detailnya. Mungkin kalian sudah bisa membayangkannya..."
Setelah mengambil napas panjang, genggaman tangannya pada tanganku semakin erat, hampir menyakitkan.
"Aku memiliki seorang tunangan. Saat itu, aku menyampaikan kepada Souta-kun bahwa kami mungkin tidak akan bisa bertemu lagi."
Ruangan menjadi hening. Ayah dan Ibu hanya menatap Nagi dengan ekspresi serius yang belum pernah kulihat sebelumnya.
“Sejak awal, aku selalu bergantung pada Souta-kun. Aku tahu aku harus memberitahu Souta-kun tentang pertunanganku, tapi setiap kali berbicara dengannya, rasa sakit di hatiku seolah menghilang... Bahkan, setelah mengatakan bahwa kami tidak bisa bertemu lagi, aku malah... menciumnya. Aku telah melakukan hal yang sangat buruk."
"Nagi..."
“Tidak apa-apa, Souta-kun. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya," jawabnya tanpa tersenyum lagi. Wajahnya penuh dengan penyesalan.
“Hari setelah aku terakhir kali bertemu dengan Souta-kun, aku seharusnya menghadiri pertemuan formal dengan tunanganku. Tapi pagi itu, Souta-kun datang ke rumahku."
Nagi menarik napas panjang dan melanjutkan, "Dia menyelamatkanku. Tunanganku adalah seseorang yang memiliki hubungan dengan pekerjaan Ayahku, dan Ayahku mengusulkan pernikahan ini demi kebaikanku. Tapi Souta-kun, dengan bantuannya, menjembatani kesalahpahaman antara aku, Ayah, dan Ibu."
"Aku hanya ingin Souichiro-san menyadari apa yang benar-benar diinginkan oleh Nagi," tambahku, "Itu pun hasil dari ide Eiji."
“Tentu saja, aku juga berterima kasih kepada Makizaka-san, Hayama-san, dan Nishizawa-san. Tapi orang yang secara langsung menyelamatkanku adalah Souta-kun," kata Nagi sambil menatapku dengan mata biru yang begitu dalam.
Setelah itu, dia kembali menatap orang tuaku dan melanjutkan, "Setelah berdiskusi dengan Ayah, pertunangan itu akhirnya dibatalkan. Itulah cerita kami sampai saat ini. Dan berdasarkan hal itu, ada sesuatu yang ingin aku mohon kepada kalian."
Nagi melepaskan genggamannya, lalu melangkah mundur.
“Nagi, jangan—"
Aku mencoba menghentikannya, tapi dia tidak mendengarkanku.
“Aku telah mengkhianati dan melukai Souta-kun. Tapi... dia tetap mencintaiku dan mengulurkan tangannya untukku," katanya dengan suara bergetar, tapi air matanya tidak jatuh.
“Aku berjanji, seumur hidupku, aku akan membuatnya bahagia. Oleh karena itu, aku mohon, tolong izinkan aku melanjutkan hubunganku... bahkan pernikahan dengan Souta-kun."
Nagi membungkuk hingga menyentuh karpet dengan kedua tangannya, membuat Ayah dan Ibu terkejut.
“Nagi-chan, angkat kepalamu," pinta Ibu sambil berdiri mendekat.
“Sejujurnya, aku tidak tahu apakah aku pantas bertemu kalian. Tapi setelah melihat Souta-kun bersama kalian hari ini, aku sadar bahwa dia tumbuh dengan begitu banyak cinta. Aku sangat menyesal karena telah menyakiti orang yang begitu berharga bagi kalian."
“Nagi-chan..."
Ibuku menarik napas dalam, lalu berkata,
"Kami selalu mengutamakan kebahagiaan Souta. Jika dia bahagia, kami juga bahagia. Jika dia terluka, kami juga terluka. Kami ingin dia tidak pernah menderita."
“Iya..."
Nagi mengangguk dengan sungguh-sungguh.
“Tapi, Nagi-chan," Ibu melanjutkan sambil tersenyum lembut, "Melihat Souta hari ini, aku yakin akan satu hal. Ini adalah pertama kalinya aku melihatnya sebahagia ini,benarkan?”
Ibu bertanya padaku,mata nya bersinar karena gembira.
“Ya, aku bisa mengatakannya dengan bangga. Saat ini, dengan Nagi di sisiku, aku merasa paling bahagia,” jawabku.
”Fufu, aku tahu itu,” Ibu tertawa kecil.
”Kalau begitu, ada satu hal yang ingin Ibu sampaikan.”
Ibu dan Nagi saling menatap dalam diam. Lalu, Ibu tersenyum seperti biasanya, penuh kehangatan.
”Souta adalah segalanya bagi kami. Tolong jaga dia baik-baik, Nagi-chan. Pastikan kalian menjadi pasangan yang paling bahagia.”
“…! Iya! Aku pasti akan membuatnya bahagia!” jawab Nagi dengan suara penuh keyakinan.
Ibu mengulurkan tangan dan mengusap kepala Nagi, lalu juga mengusap kepalaku dengan tangan lainnya.
”…Rasanya mirip,” kata Nagi pelan.
”Apa yang mirip?” tanya Ibu.
”Ketika Souta-kun mengusap kepalaku. Rasanya mirip sekali.”
“Fufu, begitu ya? Souta memang seperti itu sejak kecil. Dia selalu melakukan hal yang membuat orang lain bahagia. Dulu, saat Souta masih kecil, setiap kali ulang tahun Ibu, dia selalu memeluk Ibu erat-erat, lho.”
”I-Ibu! Itu kan cerita waktu aku masih kecil, sebelum masuk SD!” sergahku dengan wajah memerah.
”Kalian pasti sangat akrab, ya. Menurutku, itu hal yang sangat… sangat indah,” kata Nagi sambil tersenyum lembut, penuh kehangatan.
Aku merasa wajahku semakin panas karena malu. Tapi Nagi menatapku dengan senyuman hangat sebelum akhirnya mengalihkan pandangan ke arah Ayah. Ibu juga ikut menoleh ke arah Ayah.
“Baiklah, kita kembali ke pembicaraan utama. Bagaimana pendapat Ayah?” tanya Ibu.
”Ayah cukup keras, tahu. Bagaimanapun, Ayah mencintai Souta sama seperti Ibu mencintainya,” jawab Ayah sambil menyilangkan tangan di dada, meskipun ekspresinya jauh lebih santai daripada sebelumnya.
”Tapi, Ayah senang sekali, Souta.”
”…Senang? Apa maksudnya?” tanyaku bingung.
”Tentu saja, Ayah senang melihat kamu bahagia. Tapi lebih dari itu… Ayah bangga melihat anak Ayah sudah tumbuh dewasa.”
Kali ini, Ayah mendekat dan memelukku erat-erat.
”Ayah terkejut, Souta. Tidak menyangka kamu bisa melakukan hal sebesar itu untuk orang yang kamu cintai. Sebenarnya, Ayah selalu percaya kamu pasti bisa melakukannya, tapi mendengar kamu benar-benar melakukannya… Ayah sangat bangga.”
”…Ayah…”
Kata-kata Ayah membuatku sedikit malu, tapi aku tidak bisa menyembunyikan rasa senang karena dipuji dengan tulus.
”Soal Nagi-chan, Ayah juga ingin mengatakan ini. Dia datang ke sini, menjelaskan semuanya sendiri, tanpa menghindari masa lalunya. Dia anak yang jujur dan baik.”
”Benar. Dia anak yang luar biasa,” jawabku sambil mengangguk dalam-dalam, memastikan perasaanku tersampaikan dengan jelas.
Namun, Ayah melanjutkan dengan nada serius, ”Tapi, ada satu hal yang ingin Ayah tanyakan, Nagi-chan.”
”Iya. Apa itu?” Nagi menjawab dengan tenang.
“Kapan saja tidak masalah, tapi Ayah ingin ada kesempatan untuk bertemu dengan Ayahmu… Souichiro-san. Ayah ingin berbicara dengannya, mengingat ada banyak hal yang perlu dibicarakan.”
“Tentu saja. Ayah juga ingin sekali berbicara dengan kalian. Sekarang beliau sedang sangat sibuk, tapi beliau berjanji akan segera meluangkan waktu untuk bertemu. Namun…,” Nagi ragu sejenak sebelum melanjutkan, membuat Ayah menatapnya dengan heran.
”Jika yang ingin dibicarakan adalah mengenai batalnya rencana perjodohan itu, maka tidak perlu khawatir. Baik Souta-kun maupun Ayah dan Ibu tidak perlu memikirkannya,” kata Nagi dengan tenang.
”…Aku tidak menyangka kamu sudah mempertimbangkan sampai sejauh itu. Terima kasih. Meski begitu, aku tetap ingin berbicara langsung,” jawab Ayah.
“Tentu. Ayah akan menghubungi kami begitu beliau memiliki waktu luang,” Nagi menjelaskan.
“Terima kasih, Nagi-chan. …Baiklah, ada sesuatu yang ingin Ayah sampaikan juga,”
Ayah berdeham pelan sebelum menatap kami berdua.
“Kalian benar-benar serius, ya?” tanyanya.
”Iya,” jawab kami serempak. Ayah tersenyum puas.
”Kalau begitu, tugas Ayah hanya mendukung kalian. Ayah sudah memahami apa yang terjadi dan melihat seberapa besar tekad kalian. Nagi-chan,” ucap Ayah sambil menatap Nagi dengan lembut.
“Terima kasih telah berbicara dengan kami. Ayah tahu ini pasti menakutkan dan membuatmu gugup. Tapi dari caramu berbicara, Ayah bisa merasakan betapa besar rasa penyesalanmu atas masa lalu dan betapa tulusnya perasaanmu pada Souta.”
Ayah mengulurkan tangan dan mengacak-acak rambutku.
”Souta, kamu juga hebat. Ayah bangga karena kamu berani bertindak demi orang yang kamu cintai.”
”…Terima kasih, Ayah,” jawabku, merasa sedikit malu tetapi juga sangat senang.
”Ngomong-ngomong soal pertunangan ini, apakah orang tua Nagi-chan sudah tahu?”
“Iya. Mereka yang mengusulkan pertunangan ini. Mereka ingin memastikan tidak ada lagi pembicaraan perjodohan di masa depan. Namun, untuk menjadi tunangan resmi, kami memerlukan izin dari Ayah dan Ibu Souta-kun. Karena itu, hari ini aku datang untuk memperkenalkan diri dan menjelaskan situasi ini,”
“Aku mengerti. Itu keputusan yang bagus. Mengingat sifat Souta, Ayah pikir dia memang tipe yang setia dan menghargai satu orang daripada menjalin hubungan dengan banyak orang.”
Ayah akhirnya melepaskan tangannya dari kepalaku, lalu kembali ke tempat duduknya diikuti oleh Ibu. Kami kembali duduk berhadapan.
”Kalau begitu, secara resmi. Nagi-chan, tolong jaga Souta dengan baik sebagai tunangannya.”
”Iya. Tolong jaga Souta,” tambah Ibu.
”…! Tentu! Dengan senang hati!” Nagi mengangguk penuh semangat, menatapku dengan mata birunya yang bersinar.
“Akhirnya kita resmi menjadi tunangan, ya. Meski aku sudah sering menyebut dirimu sebagai itu sebelumnya,” ucap Nagi dengan senyum bahagia.
”Benar. Mulai sekarang aku juga bisa dengan bangga mengatakannya,” jawabku.
Selama ini, jika ditanya tentang hubungan kami, aku hanya menyebut Nagi sebagai “pacar” dan bukan “tunangan.” Sebagian dari diriku merasa perlu mendapatkan persetujuan resmi dari Nagi terlebih dahulu. Tapi kini, sebagai tunangan resmi, aku bisa mengatakan itu tanpa ragu. Meski hubungan kami sudah diketahui di sekolahku dan sekolahnya, hal itu tetap membuatku lega.
Nagi mengulurkan tangannya, dan aku menyambutnya.
“Aku akan membuatmu bahagia, apa pun yang terjadi,” katanya dengan suara penuh keyakinan.
“Kamu tidak perlu terlalu khawatir. Aku sudah bahagia hanya dengan bersamamu,” balasku, menggenggam erat tangannya. Namun, di sudut mataku, aku melihat pemandangan yang kurang kuinginkan.
“Aku masih tidak percaya kalau Souta punya calon istri yang begitu cantik. Ibu sangat bahagia,” kata Ibu dengan nada ceria.
“Iya, Ayah juga. Ayah selalu berpikir ini akan terjadi suatu hari nanti, tapi tidak menyangka secepat ini,” tambah Ayah dengan nada haru.
Keduanya tiba-tiba berubah menjadi sangat emosional, membuatku hanya bisa menahan desahan berat di tenggorokanku.
“Nagi, ada sesuatu yang harus kamu ketahui,” kataku serius.
”Apa itu?” tanya Nagi.
“Orang tuaku ini… mereka sangat mencintai anaknya. Mungkin sedikit berlebihan.”
“Oh? Bukankah sedikit aneh jika seorang ibu tidak menyukai anaknya?” potong Ibu.
”Betul. Dan Ayah adalah ayah yang lebih mencintai anaknya daripada ayah manapun,” tambah Ayah sambil tertawa.
“Begitulah mereka,” aku menghela napas panjang.
”Fufu. Dari sini aku bisa merasakan betapa mereka mencintaimu, Souta-kun. Itu hal yang sangat indah,” kata Nagi dengan senyum lembut.
Ibu pun berdiri sambil berkata, ”Aku ingin sekali mendengar lebih banyak cerita kalian, tapi biar aku siapkan makan malam dulu.”
“Biar aku bantu,” kata Nagi sambil bangkit.
“Tidak perlu. Duduk saja. Sudah lama sekali aku tidak memasakkan sesuatu untuk Souta,” balas Ibu sambil tersenyum.
“Kalau begitu, baiklah,” Nagi akhirnya duduk kembali, sementara Ibu menuju dapur.
“Souta, sebentar bisa bicara?”
Namun, Ibu segera kembali dari dapur.
“Apa kamu selama ini membiarkan Nagi-chan yang memasak untukmu?” tanyanya tiba-tiba.
”……”
Keringat dingin menetes di wajahku, dan tubuhku terasa merinding.
──Aku benar-benar lupa memberitahu hal ini.
“D-dari mana Ibu tahu?” tanyaku gugup.
“Mudah saja. Letak bumbu dapur di rumah ini berubah. Hal semacam ini biasanya menunjukkan kebiasaan dari rumah lain. Jadi, apa benar begitu, Nagi-chan?”
Ibu menatap Nagi, yang terlihat sedikit ragu dan menoleh ke arahku. Setelah aku mengangguk pelan, Nagi pun mengangguk kecil.
“I-iya. Tapi, sebenarnya ini lebih karena keinginan saya sendiri. Saya sangat berterima kasih pada Souta-kun, jadi saya memasak hanya untuk memuaskan diri sendiri. Mohon jangan menyalahkan Souta-kun,” jawab Nagi hati-hati, mencoba melindungiku.
”Terima kasih, Nagi. Tapi dia juga melakukannya karena khawatir dengan pola makanku. Maaf, Ibu. Aku lupa memberitahumu,” ucapku, merasa bersalah.
Aku sebenarnya ingin membicarakannya suatu saat, tapi benar-benar terlupakan. Dengan menunduk, aku menerima kesalahanku, mendengar Ibu menghela napas panjang.
”Yah, tidak apa-apa. Ini kan pengalaman pertamamu hidup sendiri. Wajar kalau belum terbiasa memasak sendiri. Tapi, lain kali, beri tahu Ibu lebih awal, ya.”
”Aku tidak bisa membantah.”
”Hati-hati untuk ke depannya. Dan Nagi-chan, terima kasih sudah menjaga anak Ibu selama ini.”
“Tidak, Aku justru banyak bergantung pada Souta-kun,” jawab Nagi dengan tulus.
Namun, aku tahu posisiku: aku yang banyak dibantu Nagi, bukan sebaliknya.
”Sebagai tambahan, Nagi juga membuatkan bekal makan siang untukku,” tambahku sambil menunduk.
”Nagi-chan, tidak apa-apa? Kalau itu terlalu berat, pastikan kamu mengatakan sesuatu. Souta ini cukup pengertian, kok.”
”Tidak apa-apa. Saya melakukannya karena suka. Selain itu, Souta-kun selalu memuji masakan saya, jadi rasanya menyenangkan,” kata Nagi, tersenyum lembut.
Ibu terkejut sejenak, lalu tersenyum senang.
”Berarti Nagi-chan memang pinter masak, ya.”
Nagi menunduk sedikit malu, sementara aku berpikir sejenak. Memang, Nagi sangat pandai memasak.
”Anak ini sangat jujur, lho. Kalau dia suka makanan, pasti langsung terlihat dari ekspresinya. Tapi kalau tidak suka, itu juga mudah diketahui dari caranya makan,” kata Ibu.
”Tunggu, ini baru pertama kali aku dengar,” ucapku, terkejut.
Aku menoleh pada Ayah, yang tampak heran dengan reaksiku.
”Souta, kamu kira kami tidak menyadarinya?”
”Ayah juga tahu?”
”Tentu saja.”
Aku hanya bisa tersenyum kaku. Mengingat kembali saat aku mulai menerima bekal dari Nagi, temanku Eiji pernah bilang aku terlihat menikmati makanannya.
”Benarkah? Karena dia selalu makan dengan lahap, saya pikir dia tidak punya makanan yang tidak disukai,” kata Nagi polos.
”Memang begitu. Tapi lidahnya ini… cukup selektif. Dia jarang makan makanan beku atau instan,” tambah Ibu sambil tersenyum.
”Ugh.”
Itu benar-benar pukulan telak bagiku. Sejak kecil, aku hampir tidak pernah makan makanan seperti itu.
“Makanan adalah momen komunikasi keluarga, jadi Ibu selalu ingin kamu makan makanan yang enak. Untungnya, Ibu suka memasak, jadi tidak terasa berat.”
”Terima kasih atas semua makanan enaknya, Bu,” ucapku tulus.
”Sama-sama.”
Mendengar itu, Nagi tersenyum lebar dan berkata, ”Kata-kata itu yang membuat saya dan Souta-kun semakin dekat.”
”Saya juga suka memasak. Terlebih lagi, melihat Souta-kun makan dengan senang hati membuatku bahagia,” tambahnya.
”Ah, Souta sudah benar-benar terpikat oleh masakanmu, Nagi-chan,” goda Ibu sambil tertawa kecil.
“Aku akui, jika Nagi pergi, aku akan kesulitan,” jawabku jujur.
”Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, jadi jangan khawatir,”
Setelah itu, Nagi dan Ibu mulai berbicara tentang resep dan memasak bersama. Keduanya pergi ke dapur dengan penuh semangat, meninggalkanku dan Ayah di ruang tamu.
“Souta, kamu hebat sekali. Ayah bangga padamu,”
“Aku hanya berusaha sedikit. Untungnya aku punya teman seperti Eiji,” .
”Bagaimanapun, memulai kehidupan baru di tempat ini tampaknya adalah keputusan yang tepat,”
Aku mengangguk, tahu bahwa keputusanku pindah untuk merubah lingkunganku adalah langkah yang baik.
”Ada satu hal yang Ayah ingin kamu tahu.”
”Tentang perjodohan itu, kan?”
Ayah mengangguk.
”Ayah yakin semuanya sudah berjalan ke arah yang baik. Tapi, Ayah juga tahu bahwa pihak yang terlibat dalam perjodohan itu pasti orang penting.”
“Iya, sepertinya anak seorang pemimpin perusahaan.”
Ayah menatapku dengan serius.
“Apa kamu khawatir?”
Aku tidak langsung menjawab, mencoba merangkai perasaanku.
”Aku tidak menyesal atau merasa bersalah. Aku yakin ini adalah keputusan terbaik. Tapi… tetap saja, aku sedikit khawatir.”
Aku tahu bahwa membatalkan perjodohan itu adalah keputusan besar, terutama mengingat dampaknya pada keluarga Nagi.
“Kalau aku tidak memaksa saat itu, atau jika aku menyerah, mungkin ada cara lain,” aku mengaku pelan.
Ayah menepuk bahuku dengan lembut.
”Souta, kamu sudah melakukan yang terbaik. Lihat saja, Nagi-chan bahagia berada di sisimu. Itu sudah cukup membuktikan bahwa kamu tidak salah.”
“Terima kasih, Ayah.”
”Serahkan sisanya pada Ayah. Ayah akan bicara dengan keluarga Nagi dan membereskan semuanya.”
Aku merasa lega mendengar itu. Ayah, dengan tangan besarnya, mengusap kepalaku sekali lagi.
”Terima kasih, Ayah.”
”Sama-sama.”
∆∆∆
“Bagaimana menurutmu? Souta kecil ini, lucu sekali, kan?”
“Sangat lucu…! Benar-benar sangat lucu!”
Setelah makan siang, Nagi sedang melihat album fotoku. Ternyata, album itu dibawa oleh Ibu.
”Souta waktu kecil itu juga sangat menggemaskan. Dulu sering sekali memeluk Ayah sambil bilang, ‘Papa! Papa! Ayo main bareng!’” kata Ayah sambil tersenyum.
“Tolong jangan buat-buat cerita, Ayah. Aku tidak pernah memanggil Ayah dengan sebutan selain ‘Ayah’. Dan juga, kalaupun aku pernah meminta Ayah untuk bermain, itu pasti sebelum masuk SD,” jawabku sambil menghela napas panjang.
Ayah memang suka mengubah-ubah cerita seenaknya. Aku ikut melihat album foto bersama mereka.
”Souta-kun luar biasa. Foto di acara olahraga sekolah, kamu selalu dapat medali emas, ya?” kata Nagi sambil menunjuk beberapa foto.
”Ah, itu karena aku lumayan cepat larinya. Di lomba lari estafet antar kelas, biasanya pelari terakhir yang mendapat medali,” jelasku.
Nagi sedang melihat foto-foto acara olahraga sekolah. Setiap tahun, leherku selalu dipenuhi medali emas dari kertas.
”Ah, nostalgia sekali. Anak-anak seusia itu biasanya populer kalau mereka cepat larinya. Souta juga jadi sorotan setelah acara olahraga selesai,” tambah Ibu.
“Oh, begitu, ya,” gumam Nagi.
”Entahlah kalau bisa dibilang populer. Lagi pula, itu hanya sesaat setelah acara selesai,” balasku.
Mata biru Nagi melirikku tajam. Rasanya, suasana di ruangan ini jadi sedikit lebih dingin. Sepertinya itu bukan hanya perasaanku.
“Hanya sesaat setelah acara selesai’, ya. Itu cukup mengganjal,” katanya dengan nada sedikit dingin.
”Dulu aku lebih pemalu. Jadi, meskipun ada kesempatan, aku tidak bisa menjalin pertemanan dengan banyak orang,” jawabku singkat.
”Begitu, ya,” gumam Nagi, terlihat kurang puas. Namun, dia tidak melanjutkan pertanyaannya, dan aku merasa lega.
Berbicara tentang hal itu di depan Ayah dan Ibu rasanya tidak nyaman.
”Ngomong-ngomong, foto berikutnya──”
Tiba-tiba suara notifikasi terdengar dari ponsel Nagi. Dia terkejut dan buru-buru melihat layarnya.
”Maaf sebentar. Ah, ternyata dari Ayahku.Katanya urusannya sudah selesai, jadi beliau bisa bertemu kapan saja. Bagaimana menurut kalian?”
Nagi menoleh dari layar ponselnya, lalu memandang Ayah dan Ibu.
”Aku ikut, ya, Ayah,”
“Baik, kita pergi berdua. Bagaimana kalau bertemu di kafe terdekat?”
“Baiklah. Aku akan memastikan dulu, sebentar ya. Telepon akan lebih cepat,” kata Nagi sambil menghubungi Ayahnya, Souichiro-san, lewat telepon.
Dari yang terdengar, semuanya berjalan lancar.
“Beliau bilang akan segera menuju ke lokasi. Jika dari sini, kita akan sampai di kafe terdekat dalam 15 menit,” kata Nagi setelah selesai menelepon.
“Baik, ayo segera bersiap,”
”Iya, aku mengerti. Kafe terdekat sepertinya yang ini, ya?” kata Ibu sambil menunjukkan peta di ponselnya.
”Betul, itu lokasinya,” Nagi mengangguk.
Setelah itu, Ayah dan Ibu segera bersiap, lalu bergegas keluar rumah untuk menemui Ayah Nagi.
∆∆∆
Ayah dan Ibu kembali dua jam kemudian, dan mereka datang bersama Souichiro-san dan Chie-san.
“Maaf, Souta-kun, Nagi. Kami tadi terlalu asyik berbicara hingga waktunya jadi lama,”
“Senang bertemu kembali, Souichiro-san,Chie-san,” sapaku sambil menunduk hormat.
”Tidak perlu terlalu formal, Souta-kun. Bagaimanapun, kamu sekarang sudah resmi menjadi tunangan Nagi,” ujar Chie-san sambil tersenyum lembut, meski entah kenapa aku merasa ada tekanan terselubung dari senyumnya.
Sepertinya mereka sempat membahas soal pertunanganku dengan Nagi tadi.
“Wah, aku tadi berbicara banyak hal menarik dengan Souichiro-san. Sangat menyenangkan,” tambah Ayah dengan antusias.
”…Boleh aku tanya? Ayah benar-benar bisa berbicara dengan baik?” tanyaku, sedikit ragu mengingat Ayah sering ceroboh di rumah.
“Hahaha, Ayah bisa tersinggung, lho. Meskipun begitu, Ayah sudah beberapa kali berbicara dengan orang-orang penting dalam pekerjaan,” jawab Ayah sambil tertawa.
Meskipun mungkin Ayah bisa menyesuaikan diri, tetap saja sulit dipercaya melihatnya dari sudut pandang kehidupan sehari-hari di rumah.
“Aku sangat menikmati percakapan tadi bersama Daigo-san,” kata Souichiro-san sambil menatapku.
”Ngomong-ngomong, Souta-kun, aku ingin mengatakan sesuatu.”
“Ya, apa itu?” tanyaku, langsung memusatkan perhatian pada beliau.
”Aku ingin mengucapkan terima kasih lagi. Entah berapa kali aku harus mengatakan ini, tapi aku tidak akan pernah bisa membalas budi ini seumur hidupku.”
“Apakah ini tentang… masalah itu?”
“Ya, tentang pembatalan perjodohan.”
Tubuhku tegang, namun aku merasakan tangan Nagi menggenggam tanganku.
“Souta-kun,” panggil Nagi lembut. Sentuhan hangatnya seperti sinar matahari yang memantulkan cahaya di permukaan air. Aku menghembuskan napas kecil dan tubuhku mulai rileks.
“…Terima kasih,” ucapku.
”Sama-sama,” jawab Nagi sambil tersenyum.
Aku kembali mengarahkan pandanganku pada Souichirou-san yang kini terlihat lebih santai. Di sampingnya, Chie-san juga tersenyum, mirip seperti senyum khas seseorang yang aku kenal.
“Membatalkan perjodohan pada hari H memang tindakan yang kurang sopan. Namun, itu adalah hal yang masih bisa diperbaiki,” kata Souichiro-san dengan nada yakin.
”Senang mendengarnya,”
”Tapi kelihatannya kamu masih khawatir,” beliau menambahkan sambil menatapku tajam.
”…Maafkan aku ” ucapku sambil menunduk.
”Kamu tidak perlu meminta maaf. Tidak banyak yang bisa kukatakan, tapi izinkan aku menjelaskan bagaimana keadaan sebenarnya.”
Nada suaranya menurun, menandakan pembicaraan serius.
”Faktanya, aku tidak mengalami kerugian apa pun.”
“…Benarkah?” tanyaku terkejut.
”Ya. Awalnya, pihak yang terlibat dalam perjodohan bukanlah mitra bisnis, melainkan pesaing. Tujuan utama perjodohan ini adalah agar Nagi bisa memiliki relasi dengan lawan jenis yang tepat. Urusan bisnis hanya menjadi prioritas kedua. Kerugian yang ditimbulkan pun sangat kecil, bahkan nyaris tidak terasa jika mempertimbangkan kebahagiaan Nagi.”
Chie-san mengangguk tegas di sampingnya, mendukung pernyataan itu.
”Bahkan jika dibandingkan, kebahagiaan Nagi jauh lebih penting daripada hal lainnya,”
”Namun, aku mengakui bahwa dulu aku mengabaikan Nagi. Itu kesalahanku yang tidak bisa kubenarkan.”
”Souichirou-san yang sekarang sudah berbeda dengan yang dulu,” kata Chie-san, menenangkan.
“Benar. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan itu lagi.”
Souichirou-san tersenyum tipis, meski tampak sedikit kaku. Sepertinya beliau belum terbiasa tersenyum seperti itu.
Setelah beberapa waktu, pembicaraan beralih ke masa depan, memastikan bahwa aku tidak perlu merasa bersalah lagi atas kejadian tersebut.
“Souta-kun,”
”Kamu adalah orang yang paling mampu membuat Nagi bahagia. Jangan pernah ragu akan hal itu.”
”…Ya! Terima kasih!” jawabku dengan suara lantang.
Ayahku, yang dari tadi mendengarkan, mengacungkan jempolnya sambil berkata, ”Lihat, kan? Ayah bilang semuanya akan baik-baik saja.”
Aku hanya bisa tersenyum lega sambil berterima kasih pada Ayah.
Pada akhirnya, Ayah dan Ibu memutuskan untuk pulang lebih awal karena pekerjaan Ayah yang menumpuk. Namun, Ayah sempat berjanji akan meluangkan banyak waktu denganku selama liburan musim dingin nanti.
Melihat Ayah yang selalu ceria, aku merasa bersyukur memilikinya, sekaligus berharap bisa menghabiskan waktu bersama dengan lebih banyak cerita di masa depan.
∆∆∆
Sabtu, satu minggu setelah Ayah dan Ibu pulang, rutinitas sehari-hari kembali seperti biasa.
Nagi sedang memotong sayuran di dapur sambil bersenandung dengan ceria. Aku hanya duduk di samping, memperhatikan dia yang sibuk.
Dengan apron yang membalut tubuhnya, Nagi terlihat sangat rumah tangga. Rambutnya diikat menjadi kuncir kuda, dan setiap kali dia bergerak, rambut itu melambai lembut. Entah kenapa, aku terus memandanginya, hingga akhirnya Nagi menoleh dan mata kami bertemu.
Tatapannya disinari cahaya lembut, membuatku terpaku. Dia meletakkan pisau, mencuci tangan, lalu mengeringkannya dengan handuk sebelum mendekat ke arahku.
“Aku ingin melakukannya, jadi... yang pertama, ya, tolong.”
Nagi meletakkan tangannya di dadaku, lalu dengan gerakan alami, dia berjinjit dan menyentuhkan bibirnya ke bibirku.
Aroma manisnya tercium samar, dan rambutnya yang lembut bergerak sejenak. Tangannya yang sedikit dingin menyentuh dadaku, seolah merasakan detak jantungku, sementara kehangatan tubuhnya mengalir dari bibirnya.
Matanya yang biru cerah menatapku dalam-dalam, penuh rasa bahagia, sebelum akhirnya dia melepaskan bibirnya dengan berat hati.
”Detak jantung Souta-kun... berdetak sangat cepat,” katanya sambil tersenyum kecil.
”Tiba-tiba seperti itu tidak baik untuk jantungku. Beri aku waktu untuk bersiap—“
Namun sebelum aku selesai bicara, Nagi meraih tanganku dan menempelkannya ke dadanya. Aku bisa merasakan detak jantungnya di sana, bersamaan dengan sensasi lembut yang membuatku semakin gugup.
“N-Nagi... apa yang kamu lakukan?” tanyaku tergagap.
”Aku juga deg-degan, tahu,” jawabnya dengan nada tenang.
Di balik sensasi lembut itu, aku bisa merasakan detak jantungnya yang berdetak cepat, namun pikiranku malah teralihkan oleh hal lain.
”Nagi, ini... tidak baik,” ucapku dengan suara tertahan.
Dia memiringkan kepala sedikit, wajahnya memerah, namun tetap tersenyum.
“Aku suka merasakan detak jantung Souta-kun, jadi... kita impas, kan?”
”I-Impas? Tapi...”
”Atau...,” ucapnya sambil memalingkan wajah,
”kamu... tidak suka, ya?”
Aku langsung memejamkan mata, mencoba menenangkan pikiran yang mulai kalut.
Aku menggelengkan kepala, berusaha menghilangkan berbagai imajinasi yang mulai memenuhi pikiranku, namun tidak mudah.
”Bukan soal suka atau tidak... tapi aku takut tidak bisa menahan diri,” jawabku jujur.
Setelah mendengar itu, akhirnya Nagi melepaskan tanganku, meski dengan ekspresi sedikit cemberut. Dia berpaling sambil berbisik pelan, namun suaranya terdengar jelas di telingaku.
”…Tidak apa-apa kalau kamu tidak menahan diri, kok.”
Kata-katanya begitu pelan, seperti sebuah pengakuan yang tidak sengaja terucap. Tanpa sopan santun biasanya, itu terasa seperti suara hatinya yang bocor keluar.
Detak jantungku langsung berdetak keras, lebih kencang dari sebelumnya.
”Apa tadi kamu bilang...?” Aku hampir mengucapkannya, tapi buru-buru menutup mulut.
Nagi menatapku dengan ekspresi bingung, sepertinya tidak menyadari apa yang baru saja dia katakan.
Jika dia tidak menyadarinya, mungkin lebih baik aku tidak membahasnya. Tapi... kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepalaku.
Aku memegang dadaku sendiri, tangan yang sebelumnya menyentuh Nagi. Detak jantungku terasa semakin cepat, berirama dengan detak jantungnya yang masih terbayang di pikiranku.
Dada ini terus berdetak tanpa henti, dan sepertinya butuh waktu lama untuk kembali tenang.
∆∆∆
Saat makan malam, semuanya telah kembali seperti biasa. Tidak ada lagi momen Nagi yang tiba-tiba berhenti menggunakan bahasa sopannya, ataupun sentuhan yang berlebihan.
Menyadari hal itu, aku berpikir bahwa hubungan kami kembali normal adalah hal yang baik... kurasa. Meski begitu, sesekali aku teringat akan kejadian tadi siang, dan rasa malu langsung menyerangku.
”Bagaimana rasanya?”
”Ah, enak sekali. Benar-benar enak.”
Menu makan malam hari ini adalah buri daikon, sup miso, dan bayam yang direbus dengan kecap.
Semuanya terasa sangat lezat. Ketika aku menyampaikan hal itu dengan sungguh-sungguh, Nagi tersenyum senang.
”Syukurlah!”
Sambil makan bersama, kami berbicara tentang berbagai hal—mulai dari percakapan dengan teman, hingga kejadian sepele di kelas.
Meski hanya obrolan ringan, topik pembicaraan seakan tidak ada habisnya.
Kami terus berbincang bahkan setelah selesai makan dan merapikan piring. Mungkin lebih dari satu jam lamanya.
Rasanya seperti waktu yang hangat dan penuh kedamaian.
Namun, saat Nagi memeriksa jam, ekspresinya berubah sedikit muram.
”Sebenarnya, aku ingin menginap di sini lagi hari ini, tapi... aku juga ingin berbicara banyak dengan Ayah dan Ibu, jadi sepertinya aku harus pulang sekarang.”
”Ah, baiklah... Nagi, boleh aku bertanya dua hal sebelum kamu pergi?”
”Tentu, apa itu?”
Aku menghentikan langkahnya yang sudah berdiri, lalu menatap matanya yang biru jernih sejenak sebelum membuka mulut.
”Untuk Natal, apa yang akan kamu lakukan? Atau... apa yang ingin kamu lakukan?”
”Aku akan bersama Souta-kun.”
Tanpa jeda sedikit pun, Nagi menjawab dengan tegas. Dia tersenyum lembut sambil menatapku penuh kasih.
”Aku ingin bersama Souta-kun.”
”A-Ah, begitu ya...”
Jawabannya yang langsung dan jujur membuatku terdiam sesaat.
Setelah itu, Nagi menatapku serius.
”Aku belum memutuskan, tapi ingin pergi ke suatu tempat.”
”Benar juga. Lagipula, ini momen Natal... aku akan memikirkannya. Kalau kamu punya tempat yang ingin dikunjungi, bilang saja.”
”Baik, akan aku lakukan.”
Mungkin kami bisa melihat iluminasi Natal atau menghadiri acara-acara tertentu. Nanti aku akan mencari tahu... atau bertanya pada Eiichi. Masih ada waktu, jadi tidak perlu terburu-buru.
”Lalu, apa pertanyaanmu yang kedua?”
”Ah... soal kunci yang kuberikan waktu itu, bagaimana sekarang?”
Begitu aku menanyakan itu, telinga Nagi tampak bergerak sedikit.
”U-Um... bagaimana ya, sebenarnya...”
Dia tampak ragu, namun akhirnya melanjutkan.
