[LN] Zetsumetsu Kishi no Madou Kyoushitsu _ Volume 1 ~ Prolog

[LN] Zetsumetsu Kishi no Madou Kyoushitsu _ Volume 1 ~ Prolog

Translator: Hinagizawa Groups
Proofreader: Hinagizawa Groups

PROLOG

Hujan membawa serta masalah. "Gawat, benar-benar hujan."

Aku sudah menduga cuaca akan buruk sejak aku meninggalkan rumah, tapi aku tidak menyangka akan turun hujan seolah-olah sudah direncanakan tepat saat aku pulang.

"Untung aku membawa payung."

Aku membetulkan letak kacamataku, memegang kembali kantong kertas yang berisi bahan makanan, lalu melanjutkan perjalanan pulang. Hujan deras membasahi tanah, dan kakiku yang melangkah menginjak genangan air, memercikkan air dan membasahi kakiku. Wajahku meringis karena dinginnya air, tapi mau bagaimana lagi. Karena ini hujan, aku memang harus menahannya.

"Cuacanya buruk sekali."

Biasanya, ketika cuacanya seperti ini, hal buruk akan terjadi. Berdasarkan pengalamanku selama ini.

Itulah kenapa, meskipun aku tidak membenci hujan itu sendiri, aku tidak suka hari-hari hujan seperti ini. Terlepas dari apakah aku suka atau tidak, sering kali aku akhirnya menanggung semacam masalah.

Un, lebih baik aku cepat pulang sebelum bertemu sesuatu.

Sambil mendengarkan suara hujan yang memantul di payungku, aku bergegas pulang. Karena sudah cukup lama sejak matahari terbenam, hampir tidak ada orang di jalan. Dan yang berpapasan denganku hanyalah hal-hal yang tidak penting.

Lampu jalan, lampu jalan, papan pengumuman, tempat sampah, lampu jalan, seorang siswi perempuan duduk di lantai sambil memeluk lututnya, lampu jalan, lampu jalan.

Benar-benar tidak ada yang berubah... Hmm? "Tunggu. Apa barusan ada sesuatu yang aneh?"

Apa aku salah lihat...? Aku baru saja pindah, jadi aku lelah...

.... Lirik.

"...Sepertinya aku tidak salah lihat~"

Seolah bersembunyi di balik hujan yang mengguyuri tanah, ada seorang gadis duduk di pinggir jalan sambil memeluk lututnya.

Seragam yang dikenakannya... Eeh, itu dari sekolah yang cukup bagus. Sepertinya tidak ada orang di sekitar sini yang tidak tahu sekolah itu.

Dia sepertinya sudah cukup lama berada di sana, karena pakaian dan rambutnya basah kuyup.

Seperti kucing yang dibuang, basah kuyup, dan sendirian.

... Aa, sial.

lho."

"Nona, kalau kau duduk di sini, kau bisa masuk angin,

Aku memiringkan payungku untuk melindunginya dari

hujan. Namun, dia tidak melihat ke arahku, dan tetap keras kepala memeluk lututnya seolah-olah sedang menahan sesuatu.

Hmmm, gawat.

"Apa kau tidak bisa pulang karena hujan? Kalau kau tidak punya payung, mau kupinjami?"

Aku berjongkok sambil memegang payung, mencoba menyamakan pandangan mataku dan matanya, tetapi gadis di depanku tetap menunduk. Jangankan bertatapan mata, dia bahkan tidak menjawabku.

"Sepertinya tidak ada alasan khusus mengapa kau harus duduk di sini... Apa terjadi sesuatu?"

Tidak ada jawaban.

"Di sekitar sini gelap, dan jarang ada orang yang lewat. Meskipun kota sihir ini aman, tidak baik berkeliaran sendirian di jam segini."

Tidak ada jawaban.

"Mungkinkah... kau tidak ingin pulang?" Pikkun, bahu gadis yang menunduk itu bergetar. "Bolehkah aku bertanya, kenapa?"

"... Bukan apa-apa, ini bukan urusanmu." Akhirnya ada jawaban.

