[LN] Futago Matomete “Kanojo” ni Shinai? ~ Volume 1 ~ Chapter 6 [IND]

 


Translator : Nacchan 

Proffreader : Nacchan 


Chapter 6 : Apa yang Terungkap...?

Hari ketika Sakuto akan pergi bersama Usami sudah hampir tiba, yaitu Sabtu, 4 Juni. Hari ini, Jumat, setelah menyelesaikan tugas kelasnya, Sakuto pulang lebih lambat dari biasanya. Sejak terakhir bertemu, dia belum bertemu langsung dengan Usami, tetapi mereka terus berkomunikasi melalui LIME.

Saat menunggu lampu lalu lintas, Sakuto membuka layar percakapan mereka. Dengan beberapa geseran ibu jari, dia dengan cepat mencapai stiker kucing bertuliskan "Yoroshiku ne" dari tanggal 1 Juni (Kamis)—tanggal yang mudah diingat.

Percakapan mereka hingga [hari ini] kebanyakan berkisar tentang hobi dan kesukaan masing-masing, serta ucapan selamat pagi dan selamat malam. Usami ternyata suka memasak dan sering membuat bekal sendiri serta memasak makan malam untuk keluarganya. Ini membuat Sakuto merasa sedikit bersalah, menyadari bahwa dia juga harus lebih membantu bibinya yang sibuk bekerja.

Usami juga kadang-kadang pergi ke bioskop. Meskipun dia bukan penggemar film berat, Sakuto merasa ingin menonton film yang direkomendasikan Usami. Memiliki topik pembicaraan yang sama pasti akan menyenangkan.

Selain itu, percakapan mereka cukup singkat dan to-the-point. Balasan dari Usami sering kali datang agak lambat. Namun, Sakuto berpikir bahwa Usami mungkin memikirkan setiap kata dengan hati-hati sebelum mengirimkannya, menunjukkan betapa serius dan telitinya dia.

Sakuto juga berusaha untuk tidak mengirim pesan yang terlalu panjang agar tidak membebani Usami. Pola komunikasi seperti ini tampaknya paling sesuai bagi keduanya. Lagipula, mereka akan bertemu langsung besok, jadi lebih baik menyimpan beberapa hal untuk dibicarakan nanti.

(Oh, begitu ya...) 

Sakuto menyadari bahwa dia menikmati semua ini. Berkomunikasi melalui LIME, mengenal Usami lebih jauh, membayangkan tentangnya, dan rencana mereka untuk pergi bersama besok—semua ini terasa menyenangkan.

Saat dia memikirkan hal-hal ini, lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Dia menutup layar percakapan, memasukkan ponselnya ke saku, dan buru-buru menyeberang sebelum lampu berubah lagi.

Saat dia kembali berjalan menuju stasiun, yang muncul di benaknya adalah senyum ceria Usami di arcade. Dia hampir melupakan hal itu. 

Melihat Usami di arcade, jelas sekali dia adalah seorang gamer yang cukup handal, meskipun di LIME, mereka hanya membicarakan tentang game ponsel secara sepintas. Anehnya, Usami mengatakan dia tidak sering bermain, bahkan topik tentang game favorit Sakuto, Ensam, tidak pernah muncul. Sakuto sendiri lupa membicarakan hal itu.

(Meski begitu, mengatakan tidak sering bermain... Usami-san benar-benar rendah hati) 

Seseorang yang telah bertarung melawan para ahli di Ensam dan bersaing ketat, kenapa dia berkata begitu? Sepertinya dia masih memikirkan kekalahannya yang lalu. Suatu hari nanti, aku ingin bertanding dengannya lagi. 

Saat memikirkan hal itu dan berjalan menuju stasiun, langkahku tiba-tiba terhenti. 

(Apakah itu... Usami-san?)

Di depan arcade, aku melihat Usami bersama dua pria. Seorang pria dengan topi rajut dan satu lagi berambut panjang. Aku pernah melihat mereka di dalam arcade sebelumnya.

