[LN] Futago Matomete “Kanojo” ni Shinai? ~ Volume 2 _ Chapter 10 [IND]

 


Translator : Nacchan 

Proffreader : Nacchan 


Chapter 10 : Mencerminkan Kebenaran...?

"Umm... artikel ini sangat bagus! Kamu berhasil menangkap sisi dalam narasumber dengan baik, dan poin-poin yang ingin disampaikan tersusun rapi!"

Hari Jumat, 15 Juli, tepat setelah ujian berakhir.

Kegiatan klub dimulai kembali, dan ketika Hikari menyerahkan artikel yang ditulisnya di rumah, ketua klub koran, Saika Uehara, yang biasanya berbicara dengan lembut, memberikan komentarnya dengan nada bersemangat.

Wakil ketua klub, Matori Kousaka, juga tampak menikmati membaca artikelnya.

"Target pembacanya juga jelas. Artikelnya terasa sangat bagus."

Mendengar itu, teman sekelas mereka, Wakana Azuma, berkata dengan nada kesal,

"Kali ini aku kalah..."

"Wakana, sebelum bicara soal itu, kamu harus lebih sedikit membuat typo dan salah ketik dulu, ya~"

Matori menyindirnya, membuat Wakana mengembungkan pipinya dengan kesal.

"Kalau begitu, Matori-senpai juga jangan hanya memotret, tulis artikel juga dong~..."

"Aku kan spesialis di bagian foto~"

Matori tersenyum bangga sambil mengangkat kameranya dengan penuh gaya.

Artikel wawancara Hikari mendapatkan respons yang sangat positif dari para anggota klub. Namun, Hikari hanya tersenyum tipis sambil memperhatikan mereka dari kejauhan, seolah menjaga jarak.

Wakana, yang tampak semakin frustrasi, menatap Hikari.

"Hikari, bagaimana caranya kamu bisa memikirkan pertanyaan sebagus ini untuk artikelmu?"

"Aku cuma baca arsip artikel lama untuk melihat wawancara seperti apa yang sudah dilakukan sebelumnya. Lalu aku memikirkan beberapa pertanyaan yang kira-kira cocok untuk jadi artikel, dan aku juga mencari informasi tentang pekerjaan pengacara sebelumnya."

Hikari menjelaskan bahwa dia tidak serta-merta memikirkan semuanya di tempat, melainkan melakukan persiapan matang sebelumnya. Mendengar itu, Wakana benar-benar merasa kalah telak.

"Itu kan dasar banget untuk seorang pewawancara... Kamu benar-benar melakukannya dengan baik..."

"Wakana, ini lho yang bikin kamu begini~. Kalau nggak jadi pendengar yang baik, kamu nggak bakal populer, tahu~"

"Makanya aku bilang, Matori-senpai tulis artikel juga dong! Dan lagi, soal populer atau nggak itu nggak ada hubungannya sama sekali, oke!"

Sementara Matori dan Wakana terus berdebat, Saika bertanya pelan kepada Hikari,

"Ngomong-ngomong, kamu sempat mampir ke rumah keluarga Kisezaki?"

"Iya."

Mendengar itu, Sakuto langsung tegang.

"Dia orang yang sangat baik dan cantik. Artikel ini bisa aku tulis karena narasumbernya luar biasa, jadi kalau mau berterima kasih, itu lebih kepada Mitsumi-san, bukan aku."

Hikari berkata dengan santai, sementara di sebelahnya, Sakuto mendengarkannya dengan sedikit was-was.

"Eh? Jadi, kamu pergi ke rumahnya Takayashiki?"

Matori mengatakan itu tanpa maksud tertentu, tapi Sakuto langsung merasa tegang. Seperti yang dia duga, pembicaraan mulai mengarah ke situ. Dan benar saja, Hikari menjawab dengan jujur, "Iya."

"Fuuuh... sepertinya sekarang kamu memanggil dia Sakuto tanpa embel-embel juga. Hmm, ada yang mencurigakan, ya?"