Itu adalah kata-kata penolakan yang kuat. Tapi suaranya jernih seperti dering bel, dan sangat lemah. Itu adalah suara yang rapuh, seolah-olah akan hancur jika dibiarkan begitu saja.

"Memang tidak ada hubungannya denganku. Tapi kau juga tidak bisa terus seperti ini, kan? Kalau begini terus, kau bisa masuk angin."

"... Tidak juga, ini bukan apa-apa. Apa pun yang terjadi padaku, tidak ada seorang pun yang akan peduli."

"Kau sangat teguh. Bahkan anak laki-laki di masa puber pun lebih jujur, tahu."

"Bukan urusanmu."

Dia pun memalingkan wajahnya yang menunduk lebih jauh dariku, seolah-olah menolakku lebih keras. Itu adalah tindakan yang kekanak-kanakan, tapi anak ini benar-benar keras kepala.

Ketika aku bingung harus berbuat apa, dan hendak mendorong kacamataku yang bergeser dengan jariku, dia bergumam pelan.

"Aku juga, tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tahu tidak ada gunanya tetap di sini. Tapi, aku juga tidak bisa pulang, seperti diriku yang sekarang."

Untuk pertama kalinya, dia mengangkat wajahnya dan menatapku. Rambut pirangnya yang panjang berantakan, dan menjadi berat karena menyerap air hujan, menyembunyikan matanya seperti tirai.

"Atau, apakah kamu bisa memberitahuku? Apa yang bisa dilakukan... tubuh gadis kecil sepertiku."

Dia melihat ke bawah ke tubuhnya sendiri, dan mengucapkan kata-kata itu dengan nada mencela diri sendiri. Itu adalah sikap putus asa, seolah-olah dia mengharapkan "sesuatu yang buruk terjadi".

"Bahkan sebagai lelucon, tidak baik mengatakan hal seperti itu. Terutama gadis seumuranmu."

Fu, dia tersenyum.

"Kalau begitu tinggalkan aku sendiri. Lagipula kita orang asing."

Orang asing.

Benar juga. Itu benar. Aku hanya orang yang lewat, dan gadis ini baru pertama kali kutemui.

Aku tidak perlu mengurusnya. Lagipula, apa gunanya memaksakan sesuatu yang tidak diinginkan orang lain?

Pada akhirnya, ini hanya kepuasan diriku sendiri.

Aku pun membenarkan posisi kacamataku. Mengangkat kembali barang bawaanku dan berdiri. Lalu, melupakan gadis itu dan pulang ke rumah.

Aku berpikir begitu. Dan aku berniat begitu.

Namun, sebelum aku bisa melakukan semuanya, tiba-tiba rambutnya yang basah oleh hujan bergeser dan memperlihat- kan mata yang tersembunyi di baliknya.

Mata yang indah. Mata biru yang jernih dan bersih, tidak cocok dengan hujan ini. Seperti langit setelah hujan, tembus pandang, mata yang tenang.

Mata itu begitu indah, sehingga aku merasa sangat sayang jika warna langit ini menjadi keruh oleh hujan.

"Haa~, Dasar."

Aku menghela nafas, dan memelototi langit. Sungguh, tidak ada hal baik yang terjadi di hari hujan.

Tapi, mau bagaimana lagi. Mau bagaimana lagi. Ini juga takdir.

Aku pun melepas jaketku, memakaikannya pada gadis bermata indah itu, lalu sedikit tersenyum.

"Kau, kalau kau tidak punya tempat tujuan, mau ikut ke rumahku?"

"... Bolehkah?"

… Sepertinya, sudah diputuskan.

Hari itu, hujan membawakan seorang gadis yang basah kuyup untukku.

Yah, mungkin lebih tepatnya aku yang memungutnya saat dia tertekan oleh masalahnya.

Suara hujan. Suara ketel dan kaleng yang mendidihkan air.

Bercampur dengan itu, suara shower dari kamar mandi.

Ini kamarku, tapi yang ada di kamar mandi sekarang bukan aku. Yah, itu wajar karena aku sedang membuat teh di dapur.

