Kang tl : Naoya
Kang pf : Naoya
Chapter 1 : Kehidupan Sehari-hari Seorang Pria Yang Dirawat
“Sudah hampir satu tahun aku tinggal bersamamu.”
Aku menghela napas panjang sambil merasakan ringannya koin perak yang ada di telapak tanganku.
“Aku tidak menyangka dilihat sebagai anak lima tahun.”
“Apa yang kamu keluhkan, Matthew?”
Alwyn bertanya dengan nada agak kesal. Rambut merahnya yang mencapai pinggang, mata hijau zamrud, putri kita yang anggun. Pewaris dari takdir wanita.
Dia adalah pemimpin dari salah satu kelompok petualang terkenal di kota ini, ‘Shield of The Goddes of War Aegis’.
“Hanya untuk tiga hari. Seharusnya itu cukup, bukan?”
Di depan pintu, dia menyerahkan tiga koin perak Arnol. Seperti yang dia katakan, satu koin perak Arnol, yang biasa disebut sebagai koin perak besar, cukup untuk tiga kali makan dan dua gelas bir dengan sisa kembalian.
“Aku tidak sebodoh itu.”
Nama lengkapnya adalah Alwyn Maybel Primrose Mactarode. Dulu dia adalah putri kerajaan Mactarode yang terletak di utara benua.
“Aku tahu. Sekarang kamu sudah menjadi petualang sejati.”
Kerajaan hancur karena monster yang tiba-tiba muncul dalam jumlah besar. Raja dan ratu juga mati. Dia, satu-satunya yang selamat, dai pergi mencari bantuan dari sauda-saudara, tetapi tak ada yang menyambutnya dengan baik. Monster-monster tersebut jumlahnya diperkirakan mencapai jutaan atau bahkan miliaran. Di antara mereka, ada monster legendaris seperti naga dan behemoth. Untuk menghancurkan mereka semua, bahkan dengan menggabungkan kekuatan seluruh negara di benua ini, tidak mungkin bisa.
“Jadi jangan menyulitkanku. Aku tidak bertarung mempertaruhkan nyawa demi kemauan egoismu.”
Satu-satunya harapan mereka adalah harta karun legendaris yang konon bisa mengabulkan segala permintaan, ‘Astral Crystal’ . Demi mendapatkan benda itu, Alwyn bersama rekan-rekan yang memiliki tujuan yang sama sedang menantang dungeon besar, ‘A Thousand White Nights’.
“Aku mengerti dengan jelas tekadmu. Sebenarnya, aku ingin bertarung bersamamu. Aku merasa tidak berdaya.”
Seperti yang disebutkan, dungeon besar ‘A Thousand White Night’ sangat berbahaya. Ini bukan sekadar dungeon atau gua. Monster-monster mengerikan muncul di mana-mana, jebakan dipasang di setiap sudut, dan tempat itu sendiri adalah monster besar yang disebut ‘Dungeon’. Ditambah lagi, para petualang saingan sering menghalangi jalan. Berbagai kesulitan menghalangi langkah mereka.
“Kalau begitu, tunggulah dengan tenang. Jika penaklukan memakan waktu lebih lama, pengambilan kembali kerajaan akan semakin tertunda. Waktu yang tersisa tidak banyak.”
Namun, sang putri yang anggun tidak berhenti melangkah. Demi rakyatnya yang tercinta. Demi memulihkan kerajaannya. Karena itulah dia dikenal sebagai ‘Red Haired Princess Knights’. Bagi orang-orang yang selamat dari kerajaan Mactarode, dia dihormati sebagai dewi dan pejuang. Dan aku adalah pelayannya.
“Aku paham dengan baik tentang tekadmu. Tapi yang kubutuhkan sekarang adalah uang. Tanpa uang, kita tidak bisa membeli makanan, dan harta karun pun tidak bisa didapat. Lagi pula, penaklukan ini tidak bisa diselesaikan dalam satu atau dua hari, kan?”
Hari ini, mereka akan turun ke lantai 17 bawah tanah. Tapi tidak ada yang tahu seberapa dalam dungeon itu. Sejak ditemukan, tidak ada yang pernah mencapai dasar ‘A Thousand White Night’.
Untuk menaklukkan dungeon, mereka harus menghancurkan atau mengambil bagian inti di dasar dungeon. Inti itu disebut ‘Astral Crystal’, yang konon bisa mengubah padang pasir menjadi tanah hijau dalam sekejap atau bahkan membangkitkan orang mati.
“Lebih dari itu, kamu salah paham.”
“Salah paham tentang apa?”
“Tentang harga diri seorang pria. Jika aku sendiri, mungkin ini cukup. Tapi, tidak. Aku berencana pergi minum malam ini.”
“Pergilah.”
Ekspresinya menunjukkan bahwa dia menganggap ini tidak penting.
“Tapi, hubungan sosial bagi pria itu penting. Aku tidak bisa hanya minum sedikit.”
“Baiklah, aku tanya satu hal.”
Alwyn menatapku tajam.
“Kenapa aku harus mengeluarkan uang agar kamu bisa pergi bersenang-senang dengan wanita lain? Ini aku, dari semua orang?”
Pekerjaanku dikenal sebagai gigolo. Ada juga yang menyebutnya pacar simpanan, penipu, buaya darat, atau pemalas. Apapun sebutannya, intinya aku hidup dari kerja perempuan, tidak bekerja, dan menghabiskan waktu dengan bersantai. Kadang-kadang minum alkohol, berjudi, atau bahkan menggoda wanita lain. Itu pekerjaan yang dipandang rendah namun sering kali ditiru dengan rasa iri.
“Aku tidak akan melakukan itu. Aku hanya ingin minum.”
Aku mencoba membujuknya dengan nada lembut. Aku cukup tampan, dengan rambut cokelat pendek dan mata cokelat tua yang dulunya membuat banyak wanita tergila-gila padaku. Tapi sekarang, semuanya kupersembahkan untuk sang ksatria putri.
Tunik biru tua dan celana panjang hitam longgar yang kupakai sekarang pun dibeli dengan uang Alwyn.
“Jangan bohong. Jangan pikir aku tidak tahu apa-apa.”
“Jangan marah begitu.”
“Mengandalkan belas kasihku tidak akan berhasil.”
Saat aku menyentuh bahunya, dia langsung menepis tanganku. Tapi aku tidak menyerah. Aku mencoba menyentuhnya lagi, tapi kembali ditolak.
“Benarkah?”
Aku kemudian menyentuh rambutnya dengan lembut, mengelusnya dengan hati-hati. Rambutnya selembut sutra. Meskipun dia sering bertarung, rambutnya tetap sehat dan indah. Mungkin karena dia berasal dari keluarga bangsawan.
“Hei, berhenti.”
Aku abaikan protesnya dan melanjutkan mengelus rambutnya dari punggung hingga ke pinggang, kemudian dari pinggang kembali ke punggungnya. Tanganku yang lain juga ikut merapikan rambutnya dari puncak kepala. Dia memang selalu berusaha keras. Pantas dipuji.
“Hei, hentikan.”
“Kamu suka ini, kan?”
Aku berbisik di telinganya.
“Mm.”
Dia memerah dan mengeluarkan suara puas.
Seorang gigolo tidak bisa hanya mengandalkan wajah tampan. Kemampuan lain juga diperlukan. Namun, bahkan hanya tubuh saja tidak cukup untuk bertahan lama. Seorang pria harus pandai merayu dan berkomunikasi.
“Berhenti”
Alwyn memegang kedua pergelangan tanganku dan mendorong tubuhku menjauh.
“Aku tidak akan tertipu dengan trik semacam itu.”
Sambil mengatur napas yang panas, ia merapikan rambutnya sendiri dan menatapku dengan kesal.
Gagal. Sepertinya trik yang sama tidak bisa berhasil berkali-kali. Saat aku sedang memikirkan langkah selanjutnya, pintu rumah diketuk.
“Putri, kita harus segera berangkat sebelum matahari terbit, Putri.”
Itu suara Ralph, seorang prajurit. Dia adalah anggota party ‘Shiled of The Goddes of War Aegis’ dan masih berusia sekitar dua puluhan, tetapi ia sangat mengagumi Alwyn. Suara manjanya membuatku jengkel.
“Lihat, karena kamu terus mengulur waktu untuk hal-hal yang tidak penting, mereka sudah datang untuk menjemputku.”
“Benar, waktu kita sudah habis.”
Aku memantapkan niat dan berkata sambil menggenggam tangannya.
“Jadi, mari kita putuskan. Apakah kamu akan memberiku satu koin emas, atau aku menjadi pria yang tidak bisa mentraktir temanku minum?”
“Putri!”
Pintu terbuka, dan anak muda berambut pirang itu langsung memerah.
“Apa yang sedang kau lakukan?”
Dia langsung mencengkeram kerah bajuku. Seharusnya ini adalah momen yang menakutkan di mana aku gemetar, tetapi karena tubuhku lebih besar dari Ralph, yang lebih pendek satu kepala dariku, ia tampak seperti monyet yang mencoba merebut makanan. Sulit untuk tidak tertawa.
“Aku tidak melakukan apa-apa.”
Aku menggelengkan kepala.
“Kemarin agak terlalu liar. Aku hanya memeriksa apakah ada bekas ciuman yang tertinggal.”
Ada suara siulan dari belakang. Ketika aku menoleh, empat orang anggota party lainnya masuk ke dalam rumah. Mereka, bersama Ralph, setiap hari turun ke dalam dungenon.
“Jangan bercanda, kau!”
“Aku tidak bercanda. Kau dan aku sama-sama melakukan yang terbaik untuk sang Putri. Kau berayun dengan pedangmu setiap hari di dungenon, dan aku bekerja keras di ranjang. Pekerjaan kita setara.”
Tiba-tiba, sebuah tinju menghantam pipiku. Kepalaku terayun dan aku jatuh ke lantai. Saat aku mencoba bangkit, Ralph menendang perut dan pinggangku berulang kali.
“Dasar brengsek sepertimu! Kau, kau!”
“Cukup, hentikan.”
Yang menghentikan Ralph adalah Latovidge, anggota party lainnya. Dia mengenakan baju zirah perak, dengan rambut putih dan wajah yang penuh kerutan. Dia tampak seperti seorang kepala pelayan tua yang sangat cocok menjadi ksatria yang melayani kerajaan Mactarode
“Kita akan segera masuk ke dungenon, jangan buang tenagamu. Kau juga, Matthew, berhentilah bercanda.”
“Baik, baik. Maaf.”
Aku bangkit sambil membersihkan tubuhku yang penuh bekas sepatu. Pukulan dan tendangan Ralph yang tidak terlalu sakit. Salah satu kelebihan kecilku adalah tubuh yang kuat. Tendangan dan pukulan semacam itu hanya terasa seperti belaian.
“Maaf aku bercanda. Kau mau permen? Buatan tanganku sendiri.”
“Tidak perlu!”
Padahal rasanya enak.
“Matthew,”
Alwyn berkata sambil mengulurkan tangan padaku yang terbaring.
“Aku harus pergi sekarang. Jangan lagi merengek.”
“Baik.”
Aku meraih tangannya dan bangkit. Dengan memanfaatkan momentum itu, aku mendekatkan bibirku ke telinganya.
“Apakah kamu masih bisa menahannya? Masih sanggup?”
“… Tidak ada masalah.”
“Jika kamu membutuhkannya, kembalilah kapan saja. Jangan terlalu menahan diri, nanti konsentrasimu terganggu.”
“Jangan khawatir, aku baik-baik saja.”
Dia memalingkan wajahnya, lalu keluar sambil mendorong Ralph dan yang lainnya. Dasar keras kepala.
“Semoga berhasil,”
Aku membalas sambil melambai dengan saputangan di tangan, tapi Ralph hanya menggerutu dan menutup pintu. Setelah menghitung hingga lima puluh, aku membuka tangan dan melihat cahaya koin emas yang aku harapkan.
Dengan senyum lebar, aku memasukkan permen hijau ke dalam mulutku.
Tampaknya malam ini aku bisa menikmati seorang pelacur di rumah bordil.
Nama kota ini adalah ‘Grey Neighbor’, sebuah kota benteng yang terletak di tengah padang tandus. Orang-orang menyebutnya “Kota Dungenon.”