Karena jaraknya cukup jauh, aku tidak bisa mendengar suaranya, tapi pria bertopi rajut itu tampak sering melihat ke arah arcade. Pria berambut panjang di sebelahnya terlihat bosan sambil memainkan ponsel, tetapi kakinya mengarah ke arcade, menunjukkan bahwa dia ingin masuk.

Bukan seperti gangguan, Usami tampaknya ditantang untuk bertanding. Dia terlihat kesal dan terganggu.

(Sungguh, setelah dia memutuskan untuk berubah, jangan ajak dia lagi...)

Karena rumor yang beredar, Usami memiliki alasan untuk tidak pergi ke arcade. Dengan banyaknya orang yang berlalu lalang, jika ada orang dari sekolah yang melihat ini, pasti akan menimbulkan gosip aneh.

Sambil menghela napas, aku berjalan mendekati ketiga orang itu.

* * *

“Seperti yang saya bilang... Saya bukan orang yang Anda maksud! Siapa itu, Kotokyun! Anda salah orang!”

“Ayolah, Kotokyun. Bertandinglah dengan kami sekali saja.”

“Kalau Anda terus memaksa, saya benar-benar akan memanggil orang lain!”

Usami—atau lebih tepatnya, Chikage—berkata dengan tegas, dan pria bertopi rajut itu tertawa kecil melalui hidungnya.

“Orang lain? Maksudnya pacarmu waktu itu?”

“Pacar? Siapa yang Anda maksud...?”

Chikage mengernyitkan alisnya.

“Maksudku, bukankah kalian terlihat akrab di arcade waktu itu? —Benar, kan?”

“Oh... yah?”

“Lagian, dia terlalu hebat. Kalau sekuat itu, bahkan aku bisa jatuh cinta...”

“Siapa yang Anda maksud? Saya belum berpacaran dengan siapa pun!”

Setelah sepenuhnya menyangkal, Chikage teringat pada Sakuto. Meskipun mereka belum berpacaran, besok mereka akan pergi bersama. Kata "belum" mengandung harapan dan sedikit kebanggaan terhadap masa depan.

Pria berambut panjang yang lebih tenang membuka mulut dan berkata sambil menggelengkan kepala, "Lihat, ini pasti salah orang, kan?"

Pria bertopi rajut itu juga mulai bersikap lebih tenang dan melihat ke arah Chikage. "Oh, begitu ya? ...Tapi, aku yakin ini orangnya."

"Dia bilang bukan orangnya, dan dari cara berpakaian serta cara bicara, dia terlihat lebih serius, kan?"

"Ya, benar juga... Pacarnya 'si dia' lebih ceria. Pasti salah orang..."

Sepertinya mereka telah salah mengira Chikage sebagai pacar seseorang yang mereka kenal. Memang benar ini salah orang, dan itu cukup mengganggu.

Sambil berpikir demikian, Chikage menyentuh pita yang biasanya mengikat rambutnya di sisi kiri—namun, jari-jarinya meraba udara kosong.

(Apa...? Eh? ...Tunggu sebentar...!?)

Entah bagaimana, pita itu sudah hilang. Dia yakin masih ada saat meninggalkan sekolah, tetapi sekarang hanya ada karet rambut di bawah tempat pita itu biasa terikat.

(Itu sebabnya mereka salah orang... Tapi lebih dari itu...!)

Chikage mulai panik. Pita itu sangat penting baginya.

"Kalau kalian sudah paham ini salah orang, saya pergi sekarang—"

Dia hendak bergegas kembali ke sekolah untuk mencari pita itu ketika tiba-tiba mendengar—

"Nama orang itu, Taka... Takayashiki, kan? Sepertinya begitu."

Mendengar nama itu dari pria bertopi rajut, langkah Chikage seketika terhenti. Dia secara refleks menoleh dan berkata, "Eh?"