"... Aku membawa seorang siswi ke rumahku... dan aku bahkan tidak tahu namanya..."

Aku pun pusing memikirkan situasi saat ini.

Barusan, gadis di pinggir jalan itu mengangkat wajahnya seolah-olah diselamatkan oleh tawaranku, tetapi ketika kami semakin dekat ke rumahku, dia tiba-tiba mulai bergumam.

Akan sangat buruk jika dia pergi ke suatu tempat pada saat seperti ini, jadi aku menyuruhnya untuk tinggal setidak-nya sampai hujan reda dan memasukkannya ke kamar mandi sekitar sepuluh menit yang lalu.

Dari sudut pandang orang luar, ini benar-benar sebuah insiden. Jika ini dilaporkan, kemungkinan besar aku akan diborgol tanpa ada kesempatan untuk membela diri.

"Yah, tapi mau bagaimana lagi, sudah terlanjur." Semua ini salah hujan. Mari kita anggap begitu.

Aku menyimpulkan demikian dalam benakku sambil menuangkan air dari ketel ke dalam teko yang sudah diisi daun teh.

Dan tak lama kemudian, pintu tipis yang memisahkan kamar mandi dan ruang tamu terbuka dengan suara srett.

"Ano, aku sudah selesai."

Gadis itu mengintip ke arahku dengan hati-hati seolah- olah berusaha menyembunyikan dirinya semaksimal mungkin.

Kulitnya yang tadi sangat pucat sehingga membuatku sedikit khawatir, kini merah semburat merona, dan rambutnya yang berat karena basah oleh hujan, sekarang sudah bersih.

Dengan begini, dia mungkin tidak akan masuk angin. "Hm, begitu. Aku sedang sibuk, jadi duduklah di sofa." "......Terima kasih. Terima kasih banyak."

"Ah, rambutmu belum benar-benar kering, kan? Kalau mau pakai handuk, pakai saja. Lalu, masukkan pakaianmu yang basah ke sana dan keringkan sendiri. Kau tidak mau aku menyentuhnya, kan?"

"Etto, maaf. Terima, kasih."

Setelah mengucapkan terima kasih dengan canggung, dia duduk di sofa dengan langkah yang sangat gugup. Jika gerakannya diberi efek suara, mungkin akan terdengar seperti kochi-kochi, giko-giko, atau wiin.

Dia pun waspada.

Tidak, sebagai seorang gadis yang berada di rumah pria yang tidak dikenalnya, ini adalah reaksi wajar. Malah, akan lebih mengkhawatirkan kalau dia sangat santai.

"Maaf tempatnya berantakan. Aku juga baru saja pindah ke sini."

"Ti-tidak apa-apa. A-ano!" "Hm?"

"Ano, terima kasih atas pakaian gantinya. Dan juga sudah meminjamkan kamar mandinya."

"Ou. Bagaimana ukurannya? Itu baju baru, jadi kurasa tidak kotor."

"Tidak apa-apa. Ukurannya, sedikit kebesaran. Tapi kalau sebesar ini, tidak masalah di aku, sama sekali."

Aku meminjamkan sweatshirt yang tidak kupakai, tapi lengan bajunya terlalu panjang sehingga hanya ujung jarinya yang terlihat. Dia juga sepertinya melipat ujung celananya cukup banyak agar tidak terseret.

Terlihat agak berbahaya, tapi karena dia bilang tidak apa- apa, aku akan percaya saja.

"Lagipula." Hm?

"Lagipula, aku akan segera, melepasnya, kan…?"

… Haa. Menyusahkan. Apa yang dikatakan anak ini?Lebih baik aku abaikan saja.

"Haha, melepas apa? Kau kan baru saja mandi." "Bukan, itu, maksudku bukan begitu, dengan tubuhku..."

"Kurasa tidak ada yang bisa kuminta dari gadis yang terlihat akan pingsan sepertimu."

Dia bergumam "Bukan begitu" atau semacamnya, tapi aku tidak menggali lebih dalam, dan tok, aku meletakkan cangkir di depannya.

"Yah, untuk sekarang duduk saja dulu. Ini, teh." "E-etto..."