Matori melontarkan pertanyaan langsung, bukan sekadar sindiran, namun Hikari tetap tenang dan tersenyum.

Sakuto merasa gugup sesaat, tapi kemudian berpikir bahwa Hikari pasti tidak akan mengatakan sesuatu tanpa memikirkannya terlebih dahulu.

"Bukan cuma aku, adikku Chikage juga ikut. Kami pergi berdua untuk berkunjung ke sana," jelas Hikari dengan lembut.

"Oh, begitu. Kalian bertiga memang akrab, ya?"

"Iya. Kalau memungkinkan, aku ingin pergi lagi. Lain kali, aku ingin mengobrol biasa saja."

Melihat Matori tidak melanjutkan pertanyaan, Sakuto merasa lega.

Namun, dia harus mengakui, Hikari benar-benar pandai. Dia menggunakan alasan bahwa dia pergi bersama Chikage untuk membuat semuanya tampak wajar, hanya sebagai teman biasa.

Lalu Wakana ikut membuka mulut.

"Ya, jelas dong. Mereka kan tiga besar di angkatan kita, pasti cocok banget."

"Kalau begitu, bagaimana dengan kamu, salah satu dari 'tiga bodoh' di angkatan kita? Kamu akrab dengan dua lainnya?"

"Hei! Jangan asal sebut 'tiga bodoh', dong...! Itu kan kasar banget!? Dan lagi, nilai aku masih di atas rata-rata, tahu!"

Wakana memprotes keras, namun Matori hanya tertawa sambil mengabaikannya.

Sakuto memutuskan untuk tidak peduli pada mereka dan beralih ke Saika.

"Saika-senpai, soal hari ini, apa aku boleh ikut bersama Hikari?"

"Tentu saja. Aku sendiri akan pergi menemui Wakil Pembina, Nakamura-sensei. Jadi, aku serahkan Hikari padamu, ya."

* * *

"Ni-shi-shi~. Jadi, kesimpulannya, kamu sengaja ingin berduaan dengan aku, ya?"

Hikari yang berjalan di samping Sakuto menatapnya dengan senyum licik, mencoba membaca ekspresinya.

"Kalau aku jujur saja..."

"Hmm... begitu. Sepertinya bukan seperti yang aku bayangkan, ya?"

Melihat respons Sakuto yang tetap tenang, Hikari sedikit merajuk.

"Aku cuma ingin melihat bagaimana Hikari melakukan wawancara, itu saja."

"Kenapa begitu?"

"Yah, sesekali aku ingin melihat bagaimana kamu berbicara dengan orang lain."

"Ah, keluar lagi sifat anehnya..."

"Eh? Memangnya kenapa? Apa yang aneh?"

Hikari menyenggol bahunya ke arah Sakuto dengan santai.

"Biasanya, hal seperti itu dilakukan tanpa memberi tahu orangnya, kan? Kalau tidak, mereka jadi bertanya-tanya apa maksud sebenarnya kamu ikut."

"Hikari kan bisa membaca kebohongan atau perasaan orang lain, kan? Jadi menurutku, lebih baik aku jujur saja daripada pura-pura."

"Aku suka bagian itu dari dirimu, tapi... kamu tahu, sesekali aku ingin mendengar sesuatu yang bikin jantungku berdebar. Misalnya, 'Aku nggak tahan melihatmu berbicara dengan pria lain' atau 'Aku cuma ingin melihatmu dari dekat'. Bahkan kalau bohong pun, aku ingin dengar yang seperti itu."

"Kenapa sih? Apa kamu benar-benar ingin aku jadi seperti itu?"

Hikari tertawa geli, tapi ada sedikit kerutan di alisnya.

"Kalau begitu, apa yang ingin kamu tahu tentang aku? Ukuran tiga lingkaranku? Dari atas──"

"Eh, nggak, aku nggak nanya! Sama sekali nggak!"

"Kalau begitu, apa kamu mau tahu ukuran tiga lingkaran Chii-chan?"

"Kamu tahu undang-undang perlindungan data pribadi? Kayaknya sih, membocorkan ukuran tubuh seseorang itu nggak boleh, meskipun aku nggak yakin..."