”Karena aku merasa tidak boleh sampai hilang, aku menyimpannya di sebuah kotak kecil dan menjaganya dengan hati-hati.”
Jawabannya sungguh di luar dugaan. Setelah memahami maksud kata-katanya, aku tidak bisa menahan tawa.
”Begitu ya... memang Nagi sekali”
”A-Aku tahu kok! Aku tahu kunci itu bukan untuk dilihat saja, tapi untuk digunakan. Tapi... kalau sampai hilang, rasanya aku akan sangat menyesal.”
Jadi, dia bukan hanya menyimpannya, tapi juga sering melihatnya... ah, bukan itu intinya.
”Kalau begitu, apa kamu belum membeli tempat penyimpanan kunci, seperti gantungan kunci?”
”Oh, benar juga. Aku belum membelinya.”
Mungkin karena selama ini dia hanya meninggalkan kuncinya di rumah. Mendengar itu, aku merasa sedikit lega, lalu berkata,
”Mungkin ini sedikit lebih awal, tapi untuk hadiah Natal... aku ingin memberimu sebuah gantungan kunci.”
Sebenarnya, aku sempat berpikir untuk membuatnya jadi kejutan. Namun, daripada memberikan sesuatu yang dia sudah punya atau tidak dia sukai, aku memilih untuk bertanya lebih dulu.
“Benarkah!?”
”Ah, iya. Meskipun ini satu-satunya ide yang terpikirkan untuk sekarang... apa ada sesuatu yang lebih kamu inginkan?”
Nagi tiba-tiba mendekatkan wajahnya. Antusiasmenya melebihi dugaanku. Namun, dia segera menggelengkan kepala dengan kuat.
”T-Tidak! Hanya dengan menerima sesuatu dari Souta-kun saja aku sudah sangat senang. Lagi pula, aku memang berpikir untuk membeli gantungan kunci, jadi... aku sangat, benar-benar senang sekali...”
”Be-Begitu ya.”
Kata-katanya yang jujur dan tulus membuat hatiku bergetar. Detak jantungku yang kian cepat pasti sudah diketahui oleh Nagi.
Saat itu, dia menarik sedikit bajuku.
”Souta-kun, um... apa kamu punya sesuatu yang kamu inginkan?”
”Aku? Selama itu dari Nagi, apapun akan membuatku bahagia.”
Apa aku harus menyebutkan sesuatu? Aku sempat ragu, namun Nagi tampak menghela napas lega.
”B-Begitu ya. Sebenarnya, aku juga sudah memikirkan beberapa hal. Jadi, aku akan memilih salah satunya. Aku harap Souta-kun akan menantikannya.”
Mendengar itu, aku merasa lega tidak menyebutkan apapun. Tidak peduli apa yang dia berikan, aku tahu aku akan senang menerimanya.
“Aku akan menantikannya.”
“Iya!”
Sebulan lagi rasanya akan sangat dinanti.
Setelah memberikan anggukan besar, Nagi berdiri dari sofa.
”Kalau begitu, sebenarnya aku ingin tinggal lebih lama, tapi aku sudah menghubungi sopir, jadi aku harus pulang sekarang.”
”Ah, maaf ya, sudah merepotkanmu.”
”Tidak masalah. Lagipula, aku juga ingin cepat membahas soal Natal tadi.”
Nagi tersenyum lembut dan mulai bersiap-siap untuk pulang. Namun, karena tidak membawa banyak barang, persiapannya selesai dalam sekejap.
”Sepertinya sudah semua. Tidak ada barang yang tertinggal, kan?”
”Kurasa tidak ada. Kalau ternyata ada yang tertinggal, aku akan membawanya Senin nanti.”
”Baik, terima kasih.”
Sambil membawa tasnya, Nagi menggenggam tanganku erat.
”Aku merasa sedikit sedih karena kita harus berpisah sebentar lagi.”
”Kita akan segera bertemu lagi. Aku mengerti perasaanmu.”
Saat Nagi pergi, apartemen ini akan terasa sangat sepi. Ya, aku benar-benar berubah sejak bersamanya. Saat masih sendiri, aku tidak pernah memikirkan hal-hal seperti ini.
Perlahan, kami berjalan bersama menuju pintu masuk.
Ketika dia memakai sepatunya dan aku membuka pintu, angin dingin menyusup masuk. Nagi menggenggam tanganku lebih erat, kehangatannya menyusup dari tangan hingga ke hatiku.
”Tubuhmu bisa kedinginan. Sampai sini saja tidak apa-apa.”
”Baiklah.”
Kehangatan tangannya perlahan menghilang. Dia menatapku sambil tersenyum lembut.
”Souta-kun.”
Nagi memanggil namaku. Kemudian, dia sedikit mendongak dan mengangkat wajahnya ke arahku.
”Untuk yang kedua kalinya, aku ingin Souta-kun yang melakukannya.”
––Aku bukan orang yang sebodoh itu hingga tidak memahami maksud dari kata-kata tersebut.
”Baiklah.”
Aku menyibakkan poninya ke belakang telinga dengan lembut. Nagi tampak geli dan sedikit tersenyum.
Dia benar-benar cantik.
Kulitnya yang putih bersih, rambutnya yang seputih salju—semuanya terasa seperti mimpi.
Matanya yang biru seperti laut dalam begitu menenangkan dan penuh daya tarik.
Setiap detailnya terlihat seperti karya seni yang dibuat dengan teliti. Namun, daya tarik Nagi bukan hanya itu saja.
Ketika aku meletakkan tanganku di pipinya dengan lembut, sebuah suara kecil keluar dari bibirnya. Aku mengusap pipinya perlahan, dan dia tersenyum seolah sedang menikmatinya.
Namun, aku tidak bisa terus mengulur waktu. Dengan jantung yang berdebar kencang, aku menelan ludah, menarik napas dalam-dalam, lalu mendekatkan wajahku ke arahnya.
Aroma manis yang lembut menyentuh hidungku.
Meski dia selalu berada di sisiku, perasaan ini tak pernah berubah. Aku tidak yakin apakah suatu hari nanti aku akan terbiasa dengan semua ini.
Namun, aku langsung melupakan pikiran itu ketika bibirku menyentuh bibirnya yang lembut dan segar.
Aroma manis itu seperti menyambar otakku, membuat seluruh tubuhku terasa bergetar.
Aku merasakan lengannya melingkari punggungku dan memelukku erat.
Ciuman itu tidak berlangsung lama—tidak mendalam, bahkan tidak sampai sepuluh detik.
Namun, ketika itu berakhir, matanya yang menatapku membawa kehangatan yang meluluhkan.
Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku. Aku ingin terus melihatnya.
Tapi di dalam matanya, aku melihat sesuatu yang samar, seolah ada rasa khawatir tersembunyi di baliknya.
“Aku suka berciuman. Rasanya seperti semua perasaan kita tersampaikan dengan sempurna. Tapi aku kadang bertanya-tanya, bagaimana denganmu, Souta-kun?”
“Aku juga sama, Nagi.”
Aku meletakkan tanganku di kepalanya, mencoba menenangkan kekhawatirannya.
“Aku suka semuanya saat bersamamu—menggenggam tanganmu, mengusap kepalamu seperti ini, dan juga menciumimu. Setiap kali aku bersamamu, aku merasa gugup tapi juga tenang. Itu berlaku untuk ciuman juga.”
Wajahku memerah. Tapi aku tidak ingin membuat Nagi merasa tidak yakin, jadi aku harus mengatakannya.
“Aku merasa gugup, tapi juga nyaman. Aku tidak tahu apakah aku akan terbiasa dengan ini, tapi... setiap kali aku bersamamu, perasaanku tumbuh semakin besar, dan aku hampir tidak bisa menahannya.”
Nagi mundur perlahan, meletakkan tangannya di dadanya.
”...Sampai kapan?”
Dari bibirnya yang memikat, kata-kata itu keluar pelan.
”Sampai kapan kamu akan membuatku semakin mencintaimu, Souta-kun?”
Kata-katanya seperti gumaman, seolah dia tidak sengaja mengatakannya. Beberapa detik kemudian, dia tersadar, menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
”T-Terima kasih, Souta-kun. Tapi aku harus pulang sekarang, atau aku akan benar-benar tidak bisa pergi.”
”A-Ah, baiklah.”
Nagi berbalik dan berjalan dengan cepat. Sementara itu, aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diriku.
”Sampai lusa, Nagi.”
Ketika aku berkata demikian, dia berhenti di depan lift dan menoleh.
”Aku tidak sabar menunggu lusa, Souta-kun.”
Bersamaan dengan itu, pintu lift terbuka. Dia melambaikan tangan kecilnya dan masuk ke dalam. Aku membalas lambaian tangannya, lalu menghela napas panjang dan bersandar pada pintu.
”Kalimat terakhir itu sedikit curang.”
Saat mengingat kata-katanya tadi, wajahku kembali memanas.
”Natal... aku harap hari itu segera datang.”
Angin dingin yang menyentuh pipiku terasa cukup menyegarkan malam itu.
∆∆∆
”Hei, jarang sekali. Kau sedang membaca buku?”
”Ah, Eiji. Akhir-akhir ini, meski ujian sudah dekat, aku tidak bisa fokus belajar. Jadi aku meminjam buku dari Nagi untuk menyegarkan pikiran.”
”Oh? Itu lebih jarang lagi. Hmm? Tanganmu kenapa?”
”Ah, ini? Aku ini ceroboh. Jadi aku sedikit terluka.”
Eiji menunjuk tanganku yang tertutup plester. Refleks, aku mengusapnya. Seperti biasa, Eiji memang cepat menyadari hal-hal kecil.
“Apa kau mulai belajar menjahit atau semacamnya?”
”Hampir benar, tapi tidak sepenuhnya.”
”Hampir benar, ya? Apa itu juga semacam cara menyegarkan pikiran?”
”Bisa dibilang begitu.”
Aku tertawa kecil mendengar kata-katanya, lalu menyelipkan pembatas di buku dan menutupnya.
”Entah kenapa, akhir-akhir ini aku tidak bisa berkonsentrasi.”
”Oh? Apa ini ada hubungannya dengan kekasihmu?”
Eiji tersenyum lebar, membuatku ingin menghajarnya. Tapi aku tahu dia hanya akan menikmatinya, jadi aku menahan diri.
”Hei, Eiji.”
”Hmm?”
Aku merasa ini saatnya untuk bertanya, meskipun rasanya memalukan.
Dengan tekad kuat, aku melanjutkan.
”Apa kau pernah… merasa seseorang terus-menerus ada di pikiranmu?”
”Oh? Maksudmu kekasih tercinta selalu memenuhi pikiranmu?”
”Jangan ulangi itu.”
Wajahku mulai panas, dan aku menunduk untuk menyembunyikannya.
”Hah…”
”Maaf, maaf. Tapi, tentu saja, aku pernah mengalaminya.”
”Kau pernah?”
”Hei, kau pikir aku ini apa? Selama sekitar sebulan pertama aku pacaran, aku sama sekali tidak bisa mendengarkan pelajaran.”
”Sampai separah itu?”
”Iya. Apalagi karena Kirika sekelas denganku. Aku tidak tahu sudah berapa kali kena marah dari guru.”
Eiji tertawa terbahak-bahak. Sikapnya ini memang sangat khas dirinya.
”Kalau begitu, ada cara untuk mengatasinya?”
”Tidak ada.”
”Tidak ada, ya…”
”Benar. Terimalah saja.”
Jawabannya sangat tegas, tapi itu memang sesuatu yang sudah kuduga. Masalah seperti ini tidak bisa langsung diselesaikan.
”Yah, jangan terlalu dipikirkan. Manusia pada akhirnya akan terbiasa… mungkin. Suatu saat.”
”Setidaknya kau bisa lebih yakin saat mengatakannya.”
”Kau akan seperti itu untuk sementara waktu. Semangatlah.”
Eiji menepuk pundakku berkali-kali. Aku menghela napas panjang untuk mengeluarkan panas yang mengisi wajahku.
”Oh, satu hal lagi—“
”Apa itu?”
”—Tidak, tidak jadi.”
Ada sesuatu tentang Nagi yang mengganjal pikiranku, tapi aku merasa ini bukan sesuatu yang bisa kubicarakan dengan Eiji.
”Kalau ada apa-apa, katakan saja padaku.”
”Ya, aku tahu. Tapi tidak apa-apa. Kali ini, aku harus menyelesaikannya sendiri.”
Sambil mengingat kembali perilaku Nagi akhir-akhir ini, aku memutar otak.
Sepertinya, hanya itu satu-satunya cara.
∆∆∆
”Ada apa? Biasanya aku bayangkan kamu selalu sibuk dengan belajar dan mengulang pelajaran.”
”Hayama-san… eh, ini, bagaimana ya.”
Saat sedang membaca buku di sekolah, Hayama-san, yang datang lebih terlambat dariku, menyapaku.
”Hmm? Jangan-jangan… kamu terlalu bahagia sampai nggak bisa fokus belajar untuk ujian?”
”K-kamu cepat sekali menyimpulkan… Tidak, aku tahu ini bukan hal yang baik.”
Mendengar jawabanku, Hayama-san tampak bingung.
”Bukan hal yang baik? Bahagia itu hal yang bagus, kan?”
”T-tapi, kalau sampai nggak bisa fokus pada hal lain… itu jadi masalah.”
“Tapi sekarang kamu bahagia, kan?”
Dengan senyum cerah seperti matahari, Hayama-san tertawa. Aku hanya bisa mengangguk, meskipun sedikit malu, karena aku memang sedang bahagia.
”Kalau begitu, itu sudah cukup. Hidup itu terlihat panjang, tapi sebenarnya singkat. Jadi, yang penting nikmati saat ini.”
”…Kamu terlihat sangat bijaksana.”
”Ahaha. Aku sih biasa saja. Tapi aku sering jadi tempat curhat banyak orang. Karena itu, kalau aku melihat orang yang curhat padaku bahagia, aku juga ikut senang.”
Hayama-san berkata begitu sambil tersenyum hangat.
”Memang, sih, kalau hidup tanpa rencana itu tidak baik. Tapi kalau terlalu memikirkan masa depan sampai sesak napas, itu juga nggak bagus.”
Kemudian, dia mengulurkan tangan dan mulai mencubit pipiku.
”Rasa bahagiamu itu nikmati saja, terus senyum yang lebar, ya!”
”W-wahya…!”
”Iya, begitu. Senyum yang cerah! Tapi kalau pacarmu jadi cemburu, aku nggak tanggung jawab. Yang jelas, jauh lebih baik daripada terus murung.”
Hayama-san tersenyum sambil menunjukkan contohnya, dan tanpa sadar, aku juga ikut tersenyum kecil.
”Terima kasih, Hayama-san.”
”Iya, sama-sama… Eh, itu yang harus aku jawab, kan?”
”Benar! Fufu.”
Berkat Hayama-san, hatiku terasa lebih ringan.
Ketika kami sedang bercakap-cakap, tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul di kepalaku.
”Ngomong-ngomong, Hayama-san, kamu punya pacar?”
”Aku? Nggak, sih.”
Jawabannya sungguh tak terduga.
Hayama-san sangat cantik. Dia pasti merawat kulitnya dengan baik, dan rambut emasnya selalu terlihat indah. Kulitnya bersih tanpa noda, dan tubuhnya berkembang dengan baik. Aku tanpa sadar menatapnya dari ujung rambut hingga ujung kaki, membuatnya tertawa kecil.
”Maaf…”
”Nggak apa-apa kok. Kita kan sesama perempuan. Tapi ya, ada banyak alasan kenapa aku nggak punya pacar.”
Aku penasaran, tetapi ragu untuk bertanya. Namun, dia melanjutkan dengan sendirinya.
”Bukan karena alasan besar sih. Hanya saja, belum ada pria yang menarik perhatian. Meski aku akui, mungkin aku terlalu pilih-pilih.”
”…Begitu ya. Jadi, belum pernah ada yang kamu pikir ‘orang ini bagus’?”
”Ada, kok. Misalnya—“
Hayama-san menatapku dengan senyum nakal.
”Minori-kun, mungkin?”
”…!”
Aku terkejut hingga tak sadar berdiri.
”T-tidak boleh! S-Souta-kun itu tidak boleh!”
Meskipun tahu itu hanya gurauan, aku tetap mengatakannya.
”Hahaha, santai saja. Aku tahu, kok. Belum pernah aku lihat pria setia seperti dia. Dia cuma pria yang baik, bukan orang yang kusukai.”
Meski terkesan bercanda, kata-katanya terdengar tulus. Hayama-san menatapku, lalu tersenyum lebar.
”Itu pendapat jujurku. Jarang sekali ada orang seusia kita yang perhatian pada orang lain tapi juga tahu cara menjaga dirinya sendiri. Banyak yang hanya fokus pada salah satunya. Sebenarnya, aneh juga dia nggak punya pacar dulu.”
”Itu… memang benar. Aku juga pernah bertanya-tanya soal itu.”
Tapi aku tahu alasannya setelah melihat album fotonya.
”Souta-kun selalu bersikap tulus pada siapa saja. Tapi mungkin belum pernah ada situasi yang cocok untuk itu terlihat.”
”Oh, aku dengar dia tidak punya banyak teman, ya?”
”Benar. Meski katanya saat SD, dia populer karena larinya cepat. Tapi hubungan itu tidak berlanjut lebih jauh.”
Aku merasa heran. Jika orang berbicara dengannya, pasti mereka akan menyadari pesonanya.
”Yah, anak SD biasanya tertarik pada teman yang lucu atau suka bercanda. Bukan berarti cerita Souta-kun membosankan, sih.”
”…Sulit dibayangkan, ya.”
”Tapi tidak apa-apa. Karena kamu orang pertama yang menyadari pesonanya.”
Aku mengangguk pelan, setuju. Dan tanpa sadar, senyum kecil muncul di wajahku.
Aku merasa beruntung karena dia—Souta-kun—adalah pacarku, dan juga tunanganku.
”Fufu.”
”Eh? Lagi-lagi mikirin pacar tercintamu?”
”Iya… aku benar-benar merasa beruntung.”
Bertemu dengannya. Mengenalnya. Dan diselamatkan olehnya.
Aku merasa sangat bersyukur.
”Aku pasti akan membuatnya bahagia, apapun yang terjadi.”
Aku berbisik pelan, cukup untuk diriku sendiri.
”Hm? Kamu bilang apa?”
”Tidak, bukan apa-apa.”
Aku menggeleng dan tersenyum pada Hayama-san.
”Kalau nanti kamu menemukan seseorang yang menarik, jangan ragu untuk konsultasi padaku.”
”Wah, boleh juga. Nanti aku akan konsultasi habis-habisan.”