"Aku jadi ingin minum karena kedinginan karena hujan. Terlalu banyak kalau untuk diminum sendiri, jadi kalau kau mau, minumlah."

"... Maaf. Terima kasih." "Ya."

Aku menjawab singkat, menarik kursi dari dekat, dan duduk. Lalu, aku menyesap minumanku.

Un, rasanya tidak terlalu buruk. "Enak, ya."

"Haha, baguslah. Dulu, aku pernah dilatih keras oleh seorang kenalan."

Sambil bercanda, aku mengamati gadis di hadapanku.

Rambut pirang blonde seperti bertabur permata. Mata biru jernih yang mengingatkanku pada langit, yang bahkan di

tengah hujan pun menatapku dengan jelas. Kulitnya halus, dan wajahnya sangat indah.

Sepuluh dari sepuluh orang pasti akan bilang dia cantik, dan dua atau tiga di antaranya mungkin tidak akan bisa melupakannya selama sekitar tiga hari, seorang gadis cantik yang benar-benar cantik. Tatapan matanya mungkin terlihat sedikit tajam, tapi itu mungkin karena dia gugup. Sedikit senyuman saja pasti akan menghilangkan kesan itu.

Tapi, saat ini, dia entah bagaimana terlihat seperti kucing pinjaman.

" Fu."

Dia menyesap tehnya, dan menghela napas kecil.

Minuman hangat. Ruangan yang hangat. Sepertinya, dia sedikit lebih tenang.

Dia membuka mulutnya sambil menatap permukaan cermin berwarna kuning amber di tangannya.

"Kamu, sepertinya sudah sangat terbiasa, ya." "Maksudmu?"

"Kamu sangat terbiasa sampai memasukkanku ke kamar mandi. Terus menyiapkan pakaian ganti. Dan saat aku selesai, kamu menyiapkan teh seolah sudah direncanakan. Supaya aku tidak merasa waspada, kamu membawa kursi dan bukannya duduk di sofa yang sama, tapi dengan sengaja duduk di sana."

Jiiii, dia mengarahkan pandangannya padaku.

"... Sepertinya kamu sangat ahli saat menghadapi situasi yang tidak biasa seperti ini."

Sikap waspada seolah-olah tertulis "Aku tidak akan tertipu" di wajahnya.

Gawat. Apa yang harus kukatakan?

"Aa, yah, kau bukan yang pertama kubawa ke sini—bukan, bukan! Bukan seperti yang kau bayangkan! Jangan menatapku seperti melihat sesuatu yang kotor!"

Eei, meskipun aku bilang begitu, dia tidak akan berubah sampai dia yakin sendiri. Aku yakin, sebentar lagi orang yang kubilang seharusnya datang ke kamarku... Eh, dia datang.

"Hora, dia datang. Lihat ke arah jendela itu." "Jendela...?"

Ketika aku menunjuk kejendela, dia mengikuti arah jariku. Pandangannya berhenti di dekat dinding, pada jendela yang dipasang agak tinggi untuk ventilasi.

Di sana, entah sejak kapan, ada bayangan hitam kecil yang bergerak-gerak.

"Nyaan."

Makhluk itu mengeong sekali, lalu mulai memakan makanan di piring yang diletakkan di dekat jendela dengan suara kari-kari.

"Kucing?"

"Ya. Kalau tidak salah, itu minggu lalu saat hujan. Dia terluka, jadi kubawa pulang, dan akhirnya dia tinggal di sini."

"Jadi, itu sebabnya kamu bilang bukan yang pertama."

"Ya begitulah. Sebenarnya, sebelum kucing itu, aku juga pernah memungut anjing. Dia itu anjing yang tersesat, jadi pemiliknya ditemukan."

"Apa hobi kamu itu mengasuh anak-anak yang hilang?" "Terlalu spesifik hobinya."

"Kalau begitu, kamu mencari hal-hal seperti itu dan berkeliling saat hujan..."

"Tidak, ya. Itu baru namanya orang mencurigakan... Yaah, situasi sekarang juga… ya, cukup mencurigakan dan tidak bisa dibantah, sih."