Sakuto menghela napas, benar-benar kehabisan kata-kata. Namun, jika dibiarkan, pembicaraan ini hanya akan semakin melebar. Lebih baik dia langsung bertanya dengan serius.

"Hikari, kalau dengan aku atau Chikage, kamu terlihat berbeda dibanding saat bersama orang lain. Apa kamu sengaja bersikap seperti itu?"

"Tentu saja. Apa itu salah?"

"Nggak, bukan salah, tapi aku penasaran... kenapa begitu?"

Hikari tiba-tiba menyipitkan matanya, tampak berpikir.

"Karena Chii-chan dan Sakuto mencoba memahami aku, mungkin."

"Tapi bukankah orang lain juga begitu? Maksudku, pasti ada orang lain selain kami yang ingin memahami kamu, kan?"

"Hmm... aku merasa jarang bertemu orang seperti itu."

"Kenapa?"

"Sakuto pasti tahu alasannya, kan?"

Sakuto terdiam, mencoba mengingat masa lalunya sendiri.

Dia selalu merasa sendirian, sering terasing dari orang-orang di sekitarnya. Tapi dia tidak terlalu peduli, karena dia tahu ada orang-orang seperti ibunya, Mitsumi, atau Yuzuki yang selalu memahaminya.

"Aku sih, sebelum bertemu Sakuto, merasa kalau selama Chii-chan ada di sisiku, itu sudah cukup. Aku sudah merepotkan dia berkali-kali, tapi dia tidak pernah membenciku atau meninggalkanku. Karena itu, kalau Chii-chan bahagia, aku juga bahagia."

Hikari tampaknya memiliki hubungan yang erat dengan Chikage, di mana rasa terima kasih dan keinginan untuk memahami saling terkait. Dalam kasus Hikari, Chikage adalah orang yang ia anggap sangat penting, dan ia merasa kebahagiaan Chikage adalah bagian dari kebahagiaannya juga.

"Kalau begitu, kenapa kamu menerima aku?"

Sakuto sudah pernah mendengar Hikari mengaku bahwa dia jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi bagi Sakuto, itu masih sulit dipahami. Dia bertanya-tanya, apa sebenarnya yang membuat Hikari merasakan klik dengan dirinya.

"Waktu aku pertama kali melihat Sakuto, tiba-tiba ada perasaan hangat di dada, dan detak jantungku jadi cepat."

"Itu terdengar seperti drama romantis banget..."

"Memang, kan? Aku merasa ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika atau teori. Saat itu aku pikir, mungkin kamu orang yang sama sepertiku, orang yang ditakdirkan untukku."

Hikari terkekeh pelan, tampak geli mengingat momen itu.

"Lalu, ternyata aku benar!"

"Kenapa?"

"Sejak bertemu Sakuto, setiap hari rasanya penuh dengan hal-hal tak terduga, dan aku selalu merasa senang bersamamu. Aku jadi penasaran, apa yang akan terjadi selanjutnya, atau kalau aku memulainya, bagaimana reaksimu nanti."

"......Eksperimen reaksi, ya?"

"Hmm... mungkin mirip begitu. Tapi, kalau boleh berharap lebih, aku ingin reaksimu lebih sesuai dengan dugaanku, sih. Sekarang juga sudah menyenangkan, tapi aku berharap kamu bisa lebih bereaksi berlebihan, seperti Chii-chan."

"Ah, uhm... aku akan berusaha..."

Sakuto merasa bahwa dia belum benar-benar memenuhi harapan Hikari, dan dia pun sedikit merenung. Namun, dia tahu bahwa manusia tidak sesederhana itu.

Segala hal saling berkaitan dengan cara yang rumit, dan manusia sering kali melakukan hal-hal yang tak terduga. Kadang itu menyenangkan, tapi kadang juga mengecewakan.

Dalam hal ini, setidaknya dia tidak mengecewakan Hikari, karena Hikari tampaknya belum bosan dengannya.