Alasannya sederhana. Di tengah-tengah kota ini terdapat pintu masuk ke dungenon besar “Seribu Malam Putih.” Tepatnya, kota ini dibangun dan berkembang di sekitar pintu masuk dungenon itu.
Dahulu kala, ada banyak sekali dungenon, dan kota-kota dungenon seperti ini tersebar di seluruh dunia. Namun, seiring berjalannya waktu, satu per satu dungenon berhasil ditaklukkan, dan kota-kota dungenon lainnya mulai sepi. Kini, Grey Neighbor adalah kota dungenon terakhir di dunia.
Setiap hari, para petualang seperti semut mengerumuni pintu masuk dungenon untuk mencoba menaklukkannya. Tentu saja, bisnis yang melayani para petualang juga berkembang. Di toko-toko terdapat perbekalan, tali, pisau, lentera, dan barang-barang lain yang mereka butuhkan. Penginapan, pandai besi, penjual senjata, serta rumah bordil dan bar juga bermunculan.
Petualang selalu hidup berdekatan dengan kematian. Mereka menghabiskan uang dengan cepat dan kehilangan nyawa dengan mudah. Meski begitu, demi ketenaran dan hadiah, mereka terus menghadapi bahaya.
Aku dulu adalah salah satu dari mereka.
Sekarang, aku adalah gigolo sang putri ksatria.
Setelah selesai dengan urusan itu, aku berbaring di ranjang, sementara seorang wanita telanjang, Cynthia, bersandar padaku. Dia adalah pelacur yang kupilih karena pelacur langgananku sedang tidak tersedia. Tapi dia ternyata cukup cocok denganku. Dia bahkan memperhatikanku dengan menuangkan air dari kendi. Gaya yang tidak buruk.
“Kau benar-benar orang yang aneh.”
“Mengapa begitu?”
“Kau punya seorang putri ksatria yang luar biasa, tapi kau tetap datang ke tempat seperti ini. Tidakkah dia akan marah?”
“Kau juga luar biasa.”
Rambut hitam panjangnya, kulitnya yang halus, dan dadanya, semuanya sempurna.
“Dia wanita yang sangat pengertian. Dia memberiku kebebasan untuk melakukan apa yang kuinginkan.”
Alwyn sekarang mungkin sedang berada di dalam dungenon, bertarung dengan Minotaur dan Ogre sambil mengayunkan pedangnya.
“Jadi, hanya dengan ksatria putri saja tidak cukup buatmu?”
“Bukan begitu. Ksatria putri kami adalah yang terbaik di dunia.”
Demi menjaga kehormatannya, aku menegaskan hal itu.
“Dia terlalu luar biasa. Aku bahkan tak bisa menandinginya. Karena itu, aku harus selalu berlatih. Ini adalah keahlian yang harus dimiliki seorang pelayan.”
“Oh, jadi aku hanya jadi alat latihan?”
“Aku tidak akan menyangkalnya.”
“Kau menyebalkan.”
Dia mencubit pinggangku. Secara refleks aku bilang, “Sakit,” lalu Cynthia, sambil minta maaf dengan suara kecil, mulai mengelus bagian yang dicubitnya.
“Jadi ksatria putri itu hebat juga di urusan itu ya. Ngomong-ngomong, kenapa kalian bisa sampai bersama?”
Sejak aku mulai tinggal bersamanya, pertanyaan semacam itu sering muncul. Benar-benar sering. Mereka selalu tanya, bagaimana caraku menaklukkan dia, atau bagaimana dia di ranjang. Tapi soal itu, aku sudah berjanji untuk tidak membicarakannya. Lagipula, aku tidak punya niat untuk menceritakannya. Jadi, aku biasanya menjawab begini.
“Tak ada yang spesial. Dia juga manusia. Dia bisa menangis, bisa lapar. Orang-orang saja yang terlalu mengagung-agungkan dia.”
“Jadi kamu menggodanya, lalu berhasil?”
“Kurang lebih seperti itu.”
“Heh,”
Cynthia berkata sambil menatap wajahku dengan rasa ingin tahu.
“Jadi ksatria putri itu suka tipe pria sepertimu?”
“Mungkin saja.”
“Memang tubuhmu bagus sih. Tapi wajahmu bukan tipeku.”
Tangan Cynthia mulai menjalar ke perutku, mengusap garis otot perut yang terbentuk di sana.
“Tubuhmu memang bagus. Tapi benarkah kau pengecut yang tidak bisa bertarung?”
“Baru-baru ini aku kalah panco dari anak perempuan berusia tiga belas tahun.”
“Bukankah dulu kau juga petualang?”
“Iya, benar.”
Aku membalasnya dengan mengelus bagian pusarnya. Cynthia menggeliat geli.
“Kenapa kamu berhenti? Sepertinya kau tidak terluka.”
“Monster sekelas ogre itu mudah saja bagiku. Terlalu mudah, sampai akhirnya terasa membosankan. Jadi, sekarang aku lebih suka bertarung dengan para wanita.”
“Ternyata kau masih hebat di bidang itu ya.”
Cynthia tertawa kecil.
“Ngomong-ngomong, bagaimana? Mau lanjut?”
Sepertinya dia bosan berbincang, Cynthia menatap piring di meja samping. Di sana ada tumbuhan berwarna ungu kemerahan yang masih membara. Setiap rumah bordil punya caranya masing-masing untuk menghitung waktu, dan di sini mereka menggunakan tumbuhan ini. Begitu habis terbakar, waktunya selesai. Tumbuhan ini juga memiliki efek untuk membangkitkan gairah. Dari sisa bara, sepertinya masih setengah terbakar.
Saat aku memeluk bahu Cynthia, berpikir masih ada waktu untuk satu ronde lagi, tiba-tiba terdengar teriakan dari luar jendela.
Aku mengintip ke luar jendela. Di depan gedung, seorang pria berusia sekitar tiga puluhan memegangi kepalanya sambil berteriak. Tidak, itu lebih mirip jeritan.
“Oh, itu Alan,”
Kata Cynthia sambil berdiri di sampingku.
“Kamu kenal dia?”
“Dulu dia sering datang kemari, sampai sekitar setengah tahun yang lalu. Seorang petualang. Waktu itu dia cukup kaya.”
“Sekarang dia tidak terlihat begitu.”
Tepi pakaian dan siku-sikunya sudah compang-camping, terlihat kotor bahkan dari kejauhan. Itu bukan tampilan yang biasa dimiliki oleh petualang yang terbiasa bertarung. Jika diperhatikan lebih dekat, ada bercak hitam di leher dan pergelangan tangannya.
“Beberapa waktu lalu dia terluka parah. Meski nyawanya selamat, sejak saat itu dia tak pernah lagi masuk ke ‘Dungeon’ dan hanya berkeliaran di sekitar kota seperti itu.”
“Penyakit Dungeon ya.”
Petualang selalu bertaruh nyawa. Salah langkah sedikit, nyawamu melayang.
Khususnya di dalam dungeon seperti ‘A Thousand White Night’, bahaya selalu mengintai. Monster muncul tiba-tiba dari kegelapan, jebakan terpasang di mana-mana, belum lagi gangguan dari petualang lain atau perpecahan di antara teman seperjuangan. Kematian lebih akrab dibandingkan ibu sendiri.
Meski berhasil selamat dari ambang kematian, tidak semuanya kembali seperti semula. Ketakutan yang telah menginjak neraka akan terus menghantui pikiran. Dan begitu itu terjadi, mereka tak akan bisa lagi masuk ke dungeon. Mereka bahkan tak mampu lagi menghadapi tugas berat yang berbahaya. Akhirnya, mereka hidup dalam ketakutan, bahkan tak mampu menjalani kehidupan sehari-hari. Itulah yang disebut Penyakit Dungeon. Penyakit khas yang diderita para petualang.
“Tapi, dia kelihatan lebih dari sekadar penyakit biasa.”
“Mungkin dia kecanduan ‘obat’.”
Tidak ada obat mujarab untuk Penyakit Dungeon. Bahkan jika ada, itu pasti di luar jangkauan para petualang biasa. Jadi, kebanyakan petualang akhirnya beralih ke ‘obat’ untuk mengalihkan penderitaan. Salah satu yang banyak beredar adalah ‘Release’. Obat itu berupa bubuk yang jika diminum membuatmu merasa seolah-olah dunia ini adalah surga atau tempat impian. Tapi sekali mencobanya, kau tidak bisa berhenti. Emosimu tak terkendali, marah, menangis, tertawa, semuanya bercampur aduk. Akhirnya, muncul halusinasi dan delusi, yang berujung pada kekacauan mental. Bercak hitam di kulit adalah tanda khas dari pecandu.
“Dulu kelompok ‘Three Headed Hydra’ yang mengendalikan distribusinya, tapi belakangan ini sudah jarang beredar, jadi banyak orang seperti dia sekarang.”
Bukan hanya di kota ini, di sebagian besar negara di benua ini, obat-obatan semacam itu dilarang. Tapi semakin dilarang, semakin banyak yang ingin mencobanya. Organisasi kriminal dan kelompok-kelompok berbahaya mengendalikan produksi dan distribusi obat-obatan ini, memanfaatkan penderita Penyakit Dungeon atau orang miskin yang ingin melupakan masalah hidup mereka, dan meraup keuntungan besar. Salah satu kelompok itu, Hydra Tiga Kepala, telah dihancurkan sekitar setahun yang lalu.
Di luar jendela, Alan terlihat diseret oleh beberapa pria bertampang kasar. Mereka adalah penjaga rumah bordil ini. Alan, yang tak bisa melawan, dibawa ke gang terdekat. Jika beruntung, dia hanya akan kehilangan beberapa tulang, tapi jika sial, dia akan ditemukan mati di atas tumpukan sampah dan muntahan. Kota ini memang seperti itu. Aku merasa kasihan, tapi tak ada yang bisa kulakukan.
Aku menutup jendela, dan Cynthia menatapku dengan pandangan penuh belas kasih.
“Jangan-jangan kau juga kena Penyakit Dungeon?”
“Tentu tidak.”
Aku bukan anak kecil yang takut pergi ke toilet di tengah kegelapan. Hanya saja aku tahu aku takkan selamat. Bertemu dengan goblin saja akan jadi akhir bagiku. Hidupku memang tak berarti, tapi aku tak berniat bunuh diri. Satu-satunya hal yang membuatku tetap hidup adalah ksatria putriku.
“Aku akan tunjukkan padamu kalau aku masih bisa bertarung.”
Dengan pernyataan itu, aku merangkul Cynthia. Tak lama kemudian, suara desahan erotis memenuhi ruangan. Kali kedua ini terasa lebih lancar, dan reaksinya pun semakin menggairahkan. Dia menggenggam erat seprai sambil terus mendesah. Setelah semua siap, saat aku merasa sudah waktunya, dia tampak mencapai puncaknya, menendang meja samping dengan kakinya yang putih. Piring berisi tumbuhan yang terbakar jatuh dengan suara nyaring.
“Ups.”
Aku melepaskan Cynthia dan membetulkan meja di samping. Untung saja piringnya tidak pecah, tapi kalau sampai kebakaran, itu bisa jadi masalah besar.
“Hm?”
Aku melihat ke bawah tempat tidur dan menemukan sebuah keranjang berisi pakaian wanita, mungkin milik Cynthia. Di atas pakaian itu, ada kalung berbentuk aneh yang diletakkan dengan hati-hati.
“Hey, kenapa berhenti? Ayo lanjutkan”
Cynthia memanggilku dengan suara manja sambil berbaring telentang. Aku mengambil kalung itu.
“Ini milikmu?”
“Iya, aku dapat dari gereja di belakang sana. Ini jimat keberuntungan.”
“Itu dari agama Dewa Matahari, bukan?”
“Ya. Aku berharap suatu saat aku akan menerima ‘Wahyu.’”
Sepertinya tubuh Cynthia sudah mulai mendingin dari kehangatan sebelumnya, dia bangkit dari tempat tidur dengan malas.