Aku hanya kebetulan bertemu dengan hal-hal seperti itu saat berjalan-jalan.

Karena aku terlalu sering bertemu dengan hal-hal seperti ini, persamaan 'hari hujan = memungut sesuatu yang merepotkan' secara alami terbentuk dalam diriku.

"Yah, tapi bahkan aku tidak menyangka akan memungut manusia setelah anjing dan kucing."

Aku membenarkan posisi kacamataku dan mengangkat bahu dengan gaya bercanda, dan gadis di depanku mengedip-kan matanya.

"Kalau begitu, anak itu adalah senpai-ku, ya."

"Apanya?"

"Penghuni numpang?"

"Apa, kau berencana tinggal di sini?"

"Ah, kalau aku harus pergi, aku akan segera..."

"Aah, tidak apa-apa, tidak apa-apa, aku cuma bercanda!"

Apa... Kenapa dia tiba-tiba terlihat menyesal padahal aku yang mengatakannya.

Hujan masih deras. Kalau dia pergi sekarang, percuma saja dia mandi. Lagipula, seragamnya mungkin belum kering.

"Yah, kalau kau sendiri tidak akan merepotkan, kok. Kau pendiam, dan tidak ada bedanya dengan senior di sana."

"Nyaan."

Aku tertawa mengikuti suara kucing itu, dan dia malah memiringkan kepalanya bingung. Tapi beberapa saat kemudian, seolah-olah dia mengerti apa yang kukatakan, dia menggembungkan pipinya sedikit, muuu~.

"Aku sama dengan kucing?"

"Dalam arti sama-sama basah kuyup di pinggir jalan, kan."

"Aku berbeda dengan anak itu. ...Mungkin." "Nyaan."

"Tapi kucing ini sepertinya bilang, 'Selamat datang, Nona'. Kau dianggap sebagai teman."

"Kamu tidak akan tahu hal seperti itu kalau cuma dari suara nyaaa."

"Penting untuk mendengarkan dengan hati, bukan cuma dengan telinga. Ada banyak hal di dunia ini yang tidak bisa kau pahami hanya dengan mendengar atau melihat saja, Nona."

"Nyaan."

"Begitu, ya." "Begitulah." "Nyaan."

Seolah-olah didesak oleh kucing yang mengeong seolah-olah membenarkan kata-kataku, dia bergumam "Begitu, ya." sambil memiringkan kepalanya.

Entah kenapa. Setelah ngobrol dengannya, aku tidak tahu apakah dia polos atau serius...

Setelah itu, untuk beberapa saat, dia melamun dan tidak mengatakan apa-apa. Aku juga bukan orang yang banyak bicara, jadi kami tidak saling berbicara. Oleh karena itu, yang terdengar hanyalah suara hujan yang turun, suara mesin yang mengeringkan seragamnya, dan suara napas kami.

Kucing yang tadi makan, sekarang sudah kenyang dan sepertinya mengantuk, meringkuk menjadi bola.

Hanya saja, keheningan seperti kaca yang memisahkan kami agar tidak terlalu ikut campur, mendominasi ruangan sempit ini.

Suasana ini berlanjut bahkan setelah dia berganti pakaian ke seragamnya yang sudah kering, setelah aku mengeluarkan sandwich sederhana yang kubeli, dan setelah aku membuatkan teh tambahan.

"Kamu,"

Dia memecah keheningan itu saat kami berdua selesai makan dua sandwich.

"... Kamu, tidak bertanya apa pun, ya."

Dia mengatakannya sambil sedikit menunduk. Rambut emas panjangnya yang seperti bertabur permata menutupi ekspresinya.

Aku pun menyesap teh yang baru saja kutuangkan untuk membasahi tenggorokanku.

"Apakah ada sesuatu yang ingin kau ceritakan padaku?" "... Bukannya, seperti itu."

Tapi, dia menambahkan kata-kata seolah-olah dia adalah anak kecil yang dimarahi orang tuanya dan membuat alasan.