"Jadi, Sakuto──"

Tiba-tiba Hikari menggenggam tangannya.

"......Apa?"

"Bagaimana kalau kita bolos saja, lalu pergi ke suatu tempat berdua? Tempat yang sepi, ya..."

Nada suaranya yang menggoda membuat jantung Sakuto berdegup lebih cepat.

Dia tahu ini semacam "uji reaksi". Jika itu eksperimen reaksi──

"Oke, ayo pergi."

"......Eh? Hah!?"

"Kenapa terkejut? Kamu yang ngajak, kan? Ayo, kita pergi sekarang."

Sakuto menarik tangan Hikari dengan lembut, membuatnya sedikit terkejut.

Namun, reaksi yang ditunjukkan Hikari di luar dugaan. Dia malah tersipu, wajahnya memerah, dan tampak bingung.

"T-tadi itu... aku cuma bercanda..."

"Aku menganggapnya serius."

"Tapi kita masih di jam klub..."

Melihat Hikari tiba-tiba menjadi serius, Sakuto hampir tertawa.

Dia tahu Hikari mungkin sudah memperkirakan bahwa ajakan ini akan ditolak dengan alasan "masih jam klub." Namun, justru karena itu Sakuto sengaja mengambil jalur yang tak terduga.

Hasilnya, Hikari yang biasanya menggoda kini malah terjebak oleh ucapannya sendiri, wajahnya merah padam.

Melihat Hikari seperti itu membuat Sakuto ingin sedikit lebih menggoda.

"Ayo, Hikari. Kita pergi. Kalau sekarang, tempat yang sepi itu──"

"──Mau pergi ke mana kalian berdua sambil bergandengan tangan seperti itu?"

Mendengar suara itu, wajah Sakuto langsung pucat.

Dengan takut-takut, dia menoleh ke belakang, dan di sana berdiri Chikage dengan posisi tegas, memandang mereka dengan tajam. Sakuto langsung melepaskan tangan Hikari.

"Eh, ini... um, begini..."

Saat Sakuto masih bingung harus mulai menjelaskan dari mana, Hikari dengan cepat memotong,

"Chii-chan, dengar! Sakuto yang ngajak aku bolos klub dan pergi ke tempat sepi bareng!"

Hikari dengan lancar menjelaskan, tentu saja sesuai keinginannya sendiri.

"Hikari!?"

Sambil menyeringai, Hikari tersenyum licik pada Sakuto dari sudut yang tidak bisa dilihat Chikage.

Sial, aku kena jebakan, pikir Sakuto.

Tampaknya Hikari sudah menyadari keberadaan Chikage sejak awal dan sengaja memancing situasi ini.

"Ha, ha, ha... HENTIKAN KLUBNYA SEKARANG JUGAAA──────────!!!"

* * *

"Hahaha! Aah, nggak bisa! Kalau aku ingat lagi, aku jadi nggak bisa berhenti ketawa...!"

Hikari tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya, sementara di sampingnya, Sakuto hanya bisa menghela napas panjang dengan wajah kelelahan.

"Menurutmu ini lucu, ya? Serius banget..."

Setelah insiden itu, Sakuto harus menjelaskan dengan sangat hati-hati pada Chikage, berusaha menenangkannya dan memastikan itu hanya lelucon. Butuh waktu lama sampai Chikage mau mengakui bahwa itu benar-benar cuma gurauan.

"Karena Hikari, klub koran kita hampir dibubarkan, tahu nggak?"

"Tapi Sakuto juga ikut-ikutan, kan? Kamu kelihatan semangat banget waktu itu~."

"Ugh..."

Memang, Sakuto juga salah karena terbawa suasana, jadi ini bukan sepenuhnya salah Hikari. Tapi tetap saja...

"Tapi, Chii-chan itu juga aneh, kan? Teriak 'hentikan klubnya' gitu..."

"Yah, terlalu emosional memang..."

Hikari tertawa geli, sementara Sakuto hanya bisa tersenyum masam.