Menurut mitos, Dewa Matahari adalah salah satu dewa yang menciptakan dunia ini. Dia sangat kuat, hampir tak terkalahkan di antara para dewa, tetapi karena kekuatannya yang luar biasa, dia akhirnya dikucilkan dan disegel bersama istananya oleh para dewa lainnya. Karena dia tak bisa bergerak, dia mengirimkan ‘Wahyu’ kepada para pengikutnya. Siapa pun yang menerima wahyu itu akan mendapatkan kekuatan mukjizat, seperti kebijaksanaan, penemuan teknologi baru, atau kekuatan fisik yang luar biasa. Banyak yang beriman kepadanya demi mendapatkan keajaiban ini. Bahkan, ada dua gereja di kota ini yang mengajarkan ajarannya.
“‘Dewa Matahari melihat semuanya, Sol Nia Spectas,’”
Cynthia mengucapkan doa yang sering dipanjatkan dalam agama Dewa Matahari. Kata-kata itu diucapkan dalam bahasa kuno dari benua lain, sebagai bagian dari doa resmi.
“Kalau memang benar dia melihat semuanya, itu menyeramkan, ya. Rasanya seperti ada yang mengintip,”
Cynthia tertawa, suaranya terdengar serak. Aku tidak ikut tertawa. Sebaliknya, aku memungut pakaianku yang tergeletak di lantai dan mulai berpakaian.
“Eh, kenapa?”
“Maaf, aku baru ingat ada urusan yang harus diselesaikan. Aku akan datang lagi nanti.”
“Tapi waktunya belum habis...”
Dia menjawab dengan nada kecewa, sambil melirik tumbuhan di atas piring kecil yang masih membara, meskipun sudah hampir habis. Aku mengambil kendi berisi air dan menuangkannya ke piring tersebut, memadamkan api yang tersisa.
“Waktu sudah habis”
Meninggalkan Cynthia yang tampak kecewa, aku keluar dari kamar. Setelah menutup pintu, aku menghela napas panjang. Sebenarnya, Cynthia bukan orang jahat, tapi mungkin aku tidak akan kembali lagi ke sini. Aku tidak ingin mengingat pria brengsek itu saat sedang bersama seorang wanita.
Sebelum keluar dari rumah bordil, aku berhenti di sumur di halaman belakang untuk membasuh diri. Malam sudah tiba, langit gelap gulita. Meski mengenakan mantel dengan tudung, angin dingin membuat tubuhku menggigil. Aku menarik tudung ke atas kepala dan melanjutkan perjalanan pulang dengan membungkukkan badan, saat itu aku melihat ke gang di sebelah.
Ternyata Alan masih di sana. Meski tubuhnya babak belur, dia masih bernafas.
“Kau baik-baik saja?”
“...Pergi sana, dasar lelaki tak berguna.”
Dia rupanya tahu siapa aku. Rupanya aku sudah cukup terkenal. Jika dia masih bisa mencaci maki, berarti dia belum sepenuhnya hancur.
“Kau berasal dari mana?”
“Apa?”
“Kau bukan dari kota ini, kan? Aku tanya, kau dari mana asalmu?”
Bisa kutebak, dia pasti datang ke kota ini dengan harapan bisa meraih kekayaan instan.
“...Baradel.”
“Ah, negara tetangga.”
Baradel adalah negara yang terletak di selatan Kerajaan Reyfield, tempat berdirinya Grey Neightbor. Negara itu terkenal dengan pertanian dan produksi anggurnya. Beberapa makanan yang ada di kota ini juga diimpor dari sana.
Aku mengeluarkan selembar kertas dari saku, lalu mencoret-coret dengan potongan arang yang kutemukan. Aku menyerahkan kertas itu ke tangan Alan yang penuh dengan bintik-bintik hitam.
“Di timur, ada orang tua bernama Toby di Jalan ‘Blue Dog’. Dia ahli dalam membawa orang seperti kau keluar dari sini. Tunjukkan kertas ini dan katakan dari Matthew. Dia akan membantumu keluar dari kota ini.”
Kota ini, ‘Grey Neightbor’, dikelilingi oleh tembok tinggi. Untuk keluar, kau harus melalui gerbang, dan tentu saja ada penjaga di sana. Meski penjaganya tidak terlalu cerdas, mereka tidak akan membiarkan pecandu narkoba seperti Alan lewat begitu saja, apalagi tanpa uang.
“Apa maksudmu?”
“Pulanglah ke negaramu. Sembuhkan dirimu perlahan-lahan. Tempat ini bukan untukmu.”
“Bukan urusanmu.”
Alan kemudian melirik kertas di tangannya. Tertulis hanya satu kata, “Keluar.”
Alan bersandar pada tembok, tampak pasrah.
“Ini bukan uang?”
“Apa aku terlihat seperti orang yang ceroboh?”
Jika aku memberinya uang, pasti akan langsung dipakai untuk membeli obat. Bahkan tidak sebanding dengan taruhan. Toby yang kukenal akan mengenali tulisanku dan tahu cara menolong Alan.
“Ini tambahan,”
Aku berkata sambil memberikan sebungkus kecil kacang almond. Aku yakin dia belum makan apa-apa seharian. Dengan perut kosong, dia tidak akan bisa berpikir jernih.
“Selamat tinggal. Jangan sia-siakan hidupmu,”
Aku meninggalkan Alan begitu saja. Selama dia hidup, dia masih punya kesempatan untuk memperbaiki nasibnya. Setidaknya lebih baik daripada mati di jalanan.
“Kau...”
“Jangan salah paham. Ini bukan karena kebaikan hati. Aku hanya tidak ingin melihat orang sepertimu berkeliaran di sini”
“Matanya Nona Ksatria akan ternodai jika melihat orang seperti dirimu. Jika kau ingin mendapatkan kehormatan bertemu dengannya, pastikan kau menjadi orang yang lebih baik dulu.”
Aku tidak berhenti berjalan. Aku juga tidak berbicara. Tidak perlu memberi tahu mereka bahwa aku sudah menyadari keberadaan mereka. Itu tindakan bunuh diri. Aku berpura-pura mengingat sesuatu yang tertinggal dan perlahan berbalik arah di tempat yang agak jauh.
Aku berharap cara ini berhasil, tapi ternyata harapanku terlalu naif.
Pengemis yang berbaring di pinggir jalan tiba-tiba bangkit.
Dia melemparkan selimutnya. Yang muncul adalah seorang pria berwajah tirus, sekitar tiga puluhan tahun. Janggutnya tumbuh jarang, dan kulitnya yang pucat membuatnya terlihat tak menarik, tapi tatapan matanya sangat keruh, seperti lumpur busuk. Ini jelas tatapan seseorang yang pernah membunuh. Dia mengenakan baju besi kulit dan sarung tangan, dan yang lebih penting, dia menggenggam belati di tangannya.
Dari belakang, aku juga merasakan gerakan.
Di ujung penglihatanku, seorang pria pendek muncul dari gang. Dia juga mengenakan baju besi kulit, dan sepertinya juga menggenggam senjata. Wajahnya ditutupi kain, tapi matanya memancarkan niat membunuh yang sama, lengket dan pekat.
“Bukankah baju seperti itu membuatmu susah tidur?”
Aku berkata sambil mengalihkan pandangan ke pria berwajah tirus. Aku mencoba sebisa mungkin terlihat tidak sadar dengan situasi yang sebenarnya.
“Aku sedang buru-buru. Kalau tidak segera pulang, istriku akan memarahiku. Kalau kau ada urusan, cepatlah bicara.”
Tidak ada jawaban. Pria berjanggut tipis itu hanya mengalihkan pandangannya ke lengan dan kakiku, seolah mencari celah, sambil mengabaikan omonganku.
“Aku mengerti,”
Aku perlahan memasukkan tanganku ke saku dan melemparkan dompetku. Dompet itu jatuh di kaki pria tersebut.
“Itu yang kau inginkan, kan? Ambil saja.”
Pria berjanggut tipis itu mulai bergerak. Dia melangkah lebar, mendekat dan membungkuk untuk mengambil dompet.
Saat itu juga, pria di belakangku bergerak. Saat aku menoleh, pria pendek itu meloncat seperti laba-laba, mengayunkan belatinya ke arahku.
Aku menjatuhkan diriku ke samping dan berguling di jalan. Aku bisa mendengar suara tajam pisau menggores batu. Aku cepat-cepat bangkit di dekat dinding, tapi pria berjanggut tipis sudah menyerang lagi. Dia mengayunkan belati di pinggangnya dan menyerbu dengan seluruh tubuhnya.
Cahaya perak dari belati itu berkilau. Seperti ular yang ingin menggigit, aku menunggu momen yang tepat dan menggeser tubuhku ke samping. Suara tumpul terdengar. Saat menghindar, aku melihat sekilas belati itu tertancap hingga pangkalnya di dinding batu. Pria berjanggut tipis itu terlihat kesal dan menendang dinding untuk menarik belatinya kembali.
Beberapa batu dari dinding yang tersusun saling bertumpuk jatuh dengan suara gedebuk. Para pengemis yang tadinya tidur di jalan lari ketakutan, enggan terlibat.
“Kebakaran! Kebakaran!”
Aku berteriak. Ini adalah cara terbaik untuk memanggil orang. Jika aku berteriak perampokan atau pembunuhan, mereka akan tetap bersembunyi di dalam rumah. Kecuali kalau bokong mereka benar-benar terbakar.
Seperti yang kuduga, ada suara kegaduhan dari beberapa rumah di sekitarnya.
Aku bisa mendengar suara peluit. Peluit pendek berulang-ulang yang semakin dekat ke arahku. Itu peluit panggilan yang biasa digunakan para penjaga kota.
Ada sedikit keraguan di mata pria pendek itu. Memanfaatkan kesempatan itu, aku menjauh dari mereka berdua. Suara peluit itu semakin keras.
Pria berjanggut tipis menggeram kesal dan segera berbalik, berlari ke dalam gang. Pria pendek itu mengejarnya. Mendengar suara langkah kaki mereka yang semakin jauh, aku bersandar ke dinding dan duduk, menghela napas panjang. Tak lama kemudian, dua penjaga berlari mendekat. Keduanya mengenakan helm abu-abu dan pelindung dada dari pelat baja. Di bawahnya, mereka mengenakan baju rantai yang menimbulkan suara gesekan logam saat mereka bergerak.
Salah satunya pria berjanggut pendek berusia empat puluhan, dan yang lainnya pria berkulit gelap, mungkin sekitar dua puluhan. Aku sering melihat mereka, tapi tidak tahu namanya.
“Lagi-lagi kau,”
Pria berjanggut pendek itu berbicara dengan ekspresi kesal. Sepertinya dia masih mengingat insiden beberapa waktu lalu ketika aku muntah di kakinya karena mabuk.
“Apa yang terjadi?”
Pria berkulit gelap itu bertanya deangan suara serak, sangat khas sehingga mudah diingat.
“Tidak ada yang penting,”
Aku mengangkat bahu.
“Sepertinya mereka mengira aku aktor teater besar. Seorang wanita pirang mendatangiku dengan perut terbuka, meminta tanda tangan. Baru saja kami menyelesaikan kesalahpahaman itu, dan dia pergi sambil menutupi perutnya. Kalau kau melihatnya, katakan padanya untuk memakai sabuk perut biar tidak masuk angin.”
Si kulit gelap tampak jijik.
“Kau yang berteriak kebakaran tadi, kan?”
“Siapa yang tahu,”
Aku menjawab berpura-pura tidak tahu. Aku tidak ingin terjebak karena laporan palsu dan berakhir di penjara. Penjaga-penjaga ini bertugas menjaga keamanan kota, menangkap pelanggar, dan semacamnya. Tapi melihat keadaan kota ini, kita bisa menilai bagaimana mereka bekerja.
“Aku pikir para pengemis di sana tadi cukup bersemangat. Mungkin ada sesuatu yang terbakar.”
Pria berjanggut pendek itu kehilangan minat dan memalingkan wajahnya. Sepertinya dia menganggap omonganku sebagai ocehan orang mabuk. Memang, aku sudah minum sedikit.
“Cepat pergi.”
“Baiklah.”
Aku berdiri, menepuk debu di punggungku, lalu mengambil dompet yang jatuh di jalan.
“Ini benar-benar dompetku. Aku tadi menjatuhkannya. Serius.”
Merasa tatapan mencurigakan dari para penjaga, aku cepat-cepat memasukkan dompet itu ke sakuku dan berlari.