”Tentu!”
Hayama-san tertawa lepas.
Aku benar-benar merasa bersyukur punya teman seperti dia.
∆∆∆
Hari pengumuman hasil ujian akhir tiba, dan hasilnya pun dibagikan.
Seperti sebelumnya, Nagi datang ke rumahku untuk saling memperlihatkan hasil kami.
Aku dan Nagi duduk bersebelahan di sofa, seperti yang biasa kami lakukan.
”Baiklah, mari kita tunjukkan hasilnya bersama, ya, dengan hitungan tiga,”
”Oke,”
Ada ketegangan yang terasa di udara. Suara menelan ludah terdengar, entah itu suaraku atau suara Nagi.
”Baik, mari kita mulai,” Nagi berkata sambil mengambil selembar kertas dari map beningnya.
”Satu, dua, tiga!”
Di kertas itu terlihat:
-Peringkat 8 dari 280 siswa
-Peringkat 5 dari 320 siswa
Hasil yang tinggi, tentu saja. Namun, mengingat bahwa sebelumnya kami berdua berada di peringkat pertama, ini adalah sedikit penurunan. Terutama, nilailah yang lebih banyak menurun dibandingkan milik Nagi.
”Souta-kun, ternyata kamu juga sedikit turun, ya,”
”Seharusnya ini masih termasuk tinggi... Tapi, kalau dipikir-pikir, mungkin aku memang terlalu beruntung sebelumnya. Tapi, Nagi juga menurun, itu hal yang jarang terjadi,”
”Ya, begitulah,”
Mata birunya terlihat sedikit murung. Bayangan kelam melintas sejenak di sana, dan ia mengalihkan pandangannya.
”Ada apa?”
”Tidak ada apa-apa,”
”Kau tidak bisa memberitahuku?”
“Cara bertanya seperti itu curang sekali, Souta-kun,” katanya sambil menggembungkan pipinya sedikit.
Memang, cara bertanyaku tadi agak curang.
”Souta-kun, bagaimana pendapatmu tentang hasil kali ini?”
”Hm... Tidak buruk, dan menurutku masih termasuk bagus. Tapi, kalau ditanya apakah ini hasil terbaikku, aku tidak bisa bilang iya dengan jujur,”
”Aku juga merasa begitu. Bahkan, dibandingkan hasil sebelumnya, ini adalah hasil terburukku. Baik dari segi peringkat maupun nilai,”
Matanya sempat menatapku, tetapi hanya sesaat sebelum kembali berpaling. Seperti anak kecil yang merasa bersalah.
”Bolehkah aku bertanya satu hal lagi? Menurutmu, apa yang menjadi penyebab kita turun kali ini?”
”Hm...”
Aku pura-pura berpikir. Padahal, aku sudah tahu jawabannya.
”Kurasa aku terlalu larut dalam perasaan. Aku mencoba fokus, tapi tidak berhasil,”
”Begitu, ya,”
Nagi terlihat semakin kecil suaranya.
Ekspresinya sejenak berubah menjadi sedih, dan aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya lagi.
”Nagi, ada apa?”
Dia hanya menggeleng dan berkata,
”Tidak apa-apa.”
”Kalau itu sungguh dari hatimu, aku tidak akan berkata apa-apa lagi. Tapi, kalau itu hanya alasan, aku akan merasa sangat sedih,” kataku.
“Kamu benar-benar curang, Souta-kun,” katanya sambil tersenyum lemah.
“Maaf, aku memang pria yang curang,”
“Tapi, aku sangat mencintai pria curang itu. Tapi... justru karena aku mencintaimu, aku merasa sesak,” katanya dengan senyum yang terlihat penuh beban.
Dia mengepalkan tangannya erat, dan aku segera menggenggam tangannya dengan lembut. Jari-jariku membelai jemarinya yang terkepal, membuatnya perlahan membuka tangan itu. Aku kemudian menggenggam erat tangannya.
”Kalau ada hal yang membuatmu sesak, biarkan aku ikut menanggungnya,”
“Souta-kun tidak bersalah sama sekali,” jawabnya pelan sebelum mulai berbicara.
“Aku sering bermimpi,” katanya tiba-tiba.
Matanya yang biru terlihat kosong, seakan sedang melihat sesuatu yang jauh. Ia mungkin mengingat sesuatu.
”Aku bermimpi tentang hari itu. Hari di mana aku mengkhianatimu, Souta-kun. Hari di mana aku merebut bibirmu, meski aku tahu aku tak pantas... Wanita yang hina. Aku bermimpi tentang itu,” katanya, suaranya bergetar.
Dia menutup matanya, dan aku bisa merasakan genggaman tangannya semakin kuat. Kulit putihnya menjadi lebih pucat.
”Semakin kupikirkan, semakin kusadari betapa buruknya aku saat itu. Aku memilih orang tuaku, meninggalkanmu tanpa penjelasan, dan di akhir... aku malah mencuri ciuman darimu. Aku wanita yang hina,” katanya dengan nada getir.
”Itu tidak benar—“
”Aku hanya menyampaikan fakta, Souta-kun. Sama seperti membunuh adalah salah meskipun ada alasan, perbuatanku juga tak terampuni,”
”Itu terlalu berlebihan,”
“Mungkin. Tapi, aku tahu aku bisa melakukan hal yang lebih baik. Aku seharusnya bisa berbicara lebih awal kepada orang tuaku. Aku bisa menolak perjodohan itu. Aku bisa menceritakan semuanya kepadamu atau kepada Hayama-san lebih awal. Mungkin setidaknya itu bisa mencegah hal-hal terburuk,” katanya sambil tersenyum pahit.
Aku ingin menyangkalnya, tetapi aku tahu dia benar. Itu membuatku semakin merasa tak berdaya.
“Kamu bilang sering bermimpi. Tapi, apa kamu selalu bermimpi tentang itu?” tanyaku pelan.
”Tidak selalu. Aku tidak bermimpi tentang itu... saat aku tidur bersamamu,”
Matanya akhirnya menatapku. Tapi kali ini, matanya tampak seperti lautan yang keruh, seperti air hujan yang mengacaukan permukaan laut.
”Pada akhirnya, aku tidak berubah sama sekali sejak saat itu,”
“Aku ingin mengatakan sesuatu. Kamu salah,” potongku, tak mampu menahan diri lagi.
"Nagi, kamu telah berubah. Fakta bahwa kamu mau membicarakan ini sekarang adalah buktinya.”
Nagi sebelumnya mungkin tidak akan membicarakan hal ini. Terlebih lagi…
“Kalau dengan begitu kamu tidak lagi melihat mimpi buruk, kamu bisa datang ke rumahku kapan saja. Atau aku yang datang ke rumahmu.”
“…Tidak boleh. Kalau begitu, aku hanya akan lebih merepotkanmu, Souta-kun.”
“Merepotkan?”
Aku memiringkan kepala, tidak mengerti maksudnya. Nagi mengerjapkan matanya perlahan, seolah-olah ragu untuk mengatakan sesuatu. Namun, dia tidak memilih untuk diam.
“Karena aku, kamu sampai sakit, Souta-kun. Kita berdua tidak bisa fokus belajar... perasaan kita goyah, dan kita gagal melakukan apa yang harus kita lakukan.”
Tangan lembutnya terulur, dengan pelan menyentuh pipiku.
“Aku bilang pada Papa dan Mama, juga pada ayah dan ibumu, bahwa aku akan membuat Souta-kun bahagia. Tapi lihat hasilnya... semuanya terukir jelas dalam angka-angka.”
“Nagi.”
Aku memanggil namanya, dan dia terkejut.
Bahunya bergetar, matanya memperlihatkan ketakutan yang samar. Namun, aku tahu itu bukan karena dia takut padaku.
Aku mengulurkan kedua tanganku, dan matanya yang biru seperti laut mulai tercampur kebingungan hingga warnanya menjadi tidak jelas.
Aku meletakkan kedua tanganku di pipinya yang putih bersih, lembut memegangnya
.
“Mmhh.”
“Nagj. Aku sedikit marah. Pertama, mengkhawatirkan keluarga bukanlah merepotkan, bukan begitu?”
Rasa lembut dan hangat dari pipinya terasa di telapak tanganku.
“Namun... aku juga menyadari bahwa aku membuatmu memikul semuanya sendirian.”
“T-tidak! Kamu sama sekali tidak salah, Souta-kun!”
“Kalau begitu, kamu juga tidak salah, Nagi.”
Dia meletakkan kedua tangannya di atas tanganku. Tapi, dia tidak mencoba untuk melepaskan tanganku.
“Bagaimana kalau kita sepakat bahwa kita berdua sedikit salah kali ini? Aku juga tidak banyak berdiskusi denganmu, dan dibandingkan saat ujian tengah semester, aku tidak belajar sebanyak itu.”
“…Tapi.”
“Kalau ada yang ingin kamu katakan, katakan semuanya. Kalau kamu terus menyalahkan dirimu sendiri tanpa alasan, aku akan bertindak. Tapi kalau tidak, aku akan mendengarkanmu dengan baik.”
“Kamu itu jahat, Souta-kun.”
“Ya, aku tahu. Aku sendiri merasa seperti itu. Karena aku sangat mencintaimu.”
“…Sungguh. Sampai kapan kamu akan terus membuatku terpesona seperti ini, Souta-kun?”
Tangannya meninggalkan tanganku, dan kemudian dia melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan—menyentuh pipiku dengan kedua tangannya.
Setelah itu, dia mendekatkan wajahnya ke arahku dengan cepat.
“Kalau kamu mengatakan hal-hal seperti itu... perasaanku yang besar ini jadi sulit untuk kubendung.”
Sebelum aku sempat menarik napas, bibirnya telah menyentuh bibirku.
Hanya sesaat. Namun, itu cukup untuk membuat kepalaku terasa seperti mendidih, dipenuhi oleh kebahagiaan.
Bekas lembut dari sentuhan bibirnya masih tertinggal. Saat aku akhirnya bisa bernapas, aroma manis memenuhi paru-paruku.
“Itu balasannya,”
Katanya sambil tersenyum. Lalu dia melingkarkan tangannya di punggungku, memelukku erat.
“Maaf... tidak, terima kasih, Souta-kun. Mari kita lakukan yang terbaik untuk ujian akhir semester tiga nanti. Aku akan mengajarkanmu banyak hal lagi.”
“Sama-sama. Mungkin kita bisa mulai rutin belajar bersama setelah Tahun Baru.”
Aku mengusap punggungnya dengan lembut. Kekhawatirannya sepertinya sudah menghilang...
Namun, tentang mimpinya…
Aku tahu bahwa seiring waktu, mungkin itu akan teratasi. Tetapi sampai saat itu, Nagi akan terus memikirkannya.
“…”
Dia masih terjebak pada hari itu. Bayangannya sesekali muncul. Bagaimana aku bisa membebaskannya dari itu?
Sebenarnya, aku sudah memikirkan sesuatu sejak dulu. Tapi, aku ragu. Apakah langkah itu terlalu berat untuk Nagi?
Saat aku masih memikirkan itu, dia menepuk punggungku pelan.
“Souta-kun, boleh aku minta sesuatu?”
“Apa itu?”
“Sebetulnya ada sesuatu yang sudah lama ingin kukatakan... Sebenarnya aku ingin mengatakan ini sebagai hadiah atas hasil ujian yang baik.”
“Oh. Apa pun itu, katakan saja.”
Aku ingat kami pernah berbicara tentang hal seperti ini saat ujian tengah semester. Kali ini peringkat kami memang turun, tapi nilainya masih cukup tinggi.
“Kalau kamu tidak suka, katakan saja tidak.”
“Baik.”
Karena dia memelukku, aku tidak bisa melihat wajahnya. Tapi aku tahu dari suaranya bahwa ini adalah sesuatu yang serius.
“Bolehkah... aku minta untuk pergi ke taman hiburan itu lagi, bersama Souta-kun?”
“…!”
“Aku tahu. Aku tahu tempat itu meninggalkan kenangan buruk untukmu, Souta-kun. Tapi, tetap saja... maaf, biarkan aku menenangkan diri sebentar.”
Rin menghentikan ucapannya sejenak, mencoba mengatur napasnya yang mulai tersengal. Pelukan kami sedikit melonggar, memungkinkan dia untuk merasa lebih tenang.
“Pelan-pelan saja, Nagi. Lagipula, aku sendiri sempat berpikir untuk mengusulkan hal yang sama.”
“Benarkah?”
“Ya. Menurutku, mungkin itu bisa membantu menghapus kenangan burukmu.”
Setelah mendengar itu, Nagi menghela napas panjang, seolah kelegaannya muncul dari dasar hatinya.
“Ternyata sama, ya. Aku juga ingin menghapus kenangan burukmu, Souta-kun.”
“Kenangan burukku?”
“Ya.”
Aku kira ini untuk mengatasi trauma Nagi. Tapi saat dia menyebut kenangan burukku, aku tidak bisa langsung memahaminya. Jadi aku menunggu dia melanjutkan.
“Aku ingin pergi lagi ke taman hiburan bersama Souta-kun. Suatu saat nanti, jika kita punya anak… kita mungkin akan pergi ke sana bersama mereka. Aku tidak ingin Souta-kun tidak bisa tersenyum saat itu terjadi.”
“Itu rencana yang cukup jauh ke depan.”
“Memang. Tapi aku pikir lebih baik kita melakukannya lebih awal.”
“…Benar juga.”
Aku sendiri tidak tahu.
Aku ingin mengatakan bahwa aku baik-baik saja, tapi kenangan hari itu masih jelas terpatri di benakku.
“Baiklah, aku setuju. Kalau kita melakukannya, mungkin mimpimu juga akan hilang.”
“Mungkin memang begitu.”
Nagi akhirnya melepaskan pelukannya, dan aku pun melakukan hal yang sama.
Mata birunya menatapku. Meski sudah kembali seperti biasanya, masih ada sedikit keraguan di dalamnya.
“Kalau begitu, mari kita pergi ke taman hiburan… dalam waktu dekat.”
“Ya. Nagi, aku juga ingin meminta sesuatu.”
“Apa itu?”
“Bagaimana kalau kita pergi saat Natal?”
Nagi membuka matanya lebar-lebar, lalu tersenyum seperti biasanya.
“Tentu. Mari kita pergi saat Natal.”
“Terima kasih. Kita jadikan ini sebagai hadiah untuk kita berdua.”
“Ya, mari kita lakukan itu.”
Akhirnya, senyum khasnya kembali. Untuk saat ini, sepertinya dia baik-baik saja.
“Waktu sudah malam, aku akan menyiapkan makan malam. Hari ini aku rencananya akan membuat ikan rebus.”
“Oh, ikan rebus. Aku sudah tidak sabar.”
“Tunggu sebentar, ya. Oh, satu lagi…”
Saat berjalan menuju dapur, Rin menoleh ke arahku.
“Aku berencana menginap malam ini, jadi persiapkan dirimu.”
“…Baik.”
Aku mengangguk atas kata-katanya. Setelah mendengar cerita tentang mimpinya, aku merasa ini adalah keputusan yang tepat untuk saat ini.
Dan malam itu, seperti yang diduga, Nagi tidak lagi bermimpi buruk.
∆∆∆
“Eh, aku? Aku sih rencananya bakal menghabiskan hari dengan Eiji sambil mesra-mesraan. Eh, tunggu, Eiji bilang dia dengar dari Minorin kalau tempatnya sudah ditentukan, lho.”
Sepulang sekolah, di belakang gedung olahraga yang sepi dari orang-orang, aku sedang menelepon Nishizawa-san.
Ketika aku bertanya, “Apa rencanamu untuk Natal?” Nishizawa-san menjawab seperti itu.
“Oh, bukan. Aku bukan ingin membahas soal tempat, tapi... begini, kalau boleh, aku ingin menanyakan soal hadiah yang biasanya diberikan kepada pacar.”
Tentu saja, pertanyaan tadi hanya pembuka. Hal yang sebenarnya ingin aku tanyakan adalah yang ini.
“Hadiah? Aku sih berencana kasih anting dan alat tindik. Untuk sekarang, itu sih.”
“Anting...?”
“Ya. Soalnya Eiji dari dulu ingin sekali menggunakan anting, tapi dia takut buat tindik. Jadi, kupikir, kalau dia pakai anting pemberianku, pasti lebih berkesan, kan? Pas juga, jadi sekalian saja.”
“Begitu, ya.”
Aku meletakkan tangan di dagu dan menatap langit. Langit biru cerah dihiasi beberapa gumpalan awan putih.
“Lagipula, kamu kelihatan lagi bingung, ya?”
“Bukan begitu. Aku sudah tahu hadiah apa yang akan kuberikan. Tapi... belakangan ini aku jadi berpikir, apakah hadiah itu terlalu berlebihan?”
“Oh? Memangnya kamu mau kasih apa?”
Aku sempat ragu untuk memberitahunya, tapi aku sadar tak akan ada gunanya kalau aku tak mengatakannya.
Lalu, aku memberi tahu Nishizawa-san apa yang ingin kuberikan.
“Eh? Bagus kok. Kenapa harus bingung?”
“Benarkah? Saat tadi aku tanyakan pada Hayama-san, dia juga bilang begitu...”
“Iya, enggak masalah sama sekali. Bahkan mungkin pacarmu bakal senang banget. Kalau mau, kasih cincin juga bakal bikin dia lebih bahagia.”
“C-cincin!?”
Aku refleks menaikkan nada suaraku, lalu buru-buru menutup mulut dengan tangan. Setelah itu, aku berdeham kecil untuk menenangkan diri.
“M-maafkan aku.”
“Gak apa-apa, santai aja. Tapi, sebenarnya cincin itu cukup masuk akal, kan? Ada juga, lho, yang kasih cincin tunangan sebagai hadiah.”
“Itu... rasanya waktu yang tersedia tidak cukup. Masalah uang mungkin ibuku bisa bantu, tapi bukan itu masalahnya. Lagi pula, aku juga harus tahu ukuran jari Souta-kun.”
“Oh, oke. Berarti memang belum memungkinkan, ya.”
Tapi, ide itu sama sekali bukan ide buruk. Saat ini mungkin belum bisa, tapi suatu hari nanti, aku ingin memberikannya.
“Selain itu, aku juga tidak tahu apakah Souta-kun ingin menerima aksesori.”
“Hm... sepertinya dia juga bakal suka, sih. Tapi, menurutku, hadiah yang sudah kamu siapkan itu pasti bikin dia lebih senang.”
“Begitu, ya... Kalau begitu, aku akan tetap pada rencanaku. Meski begitu, ada satu ide lagi yang baru terpikirkan. Aku akan menyiapkan itu juga.”