"Biasanya, bukankah orang-orang akan menanyakan namaku, atau kenapa aku berdiam di sana?"

Ah, begitu. Apakah anak ini merasa bersalah?

Dari sudut pandangnya, aku adalah orang dewasa yang tiba-tiba mengajaknya ke rumah, memberinya makan, bahkan meminjamkan dia mandi.

Terlebih lagi, aku tidak meminta imbalan apa pun... Yah, itu agak terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, jadi wajar jika dia khawatir. Jika aku berada dalam situasi yang sama, aku akan curiga itu tsutsumotase.

(TL/N : di sini itu situasi jebakan di mana seorang wanita (atau seseorang yang berpura-pura menjadi wanita) yang tujuannya memeras pria dengan tuduhan pelecehan atau pemerkosaan.)

Bukannya aku keberatan dengan satu anak kecil, tapi secara emosional dia mungkin tidak bisa menerimanya.

Sambil mendorong kacamataku, aku dengan hati-hati memilih kata-kataku satu per satu.

"Yah, kalau ditanya apakah aku tidak penasaran sama sekali, itu bohong."

Seorang gadis yang berjongkok sendirian di tengah hujan, tidak peduli basah kuyup.

Matanya sedikit merah. Mungkin saja, bercampur dengan tetesan air hujan, dia menumpahkan hal lain.

Sampai sejauh itu, pasti ada sesuatu yang serius. Pasti, sesuatu yang sangat sulit telah terjadi padanya.

Yaah, bagaimana mengatakannya, ya. Tidak ada gunanya memaksanya untuk menceritakannya.

Dan juga, kalau aku ditanyai macam-macam oleh orang dewasa yang tidak kukenal, aku juga akan kesal.

Jadi, yah, entah bagaimana.

"Untuk saat ini, kau bisa santai saja."

"E-eh?"

Wajah gadis di depanku berubah menjadi bingung.

"Kau, tipe murid yang benar-benar serius, ya. Di sekolah pasti ada satu atau dua orang seperti itu."

"Eh, ano, aku sekarang, berada di rumah laki-laki yang tidak kukenal, dan juga tidak berniat pulang ke asrama, bisa dibilang aku ini murid yang nakal..."

Berlebihan. Tidak perlu ribut hanya karena sekali atau dua kali menginap di luar tanpa izin. Aku pernah bolos sekolah untuk melihat kembang api bersama teman-temanku dan berlarian.

Tidak, aku yang membawa pulang seorang siswi yang bahkan tidak kukenal namanya, itu masalah besar... Yah, un, mari kita kesampingkan ini dulu.

Bukan itu yang ingin kukatakan.

"Kau pasti sedang mengkhawatirkan sesuatu sekarang, tapi terkadang kau perlu tidur dan menyerahkannya pada dirimu di hari esok. Dengan begitu, kau mungkin akan menemukan cara baru untuk menghadapinya."

".….. Bagaimana kamu bisa yakin, kalau itu pasti akan membaik?"

"Entahlah. Itu tergantung padamu." 

"Tidak bertanggung jawab, ya."

Apa yang dia harapkan dari orang dewasa yang lewat dan tidak dikenalnya? Aku sedang berbicara tentang cara berpikir, dan bagaimana cara memperbaikinya adalah masalah lain.

Idealnya, dia akan menemukan solusi sendiri, tetapi mungkin tidak selalu demikian.

"Yah, jadi kalau memang tidak ada jalan lain, mintalah bantuan orang dewasa. Terlebih lagi, kau itu pelajar, kau bisa mengandalkan gurumu sepuasnya. Itu pekerjaan mereka."

Manusia tumbuh dengan membuat kesalahan.

Dan dalam kesalahan itu, perlahan-lahan menjadi dewasa. Dan, sekolah itu adalah "tempat untuk membuat banyak kesalahan." Setidaknya, itulah yang kupikirkan.

Namun, meskipun aku bilang itu, bukan berarti dia harus berjuang menuju hari esok sekarang juga! Pasti karena dia tidak menyukai hal seperti itu, makanya anak ini ada di sini.