Aku masuk ke kamarku. Di ruangan dengan jendela kayu itu ada tempat tidur dan kursi. Di lantai, pakaian yang baru saja kupakai pagi ini tergeletak. Nanti pagi tukang cuci akan datang, jadi aku bisa menyuruhnya. Aku meletakkan lilin di atas kursi, lalu menjatuhkan diriku ke tempat tidur. Hari ini melelahkan. Yang terbaik adalah segera tidur. Alwyn juga tidak ada, jadi tidak perlu melayaninya. Begitu aku menutup mata, kantuk segera menyelimuti.
Aku membuka mata dan mendapati bahwa suasana masih gelap. Dari udara luar dan cahaya yang masuk melalui celah jendela, aku bisa menduga bahwa ini masih sebelum fajar. Sejak dulu aku memang mudah tertidur. Jika tidak ada tugas khusus, aku bisa tidur nyenyak sampai pagi, tapi kali ini aku terbangun karena ada suara dari lantai bawah. Aku menutup mata dan mendengarkan. Memang benar ada seseorang di depan rumah. Tidak ada teman yang datang ke rumah ini. Lagipula, ini bukan waktu untuk menerima tamu.
Pencuri, mungkin? Begitu aku waspada, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu.
“Aku dari Guild Petualang. Tolong bukakan pintu.”
Saat aku tidak menjawab, mereka mengetuk pintu lagi dan mengulangi perkataan yang sama. Aku menghela napas. Dengan hati-hati agar tidak membuat suara, aku membuka jendela kayu.
Dari kamarku, pintu depan terlihat dari sudut miring ke bawah. Aku memperhatikan pengunjung dengan menyipitkan mata. Dua pria berdiri di depan pintu, dengan kepala tertutup tudung hitam. Salah satu dari mereka memegang lentera dan mengetuk pintu. Meskipun suaranya disamarkan, aku segera mengenali mereka sebagai dua orang yang kulihat sebelumnya. Aku mulai memikirkan rencana ke depan. Aku turun ke bawah dan berbicara melalui pintu.
“Apa keperluanmu?”
“Sungguh darurat. Sang Ksatria Putri terluka di dalam ‘Dungeon’ dan ingin bertemu denganmu. Kami disuruh memanggilmu. Segera datanglah.”
“Baik”
“Aku akan segera bersiap. Tunggu sebentar.”
Aku bergegas naik tangga kembali dan menuju kamar Sang Ksatria Putri. Pintu tidak terkunci.
Dengan lilin di tangan, aku mengobrak-abrik isi kamar, mengumpulkan barang-barang yang penting dan yang tak boleh terlihat oleh orang lain, lalu kumasukkan ke dalam karung goni. Karena ringan, aku bisa menggendongnya meski tidak terlalu kuat. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, aku turun kembali dan keluar melalui pintu belakang dapur.
Meskipun aku sudah berhati-hati, naluri mereka ternyata cukup tajam. Aku mendengar langkah kaki berlari dari arah pintu depan. Gerakanku juga lambat, jika mereka mengejarku, aku akan segera tertangkap. Tapi aku punya rencana. Di sekitar sini, banyak orang penting yang tinggal, sehingga penjaga sering berpatroli. Jika mereka sudah ketahuan tadi, mereka tidak akan mengejar lebih jauh. Benar saja, setelah berbelok dua atau tiga kali, suara langkah kaki menghilang.
Namun, aku tidak boleh lengah. Mungkin saja mereka masih menunggu. Malam ini, aku memutuskan untuk tidak kembali ke rumah dan bermalam di kedai minuman.
Saat ini, mungkin rumahku sedang diacak-acak. Membayangkan dua pria berwajah seperti babi hutan, menghirup aroma seprai di kamar Sang Ksatria Putri sambil menggerakkan tangan ke arah selangkangan, membuat dadaku terasa panas. Mungkin kamar lain juga digeledah, tapi aku tidak terlalu khawatir tentang itu. Pintu menuju ruang bawah tanah hampir tidak bisa ditemukan oleh orang luar, dan di gudang, tidak ada barang berharga yang tersisa. Sebagian besar sudah kutukar dengan barang murahan yang tak bernilai. Sebagai langkah antisipasi, aku diam-diam membuat kunci cadangan dan masuk tanpa diketahui. Uang hasilnya sudah habis untuk biaya minuman, pergi ke rumah bordil, dan kebutuhan lainnya, tapi itu lebih baik daripada jatuh ke tangan pencuri.
Fajar pun tiba.
Jalan-jalan mulai ramai dengan orang-orang. Setelah memastikan tidak ada yang mengawasiku, aku kembali ke rumah.
Aku pikir rumahku akan diacak-acak, tapi tidak ada tanda-tanda mereka sampai ke lantai dua. Hanya ada beberapa goresan di pintu depan. Pengecut. Aku berharap mereka menghancurkan pintu gudang, agar aku bisa menyalahkan mereka atas barang-barang yang sudah kutukar.
Sambil menahan kantuk dan menguap, aku mulai menyusun rencana untuk ke depannya.
Mereka mengincar nyawaku. Dua kali dalam satu malam mereka mencoba, pasti akan ada yang ketiga kalinya. Namun, aku tidak berniat melarikan diri. Aku memiliki tugas untuk menjaga rumah. Aku juga tidak berniat meminta bantuan siapa pun, tapi menunggu saja akan menguras tenaga. Menurut rencana, Sang Ksatria Putri akan kembali lusa sore. Jika mungkin, aku ingin menyelesaikan masalah ini sebelum dia kembali.
Untungnya, aku punya petunjuk.
Aku menuju pusat kota. Di sana ada pintu masuk menuju ‘A Thousand White Night’ dan juga Guild Petualang.
Guild Petualang adalah tempat perdagangan dan lembaga pengelola petualang. Ada di berbagai kota, dan petualang yang terdaftar di guild akan diberi bintang sesuai kekuatan dan prestasinya. Tertinggi adalah tujuh bintang. Semakin banyak bintang, semakin besar pengaruh mereka di antara para petualang.
Singkatnya, mereka memasangkan kalung pada anjing liar dan saling membanggakan keindahan kalungnya.
Siapa pun yang menciptakannya, pasti orang yang cerdik, mungkin secerdik aku.
Aku melewati gerbang cabang Guild Petualang Grey Neightbor. Di depan tampak bangunan tiga lantai yang terlihat kokoh seperti benteng. Memang, jika diperlukan, tempat itu bisa digunakan sebagai tempat berlindung. Di sebelahnya, ada pos penjaga, gudang, dan tempat pembelian. Terkadang, di dalam ‘Dungeon’ ditemukan benda-benda aneh. Barang-barang berharga dan langka yang tidak bisa ditemukan di permukaan. Guild membeli barang-barang tersebut dari petualang, menjualnya kepada kolektor dan pedagang, sambil membuat para petualang merasa bangga. Keuntungan dari transaksi inilah yang menjadi pendapatan guild.
Aku masuk ke bangunan utama.
Di sebelah kanan pintu masuk, ada meja panjang. Di bagian penerimaan, pria-pria kekar dan pria dengan bekas luka di wajahnya menatap petualang dengan tatapan tajam.
Sebagian besar petualang adalah pria. Guild juga memprediksi hal ini, jadi banyak guild menempatkan wanita yang lembut sebagai penerima tamu. Namun, ada yang salah paham, mengira wanita penerima tamu itu adalah miliknya dan melontarkan kata-kata kasar, atau berpikir mereka adalah wanita penghibur dan dengan terang-terangan mencoba merayu mereka, bahkan
Mereka diam-diam mengikuti untuk memperkosa. Di daerah-daerah dengan reputasi buruk, justru pria-pria bertampang garang yang ditempatkan sebagai penerima tamu, sedangkan wanita-wanita yang jumlahnya sedikit lebih sering diberi tugas di bagian administrasi atau perhitungan keuangan. Keputusan ini berada di tangan Guild Master yang mengelola guild tersebut. Sayangnya, di sini semua penerima tamu adalah orang-orang bertampang garang. Meja penerima tamu memang kosong, tapi aku enggan bicara dengan mereka karena takut akan dipukul. Namun, aku melihat seseorang yang lebih mudah diajak bicara.
“Hai, kecil,”
Panggilku ke arah belakang meja penerima tamu. Seorang gadis berambut perak menoleh. Dia mengenakan gaun hitam dengan sabuk kulit yang melingkari pinggangnya, membentuk lekukan. Umurnya sekitar tiga belas atau empat belas tahun. Wajahnya cantik dan rapi, gadis yang punya masa depan cerah. Saat ini dia sudah cukup manis, tapi aku bukan seseorang yang punya selera terhadap gadis muda. Aku hanya memilihnya karena dia paling dekat dan paling mudah diajak bicara.
Si kecil melirik ke arahku. Dia sedikit menggembungkan pipinya, lalu kembali membaca surat yang dipegangnya.
“Jangan abaikan aku. Hei,”
Aku berkata sambil mengambil kerikil kecil dan melemparkannya. Batuan itu mengenai punggungnya.
“Hentikan!”
Serunya sambil berlari mendekati meja penerima tamu.
“Kamu tidak lihat aku sedang sibuk? Jangan ganggu!”
“Kamu cuma duduk dan membaca surat saja”
“Itu dari siapa?”
“Itu bukan urusan Matthew”
“Kau memang dingin, ya. Tapi, meskipun aku nggak bertanya, aku tahu dari siapa surat itu. Wajahmu kelihatan senang sekali.”
“Dan aku bukan anak kecil lagi.”
“Baiklah, April. Aku minta maaf.”
Aku meminta maaf dengan tulus karena telah melukai harga diri gadis itu. Meskipun dia tidak tampak cocok di Guild petualaang yang dipenuhi orang kasar, dia punya kekuatan untuk memenggal kepala para petualang jika dia mau. Bagaimanapun, dia adalah cucu kesayangan Guild Master.
“Aku kesal karena kalah adu panco darimu waktu itu. Jadi, aku bertingkah kekanak-kanakan. Maafkan aku. Tidak dewasa, ya. Maafkan.”
April tersenyum masam sambil berkata
“Yah, jangan buat keributan lagi. Aku juga nggak bisa terus-menerus melindungimu, tahu.”
“Iya, iya.”
Dia sering mengunjungi tempat kerja kakeknya karena menganggapnya sebagai taman bermain. Meskipun dia belum cukup umur untuk bekerja sebagai staf, terkadang dia membacakan tulisan untuk petualang yang tidak bisa membaca, atau menuliskan surat untuk mereka. Mungkin dia berniat membantu, tapi setiap kali dia datang, staf lainnya selalu terlihat ketakutan. Mereka khawatir kalau wajah manisnya terluka sedikit saja, kepala mereka akan dipenggal. Maksud yang mana, terserah imajinasimu.
“Itu surat, kan? Boleh aku baca juga nanti?”
“Eh, gimana ya...”
Dengan nada menggoda, dia mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Ini kan surat yang ditujukan untukku.”
“Ayolah, siapa tahu ada sesuatu tentangku. Mungkin dia tulis, ‘Aku rindu Matthew,’ atau ‘Aku ingin jadi dewasa seperti Matthew suatu hari nanti.’“
“Tidak mungkin ada yang begitu!”
Dia menarik telingaku sambil berkata
“Jangan bicara bodoh.”
“Sakit, oi.”
“Itu balasan untuk tadi.”
Saat dia hendak kembali ke belakang, aku buru-buru menghentikannya. Hampir saja aku lupa urusan asliku.
“Maaf, tapi bisa panggilkan Dez?”
April mendesah
“Sudah kuduga.”
“Ya, ya. Yang paling tinggi di guild ini, dengan kaki panjang dan kulit halus, si Des. Pasti pemandangan yang langka, ya. Kamu mungkin tidak tahu, tapi dia selalu terburu-buru mendatangiku saat aku tiba dan memberiku ciuman di pipi.”
“Des lagi di luar, di tempat pembongkaran. Jadi, jangan ganggu.”
Dia mengabaikan ceritaku dan menunjuk ke luar sambil kembali membaca suratnya.
“Panggilin dong. Aku tidak kuat lihat hal-hal berdarah.”
“Tunggu saja, dia bakal datang.”
Dia menjawab dingin dan menghilang ke balik sekat di belakang konter, tampaknya ingin membaca surat itu lebih tenang. Tidak ada cinta di sini. Pendidikan dari kakeknya memang buruk.