“Wah, bagus tuh! Santai aja, nikmati prosesnya. Memberi hadiah itu kan bagian dari keseruan.”
Aku tersenyum kecil mengingat bahwa Hayama-san baru-baru ini mengatakan hal yang serupa.
Senang rasanya bisa berbicara dengan Nishizawa-san. Rasanya lebih baik daripada memikirkan semuanya sendirian.
...Ya, ini pasti ide yang baik.
“Terima kasih. Aku rasa sekarang aku bisa memberikan hadiahnya dengan baik.”
“Gak apa-apa, kok. Kami juga bakal menikmati waktu kami. Kalian juga ya, semoga menyenangkan.”
“Ya, terima kasih. Kalau begitu...”
Aku hendak menutup telepon, tapi jariku berhenti tepat sebelum menekan tombol. Nishizawa-san berkata sesuatu.
“Oh iya, satu lagi boleh tanya, enggak?”
“Ada apa?”
“Maaf, cuma penasaran. Kalian mau pergi ke mana untuk kencan Natal?”
“...Ke taman bermain.”
“Taman bermain!? Itu... ya, tapi aku ngerti. Maksudmu begitu, kan?”
“...Ya, aku masih sedikit terpaku pada hal itu.”
“Paham.”
Meskipun dia tidak bisa melihatku, aku refleks mengangguk. Aku... masih terpaku pada hari itu.
Aku harus tetap terpaku. Aku tidak boleh melupakan hari itu. Meski begitu──
“Kalau begitu, nikmati kencan ulangmu, ya.”
“Ya, aku akan memperbaikinya.”
Di kencan ini, aku bertekad untuk tidak membuat Souta-kun sedih lagi. Kami harus melangkah maju bersama.
Aku menanamkan tekad itu dalam-dalam di hatiku, lalu mengakhiri percakapanku dengan Nishizawa-san.
∆∆∆
“Rambut… oke. Pakaian juga tidak ada masalah.”
Aku memeriksa dengan teliti di depan cermin untuk memastikan tidak ada rambut yang berdiri atau kusut. Aku masih belum terlalu paham soal gaya berpakaian, tapi setidaknya aku yakin tidak mengenakan sesuatu yang aneh.
“Waktu juga sepertinya aman. Seharusnya.”
Janji temu kami pukul sembilan di tempat biasa. Sekarang baru jam tujuh. Masih banyak waktu — setidaknya begitu yang kupikirkan.
“...Kalau biasanya, dia pasti sudah ada di sana meski aku datang sekarang. Tapi, kemarin kan kita sudah sepakat soal ini.”
“Mulai besok… atau lebih tepatnya, mulai sekarang, kita harus menepati waktu saat bertemu. Sekarang sudah musim dingin. Jangan sampai salah satu dari kita datang lebih dulu, menunggu terlalu lama, lalu kedinginan dan akhirnya sakit.”
Begitu katanya kemarin. Dan aku benar-benar setuju dengan pendapatnya.
Tapi, karena masih ada waktu, ini kesempatan bagus. Aku merasa sedikit gelisah, jadi lebih baik aku mencari informasi di ponsel tentang hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan saat kencan.
“...Walaupun, kebanyakan dari ini adalah hal-hal yang sudah lumrah.”
Aku tidak ingin Nagi membenciku. Jadi, setiap kali kami bersama, aku secara alami selalu memperhatikan apakah ada tindakanku yang mungkin membuatnya tidak nyaman.
Biasanya aku memang berusaha untuk tidak menyakiti perasaan orang lain, tetapi ketika itu tentang Nagi, aku menjadi jauh lebih hati-hati.
Tentu saja, aku melakukannya tanpa membuat diriku sendiri terlalu terbebani. Karena kalau sampai aku tidak bisa menjadi diriku sendiri, maka semua ini akan sia-sia.
Lagipula, jika berpikir tentang masa depan, sebaiknya aku tetap menjadi diriku apa adanya.
Memperlihatkan sisi terbaikku memang mudah. Aku juga yakin bisa sangat berhati-hati agar tidak memperlihatkan sisi diriku yang memalukan pada Nagi.
Tapi, cepat atau lambat, aku tahu batasanku akan tercapai.
Retakan kecil pada sebuah wadah lambat laun akan menghancurkannya. Dan ketika wadah itu hancur, memperbaikinya bukanlah hal yang mudah. Itu akan membutuhkan waktu.
Semakin lama aku menahan diri, semakin besar kerusakan yang akan terjadi ketika semuanya pecah.
“...Sepertinya dulu aku pernah membahas hal yang mirip dengan Nagi.”
Terus-menerus berpura-pura… kalau terus berlari tanpa henti, akhirnya kau akan lelah. Ketika kelelahan itu menumpuk dan kau tidak bisa lagi berlari, dibutuhkan waktu yang lama untuk bisa mulai lagi… ya, kira-kira seperti itu.
Aku jadi teringat sesuatu yang dulu pernah kami bicarakan, dan tanpa sadar senyum muncul di wajahku.
Dulu, Nagi terlihat seperti selalu menjaga jarak satu langkah dari orang lain. Tapi setelah kami mulai dekat, jarak itu mulai menghilang.
Kurasa itu karena baginya, kehadiran seorang teman untuk pertama kalinya sangatlah berarti.
“...Syukurlah kalau itu aku.”
Andai saat itu bukan aku yang berada di samping Nagi, melainkan orang lain…
Hanya dengan memikirkan itu, rasa gelap mulai muncul dari dalam diriku. Aku menghela napas panjang untuk meredakannya.
“Waktu terasa panjang, tapi juga terasa singkat.”
Tiga bulan telah berlalu. Waktu yang bisa dibilang pendek atau panjang untuk sebuah hubungan, tergantung dari sudut pandang masing-masing orang.
“Berpikir terlalu dalam juga tidak baik, ya.”
Akhirnya aku menyimpulkan bahwa meskipun dekat, tetap harus ada batasan, tetapi aku juga tidak boleh memaksakan diri. Dengan pikiran itu, aku mengatur ulang pikiranku.
Namun, waktu masih cukup banyak.
Aku memeriksa lagi rencana hari ini, melihat sekeliling kamar untuk memastikan tidak ada yang berantakan, dan memastikan semuanya sudah bersih.
Lalu, aku meninggalkan rumah tepat waktu, agar bisa sampai di tempat janjian tepat pukul sembilan.
∆∆∆
Goyangan kereta yang bergerak gatang gotong menemani perjalananku. Aku menatap keluar jendela.
Langit di luar tampak mendung. Menurut ramalan cuaca, mungkin akan turun salju hari ini.
Ketika aku mengirim pesan, “Aku hampir sampai,” Nagi segera membalas, “Aku juga hampir sampai.”
Sesampainya di stasiun, sebuah bayangan muncul di peron. Saat kereta berhenti dan pintunya terbuka, aku melihat sosok yang kukenal dengan baik.
“Selamat pagi, Souta-kun.”
“Oh, pagi, Nagi.”
Nagi melangkah masuk ke dalam kereta. Setelah bergerak sedikit dari pintu masuk, aku memperhatikannya dengan saksama.
Ia mengenakan sweater putih dan mantel bulu tebal, dipadukan dengan rok biru berbahan tebal.
Di dalam kereta, suhu terasa jauh lebih hangat dibandingkan dengan udara dingin di luar. Nagi melepas pelindung telinga berbulu yang ia kenakan.
“Fuu. Hari ini dingin sekali, ya,” katanya sambil menghela napas lega.
“Iya. Menurut ramalan cuaca, mungkin malam ini akan turun salju."
Ketika pandangan kami bertemu, mata biru Nagi berkilauan lembut.
“Kau sekarang mulai memperhatikan ramalan cuaca, ya.”
“Yah, aku akhirnya belajar juga.”
“Fufu,” ia terkekeh kecil dengan wajah senang.
Tatapannya kemudian beralih dari mataku ke tubuhku, memperhatikan pakaianku.
“Itu cocok sekali denganmu. Kelihatan bagus,”
“Terima kasih. Kau juga… ya, kelihatan cantik. Pakaian itu benar-benar menonjolkan kecantikanmu,”
“Terima kasih,”
Namun, suasana di sekitar kami tiba-tiba menjadi sedikit gaduh.
Penasaran, aku menoleh ke arah sumber keramaian. Kulihat beberapa pria sedang menarik perhatian, sebagian tampaknya bersama pasangan mereka. Ada yang dipukul ringan di pipi, ada juga yang dicubit lengannya hingga mengaduh.
“...Hmm? Ada apa dengan mereka?” tanya Nagi dengan kepala sedikit miring.
“Tidak usah dipikirkan. Sepertinya bukan masalah besar.”
Mungkin mereka terlalu terpesona oleh kecantikan Nagi. Meski kupikir itu wajar, karena tanpa rias pun, Nagi memang sangat cantik. Namun, tetap saja ada rasa tidak nyaman melihat mereka memandanginya.
Dengan sedikit gerakan, aku memposisikan diriku agar menjadi semacam pelindung antara Nagi dan tatapan mereka. Setidaknya, itu yang bisa kulakukan saat ini.
∆∆∆
“Kereta tadi hangat, jadi sekarang terasa makin dingin. …Kau baik-baik saja, Nagi?”
“Iya, aku baik-baik saja. Aku juga membawa penghangat tangan.”
Saat kami turun dari kereta dan keluar dari stasiun, aku bertanya begitu. Nagi lalu mengeluarkan penghangat tangan dari sakunya untuk memperlihatkannya padaku.
Melihat itu, aku merasa dia akan baik-baik saja, jadi aku mulai berjalan. Namun, tiba-tiba lengan bajuku ditarik perlahan.
“So-Souta-kun, tanganmu dingin, kan?”
“Hmm? Ah… ya, lumayan dingin.”
“Ka-kalau begitu, bagaimana kalau kita bergandengan tangan?”
Wajah Nagi memerah sedikit, dan tatapannya beralih ke arah lain.
“...Lagipula, aku juga senang kalau kita bergandengan. Bagaimana menurutmu?”
Dengan pandangan sedikit menunduk, dia berkata begitu sambil meremas penghangat tangannya dengan kedua tangan.
Tanpa kusadari, aku sudah meraih tangannya. Nagi sempat terlihat terkejut, namun kemudian ia tersenyum kecil.
Nagi memasukkan penghangat tangannya ke saku, lalu menggunakan kedua tangannya untuk menggenggam tanganku. Rasanya sangat hangat.
“...Dengan begini, setelah bergandengan tangan, panasnya tidak akan cepat hilang,” ujarnya sambil melepaskan salah satu tangannya dan menggenggam tanganku dengan tangan yang satunya lagi.
“Souta-kun, lukanya belum sembuh ya? Aku dengar kau sempat tertusuk jarum di pelajaran Tata Boga.”
“Ah, ya. Tidak apa-apa. Sudah hampir sembuh kok, tidak sakit lagi. Sebenarnya, mungkin aku sudah bisa melepas plesternya tadi.”
“Kalau begitu, syukurlah. Tapi, aku rasa lebih baik dibiarkan dulu untuk mencegah kuman masuk. Jadi keputusanmu untuk tetap memakainya sudah benar.”
Nagi menyesuaikan posisi telapak tangannya, membuat kami seperti saling menyentuh telapak tangan. Saat itu, aku merasa lega karena dia tidak menyadarinya.
“Tanganmu besar sekali, ya, Souta-kun.”
“...Sebenarnya, ukurannya biasa saja untuk laki-laki.”
“Begitukah?”
Nagi bertanya begitu sambil tersenyum kecil.
“Tapi, bagiku itu tidak penting. …Karena bagi aku, laki-laki yang tangannya aku kenal hanya Ayah dan dirimu, Souta-kun. Itu sudah cukup.”
Jari-jarinya perlahan menyelip di antara jari-jariku.
“Ayo kita jalan, Souta-kun. …Souta-kun?”
Dia mulai berjalan sambil menggenggam tanganku dalam posisi genggaman kekasih . Namun, aku tidak bisa bergerak.
“…Barusan itu curang, menurutku.”
Wajahku terasa panas, membuatku secara refleks memalingkan muka darinya. Nagi tampaknya menyadari itu, dan menggenggam tanganku lebih erat.
Meski angin musim dingin terasa menusuk, pipiku seolah lebih panas daripada penghangat tangan yang tadi dipegang Nagi.
∆∆∆
“...! Souta-kun, labirinnya kabarnya sudah diperbarui!”
“Baguslah. Katanya banyak juga yang sudah diubah jadi bertema Natal.”
Sambil mengantre di gerbang masuk, kami berdua melihat brosur.
Labirin itu sepertinya adalah salah satu yang paling disukai Nagi, jadi mendengar kabar bahwa itu diperbarui membuatku sedikit senang.
Namun, Nagi tiba-tiba terlihat terkejut seperti menyadari sesuatu, lalu menatapku.
“...Ah. Ka-kali ini aku tidak akan memikirkannya sendirian, aku akan benar-benar mencoba menyelesaikannya berdua dengan Souta-kun!”
“Tidak usah khawatir soal itu. Ekspresi seriusmu itu sangat menarik untuk dilihat.”
“Benarkah begitu?”
“Ya. Ekspresi seriusmu itu keren... dan perbedaannya dengan sikapmu yang biasa benar-benar mengejutkan.”
Ketika aku menjelaskan itu kepada Nagi yang tampak bingung, dia tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke arahku.
“Kalau begitu, aku jadi makin tidak bisa menyelesaikannya sendirian. Aku juga ingin melihat sisi keren Souta-kun.”
Wajah Nagi yang cantik kini sangat dekat, dengan senyum nakal menghiasinya.
“Fufu. Aku jadi menantikannya, ya?”
“...Aku memang tidak terlalu hebat, tapi aku akan berusaha.”
“Ya!”
Nagi terlihat sangat antusias dan bersemangat.
––Jelas berbeda dari saat kami datang ke sini sebelumnya. Perasaan ingin benar-benar menikmati semuanya begitu terpancar dari dirinya.
Awalnya aku sempat merasa sedikit cemas, tetapi tampaknya kekhawatiranku tidak terbukti. Kalau dia masih tampak khawatir, aku sudah berencana untuk membawanya ke tempat tertentu lebih dulu.
Melihat Nagi seperti itu, aku pun tak bisa menahan senyum. Pertama, kami akan pergi ke labirin. Setelah itu, atraksi mana lagi yang akan kami nikmati, ya?
∆∆∆
Kami langsung mulai tantangan di labirin.
“Sepertinya yang ini salah ya.”
“Dibanding sebelumnya, tingkat kesulitannya jauh lebih tinggi.”
Labirin ini tidak hanya sekadar mencari jalan keluar, tetapi juga dilengkapi dengan kuis dan elemen teka-teki. Walaupun tidak memerlukan pengetahuan mendalam, pola pikir yang fleksibel sangat dibutuhkan. Aku sendiri tidak begitu terbiasa dengan hal seperti ini, tapi kurasa ini mirip dengan permainan escape room.
Nagi menatap peta dan lembar soal sambil menggumam. Karena kedua tangannya sibuk, kebiasaan meletakkan tangan di dagunya seperti biasanya tidak terlihat. Tapi ekspresi seriusnya tetap tampak jelas.
Tiba-tiba, mulut Nagi sedikit terbuka dan matanya melebar.
“...Ah! Aku tahu jawabannya! Di bagian ♠ ini!”
Sambil berkata begitu, Nagi menggenggam tanganku dan mulai berjalan.
Melihat Nagi yang begitu bersemangat seperti anak kecil benar-benar menyenangkan. Meski jantungku berdebar karena sentuhan lembut tangannya, aku mencoba mengabaikannya dan mengikutinya.
Kami kembali ke ruangan sebelumnya dan Nagi memeriksa bagian bertanda ♠.
“Mungkin di rak ini. Paling bawah, dari kanan yang kedua... Ah, ada di sini.”
Nagi berjongkok dan mengambil sesuatu yang menempel di rak itu. Itu adalah kunci kecil.
“Berhasil, berhasil! Souta-kun, kita berhasil!”
“Iya. Kamu hebat, Nagi.”
Tanpa sadar aku ikut tersenyum. Aku mengulurkan tangan dan dengan lembut mengusap rambutnya yang seputih salju. Dia memejamkan mata sambil tersenyum senang.
“Ehehe.”
Biasanya aku tidak melakukan hal seperti ini di luar, tapi karena di sini tidak ada orang, kurasa tidak masalah.
...Tapi tunggu, mungkinkah ada kamera yang merekam kami?
Melihat ini adalah ruang tertutup, keberadaan kamera untuk keamanan bukan tidak mungkin.
Ketika aku tiba-tiba menghentikan tanganku, Nagi menatapku dengan sedikit kecewa, tetapi dia dengan tenang mundur.
“Aku akan berusaha lebih keras di tantangan berikutnya! ...Ah, kali ini kita pecahkan bersama-sama, ya. Aku juga ingin mengusap kepala Souta-kun!”
“A-a, tidak perlu.”
“...Tidak mau?”
“Bukan tidak mau, hanya saja... itu...”
Aku ragu-ragu menjelaskan, tetapi tatapan matanya yang berbinar-binar menatapku lekat-lekat.
Aku menghela napas kecil, sangat kecil.
“Baiklah. Kalau waktunya tiba... aku serahkan padamu.”
“Ya! Tentu saja!”
Hari ini, aku ingin menciptakan banyak kenangan menyenangkan bersama Nagi.
Dengan Nagi yang mengangguk penuh semangat, kami melangkah ke area berikutnya. Sambil berharap tidak ada yang melihat kami melalui kamera...
∆∆∆
“U-uh... apakah ini benar-benar tidak apa-apa? Rasanya seperti lebih banyak yang memperhatikan dari biasanya...”
Di atas kepala Nagi, sepasang telinga kucing putih muncul dengan imut. Aku hampir saja mengulurkan tangan untuk menyentuhnya, tetapi aku menahan diri.
Tampaknya labirin ini memiliki hadiah setelah menyelesaikannya. Kami baru menyadarinya setelah keluar, dan karena diberi, kami menerimanya saja. Hadiahnya? Sebuah headband telinga kucing.
(TLN: Headband itu sejenis bandana atau bando gitu lah)
“Tidak apa-apa kok. Lagi pula, terlihat lucu.”
“...! Be-benar begitu?”
Meskipun hadiah tersebut merupakan barang yang juga dijual di toko suvenir, warnanya berbeda dari versi toko. Jadi sebenarnya tidak terlalu mencolok. Selain itu, karena ini suasana Natal, ada cukup banyak orang yang juga memakainya—pasangan, bahkan keluarga dengan anak-anak.