Sesampainya di gedung olahraga pertama, Hikari langsung meminta izin dari pembina untuk mewawancarai ketua klub basket putri.

Setelah itu, mereka pergi ke klub voli putra dan klub senam ritmik, mengikuti prosedur yang sama—meminta izin dari pembina sebelum berbicara dengan ketua klub masing-masing.

Sakuto, yang berada di samping Hikari, pura-pura sibuk mencatat sambil diam-diam memperhatikan cara Hikari melakukan wawancara.

"Bagaimana persiapan kalian menghadapi turnamen musim panas ini?"

"Kami akan bermain sebaik mungkin untuk menunjukkan hasil dari semua latihan selama ini──"

Sakuto menyadari sesuatu yang sudah dia duga.

Hikari selalu mengamati ekspresi dan sikap orang lain terlebih dahulu, kemudian mencoba memahami kepribadian mereka. Setelah itu, dia akan menyesuaikan tempo berbicara, intonasi, dan ekspresi wajahnya. Pada akhirnya, dia selalu berhasil membuat lawan bicaranya tersenyum.

Kemampuan observasinya sangat luar biasa. Begitu pula keterampilannya dalam berbicara dan selera humornya.

Sakuto teringat saat pertama kali bertemu dengannya. Dia sempat merasa takut pada tatapan mata Hikari yang seolah bisa melihat ke dalam hati seseorang. Dia menyadari bahwa kebohongan atau pengalihan tidak akan berhasil pada Hikari.

Entah itu bakat alami atau keterampilan yang diasah, Sakuto kini benar-benar kagum pada kehebatan seorang Usami Hikari. Tapi dia tetap bertanya-tanya: sejauh mana sebenarnya Hikari bisa "melihat"?

"Fuu~... Sepertinya tugasku selesai semuanya," kata Hikari sambil menghela napas lega.

"Kerja bagus..." balas Sakuto.

"Hm? Ada apa?"

"Nggak, aku cuma berpikir... kamu hebat banget."

"Hah? Hebat gimana?"

Hikari menatapnya dengan bingung, tapi tetap tersenyum polos. Tampaknya dia sama sekali tidak menyadari kehebatan dirinya sendiri.

"Serius, kamu itu hebat banget, Hikari. Aku lihat caramu bekerja, rasanya kamu bisa melakukan apa saja."

"Hmm... tapi kalau itu datang dari Sakuto, aku nggak tahu harus gimana."

"Kamu nggak suka?"

"Bukan nggak suka, cuma aku pikir yang lebih hebat itu kamu. Aku ini masih jauh dibanding kamu."

Hikari menjawab dengan senyum malu-malu, tampak jelas bahwa dia senang mendapat pujian itu.

──Dan tiba-tiba.

"Bagus, dapet foto yang keren banget!"

Matori muncul sambil tersenyum puas.

"Matori-senpai? Kamu tadi foto apa?"

"Foto candid untuk koleksi off-shot koran sekolah."

Matori menunjukkan hasil fotonya: sebuah foto Sakuto dan Hikari berdiri bersebelahan, tampak seperti pasangan.

"Senpai, kamu lagi-lagi motret diam-diam ya..."

"Ini bukan sembarang foto, ini off-shot untuk arsip klub koran. Mungkin nanti bisa dipakai di buku tahunan. ──Ngomong-ngomong, Hikari, kamu kelihatan super imut banget di sini!"

"Eh? Ehm, yah..."

Sakuto menjawab dengan jujur meskipun sedikit malu. Kemampuan Matori menangkap momen tepat dengan kameranya memang luar biasa.

Hikari, yang juga terlihat agak malu, memandang Matori dengan wajah tersipu.

"Matori-senpai, bisakah aku minta fotonya juga?"

"Hah? Hah? Hikari, jangan-jangan──"

Matori tampaknya menyadari sesuatu, tapi sebelum dia bisa mengutarakannya, Sakuto buru-buru melirik ke arah Hikari, cemas apa yang akan dia katakan.

"Iya. Aku mau unggah foto itu di Instagram, tapi aku akan crop supaya wajah Sakuto nggak kelihatan."