“Yah, tidak ada pilihan.”
Saat aku hendak pergi dari meja, tiba-tiba terdengar suara berat dari belakangku. Ketika aku berbalik, seorang pria berkulit gelap dengan kepala botak berdiri di depanku. Aku tidak salah lihat—dia benar-benar botak.
“Hai, Matthew. Jarang-jarang kau datang.”
Namanya, kalau aku tidak salah, adalah Bill. Dia sedikit lebih pendek dariku, tapi tubuhnya kekar. Dia membawa pedang tebal di pinggangnya. Baju zirah hitamnya penuh goresan, dan catnya mengelupas di sana-sini. Di dadanya tergantung tanda Guild petualang , Guild. Bintang empat.
Ada aturan untuk kenaikan peringkat petualang. Aku lupa syarat pastinya, tapi saat mencoba naik ke bintang empat ke atas, syaratnya jauh lebih ketat. Kebanyakan petualang hanya mencapai bintang tiga. Sebelum naik lebih tinggi, mereka biasanya mati atau pensiun. Jadi, kalau dia bintang empat, pria botak ini pasti cukup terampil.
Di kakinya tergeletak seekor beruang hitam berkaki enam. Dark Grizzly. Panjangnya sekitar dua yul (sekitar 3,2 meter). Makhluk ini sering muncul di lantai delapan atau sembilan ‘A Thousand White Night’. Petualang pemula akan dimakan hidup-hidup oleh monster ini. Dari baunya, sepertinya hewan ini belum lama mati, karena darah hitam kemerahan masih mengalir dari punggungnya, membasahi lantai guild. Kulitnya mahal.
Kurasa dia tidak repot-repot membawa bangkai sebesar ini sendiri. Mungkin dia menggunakan ‘pengangkut’. Selain petualang, ada juga yang masuk dungeon untuk membawa keluar bangkai monster, disebut ‘pengangkut’. Ada juga yang disebut ‘penjual’, menjual barang-barang seperti obat atau lentera di dalam dungeon. Mereka semua bagian dari guild.
“Bukannya di sini dilarang bawa peliharaan?”
“Kau masih saja bawel, ya. Sialan.”
Bill mengangkat kerah bajuku, lalu menyeringai dengan penuh kemenangan.
“Datang ke sini meskipun bukan petualang. Apa kau ke sini untuk ngorek-ngorek sampah? Bajingan rendahan.”
“Sebaiknya jaga mulutmu.”
Aku dengan tulus menasihatinya.
“Di sini ada wanita muda yang masuk keluar guild. Kalau mereka ketularan bicaramu, lidahmu bisa dipotong oleh kakek galak yang menjaga mereka.”
“Hah! Kalau aku takut sama kakek, mana mungkin aku masuk dungeon.”
Dia menjulurkan lidah merahnya di depan hidungku.
“Ngomong-ngomong, nafasmu bau.”
Tinju Bill melayang ke arahku. Aku bermaksud menghindar, tapi jaraknya terlalu dekat. Tinju itu mengenai pipiku. Meski merasa bergerak secepat angin, tubuhku terasa lambat seperti terperangkap dalam lumpur.
“Jangan kurang ajar, pecundang!”
Saat aku tergeletak, kakinya menghantam perutku. Dia menekan tubuhnya dengan kuat, membuatku sulit bernapas.
“Tanpa Putri Ksatria itu, kau cuma sampah. Sialnya, wanita itu sekarang ada di dungeon.”
“Aku tahu.”
Aku menutup hidungku.
“Tapi yang baru saja kutahu adalah kakimu baunya seperti anjing liar yang nggak pernah mandi.”
Sepatu botnya kembali menendang, kali ini tepat di ulu hatiku. Napasku tersumbat.
Meski ada banyak petualang di sekitarku, tak satu pun mencoba menghentikan perkelahian ini.
Bagi mereka, perkelahian adalah hal biasa. Kalau seseorang mati, mereka cukup membuang mayatnya ke ‘A Thousand White Night’. Guild tidak peduli dengan urusan antar petualang. Jika satu atau dua orang mati, masih banyak penggantinya. Sebaliknya, jika petualang membuat masalah di kota, guild akan bertindak tegas.
Aku sangat dibenci oleh semua orang di Guild Petualang.
Alasannya sederhana. Mereka mengira bahwa aku adalah penyebab rumor buruk tentang sang Ksatria Putri—”pelacur” dan “wanita jalang”—terus beredar. Petualang lain sering mengejekku, tapi aku hanya tertawa kecil dan tidak melakukan apa-apa. Bahkan staf di belakang meja hanya melirikku sesekali dari sudut mata mereka, tanpa berniat untuk ikut campur.
Aku bukan orang biasa, dan aku juga tidak punya dukungan dari orang kaya atau berkuasa. Mereka tidak akan menyerangku secara terbuka karena takut pada Ksatria Putri, tapi juga tidak akan membantuku. Begitulah “kedermawanan” yang luar biasa dari organisasi ini.
“Ayo berdiri. Mulutmu saja yang besar, ya?”
Bill berkata sambil meraih kepalaku dan menariknya ke atas. Dia bahkan meludah ke arahku, dan ludahnya mengenai bagian atas mataku, menetes pelan melewati kelopak mataku.
“Apa yang kamu lakukan?”
Dari kejauhan, April berlari mendekat. Dia sering bekerja di panti asuhan, merawat anak-anak yatim dan mengajari mereka. Dia memang anak yang baik hati.
“Kakekmu bilang dilarang bertengkar, kan? Mengganggu orang yang lemah, sungguh memalukan. Apa kamu masih pantas disebut petualang?”
Bill tampak ragu. Dia tahu apa yang akan terjadi jika dia melawan April, dan dia cukup pintar untuk tidak gegabah.
“Ini berbahaya. Jangan terlibat,”
Para staf guild buru-buru membawa April ke belakang.
“Tunggu sebentar! Kalau begini terus, Matthew akan...”
Suara April terdengar semakin jauh saat dia dibawa ke belakang. Sekarang, aku benar-benar sendirian.
“Sial sekali,”
“Coba minta ampun. Mungkin kamu bisa mulai dengan menjilat sepatu ini,”
Dia tertawa dengan keji
“Atau, biarkan aku mencicipi si Ksatria Putri itu.”
Aku langsung tahu maksudnya bukanlah tentang bermain dart atau berdansa.
“Aku tidak terlalu hebat dalam hal itu,”
“Sama seperti ibumu, mungkin.”
Pukulan keras menghantam hidungku, menimbulkan rasa sakit yang menusuk. Kemudian, Bill membenturkan kepalaku ke lantai guild, berkali-kali seperti bola. Saat aku mulai merasa pusing, dia menginjak wajahku.
“Berhenti ngomong omong kosong, bajingan!”
Bill berteriak, memindahkan berat badannya ke kakiku.
“Coba katakan lagi, kalau berani.”
“Ada sedikit salah paham,”
Aku berbicara sambil mengangkat kedua tangan,
“Mungkin tadi aku kurang tepat menyampaikannya. Aku minta maaf. Tolong maafkan aku.”
Guild petualang meledak dalam tawa. Bill melepaskan kakinya dari wajahku.
Sambil duduk, aku mengusap wajahku dan berkata
“Sebenarnya, begini yang ingin aku katakan.”
Aku menatap wajah Bill dengan tenang.
“Saat ini, ibumu mungkin sedang berpesta dengan segerombolan orc dan goblin. Mungkin dia menghisap alat kelamin mereka sambil menggoyangkan pinggulnya. Bagaimana kalau kamu pulang dan ikut bergabung? Mungkin adik atau kakak barumu yang bertanduk sedang menunggumu di rumah, ‘Kakak!’“
Guild mendadak sunyi. Sepertinya leluconku tidak diterima dengan baik. Aku melirik ke arah belakang meja dan melihat April berkedip kebingungan, sementara seorang staf wanita di belakangnya menutup telinganya. Bagus, mereka benar-benar bekerja dengan baik.
Bill, satu-satunya orang yang memahami leluconku, wajahnya memerah penuh amarah. Sambil meraba-raba kata-kata, dia menghunus pedangnya.
Namun, sebelum dia sempat melakukan sesuatu, tubuh Bill tiba-tiba terangkat ke udara dan menghantam langit-langit dengan suara gemuruh. Sekali lagi, guild menjadi sunyi.
Seseorang dengan tubuh pendek muncul, sambil mengibaskan serpihan langit-langit dari bahunya. Wajahnya tampak kesal.
“Jangan bawa binatang yang belum dikeringkan ke dalam sini,”
Sosok itu berkata dengan nada marah.
Dia hanya setinggi pusarku, dengan kaki pendek, mengenakan kemeja tanpa lengan dan rompi kulit. Separuh wajahnya ditutupi oleh janggut hitam panjang. Benar-benar khas seorang dwarf.
“Lagi-lagi kau,”
Kata dwarf bernama Dezz dengan nada tidak suka.
“Bukankah sudah kubilang untuk tidak datang ke sini? Setiap kali kau datang, selalu ada masalah.”
Aku meraih tangan yang dia ulurkan dan berdiri.
“Kau salah. Masalah yang selalu datang padaku, seperti anjing birahi”
“Cukup ocehanmu. Apa yang kau butuhkan?”
“Aku punya beberapa pertanyaan untukmu. Ada waktu?”
Dezz melirik ke arah mayat Dark Grizzly yang tergeletak di lantai.
“Tunggu di atas. Aku akan menyusul setelah mengurus ini.”
Dezz menggulung tubuh besar Dark Grizzly seperti lipan dan mengangkatnya dengan mudah. Para petualang yang melihatnya menahan napas. Akhirnya, mereka ingat bahwa dwarf kecil ini bisa membunuh mereka hanya dengan jari kelingkingnya.
Guild petualang di setiap cabang biasanya mempekerjakan petualang tetap.
Untuk mengawasi para petualang liar, mereka membutuhkan kekuatan yang cukup besar. Ada banyak orang bodoh yang melanggar aturan atau tidak mau mematuhi perintah, terutama di antara petualang yang percaya diri dengan kekuatannya. Karena itu, petualang tetap harus cukup kuat.
Dezz dipekerjakan untuk tugas itu. Secara resmi, dia adalah staf guild, tapi dia juga bertugas menangkap atau menghukum petualang yang melanggar aturan, serta mencari orang hilang di dalam dungeon.
Kemampuannya benar-benar luar biasa. Dia pernah membunuh naga api sendirian, atau bertarung melawan pasukan zombie sepanjang malam. Kisah-kisah kepahlawanannya tidak pernah habis dibicarakan. Tanpa Dezz, mungkin aku sudah lama mati.
Aku mengikuti Dezz keluar dari guild.
“Hei, kalian di sana,”
Dezz berbalik di depan pintu. Dia berbicara pada salah satu teman Bill.
“Ya! Apa ada yang bisa saya lakukan?”
Dia menjawab sambil ketakutan dan berdiri tegak.
“Aku akan mengurus yang ini. Ambil uangnya nanti.”
“Baik!”
“Dan, bersihkan lantai itu.”
Teman Bill mengangguk berulang kali, lalu dengan tergesa-gesa merangkak di lantai, menggunakan mantelnya untuk mengelap darah Dark Grizzly.
“Oh, ada satu pesan lagi dariku.”
Sambil melihat Bill yang masih tertancap di langit-langit, aku berkata,
“Ibumu bilang kalau sekarang dia sudah tidak puas lagi dengan barang jelekmu itu. Kasihan sekali.”
“Ayo cepat.”
Sambil ditendang di tulang kering oleh Dezz, aku juga keluar.
“Jadi, apa yang ingin kau tanyakan?”
Dezz bertanya dengan wajahnya yang seperti biasa, tanpa ekspresi.
Kami berada di ruang tunggu staf Guild petualang. Ruang batu dengan kursi dan meja yang sederhana, perapian yang tidak sesuai dengan musim, dan hanya ada jendela untuk cahaya. Tidak ada yang menarik. Saat tidak ada tugas, Dezz menunggu di sini. Dengan sikap dinginnya dan kebiasaannya yang canggung, dia tidak punya teman, jadi aku sesekali menjadi teman bicara untuknya.