"Ya, sepertinya begitu. Nama yang cukup langka, ya?"

"Maaf! Boleh saya bertanya sebentar!?"

"Eh..."

Dua pria itu terkejut oleh nada serius Chikage yang tiba-tiba.

"Orang yang bernama Takayashiki itu... orang seperti apa dia!?"

Pria bertopi rajut itu membuka mulutnya dengan canggung, "Kurasa dia satu sekolah denganmu, dari seragamnya... dan dia terlihat mengantuk, tubuhnya kurus..."

"Apakah dia sering datang ke arcade ini!?" tanya Chikage dengan segera.

"Ah... tidak, mungkin hanya dua kali aku melihatnya, ya kan?" Pria berambut panjang yang tiba-tiba diajak bicara menjawab dengan canggung, "Dia terlihat akrab dengan pacarnya... tapi itu bukan kamu, kan?"

Chikage tak bisa berkata-kata, dan perlahan-lahan wajahnya menjadi kosong. 

Kata-kata Hikari tiba-tiba terngiang di telinganya: 'Chii-chan, kalau kamu suka seseorang, kamu harus cepat mendekatinya sebelum diambil orang lain!'

Dia sadar bahwa perempuan yang terlalu menjaga diri tidak selalu disenangi. Dia merasa telah berusaha maju, melakukan yang terbaik menurut caranya. Namun, perasaan seperti terjebak dalam hujan yang panjang, tidak bisa bergerak, membuat tubuh dan hatinya semakin dingin hingga gemetar tak tertahankan.

"Maafkan kami, sungguh... salah paham."

"Y-ya... kami pergi sekarang."

Dua pria itu tersenyum kecut dan berniat pergi. Namun tiba-tiba, air mata Chikage mulai jatuh deras dari matanya—

"Eh...? Apa... ini...?"

Chikage, bingung dengan apa yang terjadi padanya, akhirnya menyadari bahwa dia sedang menangis ketika melihat air mata yang mengalir. 

Perasaan yang selama ini terpendam meledak dari dalam dirinya, dan sebelum dia bisa mengerti apa yang sebenarnya dia rasakan, Chikage pun terisak-isak di tempat.

"Eh, kenapa!? Ada apa!?"

"Jangan menangis, ya...?"

Kedua pria itu merasa semakin canggung dan mulai melihat sekeliling dengan gugup. Lalu, di tengah kebingungan itu—

"Usami-san...!"

Sakuto muncul di pandangan Chikage.

* * *

"Usami-san, ada apa...!? Apa yang terjadi!? Kamu baik-baik saja!?" Sakuto bertanya dengan cemas.

"Y-ya, ini agak... gimana ya..."

"Uh, iya..."

Mengabaikan kedua pria yang kebingungan itu, Sakuto bergegas mendekati Chikage—atau lebih tepatnya, Usami. Karena Usami malah semakin menangis, tampaknya tidak mungkin untuk mendengar penjelasan darinya saat ini. Sakuto menatap pria-pria itu dengan tajam.

Kedua pria itu saling pandang dengan wajah canggung.

"K-kami tidak berniat begitu, benar kan?"

"Y-ya..."

Sakuto berdiri di depan Usami, melindunginya dari pandangan para pria itu. "Faktanya, dia terganggu oleh kalian. Jadi, berhentilah mengajaknya ke arcade."

Nada bicara Sakuto lebih tegas dari biasanya.

"Maaf, sungguh, kami tidak bermaksud begitu...!"

"Baiklah, kami pergi sekarang...!"

Setelah itu, kedua pria tersebut masuk ke dalam arcade. Sakuto menggaruk bagian belakang lehernya dengan rasa lega.

(Sebaiknya aku menenangkan Usami-san dulu, lalu mendengarkan apa yang terjadi...)

Saat Sakuto menoleh ke arah Usami—

"Usami-san, kamu baik-baik sa... huh!?"