"Ugh, foto yang sengaja 'menyiratkan sesuatu,' ya? Yah, mungkin itu ide bagus. Kalau kamu cuma sendirian, cowok-cowok yang salah paham pasti bakal banyak mendekat. Oke, ambil saja."

Matori tersenyum puas lalu berjalan menuju ruang klub dengan riang.

"Fufu... akhirnya dapat foto bareng Sakuto," kata Hikari dengan nada gembira.

"Hikari, itu agresif banget, tahu..."

"Karena aku pengin punya, sih."

Hikari berkata dengan nada manja dan tersenyum lebar, jelas terlihat sangat senang.

* * *

"Baiklah, semuanya, terima kasih atas kerja keras kalian. Progres kita sesuai dengan apa yang tertulis di papan tulis, dan ternyata berjalan lebih cepat dari yang diperkirakan. Jadi, mari kita selesaikan semuanya akhir pekan ini."

Saat pertemuan setelah kegiatan klub, Saika tersenyum lembut, menandai berakhirnya pertemuan.

Progres klub koran sudah berjalan sangat baik, dan mereka optimis bisa menyelesaikan proyek mereka dalam dua hari ke depan.

Di balik kesuksesan itu, ada kerja keras Hikari.

"Hikari, kamu cepat banget kalau pakai komputer, ya~," kata Wakana dengan nada kagum.

"Yah, mungkin karena aku sering browsing di rumah. Jadi, aku lumayan terbiasa," jawab Hikari dengan nada santai.

Pernyataan tentang "browsing di rumah" tadi jelas tidak menggambarkan sepenuhnya kemampuan Hikari.

Sakuto, yang mengamati dari dekat, terkejut melihat betapa mahirnya Hikari dalam DTP (Desktop Publishing)—sebuah proses yang mencakup pembuatan, pengeditan, desain, hingga tata letak naskah langsung di komputer.

Hikari tidak hanya terbiasa dengan perangkat lunak yang digunakan, tetapi juga jauh lebih cepat dibanding anggota lainnya.

Keberadaannya seperti memberi suntikan semangat bagi seluruh anggota klub koran, membuat mereka mulai bekerja lebih serius dan efisien.

Saika tadi mengatakan bahwa progres mereka "lebih cepat dari yang diperkirakan," tapi yang sebenarnya terjadi adalah mereka "lebih serius dari yang biasanya."

Sakuto benar-benar terkejut melihat betapa besar dampak satu orang berbakat seperti Hikari terhadap seluruh dinamika klub.

Namun, ada satu hal yang mengganjal pikirannya—hubungan antara Hikari dan klub koran ini.

Setelah berbincang dengan anggota lain dan menyelesaikan persiapannya untuk pulang, Hikari mendekat ke arahnya.

"Maaf, sudah menunggu ya."

"Maaf juga, Hikari. Aku baru ingat ada urusan. Bisa langsung gabung dengan Chikage dulu dan tunggu aku di sana?"

"…? Oke."

Progres penerbitan koran sudah aman. Tapi masih ada satu masalah penting yang belum terselesaikan untuk mereka semua.

Dan satu lagi—senyuman Hikari yang benar-benar tulus, sepertinya belum pernah dia tunjukkan pada anggota lain.

Kalau begitu, demi klub koran dan Hikari, aku akan melakukan apa yang aku bisa.

* * *

Keesokan harinya, hari Sabtu, mereka mulai berkumpul dari siang.

Setiap anggota mulai bekerja menulis artikel berdasarkan catatan hasil wawancara mereka.

Dua jam berlalu, dan Sakuto merasa sudah saatnya untuk istirahat. Ayaka tiba-tiba berdiri.

"Aku akan menyiapkan minuman. Kalian bisa lanjut bekerja dulu. Setelah aku kembali, kita ambil waktu istirahat sebentar, ya."

Dengan senyum lembut, Saika keluar dari ruang klub.

"Hikari, ini juga bisa aku serahkan padamu, juga?"