Memang, Nagi akan terlihat menonjol ketika memakainya. Tetapi mengingat dia sudah menarik perhatian banyak orang tanpa itu, rasanya tidak ada bedanya.
“E-ehehe. Kalau begitu tidak masalah, ya. Kalau begitu, Souta-kun juga...”
“Aku tidak perlu, kok.”
Hanya ada satu masalah: hadiah ini ternyata ada dua.
“Ke-kenapa tidak?”
“Kenapa ya... aku rasa tidak cocok.”
Nagi menatapku dengan bingung, tapi aku menggelengkan kepala. Berbeda dari Nagi yang cantik sekaligus menggemaskan, aku, dengan telinga kucing di kepala? Rasanya itu ide yang buruk.
“Ti-tidak benar! Pasti cocok! Aku yakin sekali!”
Nagi berkata sambil menyodorkan headband itu dengan kedua tangan. Pipi merahnya terlihat menunjukkan betapa seriusnya dia.
“Aku, ya... tapi...”
“Kecocokan itu biar aku yang nilai! Ayo, coba dulu!”
Dia menyodorkannya lagi dengan antusias. Aku sempat ragu, tetapi tidak mungkin aku bisa menolak permintaan Nagi.
“B-baiklah. Begini?”
Akhirnya, aku memakainya.
Nagi menatapku lekat-lekat. Tak lama, senyum ceria muncul di wajahnya
.
“Iya! Sangat cocok sekali!”
Dia mengulurkan tangannya, bukan ke kepalaku, tetapi ke telinga kucing itu. Meskipun dia tidak menyentuhku langsung, sensasi geli terasa anehnya.
“Fufu. Lucu sekali.”
“Kalau kamu bilang begitu, aku percaya...”
Sepertinya Nagi sangat menyukai teksturnya, karena dia terus menyentuh headband itu. Mata birunya terfokus pada kepalaku.
“Sangat menggemaskan, Souta-kun.”
“...Eh?”
Dia berkata begitu sambil mengambil ponselnya dari saku.
“B-bolehkah kita foto? Sebagai kenang-kenangan!”
“A-aku rasa boleh.”
Agak memaksa, Nagi mulai menyiapkan kameranya. Aku mengikutinya begitu saja.
“Baiklah, ayo... satu, dua... Cheese! ”
Operasinya sedikit canggung, tetapi akhirnya foto selesai diambil. Aku sedikit khawatir apakah senyumku terlihat bagus, tetapi melihat Nagi tersenyum puas saat memeriksa foto, kekhawatiranku lenyap.
“Terima kasih, Souta-kun. ...Aku akan menyimpannya dengan baik.”
“Aku juga ingin satu fotonya. Bisa kirim nanti?”
“Tentu saja! Ah, boleh aku jadikan wallpaper?”
“Ya, tentu saja.”
“...Yay!”
Dengan gumaman kecil, dia mulai mengatur ponselnya dengan wajah penuh semangat. Melihatnya seperti itu membuat senyum tak terasa muncul di wajahku.
“Sudah selesai. Lalu, ke mana kita selanjutnya?”
“Hmm, bagaimana kalau kita jalan-jalan dulu sambil lihat-lihat? Ada beberapa wahana yang belum kita coba sebelumnya.”
“Setuju!”
Nagi menggenggam tanganku, jemarinya saling bertaut, menghangatkanku dengan sentuhannya.
“Fufu. Ayo, Souta-kun.”
“Iya.”
Langkah Nagi terlihat ringan dan penuh kebahagiaan. Melihatnya menikmati dari hati, aku juga merasa sangat senang.
∆∆∆
“Waah!”
“Nagi, kau baik-baik saja?”
Aku segera mengulurkan tangan, menopang punggungnya yang hampir kehilangan keseimbangan, lalu membantunya kembali berdiri tegak. Nagi tersenyum malu-malu.
“E-ehehe, terima kasih banyak.”
Dia mengucapkan itu sambil menggenggam tanganku lebih erat.
Saat ini, kami sedang bersiap untuk menaiki komidi putar, salah satu wahana yang tidak sempat kami coba sebelumnya.
Komidi putar ini dihias sangat indah, dengan lampu-lampu berkelap-kelip dan ornamen Natal yang elegan. Sebagian besar pengunjung yang menaikinya adalah pasangan atau keluarga dengan anak-anak.
...Dulu, aku merasa sedikit canggung untuk mencoba karena kebanyakan anak kecil yang naik. Tapi kali ini, melihat banyak orang seusia kami, aku mengajak Nagi untuk mencoba. Responsnya? Mata berbinar penuh semangat seperti anak kecil.
“…Sebenarnya, waktu itu aku juga ingin mencoba,”
“Benarkah?”
Nagi menggaruk pipinya dengan tangan yang bebas, wajahnya memerah malu.
“Iya. Tapi waktu itu banyak anak-anak, dan aku khawatir kalau Souta-kun akan menolak...”
“Kenapa aku harus menolak? Kalau Nagi yang meminta, aku pasti setuju.”
“Tapi... aku khawatir, kalau aku memaksakan keinginanku, mungkin Souta-kun jadi tidak menikmati waktunya.”
Nada bicaranya perlahan menjadi lebih kecil, menunjukkan sedikit rasa tidak percaya diri. Mendengar itu, aku tak bisa menahan tawa kecil.
“Hei, aku bahagia selama aku bersama Nagi. Kalau melihatmu bersenang-senang, aku juga ikut menikmatinya. Jadi jangan terlalu dipikirkan, oke?”
Nagi tersenyum hangat, senyum yang lembut dan menenangkan.
“…Fufu, ternyata kita sama, ya.”
Genggamannya menguat. Dari ekspresi, kata-kata, dan hangatnya telapak tangannya, aku bisa merasakan perasaan tulusnya.
“Kalau begitu, Souta-kun juga jangan ragu untuk bilang kalau ada wahana atau sesuatu yang ingin dicoba, ya.”
“Ya, tentu saja.”
Aku mengangguk, dan pada saat yang sama, komidi putar mulai bergerak.
“Oh, ini bergerak lebih cepat dari yang kuduga.”
“Iya! Ah, kalau Souta-kun hampir terjatuh, kali ini aku yang akan menopangmu!”
“Haha, terima kasih.”
Kuda yang kami naiki bergerak dengan kecepatan yang sama, meski terkadang naik-turun. Tapi tidak sampai membuat genggaman tangan kami terlepas. Ada tiang di depan sebagai pegangan untuk menjaga keseimbangan, jadi kami tidak perlu khawatir akan jatuh.
Mengendarai sesuatu seperti ini terasa cukup baru bagiku. Tidak seperti kereta atau bus, pengalaman ini jauh lebih ringan dan menyenangkan.
“Fufu, menyenangkan sekali ya, Souta-kun.”
“Iya, sangat menyenangkan.”
Pandangan kami bertemu. Mata biru Nagi bersinar lembut, mencerminkan kebahagiaan yang murni.
Tampaknya dia benar-benar menikmati wahana ini. Aku merasa lega karena bisa membuatnya senang.
Oh, dan ternyata selama kami menaiki komidi putar, ada staf yang mengambil foto. Mereka menawarkan kami untuk membeli foto tersebut, dan tentu saja aku membeli satu untuk kami berdua.
“Ini akan jadi kenangan yang indah,” ujarku sambil menerima fotonya.
“Betul sekali,” Nagi menjawab, dengan senyum yang begitu bahagia.
∆∆∆
Siang itu, sama seperti sebelumnya, aku makan siang bersama Nagi di ruang khusus.
Setelah itu, kami mencoba beberapa wahana lagi dan benar-benar menikmatinya.
Secara alami, pandangan kami saling bertemu. Seakan-akan kami sudah saling memahami apa yang akan dilakukan selanjutnya… tanpa sadar, kami telah sampai di tempat itu.
“──Antriannya lebih panjang dibanding sebelumnya, ya.”
“Ya, benar juga.”
Datang lebih awal ternyata keputusan yang tepat.
“Souta-kun.”
“Ada apa?”
Nagi mendekat dengan lembut, menggenggam tanganku dengan lebih erat.
“──Aku sangat mencintaimu. Dulu, sekarang, dan seterusnya. Aku tidak akan pernah meninggalkan sisimu, Souta-kun, tidak peduli apa yang terjadi.”
Suaranya kecil, namun perasaan yang disampaikan olehnya begitu dalam dan kuat, sampai-sampai aku bisa merasakannya dengan jelas.
“Aku juga sangat mencintaimu, Nagi.”
Aku balas menggenggam tangannya dengan erat, dan kami pun mengantri untuk naik wahana bianglala. Kali ini, aku tidak akan mengulangi kesalahan sebelumnya.
Melihat ekspresi Nagi, aku mencoba mengalihkan suasana dengan obrolan ringan. Tidak terasa, akhirnya giliran kami tiba.
“Ruangannya ternyata cukup sempit, ya.”
“Kalau kita duduk berhadapan, mungkin akan terasa lebih lega. Tapi… bagaimana?”
“Tidak, aku ingin seperti ini saja. Aku lebih senang kalau bisa dekat denganmu, dan rasanya lebih menyenangkan juga.”
Ada sedikit rasa gugup di udara—dan aku tahu itu bukan hanya perasaanku saja.
“Oh, ngomong-ngomong, sebentar lagi kita liburan musim dingin, ya. Rumah Souta-kun itu naik shinkansen dulu, kan?”
“Ya. Naik shinkansen, lalu lanjut beberapa stasiun dengan kereta.”
Sambil menjawab, aku memejamkan mata sejenak.
Sepertinya, Nagi mencoba menghindari sesuatu, karena dia terus melanjutkan pembicaraan dengan nada yang agak terburu-buru.
“Shinkansen… Aku belum pernah naik sebelumnya. Eh, ngomong-ngomong, Souta-kun──”
“Nagi.”
Aku memotong ucapannya dan memanggil namanya. Tubuh Nagi sedikit bergetar mendengar itu.
“Terima kasih. Tapi, sebelum itu, ada satu hal yang ingin aku tanyakan padamu.”
Nagi selalu memikirkan aku, berusaha membuatku senang. Dia juga sangat hati-hati agar tidak mengingatkan aku pada hal-hal yang mungkin traumatis bagiku.
Aku sangat menghargai itu.
Tapi… aku merasa, jika dibiarkan, dia hanya akan terus berjalan di tempat, bahkan mungkin tersesat dalam perasaan sendiri. Dan aku tidak ingin itu terjadi.
“Apa yang ingin kau tanyakan…?”
“Aku ingin tahu semua kekhawatiranmu, Nagi. Bisakah kau ceritakan semuanya padaku?”
Mata birunya tampak bergetar, memancarkan keraguan yang begitu kuat.
Mungkin, memang benar waktu akan menyembuhkan semua luka, seperti yang sering orang katakan.
Tapi aku tidak bisa membiarkan Nagi terus-menerus menderita dalam diam.
“Pada hari sebelum aku datang ke rumahmu, Eiji pernah mengatakan sesuatu kepadaku.”
“...Makizaka-san?”
“Ya. Dia membicarakan kemungkinan yang mungkin terjadi jika semuanya berjalan lancar antara kita.”
Bahkan jika semua berjalan baik, bukan berarti semuanya akan selesai begitu saja. Terutama jika berbicara tentang perasaan Nagi—melupakan atau menerima sesuatu tentu bukan hal mudah baginya.
‘Pada akhirnya, semuanya mungkin akan baik-baik saja, waktu akan menyelesaikan semuanya. Tapi, ada kemungkinan Nagi akan terlalu bergantung pada Souta. Kau pasti tidak menginginkan itu, kan?’
Dia mengatakan bahwa aku harus memperhatikan Nagi dengan baik.
Dan pada akhirnya… benar. Ada tanda-tanda bahwa Nagi mulai bergantung padaku secara berlebihan.
Pertama kali aku menyadarinya adalah pada hari setelah semua masalah di keluarganya selesai, ketika dia menginap di rumahku.
Tindakannya yang hampir menyerahkan segalanya—seolah-olah dia memohon, “Jangan tinggalkan aku.”
Lalu, aku merasakannya lagi pada hari berikutnya, ketika aku jatuh sakit.
Aku yang sakit membuatnya merasa sangat bersalah, dan dia berusaha keras merawatku sebagai bentuk penebusan atas kesalahannya.
Ketika bertemu kedua orang tuaku, permintaan maafnya terasa berlebihan, seakan dia memikul beban yang begitu berat.
Yang paling mencolok, adalah saat hasil ujian semester keluar.
Dia bercerita bahwa dia bermimpi tentang dirinya sendiri ‘mengkhianatiku.’
Seolah-olah dia sedang menyakiti dirinya sendiri, mengulang-ulang rasa sakit itu. Dan semua itu, jika dilihat lebih dalam… adalah karena dia takut kehilangan aku. Dia takut aku akan meninggalkannya.
“Di saat-saat tertentu, aku jadi memikirkan hal ini,”
Suara Nagi yang terdengar setelah keraguannya menggema penuh gemetar.
“Bisakah aku benar-benar membuat Souta-kun bahagia?”
Namun, setelah mengatakan itu, Nagi langsung menggelengkan kepalanya dengan kuat.
“Tidak. Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku akan membuat Souta-kun bahagia. Apa pun yang terjadi, bagaimanapun caranya. Aku yang akan membuatmu bahagia, Souta-kun.”
Tapi kemudian, dia menundukkan kepala sambil tersenyum pahit, seolah mengejek dirinya sendiri.
“Namun… aku punya rekam jejak buruk, kan? Aku pernah mengkhianati orang yang sangat penting bagiku—Souta-kun, dan melukaimu begitu dalam. Meski kau dan keluargamu memaafkanku, masa lalu itu tidak akan pernah hilang. Karena itu, terkadang aku merasa sulit mempercayai diriku sendiri.”
Nagi dengan perlahan meletakkan tangannya di dadanya sendiri.
…Ekspresi itu sangat menyakitkan untuk dilihat.
“Bagaimana jika aku menyakitimu lagi? Hanya membayangkannya saja sudah membuat dadaku sesak, membuatku terjerumus dalam kebencian pada diri sendiri. Padahal aku sudah bersumpah untuk tidak pernah melakukan hal itu lagi. Tapi… aku tetap tidak bisa mempercayai diriku sendiri.”
Nagi menutup matanya rapat-rapat, menggenggam tinjunya dengan kuat.
“Bagaimana jika aku mengkhianatimu lagi? Jika itu benar-benar terjadi, aku rasa… akan lebih baik jika aku──”
“Nagi.”
Aku meraih tangannya yang terasa sangat dingin.
Seperti yang dia lakukan saat menenangkanku di kereta, aku membungkus tangannya dengan kedua tanganku.
“Terima kasih sudah menceritakannya. Tapi kau tidak perlu melanjutkan.”
Sambil berkata begitu, aku meraih punggungnya dan memeluknya dengan erat.
“Itu pasti berat, ya, Nagi.”
“Ti-tidak. Dibanding aku, Souta-kun jauh lebih… terluka.”
“Meski begitu, rasa sakit yang kau alami tetaplah nyata.”
Terutama saat kau sendirian dan memikirkan hal-hal seperti itu… pasti sangat menyiksa.
“Tidak apa-apa, Nagi. Masa depan seperti itu tidak akan terjadi. Dan aku tidak mengatakannya untuk menghibur—aku punya alasan yang jelas untuk meyakini itu.”
Nagi perlahan mengangkat wajahnya. Akhirnya, matanya memandangku.
Bukan aku yang menderita dalam imajinasinya, tapi aku yang bahagia saat ini.
“Alasan pertama, karena kau sudah memikirkan ini dengan sangat mendalam. Jika kau sekuat itu merasa khawatir, masa depan seperti itu tidak akan mungkin terjadi.”
“Te-tetapi, aku benar-benar… benar-benar bodoh. Aku bahkan tidak mencoba berbicara dengan orang tuaku, dan… dan aku dengan egois membandingkan mereka dengan Souta-kun—”
Dia mencoba mengepalkan tinjunya lagi, tapi aku menahannya, menggenggam tangannya dengan lembut namun kokoh.
“Kesalahanmu memang tidak bisa dihapus. Kau mungkin merasa bahwa kau bisa saja mengulangi kesalahan yang sama suatu saat nanti. Dan itulah kenapa kau merasa tidak bisa mempercayai dirimu sendiri.”
“Itu tidak akan terjadi. Tidak mungkin kau mengkhianatiku lagi, Nagi,” jawabku sambil tersenyum.
“Justru karena kau adalah orang yang selalu berpikir dengan matang. Kesalahanmu di masa lalu hanya terjadi karena kau terlalu banyak berpikir, hingga akhirnya jadi salah arah. Tapi itu tidak akan terjadi lagi, kan?”
Aku mengusap kepalanya dengan lembut.
“Dan alasan kedua, adalah karena kau punya orang tuamu.”
“...Papa dan Mama?”
“Ya. Souichiro-san dan Chie-san, juga Suzaka-san.”
Aku mengangguk sekali dan membelai rambutnya yang halus. Rasanya seperti sutra, begitu lembut dan tanpa hambatan.
“Menurutku, Souichiro-san dan Chie-san sangat menyesali semua yang telah terjadi. Sama seperti dirimu.”
“...Ya.”
“Karena itu, mereka tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Semua orang telah bertekad untuk tidak mengulangi masa lalu. Bahkan jika, misalnya, kau mulai salah langkah lagi, mereka pasti akan menghentikannya. Dan itu berlaku sebaliknya juga—jika mereka salah langkah, kau pasti akan menghentikan mereka.”
Lagipula, kau bukan Nagi yang dulu lagi.
Sekarang kau berusaha mengekspresikan perasaanmu, mencoba membangun hubungan baru dengan orang tuamu. Karena itulah, aku yakin masa depan yang kau takutkan tidak akan pernah terjadi.
“Meski begitu, aku tahu, kata-kataku tidak akan bisa menghapus semua kekhawatiranmu.”
Karena itulah sifat alami kekhawatiran. Yang bisa kulakukan hanyalah mendengarkan, atau menghabiskan waktu bersamamu untuk mengalihkan perhatianmu darinya.
Sampai di situ, aku teringat sesuatu.
“Oh ya, Nagi. Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu.”
“Sesuatu yang ingin kau katakan?”
“Ya. Akhir-akhir ini, kau sering berkata, ‘Aku akan membuat Souta-kun bahagia,’ kan?”
“...Ya. Itu adalah janji yang akan kutepati. Apa pun yang terjadi, aku akan—”
“Di situlah kau salah.”
Aku menyela ucapannya, membuat Nagi memiringkan kepalanya penuh rasa ingin tahu.
“Aku ingin bahagia bersama Nagi.”