Tiba-tiba, sesuatu melompat ke arah dadanya dan meremas punggungnya. Sakuto terkejut dan membelalakkan matanya. Tepat di bawah dagunya, ada kepala Usami.

"U-Usami-san, eh, ada apa...!?"

Bukan hanya terkejut karena Usami tiba-tiba memeluknya, tetapi juga karena tidak tahu bagaimana harus bereaksi dalam situasi ini. Meskipun banyak orang berlalu-lalang, Sakuto tidak sempat memperhatikan mereka.

"T-tenang saja... mereka sudah pergi... maafkan aku, seandainya aku datang lebih cepat..."

Saat Sakuto mengatakan itu, Usami menggoyangkan kepalanya di dadanya, seolah mengusap wajahnya di sana. Kemudian, dia berbisik pelan di dalam pelukan Sakuto.

"Apa...? Apa yang kamu katakan?"

Sakuto bertanya lagi—

"Sejak SMP, aku selalu menyukai Takayashiki-kun..."

Sakuto terkejut mendengarnya. Dalam sekejap, semua interaksi mereka hingga hari ini terlintas di benaknya. Meskipun ia tidak bisa mengatakan bahwa ia tidak mengharapkan hal ini, di dalam hatinya, ia menyadari tatapan dan tindakan bersahabat dari Chikage.

Namun, Sakuto tidak memiliki cukup kepercayaan diri. Di satu sisi, ada banyak hal yang tidak ia mengerti. Chikage yang ia lihat di sekolah berbeda dengan yang ia lihat di arcade. Ada perasaan bahwa ia dipermainkan dan disukai pada saat yang sama, dan karena ketidaknyamanan ini, Sakuto memutuskan untuk tidak memikirkan perasaannya sampai semuanya jelas.

Namun, dia tidak menyangka akan mendengar pengakuan seperti ini secara tiba-tiba. Selain itu, mengapa Chikage tampak begitu sedih meskipun mengatakan bahwa dia menyukainya? Kenapa kata-kata itu terdengar begitu menyedihkan? Seolah-olah...

'Aku sudah menyukaimu sejak lama, Sakuto...'

Seolah-olah sama seperti waktu itu. Sekali lagi, Sakuto merasa telah membuat seseorang sedih karena dirinya, seperti ketika ia kelas tiga SMP.

Memikirkan hal itu, Sakuto merasa marah, sedih, atau mungkin menyesal, atau mungkin semuanya sekaligus, dan perasaan itu meluap dari dalam dirinya. Ketika ia mencoba untuk melepaskan diri, Chikage memeluknya lebih erat.

"Sebenarnya, aku selalu ingin berbicara denganmu... tapi aku malu, tidak percaya diri, dan tidak punya keberanian..."

"Oh, begitu ya..."

Perasaan bahwa Chikage telah memikirkannya sejak SMP terasa nyata. Apakah ia merasa bersalah karena tidak menyadarinya lebih cepat?

Tidak, Chikage jelas menyalahkan dirinya sendiri. Dia hanya menyalahkan dirinya karena tidak bisa bertindak lebih cepat dan mencoba memaafkan Sakuto yang tidak menyadari perasaannya. Tanpa menunjukkan kebencian atau penghinaan terhadap Sakuto, dia hanya mengatakan bahwa semuanya adalah kesalahannya sendiri.

Kebaikan Chikage yang seperti itu justru membuat Sakuto merasa lebih sedih.

"Maaf... aku tidak bisa menyadari perasaanmu, Usami-san..."

"Tidak apa-apa... aku tidak cantik..."

"Tidak, bukan begitu—"

"—Aku benci diriku sendiri..."

"Apa? Eh, Usami-san...!?"