Rumahnya berada di sebelah selatan Guild, di sepanjang Jalan Palu Emas. Dia tinggal di rumah kecil dua lantai bersama istri dan anak-anaknya.
“Semalam aku terlibat masalah sedikit”
Ketika aku menjelaskan tentang dua kali serangan yang menimpaku. Alis Dezz sedikit bergerak.
“Aku berpikir mungkin kau tahu sesuatu. Mereka adalah petualang.”
“Buktinya?”
“Aku sudah memeriksa ingatanku, dan mereka itu orang asing bagiku. Tapi mereka juga bukan pembunuh bayaran. Mereka terlalu ribut untuk melakukan penyergapan diam-diam, namun bukan preman biasa. Mereka tahu cara menggunakan senjata, dan mereka juga pintar saat mencoba menjebakku. Mereka terlalu terbiasa dengan kekerasan.”
Kurasa mereka juga sudah pernah membunuh orang. Mereka pasti sudah melewati banyak situasi berbahaya.
“Ditambah lagi, kulit mereka putih. Badan mereka berotot, tapi tidak terbakar matahari. Di kota ini, kalau ada orang yang bisa bertarung tanpa terbakar matahari, pasti petualang. Setidaknya, itu yang harus dicurigai pertama.”
“Jadi ada yang terlibat dengan ‘Dark Paper’, ya?”
Guild Petualang memang dipenuhi oleh orang-orang kasar, tetapi secara resmi itu adalah organisasi yang sah. Pencurian atau pembunuhan tidak diterima sebagai pekerjaan. Namun, banyak orang bodoh yang mau mengambil risiko dengan sedikit bayaran lebih. Ketika petualang menerima pekerjaan ilegal tanpa melalui Guild, itu disebut “kertas gelap”. Guild Petualang biasanya mengumumkan pekerjaan melalui papan pengumuman yang ditempelkan kertas. Dari sinilah istilah itu berasal. Jika ketahuan, hukumannya berat. Dalam kasus terburuk, bisa dikeluarkan dari Guild, bahkan dieksekusi.
“Aku berpikir mungkin kau tahu orang yang terlihat seperti itu. Kalau ada orang yang bisa terseret ke dalam pekerjaan seperti itu, pasti kau tahu.”
“Kalau itu benar, ini bukan urusanmu. Laporkan ke atasan, biar aku yang menanganinya.”
Menangkap para bodoh yang terlibat dalam “kertas gelap” dan memastikan mereka tidak melakukannya lagi. Dengan kemampuan Dezz, dia bisa melakukannya dengan mudah.
“Aku tahu kau akan berkata begitu, jadi aku datang langsung ke sini hari ini”
“Serahkan masalah ini padaku.”
“Apa?”
Dezz membelalakkan matanya.
“Untuk apa?”
“Aku tidak ingin masalah ini menjadi heboh.”
Kalau dugaanku benar, ini bisa merusak reputasi Alwyn.
“Kau ini tak bisa bertarung. Bagaimana caramu menyelesaikan ini?”
Dezz tahu situasiku. Sebagai petualang maupun prajurit, aku bukan apa-apa.
“Aku punya rencana. Meski aku tidak bisa menggunakan pedang, aku bisa menemukan cara lain.”
“Mundur saja.”
“Ayolah, kumohon.”
Aku mendekat dan mulai mengelus janggut Dezz.
“Apa kau benar-benar mau mempertaruhkan nyawamu hanya dengan gaji Guild yang rendah? Ayo, kita kan teman.”
“Jangan sentuh!”
Dezz menepis tanganku dan mengacungkan jarinya yang kecil tepat di depan hidungku.
“Dengar baik-baik. Ada dua hal yang ingin kukatakan padamu. Pertama, jangan sentuh janggutku. Dan yang kedua, jangan sentuh janggutku, dasar bodoh!”
“Baiklah, maaf.”
Aku mengangkat tanganku.
“Jujur saja, aku iri padamu, tahu. Walau aku memanjangkan janggut, tidak akan pernah selebat punyamu.”
Dezz masih terlihat marah, bahunya terangkat dan tangannya mengepal.
Aku harus berhati-hati. Kalau Dezz memukulku sekarang, aku pasti mati.
“Tolonglah, Dezz.”
Aku memutuskan untuk mengganti pendekatan.
“Siapa yang harus kau syukuri karena bisa punya istri cantik dan anak-anak? Siapa yang membuatmu bisa mendapat ciuman setiap pagi sebelum berangkat ke Guild? Siapa yang membuatmu bisa makan roti hangat setiap pagi? Siapa yang membuatmu bisa menggendong anak-anak lucumu setiap pulang ke rumah?”
Dari dulu, meskipun Dezz sangat kuat dan berani, dia selalu gagal soal urusan wanita. Dia bahkan tidak bisa berbicara dengan wanita yang dia suka. Dia hanya terus membeli barang-barang tak berguna dari toko besi tempat wanita itu bekerja. Dia benar-benar canggung.
Melihat itu, aku yang akhirnya mempertemukan mereka.
Wajah Dezz memerah. Bukan karena marah, tetapi karena malu. Dia tidak bisa memukulku, akhirnya dia mengendurkan kepalan tangannya dan menopang dagunya dengan tangannya.
“Jangan mengungkit masa lalu.”
“Kau baru boleh bilang begitu setelah kalian bercerai.”
Meski aku tahu itu tak akan pernah terjadi.
Dezz menggerutu dan duduk kembali di kursinya. Kakinya yang pendek menggantung, mengayun-ayun seperti anak kecil.
“Keluarga Aston.”
Butuh beberapa saat bagiku untuk mencerna apa yang dia katakan.
“Apakah mereka yang menyerangku?”
“Kalau ceritamu benar.”
Dezz mengelus janggutnya, berusaha menenangkan perasaannya yang terganggu.
“Mereka selalu bersama. Yang kecil itu kakaknya, Nathan. Yang berjanggut berantakan adalah adiknya, Neil.”
Jadi yang lebih kecil adalah kakaknya.
“Mereka punya reputasi buruk di Guild. Sering mengganggu petualang lain. Mengklaim kalau orang lain mencuri buruannya, atau bersikap tidak sopan. Ada beberapa pendatang baru yang dihancurkan oleh mereka. Karakternya memang buruk, tapi mereka cukup terampil. Mereka semua bintang tiga.”
Bintang tiga berarti mereka sudah dianggap sebagai petualang yang layak.
“Belakangan ini mereka bahkan belum masuk ke ‘Dungeon,’ tapi uang mereka tidak terlihat buruk. Ada desas-desus bahwa mereka berhubungan dengan orang-orang dari dunia bawah, jadi mereka mungkin terlibat dalam lebih banyak hal selain hanya ingin memenggal kepalamu.”
“Kalau kamu sudah tahu sebanyak itu, kenapa tidak menangkap mereka?”
“Tidak ada buktinya,”
Dezz menjawab sambil menggelengkan kepala dengan malas.
“Tidak ada insiden perampokan yang terjadi akhir-akhir ini, dan aku sudah mengunjungi beberapa penadah, tapi tidak ada yang mencurigakan yang datang. Jika itu bukan perampokan, mungkin pembunuhan, tapi orang-orang hilang secara tiba-tiba di kota ini bukan hal yang aneh. Mungkin ada yang melarikan diri karena utang, atau mungkin sudah dibunuh dan dibuang ke ‘Dungeon’. Kalau mereka bilang mereka punya uang yang disimpan, maka itu bisa jadi alasannya.”
Dengan janggut lebatnya, dia sudah menyelidiki cukup banyak. Dia mungkin sudah mondar-mandir ke sana kemari dengan kaki pendeknya, meski gajinya tidak seberapa. Dia orang yang rajin dan penuh tanggung jawab.
“Baiklah, terima kasih atas kerja kerasmu. Terima kasih atas kerjasamamu.”
Aku bangkit berdiri.
“Di mana mereka tinggal?”
“Di ‘Twin Golden Sheep Inn’,” jawabnya.
Itu adalah penginapan murah untuk petualang. Kotor, berangin, dan hanya butuh dua ratus langkah dari jalan utama di mana Guild berada, melalui jalan yang berliku-liku.
“Terima kasih.”
Aku melempar koin perak dari dompetku, memastikan koin itu mendarat di telapak tangan besarnya sebelum berkata.
“Ngomong-ngomong, jika mereka muncul, tolong tahan salah satu dari mereka sebentar. Alasannya bisa apa saja, selama kamu bisa membeli waktu. Sampai nanti.”
“Heh, aku belum bilang akan–”
Tanpa menunggu Dezz menyelesaikan kalimatnya, aku meninggalkan ruangan. Bagaimanapun, dia pasti akan melakukannya. Dezz memang orang seperti itu.
‘Twin Golden Sheep Inn’ memiliki lantai pertama yang berfungsi sebagai ruang makan dan bar, sementara lantai kedua memiliki enam kamar. Pemiliknya adalah seorang lelaki tua yang usianya sudah melewati tujuh puluh tahun. Rambutnya sudah berubah menjadi abu-abu, punggungnya membungkuk seperti punggung sapi, dan pendengarannya sudah sangat buruk sehingga ia hampir tidak bereaksi terhadap suara apapun, selalu tertidur di balik meja kasir. Hal ini membuatku lebih mudah untuk melihat daftar tamu tanpa dia sadari.
Kamar Neil dan Nathan terletak di ujung lantai dua. Untungnya, mereka berbagi kamar. Saat ini, siang hari, jadi tempat itu sepi. Saat malam tiba, para petualang yang baru kembali dari Dungeon ‘A Thousand White Night’ akan membuat tempat itu riuh. Mungkin itulah alasan mengapa si pemilik tua itu kehilangan pendengarannya.
Pintu kamar terkunci. Aku mengeluarkan dua potong kawat dari kantongku dan memasukkannya ke dalam lubang kunci. Teknik membuka kunci ini diajarkan oleh seorang pencuri yang kukenal dulu. Aku bukan ahli, tapi kunci penginapan murah seperti ini bisa kubuka dengan mudah.
Di dalam kamar, hanya ada dua tempat tidur, meja kayu, dan dua kursi. Balok-balok besar di langit-langit terlihat terbuka.
Ada dua karung goni yang sepertinya milik mereka. Isinya hanya lentera, tali, pisau, dan batu api—alat-alat kecil untuk petualangan. Tidak ada barang berharga. Tampaknya mereka tidak cukup ceroboh untuk meninggalkan benda-benda berharga di penginapan murah ini. Sambil mengumpat dalam hati, aku mulai bersiap.
Aku meminjam tali, membuat lingkaran besar di satu ujung, dan melemparkannya ke atas, melewati balok langit-langit. Ujung lainnya kuikat dengan kuat di sekitar pinggangku, menyesuaikan panjangnya agar tidak terlepas. Kemudian, aku memindahkan kursi ke samping pintu dan naik ke atasnya. Yang tersisa hanyalah menunggu mereka kembali.
Saat matahari mulai terbenam dan para petualang perlahan kembali dari ‘Dungeon,’ aku mendengar suara langkah kaki menaiki tangga ‘Twins Golden Sheep Inn ‘. Aku mengintip dari celah pintu dan melihat seorang pria berjanggut kasar dengan wajah kesal meludah ke tangga. Tidak diragukan lagi, dia adalah salah satu dari orang-orang yang menyerangku kemarin. Namanya Neil, kalau tidak salah.
“Sialan si kerdil itu, mengeluh tentang hal-hal sepele.”
Sepertinya Dezz telah menahannya sesuai janji. Terima kasih, teman baikku.
Aku menarik kepalaku kembali, menahan napas sambil menunggu.
Aku mendengar suara tangan menyentuh gagang pintu.
“Hei, Nathan, ayo kita minum malam ini. Panggil teman-teman kita juga.”
Pintu terbuka, dan Neil masuk.
Dia berhenti. Ada koin perak tergeletak di tengah ruangan. Umpan yang kutinggalkan.
“Apa ini?”
Neil membungkuk dan mengulurkan tangan untuk mengambilnya. Saat itulah aku mengaitkan tali di lehernya. Setelah memastikan tali itu tepat di tempatnya, aku melompat turun dari kursi. Suara berdebum terdengar.
Saat aku berbalik, Neil sudah tergantung di udara. Berhasil.