"Baik. Serahkan padaku."

Sakuto memasukkan transkrip wawancara yang sudah dia ketik ke dalam folder bersama milik Hikari. Hikari akan mengeditnya dan menjadikannya artikel yang siap untuk diterbitkan.

Sebenarnya, Sakuto awalnya berniat mengerjakan semuanya sendiri.

Namun, Hikari berkata, "Serahkan padaku," sehingga dia memutuskan untuk fokus mengetik ulang semua percakapan yang ada di ingatannya.

Tiba-tiba──

"Ugh... kurang pas."

Matori bergumam pelan dengan nada bingung. Hal itu membuat Sakuto menoleh ke arahnya.

"Matori-senpai, ada apa?"

"Yah, aku lagi bingung mau pakai foto yang mana. Tapi rasanya nggak ada yang pas."

"Eh? Bukannya kamu percaya diri banget soal kemampuan memotret?"

"Justru karena itu. Karena aku peduli, aku jadi merasa fotonya kurang pas."

Sambil bercakap-cakap, tiba-tiba Matori mendapat ide.

"Ah, ya! Hikari, menurutmu foto ini gimana?"

Hikari menghentikan pekerjaannya sejenak, berjalan mendekat, dan memeriksa beberapa foto yang ditunjukkan Matori. Dia akhirnya menunjuk salah satu foto.

"Kurasa yang ini paling bagus... tapi hmm..."

"Kan? Tapi tetap saja rasanya kurang memuaskan."

"Mau aku coba sedikit mengeditnya?"

"Eh? Kamu juga bisa ngedit foto?"

Hikari duduk di depan komputer menggantikan Matori, dan dengan gerakan yang luwes, dia mulai mengedit foto tersebut.

"Wow... Hikari, kamu bisa juga hal seperti ini?"

"Pernah aku lakukan sebelumnya. Gimana menurutmu, Senpai?"

"Bagus banget! Ya sudah, kita pakai yang ini! Makasih, Hikari."

Sementara Matori terlihat kagum, Hikari hanya tersenyum ramah seperti biasanya.

Meski kemampuannya diakui oleh semua anggota klub, Hikari tetap terlihat sedikit terpisah dari mereka, seolah dia tidak sepenuhnya menjadi bagian dari kelompok.

(Kalau saja dia bisa lebih membuka diri... mungkin dengan sesekali pamer dan berkata 'Aku hebat, kan?,' pikir Sakuto.)

Sakuto masih memikirkan hal itu ketika tiba-tiba Matori berkata, seperti mendapat ide.

"Hikari, nanti setelah ini aku, Saika, dan Wakana mau mampir minum teh sebelum pulang. Kamu mau ikut?"

"Eh? Aku sih──"

Sebelum Hikari sempat menolak, Sakuto langsung menyela dengan cepat.

"Yah, kan jarang-jarang. Mungkin sesekali kamu bisa ikut."

"Benar, sekali-kali nggak apa-apa, kan?"

"Tapi..." Hikari tampak ragu.

"Betul itu! Kamu jangan terus-terusan 'dipegang' sama Takayashiki. Sekali-sekali main bareng kita dong!" ucap Matori dengan cara bicara yang sangat santai, hampir tidak sopan.

Namun, dalam situasi seperti ini, paksaan ramah dari Matori sangat membantu.

Namun, tiba-tiba pintu ruang klub terbuka dengan keras.

Bang!

"Te-teman-teman! Ada masalah besar!"

Saika muncul dengan tergesa-gesa, napasnya tersengal-sengal.

"Hah? Minumannya mana? Eh, maksudku, kenapa kamu kelihatan panik begitu?" tanya Matori dengan nada santai.

Saika berusaha mengatur napasnya sebelum menjawab,

"Soalnya, ketua klub penyiaran, Ishizuka-senpai, tiba-tiba datang dan bilang sesuatu yang penting... pokoknya ini masalah besar!"

Melihat Saika yang jarang sekali panik, semua anggota klub koran langsung terdiam dan fokus mendengarkannya.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Join the conversation