Usami berlari menuju stasiun, dan Sakuto, yang awalnya tertegun memandang punggungnya, tiba-tiba tersadar. Kata "terlambat" terlintas di benaknya. Apakah dia harus membiarkan Usami pergi begitu saja? Jika dia membiarkannya, mungkin Usami tidak akan mau bertemu dengannya lagi. Semua yang telah terjadi dan yang akan datang—apakah hubungannya dengan Usami akan hilang begitu saja pada saat ini?

Sakuto melihat ke bawah, dan melihat pita yang biasanya digunakan Usami untuk mengikat rambut sampingnya tergeletak di tanah. Ketika dia mengambilnya dan menatap pita itu—

'—Sakuto, aku benar-benar minta maaf...!'

Kejar dia—kata suara lain dalam dirinya. Sakuto menggenggam pita itu dengan erat, dan tekad muncul di matanya.

(Tidak bisa membiarkan dia pergi begitu saja...!)

Sakuto memasukkan pita itu ke dalam sakunya dan berlari mengejar punggung Usami.

* * *

Sakuto berlari mengejar Usami hingga memasuki stasiun Yuki Sakura. Suasana sudah ramai oleh orang-orang yang pulang kerja, membuatnya sulit untuk bergerak cepat. Dia tidak bisa melihat Usami di antara kerumunan.

Dia menoleh ke sekeliling dengan harapan Usami masih ada di dekatnya, tetapi jika dia terus seperti ini, Usami mungkin sudah naik kereta.

(Di mana gerbang tiketnya...?)

Stasiun Yuki Sakura memiliki tiga jalur. Ada jalur timur-barat dan utara-selatan yang membagi kota, serta jalur bawah tanah yang menuju ke arah barat laut dan tenggara.

Sakuto tidak pernah melihat Usami menggunakan jalur utara-selatan yang biasa dia gunakan. Jadi, kemungkinan Usami pergi ke jalur timur-barat atau jalur bawah tanah.

Sakuto menutup matanya sejenak, mencoba mengingat sesuatu dari masa SMP. Kenangan yang tersimpan dalam kotak ingatannya—meskipun ada banyak kenangan yang tidak ingin diingat, dia harus melakukannya.

Gambaran ruang kelas di tempat bimbingan belajar—itu bukan potongan gambar, melainkan sebuah rekaman. Dia memutar kembali kenangan itu seperti video yang di-rewind.

Musim dingin, saat ujian sudah dekat. Di tengah kerumunan seragam sekolah yang berbeda, Usami ada di sana. Duduk di kursi yang agak tidak mencolok di tengah dinding kelas, dia menulis dengan tenang. Sama seperti sekarang, dia mengenakan seragam dengan rapi, dan dia memakai kacamata pada waktu itu.

Fokus pada seragamnya—terlihat lambang sekolah dengan huruf 'Nishi' (Barat) sebagai desainnya.

Sakuto membuka matanya. 

(Nishi-chuu... berarti jalur timur-barat!)

Dia segera berlari menuju gerbang tiket jalur timur-barat. Dan benar saja, dia melihat seragam dari Sekolah Arisuyama. 

(Dia ada di sana...!)

Dengan tekad di matanya, Sakuto menembus kerumunan, meminta maaf dan menghindari orang-orang saat dia bergegas ke arah Usami. Perasaan cemas mendesaknya. Dia tidak bisa membiarkan Usami pergi begitu saja. Meskipun masa lalu tidak bisa diubah, dia masih punya kesempatan sekarang. Ada harapan bahwa masih belum terlambat.

Akhirnya, dia berhasil mengejar punggung Usami. Detak jantung Sakuto semakin cepat.

"Usami-san...!"

"Eh? Takayashiki-kun, ada apa—eh...!?"

Tanpa membiarkan Usami menyelesaikan kalimatnya, Sakuto memeluknya erat dari depan. Orang-orang yang lewat menatap mereka dengan penasaran saat mereka berjalan melewati gerbang tiket. Namun, Sakuto tidak peduli lagi dengan sekitar. Dia sudah memutuskan, tidak akan membiarkan kesempatan ini hilang.