Jadi, entah bagaimana, untuk saat ini.

"Kau boleh tinggal di sini sampai kau bisa bangkit. Kau sendirian, sama seperti kucing."

"... Kenapa, kamu sampai sejauh itu."

"Karena aku itu orang dewasa. Orang dewasa itu tanpa syarat merawat anak-anak."

Mendengar kata-kataku yang terdengar seperti lelucon, fu, dia tersenyum tipis.

"Kamu baik hati, ya."

Dia menyipitkan matanya, dan perlahan-lahan merangkai kata-kata.

"Kamu memungutku seperti ini. Memberiku minuman hangat. Tidak memaksaku untuk menceritakan masalahku. Tapi kamu mencoba untuk membantuku. Orang dewasa sepertimu, jarang ada."

Setelah mengatakan itu, dia melihat ke langit dari jendela, lalu kembali menghadapku.

"... Karena itulah, aku benci. Orang dewasa sepertimu." Itu adalah kata-kata penolakan yang jelas.

Emosi yang kuat, seolah-olah senyum tipis yang kulihat beberapa saat yang lalu adalah kebohongan. Aku merasa seolah-olah gadis di depanku ini mengarahkan permusuhan seperti pedang padaku.

"Hujannya, sudah reda, ya."

Tiba-tiba dia mengatakan itu sambil melihat ke langit di luar jendela.

Aku ikut melihat ke langit, dan hujan yang begitu deras sudah benar-benar berhenti, dan di langit sana, 'dua bulan' yang begitu menyilaukan hingga membuatku menyipitkan mata, mengambang.

"Aku, akan pulang. Lagipula, dari awal pembicaraannya sampai hujan reda, kan."

Memang benar aku mengajaknya ke rumahku dengan kesepakatan seperti itu. Kalau begitu, memang tidak ada alasan atau sebab lagi baginya untuk berada di rumahku.

Lalu dia mengambil sepatunya dari pintu masuk, dan membuka jendela dan meletakkan kakinya di ambang jendela. Da, dia pun menoleh ke belakang ke arahku, dan tersenyum lagi.

"Hari ini, terima kasih banyak."

Dan— Pyon, dia melompat keluar jendela. Eh, melompat!?

"Eh, oi—"

Aku pun berlari mengejarnya, dan Rapalan sampai di telingaku.

"Berikan aku sayap untuk terbang di langit— Float ." Itu adalah, sihir.

Kekuatan bagi manusia tanpa sayap, manusia yang hidup

dengan kaki menapak tanah, untuk mendapatkan 'kehidupan di langit' dengan kekuatannya sendiri.

Bukti dari revolusi manusia, yang diturunkan dari keajaiban menjadi teknologi oleh revolusi sihir yang dimulai oleh seorang insinyur di masa lalu.

"Kita mungkin, tidak akan bertemu lagi."

Dia terbang, meninggalkan kata-kata perpisahan.

Rambut emas panjangnya berkibar tertiup angin yang jernih, seolah-olah dia adalah seekor burung kecil yang akhirnya bisa kembali ke tempatnya berada.

"Haha, benar-benar biasa, ya."

Pemandangan itu mengejutkan bagiku yang tidak bisa terbang, tapi mungkin itu hal yang biasa bagi pelajar seperti dia.

Ini, entah bagaimana.

"Dia terbang dengan sangat mudah, ya."

Sambil mendorong kacamataku, tanpa sadar aku tersenyum.

Aku tidak tahu kenapa, tapi ya. Mungkin, aku senang karena gadis yang tadinya meringkuk, sekarang bebas.

Dia bilang dia tidak akan bertemu denganku lagi.

Mungkin itu benar.

Aku mungkin tidak akan pernah bertemu lagi dengan orang yang bahkan tidak kuketahui namanya.

Jadi, setidaknya, aku akan mengingat penampilannya, aku pun menyalakan rokokku dan duduk di ambang jendela.

… Aah, haha, ini dia.

Aku benci hari hujan, tapi karena inilah aku tidak bisa membenci hujan.

"Malam. Hujan. Dan, dua bulan purnama. Ironisnya, semua kondisinya terpenuhi."