Mata biru itu membelalak lebar.
“Aku tidak mau jika Nagi tidak tersenyum di sisiku. Masa depan di mana hanya aku yang tersenyum, itu sama sekali tidak aku inginkan.”
“A-aku akan bahagia selama Souta-kun tersenyum.”
“Masalahnya, kalau Nagi tidak tersenyum, aku juga tidak bisa tersenyum.”
Mata Nagi tampak gelisah. …Ternyata, dia memang tidak memperhitungkan dirinya sendiri.
Perasaan bahwa ini adalah batasnya bercampur dengan pemikiran bahwa itu wajar setelah semua yang terjadi.
Kalau begitu, aku juga harus membuat keputusan.
“Aku akan membuat deklarasi kepada Nagi.”
Nagi menatapku dengan ekspresi bingung, namun wajahnya yang seperti itu tetap terlihat sangat menawan.
“…Apa itu?”
Aku menggerakkan tanganku dari kepala Nagi ke pipinya. Saat mengusap pipinya, dia tampak sedikit geli… tapi juga sedikit senang.
Melihat itu, aku tidak bisa menahan senyum. Sambil menatap matanya, aku menyampaikan niatku.
“Satu tahun lagi. Lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi… bahkan lima puluh tahun ke depan, aku akan tetap berada di sisimu, Nagi. Mulai sekarang, selamanya.”
Dengan tangan satunya, aku menggenggam tangan Nagi erat-erat.
“Saat itu tiba, kita akan tertawa bersama. Aku akan membuatmu berkata, ‘Masa depan seperti itu tidak pernah datang, ya.’ Kita akan tertawa bersama karena semuanya hanya kekhawatiran yang sia-sia. Aku pasti akan membuatmu tersenyum.”
Sebuah tetesan air mata mengalir dari mata Nagi dan jatuh ke tanganku.
“…Nagi?”
“Mengapa?”
Wajah Nagi tampak remuk, dan air mata mengalir deras dari matanya.
“U-uh…”
“Nagi!? K-kenapa, ada apa!?”
Otakku tiba-tiba kosong. Aku mencoba mengingat lagi apa yang baru saja kukatakan.
──Namun, aku seharusnya tidak melakukannya. Detik berikutnya, wajahku terasa panas seperti terbakar.
…Apa-apaan kata-kata seperti itu, aku.
Meskipun itu adalah perasaan yang sebenarnya… tidak, justru karena itu benar-benar dari hati, wajahku jadi semakin panas. Aku bilang akan membuat keputusan, tapi tidak ada kata-kata lain yang terpikirkan… meskipun, aku tidak tahu apa lagi yang harus kukatakan selain ini.
T-tapi tetap saja, menangis karena itu rasanya agak berlebihan, bukan? Aku menatap Nagi lagi.
Sepertinya dia mengerti apa yang ingin kukatakan, karena dia menggelengkan kepalanya dengan cepat.
“T-tidak, bukan begitu… bukan karena itu. Hanya saja…”
“Baiklah, aku mengerti. Tapi coba tenang dulu sebelum berbicara, oke?”
Aku memeluk Nagi yang berusaha bicara dan menepuk-nepuk punggungnya perlahan.
Dulu, saat aku menangis karena sesuatu yang buruk, ayah dan ibu sering melakukan hal itu. Tampaknya berhasil kali ini juga… karena dalam beberapa menit, Nagi berhenti menangis.
“T-terima kasih.”
“…Sama-sama.”
Aku mencoba melepaskan pelukan, tapi tangan Nagi tetap memegang erat punggungku.
“Nagi?”
“A-aku sedikit malu, jadi izinkan aku mengatakannya dalam posisi ini. Alasan aku menangis tadi…”
“…Baiklah. Aku mengerti.”
Aku mengangguk, lalu memeluk Nagi lagi.
“T-tadi itu, seperti yang kukatakan, bukan karena aku tidak suka dengan kata-kata Souta-kun. Sebaliknya, malah sebaliknya.”
Dengan nada sedikit ragu, Nagi melanjutkan.
“…Aku sangat, sangat senang. Dan juga… aku sangat menyukai Souta-kun.”
“A-aah…? T-terima kasih.”
Aku agak bingung dengan pengakuan tiba-tiba itu, tapi tetap mendengarkan kata-kata Nagi.
“Aku sudah merasa ini adalah puncak dari rasa sukaku. Aku ingin membuatmu bahagia. Aku merasa tidak ada perasaan yang lebih besar dari ini. Tapi kemudian──”
Tangan Nagi menggenggam pakaianku erat-erat, lalu dia mengangkat wajahnya.
Wajah Nagi yang tampan berada tepat di depan mataku. Wajahnya merah seperti apel.
“Aku malah semakin menyukai Souta-kun.”
Wajahnya mendekat, dan aroma manis yang samar menjadi lebih kuat──hingga akhirnya sesuatu yang lembut menyentuh bibirku.
“Rasa sukaku… malah menjadi lebih besar.”
Setelah berkata demikian, Nagi menyembunyikan wajahnya di leherku.
“Padahal aku pikir ini sudah puncaknya… Tapi perasaan suka dan senangku malah meledak, jadi aku seperti itu tadi.”
“J-jadi itu alasannya.”
Kata-kata dan napas Nagi terasa geli di kulitku. Aku memeluknya lebih erat, mencoba menyembunyikan getaran tubuhku.
“Tadi, Souta-kun bilang, ‘Aku tidak berpikir kata-kataku bisa sepenuhnya menghapus kekhawatiran Nagi.’ kan?”
“…Aah, ya, aku bilang begitu.”
Nagi mengangkat wajahnya lagi. Mata indahnya menatap lurus ke mataku.
“Sekarang, semuanya hilang.”
Bersamaan dengan kata-kata itu, kilauan hangat muncul di mata Nagi.
“Semuanya sudah lenyap. Saat kita naik kincir ria tadi, aku sempat teringat hal-hal lama. Tapi sekarang semua kekhawatiran itu sudah pergi.”
Nagi tersenyum lembut. Senyum itu… tidak seperti dirinya yang dulu, yang dijuluki [Putri Es].
Senyum itu begitu indah, manis, dan hangat.
“Souta-kun.”
Suara bening seperti lonceng memanggil namaku.
Jari-jarinya yang ramping seperti ikan kecil meraih tanganku dan menggenggamnya erat.
“Aku mencintaimu.”
Kata-kata itu penuh keyakinan.
Dari kehangatan yang mengalir lewat tangannya, dari tatapannya yang lurus, dan dari suaranya, aku tahu itu adalah kebenaran tanpa sedikit pun kebohongan.
Detak jantungku mulai berdentam keras.
“Aku mencintaimu lebih dari siapa pun. Bahkan lebih dari orang tuamu… Aku mencintaimu lebih dari siapa pun di dunia ini.”
Detak jantungku yang kencang berpadu dengan detak jantung Nagi yang juga terdengar.
Wajahnya semakin dekat, dan aroma manis itu menjadi lebih tajam.
“Izinkan aku mengatakannya lagi. Aku ingin bahagia bersamamu.”
Bersamaan dengan kata-kata itu, bibirnya menyentuh bibirku. Bibirnya yang lembut menyentuhku, sementara tangannya menggenggam tanganku erat.
──Lama.
Biasanya, bahkan jika panjang, seharusnya hanya butuh beberapa detik.
Lima detik. Sepuluh detik. Dua puluh detik berlalu, namun waktu itu masih berlanjut.
Aku mencoba untuk tidak memikirkannya, tapi saat waktu itu terus berlalu, aku akhirnya menyadarinya juga. Sentuhan lembut di dadaku.
Sensasi kelembutan dan kehangatan tubuh Nagi sebagai seorang perempuan semakin terasa. Karena itu, suara detak jantungku semakin keras. Tapi, detak jantung Nagi juga sama kencangnya seperti milikku...
Setelah beberapa saat lagi, napasku mulai terasa sesak. Mungkin Nagi juga merasakan hal yang sama. Di mata birunya yang jernih, terlihat lapisan tipis seperti kabut.
Aku menepuk bahunya pelan, dan Nagi akhirnya melepaskan pelukannya.
Dengan raut wajah yang tampak enggan berpisah.
Bibirnya yang semerah mawar terlihat lembap. Melihat itu, wajahku memanas, dan Nagi juga memerah seperti diriku.
Ia menempelkan tangannya ke pipi dan menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.
Kemudian, dia menatapku lekat-lekat lagi.
“Souta-kun.”
“…Ada apa?”
“Mungkin ini terdengar aneh untuk diucapkan sekarang. Tapi, ada sesuatu yang ingin kukatakan lagi. Waktu itu semuanya diputuskan secara spontan. Aku ingin mengatakannya langsung kepadamu, hanya berdua.”
Aku mengangguk, menunggu kata-kata selanjutnya dari Magi.
“──Souta-kun. Jadilah tunanganku.”
Tatapan biru Nagi kini sudah tidak bergelombang, melainkan tenang seperti lautan yang damai.
Meskipun sedikit terkejut mendengar perkataannya, perasaan penerimaan jauh lebih besar di hatiku.
Fakta bahwa aku dan Nagi akan menjadi tunangan telah diputuskan oleh ibunya, Chie-san. Ada alasannya sendiri untuk keputusan itu.
Saat dia menjemputku di sekolah atau saat mengantarkan barang yang ketinggalan... yah, kita berdua sempat bertindak agak kelewatan, jadi lebih baik melupakan hal itu. Orang tuaku juga sudah menyetujuinya, tapi kami belum pernah membicarakannya saat berdua seperti ini.
Aku menggenggam tangan Nagi dengan erat. Nagi pun membuka mulutnya lagi.
“Ini bukan karena rasa takut atau alasan negatif. Aku hanya ingin kita berdua bahagia.”
Aku tahu itu. Karena ekspresi Nagi tak lagi menunjukkan keraguan.
Maka dari itu──aku pun berkata.
“Ya. Tentu saja. Mari bertunangan… dan bersama-sama meraih kebahagiaan.”
Mendengar itu, wajah Nagi bersinar cerah, dan dia memelukku erat.
“Setelah lulus SMA──atau, tidak. Kurasa sekarang bukan saat yang tepat untuk membahasnya.”
“…Iya!”
Roda bianglala akhirnya mencapai puncaknya.
“…Souta-kun.”
Nagi mendekat dan menggenggam tanganku erat. Rambutnya selembut salju putih, halus saat disentuh.
Kulitnya juga seputih salju, tapi pipinya bersemu merah muda. Kontras dengan itu, matanya biru dalam seperti dasar laut.
Wajahnya begitu sempurna, indah sekaligus manis, sehingga aku ingin terus menatapnya.
“Ada apa?”
Aku menggenggam tangannya kembali, dan senyum kecilnya pun semakin merekah. Ia tidak berusaha menyembunyikan kebahagiaannya, dan aku pun ikut tersenyum.
“Aku mencintaimu.”
Ucapan yang tulus dan langsung itu mengguncang hatiku, membuatku menahan napas sejenak.
Aku belum terbiasa dengan ini. Bahkan, perasaan ini justru semakin tumbuh setiap harinya.
“Aku mencintaimu. Suaramu, hangatnya tubuhmu, hatimu, sosokmu... Aku mencintai semuanya.”
Sesaat, tenggorokanku tercekat, tapi itu hanya berlangsung beberapa detik. Segera, udara memenuhi paru-paruku, disertai aroma manis seperti bunga dari Nagi.
“Aku sangat mencintaimu… sampai rasanya dipenuhi kebahagiaan. Sampai aku berpikir, bolehkah aku sebahagia ini?”
“…Boleh. Kau berhak untuk bahagia.”
Nagi melepaskan tangannya, lalu menyentuh pipiku dengan lembut. Ujung jarinya sedikit dingin, tapi telapak tangannya hangat.
“Jika bersamamu, aku merasa bisa menghadapi apa pun.”
“Begitu juga denganku, Nagi.”
Aku menggenggam jari-jarinya dengan kedua tanganku, seakan ingin menghangatkannya sampai ke dalam.
“Fufu.”
Nagi tersenyum lembut dan menggenggam tanganku lagi.
Tatapannya penuh kelembutan saat dia perlahan mendekat…
Bibirnya yang lembut menyentuh pipiku.
“Kalau dipikir-pikir, pertama kali aku mencium… atau dicium olehmu adalah di dalam kereta, ya.”
“…Iya. Walaupun itu tidak sengaja.”
Waktu itu kereta berguncang dan aku tak sengaja mendorong Nagi ke dinding. Bukan hanya sekali, tapi dua kali.
“Terima kasih banyak untuk waktu itu.”
“Sama-sama. Itu juga bagian dari janji kita, kan.”
“Meski begitu. Souta-kun telah melindungiku. Jika bukan karenamu, mungkin aku sudah terhimpit.”
“Padahal akhirnya malah aku yang menimpamu.”
Nagi tertawa kecil mendengar itu.
“Kalau itu Souta-kun, aku sih tidak keberatan. Lagi pula, kau wangi. Aku bisa merasakanmu sepenuhnya.”
Setelah mengatakan itu, wajahnya langsung berubah panik dan memerah.
“Ti-tidak! Maksudku, bukan berarti aku suka ditindih atau semacamnya…!”
“Ya, aku tahu kok.”
Reaksi paniknya itu membuatku tersenyum tanpa sadar.
Saat dia mencoba mencari topik baru untuk mengalihkan pembicaraan, tiba-tiba dia berseru pelan, “Ah!”
“Oh iya! Aku punya sesuatu untukmu!”
Dia merogoh tasnya. Aku pun mengerti maksud perkataannya.
“…Aku juga.”
Aku mengambil sebuah kotak dari tasku, dan Nagi mengeluarkan sebuah kantong.
“Souta-kun, Selamat Natal.”
Kantong merah dengan pita hijau, dihiasi gambar pohon Natal besar.
“Terima kasih, Nagi.”
Aku menerima hadiah itu, lalu memberikan kotak hadiahku kepada Nagi. Hadiahku juga dibungkus dengan kertas merah dan diikat pita hijau.
“Selamat Natal. Ini hadiah dariku juga.”
“Ya! Terima kasih banyak!”
Nagi menerimanya dengan kedua tangan dengan hati-hati.
“Pertama-tama, Souta-kun. Coba buka hadiahku.”
“Baik.”
Setelah Nagi mempersilakanku, aku membuka pita dan mengeluarkan isinya.
“…Syal, ya!”
Itu adalah syal berwarna biru, sewarna dengan mata Nagi.
“Ya! Ada satu lagi di bagian bawah, lihatlah.”
Seperti yang dikatakan Nagi, ada sesuatu lagi di bagian bawah. Saat aku mengambilnya...
“…Oh! Ada sarung tangan juga!”
“Ya! Aku tidak punya banyak waktu untuk menyelesaikannya, tapi aku berhasil menyelesaikannya tadi malam.”
“Jadi ini… buatan tangan? Dua-duanya?”
“Tentu saja!”
Nagi mengangguk, dan aku terkejut. Aku memandangi syal dan sarung tangan itu lagi, senyumku semakin merekah.
“Ini adalah ungkapan terima kasih dan kasih sayangku.”
“Terima kasih. Akan kujaga baik-baik.”
Perasaan itu benar-benar membuatku… sangat bahagia.
“Fufu. Malam hari cukup dingin, jadi setelah turun nanti, pakailah segera.”
“Baik. …Sekarang giliranmu membuka hadiahnya.”
“Ya!”
Dengan isyarat dariku, Nagi mulai membuka bungkus dengan hati-hati.
Di dalamnya terdapat kotak berwarna putih. Setelah membukanya, ada dua kotak lagi di dalamnya. Satu berukuran telapak tangan, dan yang lainnya lebih kecil.
“Ini…! Ini tempat kunci yang pernah dibicarakan dulu, kan? Terima kasih banyak!”
Kotak yang lebih besar berisi tempat kunci berwarna biru langit yang cocok dengan Nagi. Di sudutnya ada gambar burung kecil.
“Lucu sekali!”
Nagi berkata dengan riang dan matanya menyipit senang. Melihatnya senang membuatku lega.
Lalu, Nagi memandang kotak yang lebih kecil.
“Kalau begitu, yang ini…?”
“Aku tidak tahu apakah kamu akan menyukainya, tapi… buka saja dulu.”
Nagi membuka kotaknya dengan ekspresi penasaran. Di dalamnya terdapat gantungan kunci berbentuk siluet kucing hitam.
“Ah… Ini, kamu buat sendiri?”
Nagi menunjukkan wajah terkejut. Aku tertawa dan mengangguk.
“Ya, bagian kucingnya. Aku mencari tahu banyak hal untuk membuatnya. Karena aku agak canggung, sempat kesulitan, tapi akhirnya selesai juga tepat waktu.”
Aku memang tidak terbiasa dengan kerajinan seperti ini, dan penyelesaiannya pun hampir terlambat. Bahkan jariku sempat terluka. Namun akhirnya, bentuknya jadi juga.
“…Aku sangat senang! Benar-benar, sangat senang! Akan kujaga baik-baik!”
Nagi memeluk tempat kunci dan gantungan kunci itu di dadanya sambil tersenyum bahagia.
“Dan ini… lucu sekali!”
“Benarkah? Syukurlah kalau begitu.”
Aku merasa lega mendengarnya. Setelah menyelesaikannya, aku khawatir apakah Nagi akan menyukainya atau tidak. Tapi melihatnya bahagia seperti ini, rasanya usahaku terbayar lunas.
Nagi tersenyum gembira, dan aku juga memandang syal serta sarung tangan itu sambil tersenyum.
Saat aku melihat ke luar jendela, ternyata bianglala mulai turun.
“…Sepertinya kita melupakan pemandangannya, ya?”
“Ah… benar juga.”
Pemandangan dari sini pasti bagus, tapi kami tidak sempat menikmatinya.
“Mau antre lagi untuk satu putaran?”
“…Itu ide yang bagus, tapi…”
Nagi menatapku dengan senyuman lembut.
“Lebih baik kita menikmati pemandangan itu di kunjungan kita berikutnya.”
––“Berikutnya”, ya.
“Ya, kita lakukan itu.”
Benar. Ini bukanlah yang terakhir.
Dalam hidup yang panjang ini… pasti ada kesempatan untuk datang ke sini lagi.
Mungkin saat itu nanti, bukan hanya berdua, tapi bertiga… siapa tahu.
Aku menatap Nagi, yang masih tersenyum sambil memandangi gantungan kunci dan tempat kunci itu.
Sambil mengobrol, bianglala akhirnya sampai di bawah. Aku turun lebih dulu, menggenggam tangan Nagi agar dia tidak terjatuh.