Sama seperti Usami sebelumnya, Sakuto mengencangkan pelukannya, seolah-olah takut kehilangan.

"Eh, eh, eh!? Apa-apaan ini!? Apa yang terjadi!?"

"Maaf, banyak hal yang aku tidak mengerti... tapi ada satu hal yang ingin aku pastikan."

"Eh...? Apa itu...?"

"...Apakah benar bahwa kamu menyukaiku?"

"Uh—!?"

Usami terkejut dalam pelukannya, tapi akhirnya menyerah dan melepas ketegangan dari tubuhnya.

"Malu sekali, tapi, uh, ya... aku suka padamu, iya..."

"Terima kasih. Kalau begitu, aku juga harus memantapkan hatiku."

"Memantapkan hati? Memantapkan hati untuk apa...?"

"T-Takayashiki-kun...?"

Sakuto perlahan melepaskan pelukan itu. Dia menatap langsung ke mata Usami. Usami, dengan wajah memerah, menatap balik dengan mata berkaca-kaca, tapi Sakuto tidak berpaling.

Akhirnya, Usami memahami maksud Sakuto. Dengan perlahan, dia menutup matanya dan mengangkat wajahnya, menawarkan bibirnya.

Sakuto mendekatkan wajahnya, memenuhi harapan itu. 

Dia menyentuhkan bibirnya dengan lembut. Rasanya manis, lembut, dan dia bisa merasakan kehangatan dari tubuh Usami menular melalui ciuman itu.

Sekali, dua kali, tiga kali, dan dia terus menciumnya seolah-olah takut kehilangan momen itu.

Dia tidak peduli lagi dengan sekitar. 

Karena dia akhirnya bertemu dengan seseorang yang benar-benar menyukainya—

"Ah, ketemu! Hii-chan... eh, Takayashiki-kun!?"

Sakuto menoleh ke arah suara itu dengan bingung. Di sana berdiri Usami—tunggu, apa?

Namun, yang baru saja dia peluk dan cium juga adalah Usami. Yang berdiri di sana dengan terkejut juga Usami.

"...Eh?"

Sakuto, bingung, melihat kembali orang yang ada di pelukannya.

"Ugh... ah, jangan... rasanya lemas..."

Dengan ekspresi puas, orang di pelukannya tampak kehabisan tenaga—juga Usami, tapi tunggu?

"T-T-Takayashiki-kun, a-apa yang kamu lakukan dengan Hii-chan...!?"

"Eh? Umm, Hii-chan maksudnya..."

"Aduh... Chii-chan...? Aku baru saja... berciuman dengan Takayashiki-kun..."

Usami dalam pelukannya tersenyum senang.

"Jadi, orang yang kusukai adalah Takayashiki-kun... tapi, eh? Chii-chan? Kenapa wajahmu seperti akhir dunia?"

Hii-chan dan Chii-chan—oke, sepertinya ada perbedaan panggilan di sini.

Ah, sekarang masuk akal.

Setelah akhirnya memahami situasi tersebut, wajah Sakuto perlahan pucat. Tidak, lebih seperti warna tanah sekarang. Dia merasa seperti jiwanya terbang.

"Jadi, kalian berdua mungkin—"

"Kami kembar!" "Kami kembar, lho?"

Chii-chan, atau Usami Chikage, dengan wajah merah marah.

Hii-chan, atau Usami Hikari, kakak Chikage, dengan wajah merah dan senyum lebar.

Keduanya merah padam—sedangkan Sakuto, yang merasa seperti tanah, hanya bisa tertawa kering, "Hahaha..."

─Begitu ya… Jadi itu maksudnyaaaaaaa───

Aku akhirnya menyadari sumber dari rasa tidak nyaman yang sedikit demi sedikit kurasakan selama ini. Namun, mungkin ini sudah terlambat.

Ini adalah situasi yang cukup, sangat, bahkan luar biasa berbahaya.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Join the conversation