Meski kekuatanku sebanding dengan seekor serangga, tubuhku sedikit lebih besar dari rata-rata orang. Aku tidak tahu berat badanku dengan pasti, tapi mungkin dua kali lipat dari seorang putri ksatria.
Sekarang, seluruh berat tubuhku menekan leher Neil. Itu lebih dari cukup untuk mencekiknya.
Neil meronta-ronta, mengeluarkan suara erangan yang tak bisa diartikan. Dia berusaha menyelipkan jari-jarinya di antara tali dan lehernya, mencari pijakan sambil tercekik. Sementara mendengarkan suara itu, aku menutup pintu dengan kakiku.
“Halo, maaf sudah masuk tanpa izin.”
Ketika aku berbicara, mata Neil terlihat memerah karena marah.
“Kau sialan!”
Neil menendangku. Aku segera menjatuhkan diri ke belakang.
Saat tubuhku jatuh, tubuh Neil terangkat sedikit lebih tinggi. Suara jeritannya terdengar lagi.
“Kita tidak punya banyak waktu. Jadi, mari kita singkat saja.”
Aku bergerak ke belakang Neil, berhati-hati agar tidak terkena tendangan, dan menarik belati dari sarungnya di pinggangku.
“Siapa yang memerintahkanmu untuk menyerangku?”
“Apa maksudmu?”
“Jangan pura-pura bodoh.”
Aku menusukkan belati itu ke paha kanan Neil dari belakang. Pisau itu cukup tajam, jadi meski dengan kekuatanku yang lemah, aku berhasil melukai meskipun melalui pakaian.
Darah merah gelap menyembur keluar. Luka itu tidak dalam, tapi karena aku mengenai pembuluh darah besar, darah terus mengalir, merembes melalui celananya dan menetes ke lantai.
“Tolong! Seseorang!”
“Percuma.”
Aku sudah memastikan penginapan itu kosong. Kecuali lelaki tua yang setengah tuli.
Selain itu, di kota ini, perkelahian antar petualang adalah hal biasa. Tidak ada yang mau terlibat dalam masalah yang tidak menguntungkan mereka, kecuali seorang putri ksatria yang terlalu baik hati.
“Jika ini terus berlanjut, kau akan mati karena tercekik atau kehabisan darah. Mari kita bicara terbuka. Kau tidak ingin mati, bukan?”
Ketika aku menatap dari belakang, wajah Neil telah berubah merah tua. Entah karena kemarahan atau sesak napas.
“Sudah jelas.”
Neil tersenyum sinis.
“Itu putri ksatria itu. Dia merasa kau menghalangi, jadi dia memintaku untuk menyingkirkanmu.”
“Begitu ya, Sayang sekali”
Kali ini aku menggores paha kirinya. Meskipun tidak sekeras sebelumnya, darah masih mengalir dan menodai celananya.
“Dengan begini, umurmu semakin pendek”
“Aku akan membunuhmu!”
“Lihatlah. Karena kamu tidak mau bicara jujur, lantainya jadi basah. Tapi ini masih mending. Kalau begini terus, kamu akan mati kehabisan napas dan ngompol di sini. Kamu tahu? Membersihkannya cukup sulit, lho.”
“Bunuh aku...”
Neil terus meronta. Dia sudah tidak melawan lagi, bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda meminta ampun. Sepertinya dia bersikeras membawa nama pemberi tugas sampai ke dunia bawah. Ini bukan karena rasa kewajiban terhadap klien, tetapi lebih kepada kebencian terhadapku. Benar-benar berani.
“Menahan terlalu lama tidak baik, tahu. Lihatlah”
Saat aku menunjuk, Neil terkejut. Dia baru menyadari bahwa salah satu dari dua ranjang itu tampak menggembung. Di bagian bantal, ada kepala kecil yang terlihat.
“Nathan?”
“Sebelum kamu datang, dia sudah ku tidurkan dengan obat. Kalau kamu tidak mau bicara, aku terpaksa menanyakannya pada kakakmu”
Aku berpura-pura menusukkan pisau yang berlumuran darah ke arahnya.
“Dasar iblis”
“Perkenalan diri lebih baik dilakukan nanti”
Mana yang lebih baik, pria yang dibayar untuk membunuh orang tak dikenal atau aku? Neil menggertakkan gigi dengan wajah merah padam. Dia masih tidak menunjukkan tanda-tanda akan bicara. Dia mungkin curiga bahwa meskipun dia bicara, aku tidak akan menepati janjiku.
“Kamu tidak punya banyak waktu untuk berpikir”
Darah yang mengalir mulai membentuk genangan di bawah kaki Neil. Jika seperti ini, dia mungkin akan mati karena kehilangan darah sebelum aku selesai menghitung seribu.
“……”
“Jangan khawatir. Kalau kamu bicara, aku akan meninggalkan ruangan ini tanpa menyentuh kakakmu sedikit pun. Tentu saja, tidak ada orang lain di sini, jadi tidak akan ada yang datang untuk membunuhmu atau kakakmu dengan cara licik”
Setelah negosiasi yang serius dan meyakinkan dari diriku, Neil akhirnya membuka mulutnya.
“Ternyata benar”
Seperti yang kuduga, nama yang keluar adalah yang sudah kuduga sebelumnya.
“Terima kasih”
Seharusnya, di saat ini aku mengucapkan “Bodoh, aku tidak butuh kalian lagi” dan mengakhiri semuanya. Tapi aku tidak melakukannya.
Aku menggunakan pisau untuk memotong tali yang terikat di pinggangku. Dengan suara berat, Neil jatuh terjerembap ke lantai. Mungkin karena terlalu banyak kehilangan darah, dia meronta di genangan darah.
“Sepertinya dia akan mati”
Kekeras kepala yang diperlihatkannya malah membuat keadaan semakin buruk. Dia bahkan tidak punya tenaga untuk berdiri, dan meskipun sekarang dia mencoba menekan lukanya, tangannya tidak bisa bergerak dengan baik.
“Nathan...”
Neil merangkak di lantai, mengulurkan tangannya yang berlumuran darah.
“Oh, hampir saja lupa”
Aku menarik selimut dan menemukan seorang pria kecil yang terbaring dengan mata terbuka, sudah mati. Di lehernya ada bekas tali yang meninggalkan memar.
“Sepertinya aku tidak bisa mengendalikan kekuatanku. Aku mencekiknya seperti yang kulakukan padamu, tapi sepertinya tulang lehernya patah. Yah, setidaknya dia mati tanpa merasa sakit. Kamu bisa merasa tenang tentang itu”
Wajah Neil yang pucat berubah menjadi ekspresi penuh keputusasaan.
“Masuk neraka kau!”
“Terserah”
Aku membuka jendela dan membunyikan lonceng yang kuambil dari celanaku.
“Kamu pergi duluan dan tunggu aku di sana. Aku akan menyusul, mungkin dalam seratus tahun lagi?”
Tak lama kemudian, terdengar ketukan di pintu. Aku membukanya.
Orang yang muncul adalah seorang pria berpakaian serba hitam dengan topi lebar.
“Yo, sudah kutunggu, Bradley”
Aku meletakkan enam keping perak di sarung tangan hitamnya. Bradley mengangguk tanpa berkata apa-apa, lalu menghamparkan kain putih panjang di samping tubuh Nathan. Setelah memindahkan mayat Nathan ke atas kain, dia menggulungnya dan mengikatnya dengan tali.
Tentu saja, dia bukan orang biasa. Meskipun pekerjaan utamanya adalah pembuat peti mati, kini pekerjaan sampingannya jauh lebih menguntungkan. Di kota ini, mayat orang miskin atau pendatang dibuang ke dalam Dungeon ‘A Thousand White Night’. Tidak ada kuburan. Pemerintah lebih memilih membangun arena judi atau rumah bordil karena lebih menguntungkan, jadi mereka membiarkan saja.
Mayat yang dibuang itu akan hilang tanpa bekas, hanya meninggalkan pakaian mereka. Konon, 『Dungeon A Thousand White Night』 itu sendiri adalah monster raksasa yang memangsa mayat-mayat itu sebagai makanan.
Karena itulah, tidak banyak orang yang membuat peti mati, dan sebagai gantinya, muncullah bisnis pengurus mayat. Bradley akan muncul di hampir semua lokasi di dalam kota, dan tanpa peduli apakah itu pembunuhan atau bunuh diri, dia akan membuang mayat yang merepotkan itu ke dalam ‘Dungeon’. Karena dia bukan petualang, aturan guild tidak berlaku padanya.
Permintaan untuk jasanya juga banyak. Kota ini penuh dengan orang-orang kriminal, dan mayat yang harus disingkirkan selalu ada setiap hari. Karena itulah dia mendapatkan julukan ‘Penggali Kubur’. Asal kamu bisa membayar, tak ada masalah. Tidak perlu khawatir soal mulutnya, karena dia tidak bisa berbicara.
Setelah selesai menggulung tubuh Nathan, kini Bradley menghamparkan kain di samping Neil. Meski kain itu berlumuran darah, dia tidak peduli dan mulai memindahkan Neil dengan memegang kedua lengannya. Saat itulah terdengar suara erangan. Neil masih hidup.
Bradley melepaskan salah satu tangannya, mengeluarkan pisau dari balik punggungnya, dan menikam jantung Neil dua kali. Setelah memastikan dia benar-benar tak bergerak, dia menatapku dengan penuh dendam.
“Oke, oke. Biaya tambahan, kan?”
Aku menyerahkan dua keping perak lagi, dan dia mengangguk, kembali melanjutkan tugasnya dengan tenang. Sikapnya yang profesional dalam bekerja adalah kelebihan sekaligus kekurangannya.
Setelah selesai, Bradley membawa dua mayat di pundaknya dan keluar. Di luar, ada kereta kuda yang menunggu untuk mengangkut mereka ke ‘Dungeon’. Pintu masuknya dijaga oleh prajurit sepanjang waktu, tapi mereka pun mendapatkan uang tambahan dari pekerjaan ini.
“Masalahnya sekarang di sisi lain”
Bagaimanapun, mereka hanyalah pion kecil. Begitu mereka gagal, pemberi tugas pasti akan mengirim pembunuh kedua atau ketiga. Sebelum itu terjadi, aku harus bergerak lebih dulu.
Dan untuk itu, aku butuh uang. Untungnya, aku baru saja mendapatkan bantuan dari pihak ketiga yang sangat dermawan, jadi tidak ada masalah. Bahkan setelah membayar biaya pemakaman mereka sendiri, masih ada sisa. Dua dompet yang sudah kosong jatuh ke dalam genangan darah, berubah menjadi merah kehitaman saat aku menutup pintu.
Keesokan harinya menjelang senja, aku sedang minum bir di 『Bell Tavern』. Meski ini adalah kedai murahan yang tidak menawarkan minuman enak, ada satu kelebihannya. Dari sini, pintu masuk ke ‘Dungeon’ terlihat jelas. Meski pintu itu juga terlihat jelas dari Guild Petualang, aku tidak mau menarik perhatian setelah kekacauan yang terjadi baru-baru ini.
Aku sedang menunggu para putri ksatria keluar. Bukan untuk menyambut mereka dengan ciuman perayaan. Meski aku bisa melakukannya, tujuanku sebenarnya berbeda. Sesuai perkiraan, mereka seharusnya keluar sebentar lagi.
Saat cangkir bir keduaku hampir habis, gerbang ‘Dungeon’ terbuka setengah dan para putri ksatria pun keluar. Tidak ada anggota yang hilang. Mereka semua terlihat menyipitkan mata, menikmati sinar matahari setelah tiga hari di bawah tanah, tampak senang karena berhasil kembali ke permukaan dengan selamat.
Biasanya, mereka akan kembali ke guild untuk melaporkan kepulangan mereka, lalu masing-masing melanjutkan kegiatan pribadi. Namun, hari ini sedikit berbeda. Seorang anak berusia sekitar sepuluh tahun berlari ke arah mereka dan memberikan surat kepada salah satu dari mereka, yang berdiri di samping putri ksatria. Dengan wajah penasaran, orang itu menerima surat tersebut dan perlahan membukanya, tidak lupa berpindah posisi agar isi suratnya tidak terlihat. Wajahnya menegang. Dia segera melipat surat itu dan memasukkannya ke dalam sakunya. Wajahnya pucat. Sepertinya dia terkejut. Aku tahu apa yang tertulis di surat itu.