Kami berjalan sebentar, dan tanpa sengaja tiba di tempat yang sepi––tempat yang dulu penuh kenangan.
Di sana, aku mengenakan sarung tangan dan syal yang diberikan Nagi.
“Bagaimana…? Apakah cocok denganku?”
“Ya! Sangat cocok!”
Nagi mengambil salah satu kunci dari tasnya––kunci cadangan rumahku––dan memasang gantungan kunci itu di tempat kunci.
“Fufu…”
Nagi tersenyum lembut dan memasukkan tempat kunci itu ke dalam tasnya.
Aku tiba-tiba punya ide dan memanggil Nagi.
“Nagi, datanglah ke sebelahku.”
“…? Baik.”
Nagi berjalan ke sebelahku dengan kepala sedikit miring. Dia memang punya tubuh yang proporsional dan tinggi yang pas. Hanya sedikit lebih pendek dariku––cukup pas.
Aku melepas syal dari leherku, melilitkannya sebentar di leherku, lalu menyerahkannya pada Nagi.
“Kalau begini, kita bisa sama-sama hangat.”
“…! Ya!”
Kami berdua memakai syal itu bersama-sama. Jarak kami pun semakin dekat.
“…Hmm. Entah kenapa, rasanya agak berdebar. Tapi, aku sangat senang.”
“Ya… aku juga.”
Rasanya berbeda dari sekadar menggenggam tangan. Meskipun gerakan kami jadi agak terbatas, sama sekali tidak ada rasa tidak nyaman.
Aku justru merasa seolah lebih dekat dengan Nagi, dan itu membuatku senang.
“Kalau begitu… kita pulang?”
“Ya. Sepertinya ketika sampai nanti, waktu sudah cukup malam.”
Pulang yang dimaksud bukan ke rumah masing-masing. Hari ini, Nagi akan tinggal di rumahku.
“Oh iya, tadi aku diberi tahu kalau Suzaka-san akan mengantarkan makan malam ke rumah.”
“Oh, begitu. Itu sangat membantu. …Benar juga. Bagaimana kalau kita membeli oleh-oleh dulu?”
“Ya! Ayo kita beli!”
Nagi menggenggam tanganku, dan kami mulai berjalan.
Awalnya, kupikir aku akan merayakan Natal sendirian tahun ini.
…Bukan hanya Natal saja.
Kupikir tahun ini, dan mungkin tahun depan, aku akan terus hidup sendiri, meskipun sekarang sudah punya teman seperti Eiji.
Aku pikir hari-hari akan tetap sama, dan aku merasa itu tidak masalah. Sampai akhirnya, segalanya berubah.
Hari-hari yang semula abu-abu kini tiba-tiba dipenuhi warna. Bahkan aku merasa tak ingin kembali ke hari-hari yang dulu. Hidupku kini terasa lebih menyenangkan dan membahagiakan.
“Nagi.”
Aku memanggil namanya, dan saat dia menoleh, pandangan kami bertemu. Matanya yang indah bak permata menatapku.
Aku memandang wajahnya dengan saksama.
Wajahnya benar-benar cantik.
Aku selalu memperhatikannya dari jauh, berpikir bahwa aku tidak akan pernah punya kesempatan untuk berbicara dengannya.
Aku ini canggung dan tidak pandai berinteraksi dengan orang lain.
“Terima kasih.”
Kata-kata itu keluar begitu saja.
Terima kasih karena selalu bersamaku.
Karena menyapaku saat itu.
Karena memasak untukku.
Karena membuat bekal untukku.
Dan karena memilihku.
Sebenarnya, jika kuucapkan semua, pasti akan sangat panjang. Jadi, kusederhanakan menjadi satu kata.
“…Aku juga berterima kasih padamu.”
Aku tak tahu apakah semua yang kurasakan tersampaikan. Tapi kurasa, dia mengerti.
Lalu kami sama-sama membuka mulut di saat yang bersamaan.
““Sama-sama.””
Kata-kata kami saling tumpang tindih, lalu Nagi tertawa. Aku pun ikut tertawa.
Melihat senyum itu, aku pun yakin.
Bahwa Nagi akan baik-baik saja.
∆∆∆
“Suzaka-san. Syukurlah Anda kelihatan baik-baik saja.”
“Fufu. Suzaka-san juga sangat menantikan bisa berbicara denganmu, Souta-kun.”
Suzaka-san menyerahkan banyak oleh-oleh kepadaku. Ada kue, ayam, pai, dan berbagai makanan khas Natal lainnya.
Suzaka-san menawarkan untuk membawanya sampai ke atas, tapi aku merasa tak enak jika merepotkannya sejauh itu, jadi aku memutuskan untuk membawanya sendiri. Meski begitu, dia tetap menemani sampai ke atas.
“Nanti makanannya tinggal dihangatkan saja, jadi letakkan di dapur, ya.”
“Baik. Apa yang bisa kubantu?”
Melihat Nagi yang berperilaku seperti di rumahnya sendiri, aku tak bisa menahan senyum, meski tetap bertanya padanya.
Nagi berpikir sejenak dengan wajah serius, lalu tersenyum lembut.
“Karena hanya perlu dihangatkan, bagaimana kalau kita mengobrol sambil menunggu?”
“…Baiklah.”
Dengan kata lain, seperti biasa.
Dapur ini bisa dibilang adalah ‘markas’ Nagi, jadi sebenarnya tidak ada banyak hal yang bisa kulakukan.
Bukan berarti aku tidak bisa memasak. Hanya saja, membuat masakan tiga kali sehari—atau dua kali jika tidak dihitung makan di sekolah—terasa merepotkan. Belum lagi soal rasanya.
Sekarang, bisa menikmati masakan enak adalah berkat Nagi. Aku benar-benar bersyukur untuk itu.
Namun, meskipun begitu...
“Suatu saat, aku ingin memasak bersama Nagi.”
Begitu aku mengatakannya, Nagi menatapku dengan wajah terkejut.
Lalu, dia tersenyum lembut.
“Baik! Kalau begitu, ayo kita masak bersama dalam waktu dekat!”
Kami pun membuat janji itu. Sambil menunggu masakan dihangatkan, kami mulai mengobrol.
Percakapan ringan saja. Tentang kejadian di rumah, buku menarik yang kubaca, atau video kucing lucu yang kutemukan.
Waktu yang kuhabiskan untuk mengobrol seperti ini telah menjadi salah satu kebahagiaan sehari-hariku.
∆∆∆
Dari televisi, lagu-lagu Natal terdengar mengalun.
Saat mendengarnya bersama keluarga, aku tidak pernah terlalu memperhatikan liriknya. Aku hanya mendengarkan karena menyukai iramanya saja.
Tapi... sekarang saat mendengarnya lagi, aku berpikir sesuatu.
“…Ternyata, banyak juga lagu tentang patah hati, ya.”
“Iya, benar.”
Lagu-lagu itu ternyata tidak selalu menceritakan kebahagiaan. Aku mulai paham alasan mengapa lagu-lagu seperti itu populer.
Karena jika situasinya sedikit berbeda, aku mungkin mendengarkan lagu ini sendirian.
“Souta-kun.”
Nagi memanggil namaku, membuyarkan pemikiran bodoh itu.
Nagi sudah berhasil melupakan masa lalunya, dan seharusnya aku juga tidak larut dalam pikiran negatif ini.
Pikiranku seketika sirna oleh ciuman manis yang begitu dalam.
“Setiap kali kamu memasang wajah seperti itu, aku akan membuatmu melupakan semuanya. …Akan kulupakan semuanya untukmu.”
Nagi berbisik pelan setelah melepas bibirnya sejenak. Lalu, dia kembali menempelkan bibirnya ke bibirku.
Ciuman itu tidak terlalu dalam. Namun tetap terasa begitu manis.
Tangannya bergerak perlahan, jari-jarinya menyelip di antara jemariku, menggenggam erat seolah mengatakan tidak akan pernah melepaskannya.
Entah sudah berapa kali kami berciuman. Setiap kali merasa kehabisan napas, kami berhenti sejenak, hanya untuk saling mencium lagi sebelum bibir kami sempat mengering.
Beberapa lagu Natal bertema patah hati berlalu, digantikan lagu-lagu yang lebih ceria. Saat itulah Nagi akhirnya menjauhkan wajahnya.
Namun, wajahnya masih menempel di leherku... dan lengannya memelukku erat, seakan-akan ingin mengeluarkan suara dari dekapan itu.
“Aku mencintaimu.”
Kata-kata itu terdengar lirih. Namun sampai di telinga dan hatiku dengan jelas.
“Aku juga mencintaimu.”
Aroma manis seperti bunga yang berbeda dari kue menyelimuti kami. Hangatnya tubuh Nagi terus memelukku erat.
Dan waktu seperti itu berlangsung cukup lama.
∆∆∆
Suara angin kencang, bwoooh , menggema di dalam ruangan. Rambut basah Nagi ikut tergerai tertiup angin.
Jari-jariku menyisir lembut rambutnya yang basah, menghilangkan sisa air. Nagi tampak geli, namun wajahnya terlihat senang dan pasrah.
Setelah mandi, Nagi memintaku mengeringkan rambutnya. Maka di sinilah aku sekarang, membantu mengeringkan rambut Nagi.
Kalau boleh jujur, Nagi setelah mandi tampak sangat cantik.
Ada sesuatu yang berbeda dari dirinya saat itu — terlihat lebih dewasa.
“Fufu.”
Tanganku menyentuh bagian lehernya, dan Nagi menggeliat sambil tertawa kecil. Namun, setiap gerakan kecil darinya terasa begitu menggoda hingga jantungku berdebar tidak karuan.
Aku menahan perasaan itu dan akhirnya selesai mengeringkan rambutnya. Sambil merasa lega, aku meletakkan pengering rambut.
Saat itu, Nagi sudah berpindah dari karpet ke sofa. Begitu aku duduk di sebelahnya, Nagi bersandar kepadaku. Piyamanya yang lembut terasa nyaman saat disentuh.
“Fufu. Terima kasih, Souta-kun.”
“Sama-sama.”
Nagi menggenggam tanganku dengan kedua tangannya dan mulai memijatnya perlahan.
“…Senang melakukan itu?”
“Iya!”
Dia menjawab dengan senyum cerah. Karena itu, aku membiarkannya terus memijat tanganku.
Jari-jari Nagi yang ramping mengelus telapak tanganku, memijat dengan lembut. Saat jarinya menyusuri ujung kukuku, rasa geli menjalar.
Kemudian, dia menyelipkan jarinya di antara jemariku dan menggenggam erat. Wajahnya tampak begitu lembut, senyum yang hanya terlihat saat bersamaku.
“…Aku suka tangan Souta-kun. Besar dan hangat.”
Dia menempelkan tanganku ke pipinya, seakan ingin merasakan kehangatannya. Kulitnya lembut.
“Eh-hehe.”
Saat mata kami bertemu, dia tersenyum malu-malu namun penuh kebahagiaan.
Aku menarik napas panjang. Kalau tidak, perasaanku mungkin akan tumpah begitu saja.
“…Kamu tak perlu menahan diri, tahu?”
Wajah Nagi berada tepat di depanku.
Jarak yang begitu dekat hingga napas kami saling bertemu. Mataku terpaku pada mata biru indahnya, lalu turun ke bibirnya yang mungil.
Sebelum kusadari, aku sudah memeluknya… dan bibir kami bersentuhan.
Meskipun kami sering berciuman, aku tak pernah bisa terbiasa. …Entah apakah hari itu akan tiba.
Manisnya ciuman itu membakar pikiranku, membuat segalanya tak lagi penting.
Aku hanya merasa begitu mencintai Nagi.
Namun, aku tak boleh sepenuhnya kehilangan kendali. Aku melepaskan ciuman itu sejenak untuk bernapas dan memulihkan kendali. Saat itulah, bibir Nagi bergerak perlahan.
“Aku suka berciuman denganmu, Souta-kun. …Rasanya seperti perasaanku langsung mengalir kepadamu.”
Setiap kata dan gerakannya mengikis kewarasanku.
Meskipun dari sikapnya, aku tahu semuanya sudah baik-baik saja sekarang.
Aku tak ingin membuatnya kecewa. Lebih dari itu, aku ingin menjaganya.
Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Sebuah perasaan samar yang sulit dijelaskan. Hanya intuisi, tapi… sepertinya aku tak ingin melangkah lebih jauh sampai perasaan itu hilang.
Aku menatap wajah Nagi. Dia tersenyum kecil.
“…Kamu menyadarinya, ya?”
“Bukan soal sadar atau tidak, hanya saja… ada sesuatu yang mengganjal.”
Aku tak tahu apa tepatnya. Namun, Nagi tampak senang menjelaskannya.
“Hari ini, aku benar-benar sudah melupakan semuanya. Aku tak akan ragu lagi. Aku yakin akan hal itu.”
Dengan ekspresi serius, namun tanpa menjauh, Nagi melanjutkan.
“Itu bagus kalau begitu.”
“Tapi… ada satu hal yang ingin kuselesaikan dulu.”
Nagi tetap serius. Sepertinya dia tak ingin menjelaskan lebih detail.
“Baiklah.”
Tapi aku percaya, Nagi sekarang akan bicara jika ada sesuatu yang sulit baginya.
Jika bukan padaku, dia bisa berbicara dengan Souichirou-san, Chie-san, atau Suzaka-san. Semua akan baik-baik saja.
Namun tiba-tiba, Nagi memerah.
“T-tapi… kamu tak perlu menahan diri, tahu?”
“—Eh?”
“A-aku… sudah siap kapan saja.”
Aku terdiam mendengar kata-katanya.
“M-menahan diri itu tidak baik. S-sebagai pasangan, aku tahu hal seperti itu wajar.”
Mendengar itu, pipiku memanas. Aku tak sanggup menatap matanya.
“A-aku… baik-baik saja. Bukan berarti aku tak mau, hanya saja…”
Otakku kacau, namun aku berusaha mengutarakan perasaanku.
“…Aku juga punya perasaan itu. Aku sudah siap.”
Meski alasan seperti masih enam belas tahun atau belum siap mental mudah dicari, kenyataannya berbeda.
Aku ingin memikirkan Nagi lebih dulu.
Saat menyentuh pipinya, kehangatannya terasa jelas.
“Aku sudah bahagia hanya bisa dekat denganmu seperti ini. Jangan khawatirkan apa pun.”
“…Terima kasih.”
Nagi tersenyum lembut.
Walaupun sempat bimbang, aku yakin ini keputusan yang tepat.
“Kalau begitu… kalau urusan itu selesai, akan kukabari.”
“Y-ya.”
Nagi terkekeh, lalu mendekatkan bibir ke telingaku.
“Mungkin nanti, aku yang tak bisa menahan diri.”
Aku merasakan logikaku runtuh perlahan.
“Aku akan membereskan dapur dulu, ya?”
“A-aku bisa melakukannya.”
“Tidak, biar aku saja. Kamu tunggu di sini sebentar.”
Nagi berdiri menjauh. Aku merasa lega karena godaannya berhenti di situ. Namun, dia tiba-tiba berbalik.
“Oh ya… setelah dapur beres, ayo ke kamar, ya?”
Mungkin maksudnya hanya untuk tidur.
“…Baik.”
Meski begitu, aku menutupi wajah dengan satu tangan. Kurangnya kewaspadaan barusan membuatku lengah.
Melalui celah jari-jari, aku melihat wajah Nagi yang sama merahnya denganku.
∆∆∆
“ Hwaaah… ”
Saat membuka mata, wajah Souta-kun ada tepat di depanku, membuatku sedikit terkejut. Aku mengingat samar-samar bahwa tadi malam aku menginap di sini.
“…Malam yang menyenangkan.”
Sebelum tidur, aku dan Souta-kun mengobrol, berpelukan erat, dan berciuman.
Tanpa sadar, aku tertidur begitu saja.
Dalam ingatan yang samar, aku masih mengingat suara ’selamat malam’ dari Souta-kun.
Untuk memastikan… hanya untuk memastikan, aku memeriksa penampilanku.
“…Hmmm, dia tidak menyentuh apa pun.”
Pakaianku masih rapi, tak ada yang berantakan. Aku tahu Souta-kun tidak akan melakukan hal seperti itu, tapi entah kenapa, ada sedikit rasa kecewa.
“…T-tidak, bukan begitu! B-bukan berarti aku mengharapkannya!”
Kalau berpikir seperti itu, aku seperti orang mesum saja. Pipi yang mulai panas kutekan dengan punggung tangan untuk mendinginkannya. Aku memeriksa tubuhku sekali lagi.
“Huuh, tapi… kalau hanya sedikit, sebenarnya tak apa-apa.”
Dulu, aku merasa bagian tubuh ini terlalu besar dan tidak berguna. Aku bahkan sempat membencinya.
Tapi setelah bertemu dengan Souta-kun, pandanganku berubah.
Souta-kun mungkin jarang memperlihatkan bahwa dia memperhatikannya, tapi aku tahu dia sadar.
Memikirkan itu, aku menggelengkan kepala.
“Lebih baik menunggu sampai aku mengenal Souta-kun lebih dalam.”
Akhir tahun nanti, kami akan pergi ke kota tempat Souta-kun dilahirkan dan dibesarkan. Meskipun aku sudah bertemu orang tua Souta-kun dan mendengar banyak cerita, masih banyak hal yang belum kuketahui tentang dirinya.
Aku ingin melihat tempat di mana Souta-kun tumbuh besar.
Aku ingin mendengar tentang lingkungan yang membentuk dirinya.
Aku ingin tahu bagaimana… bagaimana akhirnya Souta-kun menjadi dirinya yang sekarang.
Aku ingin mengenalnya lebih dalam.
Mungkin butuh waktu lama untuk mengetahui segalanya. Tapi saat ini, aku merasa belum mengenal dia sepenuhnya.
“Hanya sedikit lagi. Tunggu sebentar ya.”
Setidaknya… aku ingin tahu masa lalu dari sahabat pertamaku ini.
Saat aku menatap wajah Souta-kun, dia masih tertidur lelap. Aku menyentuh rambutnya dengan ujung jariku, dan dia bergerak kecil seperti merasa geli.
“Aku sangat mencintaimu, Souta-kun.”
Aku berbisik lembut, lalu mengecup keningnya.
Semua ini demi kebahagiaan kami berdua.
“Tak ada yang lebih kucintai selain dirimu.”
Saat ini pun aku sudah merasa bahagia. Namun, aku yakin kami bisa lebih bahagia lagi.
Selama aku bersama Souta-kun, sahabat pertamaku, aku yakin itu akan terwujud.
END
Next v3 klo keluar :v btw follow FP ni web ngab biar rame đż