Seorang gadis yang terbang membelah waktu ketika semua orang tertidur lelap, gadis yang sampai beberapa saat yang lalu berada di ruangan ini.

Dan, di baliknya, dua pelangi samar tampak bertumpuk.

Pelangi Bulan

Dulu, seorang kenalan memberitahuku, "Kalau hujannya sudah reda, dan bulannya indah, kau bisa melihatnya."

"Sebagai mimpi sesaat dalam semalam, situasinya terlalu sempurna."

Untuk beberapa saat, aku menatap kosong pada pelangi yang bertumpuk dan gadis yang terbang di baliknya.

"Selamat tinggal, seseorang di suatu tempat yang bahkan tidak kuketahui namanya."

Tapi tak lama kemudian, ketika sosoknya benar-benar menghilang, aku tersenyum kecil memikirkan masa depannya, dan mengembuskan asap ungu ke arah pelangi.



Keesokan harinya, hari pertama bekerja di tempat kerja baruku.

"... Jadi, aku disuruh pergi ke sini."

Aku berjalan melewati gedung seperti yang diperintah-kan, menaiki tangga seperti yang diperintahkan, menyusuri

lorong seperti yang diperintahkan, dan setelah menginjak lingkaran sihir yang tidak kumengerti di tengah jalan, aku tiba di sebuah ruangan yang sangat mewah.

Etto, apa ini tempatnya...? Benar, kan?

Aku tidak mengerti mengapa aku disuruh ke tempat ini sebelum ke ruang guru, tapi tidak ada gunanya berdiri diam. Mari kita coba masuk ke dalam ruangan.

"Anoo—, Aku datang atas rekomendasi Kepala Sekolah Yuphir Zain..."

Ketika aku membuka pintu, seorang gadis yang duduk sendirian di tengah lima meja besar berdiri.

Krak krak, suara sepatu yang menginjak lantai bergema saat dia mendekat dengan kepala sedikit tertunduk, dan rambut panjangnya bergoyang mengikutinya. Rambut emasnya, yang seperti bertabur permata.

Lalu, dia mengangkat wajahnya dan menatapku, dan membuka mata birunya yang jernih yang mengingatkanku pada langit.

"Aku sudah mendengar ceritanya. Senang bertemu denganmu, aku Serena Stellarain, perwakilan Akademi Elvis dan ketua Komite pengawas Sis—"

"Kau, gadis yang kemarin bilang benci padaku, kan?" "Ke, ke-ke-ke-kenapa kamu ada di sini!?"

Mataku dan matanya bertemu, selama tiga detik penuh.

Lalu tiba-tiba, dia berteriak seperti jeritan, dan dengan cepat menjauh dariku.

"A-aku dengar ada guru baru yang datang ke sini..."

"Aah, ya. Itu aku. Mulai hari ini, aku menjadi penasihat Komite pengawas Siswa , aku Adley Ur."

Dia—Serena Stellarain-kun, yang mulai hari ini tampak-nya menjadi 'muridku', menggigilkan tubuhnya.

"Yah, kau pasti canggung setelah bilang Kita mungkin tidak akan bertemu lagi. dengan begitu kerennya, kan."

Entah bagaimana. Untuk saat ini.

"Aah—, sejauh mana kau ingin aku melupakan kejadian kemarin? Serena Stellarain-kun."

"Semuanya! Lupakan semuanya! Tolooong!"

Di sini, di kota sihir Aurora .

Sebuah kota penelitian untuk meneliti Sihir , yang merupakan puncak dari ilmu pengetahuan, dan untuk mengembangkan Penyihir untuk melawan Monster .

Dan di tempat seperti itu, aku pun bertemu dengan ketua Komite pengawas Siswa yang gagal, Serena Stellarain .

(TL/N: Sebenernya pengen ku jadiin OSIS, cuman keknya sedikit berbeda sistemnya, jadi ya begini deh, tapi kalau mau dianggep OSIS juga ga salah juga, senyamannya aja.)

إرسال تعليق

الانضمام إلى المحادثة