Karena akulah yang menulisnya.
Padahal hanya satu kalimat, tapi menulisnya cukup sulit. Mungkin aku perlu belajar menulis lebih baik lagi.
Aku mendengar nama itu dari Neil, tapi bisa saja itu hanya kebohongan di saat-saat terakhirnya. Untuk memastikan, aku melakukan sesuatu yang merepotkan, dan ekspresi yang sekejap tadi—seperti akhir dunia—menunjukkan bahwa dia benar-benar terlibat. Wajah yang tadinya lega kini berubah pucat pasi.
Setelah berbicara beberapa kata dengan Alwyn dan yang lain, orang itu perlahan menjauh dari kelompoknya. Mungkin untuk merencanakan langkah selanjutnya. Aku juga tidak bisa berlama-lama. Aku harus bersiap, pikirku sambil bangkit berdiri, tetapi kemudian sesuatu menabrak punggungku.
“Hei, sakit tahu!”
Seorang pemabuk dengan wajah merah mendekat sambil membawa cangkir bir. Dia mengenakan baju zirah kulit cokelat dan sebilah pedang di pinggangnya, serta tanda keanggotaan guild petualang.
Aku mencoba meminta maaf dan melewati dia, tetapi pemabuk itu meraih kerah bajuku.
“Hei, tampan, aku punya urusan denganmu.”
Tampaknya bukan kebetulan atau kecelakaan, dia sengaja menabrakku untuk memulai pertengkaran. Sepertinya dia tahu bahwa aku adalah “peliharaan” sang putri ksatria.
“Jangan lakukan itu”
“Kau tidak bisa menangani putri ksatria kami. Masih siang, lebih baik kau minum air dan tenang.”
“Jangan bercanda denganku!”
Dengan marah, pemabuk itu menarikku keluar.
Kami menuju jalan belakang toko, lorong sempit yang hanya cukup untuk dua orang dewasa berdiri berdampingan. Sinar matahari dari barat menerobos seperti pedang yang membara. Aku berdiri membelakangi matahari, berhadapan dengan pemabuk itu.
“Jika aku membuatmu tersinggung, aku minta maaf. Tapi kau juga petualang, kan? Akan merepotkan kalau kau terluka di sini, bukan?”
“Luka? Hah, luka katamu?”
Pemabuk itu tertawa mengejek sambil meraih kepalaku dan memaksanya menunduk.
“Kau pikir aku bisa terluka oleh pengecut sepertimu? Kau cuma pria besar tanpa kemampuan.”
Tampaknya dia salah paham, mengira aku takut karena mencoba menenangkannya. Dia menekan wajahku ke dinding dan berteriak.
“Kau hanya perlu memberikan wanita itu padaku! Toh, dia pasti wanita murahan yang suka bergaul, bukan? Aku pernah melihatnya berkeliaran di sekitar ‘Night Butterfly Coridor’ belum lama ini. Wanita yang ada di sana hanya untuk membeli atau menjual diri!”
“Begitu, ya?”
Dengan tangan bebasku, aku meraih leher pemabuk itu.
“Kau bicara terlalu banyak.”
Suara tumpul terdengar.
Tiba-tiba, tubuh pemabuk itu menjadi berat. Tenaganya lenyap. Ketika aku melepaskan tanganku, dia jatuh berlutut dan tergeletak di tanah. Lehernya patah, dan otot-otot di sekitarnya membentuk lekukan yang menyerupai jejak tangan. Setelah memastikan dia sudah mati, aku segera meninggalkan tempat itu. Ah, bayaranku untuk Bradley bertambah lagi. Benar-benar menyebalkan.
Saat aku meninggalkan gang, sinar matahari senja menerobos, cahayanya begitu terang hingga menyilaukan. Aku bergegas pulang agar tiba lebih dulu dari sang putri ksatria.
Alwyn harus melaporkan ke guild petualang, jadi mudah untuk mendahuluinya. Yang perlu kupersiapkan hanyalah menyambutnya.
Aku sudah menyiapkan masakan. Tinggal dipanaskan, dan sedikit lagi siap. Menu malam ini adalah salad herbal dengan bayam, sup jamur berbumbu, ayam panggang, dan anggur dari wilayah Lambert berusia dua puluh lima tahun. Aku tidak pandai membuat masakan rumit, tapi sejak menjadi tentara bayaran dengan banyak pengalaman berkemah dan hidup di luar, aku cukup terampil memasak dengan bahan seadanya. Potong daging dan sayuran, masukkan ke dalam panci, tambahkan garam dan lada, jadilah makanan. Kalau mau, aku juga bisa memanggang roti, tapi karena tidak punya oven batu, aku biasa membelinya dari tukang roti terdekat.
Saat sedang menata meja, pintu depan diketuk. Sang putri ksatria telah pulang.
“Hai, selamat datang.”
Aku berpikir untuk menyambutnya dengan pelukan dan ciuman, tapi Alwyn malah berjalan melewatiku dan langsung naik ke kamarnya.
“Wah, cuek sekali.”
Aku menggigit saputangan dan mengikutinya. Baju zirahnya memang buatan khusus, jadi cukup sulit untuk dilepas. Meski bisa dilepas sendiri, lebih cepat jika ada yang membantu.
Aku mengetuk pintu sebelum masuk. Dia berdiri di sudut kamarnya, dan ketika aku datang, dia mengangkat kedua tangannya tanpa menoleh ke belakang.
“Kau pasti lelah. Bagaimana hasilnya?”
Aku melepaskan jubahnya dari belakang dan membuka kancing-kancing baju zirahnya. Pelindung dadanya terbuka di depan dan belakang. Aku segera menaruhnya di tempat yang sudah kusediakan karena sekarang terlalu berat bagiku untuk mengangkatnya.
“Semuanya berjalan lancar.”
“Itu kabar baik.”
Aku melepas sarung tangan, pelindung kaki, dan baju zirahnya, lalu meletakkannya di samping. Terakhir, aku menyandarkan pedangnya di dinding. Dia mengenakan pakaian sederhana berupa baju dalam hitam panjang dengan gaun panjang berbelahan tinggi. Meski sederhana, pakaian itu justru menonjolkan kualitas kainnya. Patung dewi di gereja pun tampak tak sebanding. Ingin sekali aku memeluk dan menyentuhnya. Lagipula, patung batu hanya keras dan tak bisa bersuara, kan?
“Nah, mari kita makan malam.”
Alwyn tidak menjawab. Dia tampak agak murung dan bergumam dengan nada kesal.
“Menjijikkan.”
“Boleh aku menangis?”
“Bukan kamu.”
Dengan sedikit merasa bersalah, dia memperbaiki ucapannya.
“Di perjalanan pulang, kami bertemu dengan sekawanan serigala neraka Garmr dan terlibat dalam pertarungan sengit. Akibatnya, bau binatang ini membuatku merasa sangat tidak nyaman. Bahkan saat pulang, bau binatang itu sangat menyengat, hampir membuat hidungku berputar.”
“Tidak juga, menurutku.”
Aku mendekatkan hidungku ke lehernya dan menarik napas dalam-dalam. Aroma harum seperti biasanya. Ah, tapi mungkin dia sedikit berkeringat.
“Aku ingin membersihkan diri terlebih dahulu.”
Alwyn mendorongku ke samping sambil berkata begitu.
“Bagaimana kalau kita pergi ke pemandian sekarang?”
Rumah ini tidak memiliki bak mandi. Biasanya, kami mandi dengan air dari sumur di kebun atau membersihkan diri dengan kain basah. Aku lebih suka cara pertama, sementara Alwyn lebih suka yang kedua. Saat cuaca dingin, kami memanaskan air untuk mandi. Jika ingin mandi di bak mandi, satu-satunya pilihan adalah pergi ke pemandian umum di kota. Pada jam seperti ini, pemandian itu seharusnya masih buka. Biasanya, Alwyn akan membayar lebih untuk menyewa bak mandi pribadi.
“Tidak perlu, masakanmu akan keburu dingin.”
Alwyn berkata begitu sambil membelakangiku, mulai melepas pakaiannya. Dari bahu hingga punggungnya, kulit putih lembutnya berpadu dengan rambut merahnya yang tergerai.
“Lap saja tubuhku.”
“Oke, tapi setidaknya beri tahu aku dulu kalau mau melepas pakaian.”
Setiap kali, ini membuat jantungku berdegup kencang. Wanita bangsawan sepertinya tidak terlalu memedulikan rasa malu, yang kadang membuatku khawatir dia mungkin akan melepas pakaian di luar rumah suatu hari nanti.
“Tunggu sebentar. Aku akan mengambil baskom.”
Lantainya bisa basah kalau tidak.
“Kalau begitu, rambutku juga tolong ya.”
“Siap laksanakan.”
Ini adalah hadiah atas usahanya. Aku juga akan mengeluarkan sampo yang baru saja kubeli. Dan aku harus memanaskan air juga.
Aku membawa baskom dengan susah payah, dan Alwyn duduk di tengah baskom itu. Aku menuangkan air hangat ke atasnya. Suara percikan air terdengar, tetesan air mengalir di rambut dan kulit putihnya. Aku mulai membuat busa dengan sampo di tanganku dan dengan lembut mulai mencuci rambutnya. Aku menggosok dengan hati-hati, memastikan tidak melukai kulit kepalanya atau menarik rambutnya. Rambutnya yang indah perlu dibersihkan dengan lembut. Selama aku masih hidup, aku tidak akan membiarkan adanya rambut bercabang.
“Hm.”
Aku tak bisa melihat ekspresinya, tapi dia terlihat menikmati. Dia memegang erat baskom dengan kedua tangannya dan melengkungkan punggungnya. Seperti seekor kucing yang sedang dimanja. Pantat kecilnya gemetar sedikit, dan gelombang kecil muncul di permukaan air baskom.
“Kamu benar-benar suka kalau rambutmu disentuh, ya?”
“Cara menyentuhmu bagus.”
“Bukan karena aku yang melakukannya?”
“Bodoh.”
Alwyn menoleh, wajahnya memerah hingga ke telinganya.
Setelah selesai dengan rambutnya, aku pindah ke leher dan punggungnya. Rambut merahnya yang dalam kugenggam perlahan dipenuhi busa, dan aku mencucinya dengan hati-hati.
Busa yang berlebih mengalir dari bahunya ke depan, jatuh dengan lembut. Indah sekali, rasanya aku ingin jadi busa itu. Akan lebih baik jika aku bisa berpindah ke depan dan membersihkannya. Aku ingin menyentuhnya sepuas hati, meraba dari ketiak dan meremas dengan lembut.
Alwyn menggelengkan kepala. Busa terbang dan masuk ke mataku. Sakit.
“Jangan bergerak tiba-tiba.”
“Maaf, busanya masuk ke mataku.”
Dengan suara seperti hampir menangis, dia meminta maaf.
“Tidak masalah. Kalau begitu, sekarang saatnya membersihkan punggungmu.”
Kali ini, aku membilas busa dengan air yang sedikit lebih hangat. Saat rambutnya dibiarkan menjuntai ke depan, garis rambutnya dan tengkuknya yang kemerahan terlihat jelas. … Memang menonjol. Nanti akan kututupi dengan bedak putih.
“Mau kubersihkan bagian depan juga?”
“Tidak perlu.”
“Tak usah malu-malu, aku akan membuatmu merasa nyaman.”
“Aku bilang tidak perlu!”
Kalau aku terus menggodanya, dia mungkin akan benar-benar memukulku, jadi aku memutuskan untuk dengan patuh mengelap punggungnya. Nanti akan ada waktunya juga.
“Lap dengan lebih kuat. Cara mengelapmu seperti anak kecil, bikin frustrasi.”
“Ya, ya.”
Aku mungkin terlihat seperti pelayan, tapi aku pikir kehidupan seperti ini tidak terlalu buruk. Entah sampai kapan ini akan bertahan, tapi demi itu, aku harus menyelesaikan masalah-masalah yang ada.
──Kalau bisa, aku berharap tidak terlalu banyak orang mati. Dengan harapan itu di hati, aku terus menggosok punggungnya yang indah. Nanti, aku juga akan memberinya hadiah berupa permen.
‘Gray Neighbor,’ kota yang dikelilingi padang gurun, memiliki beberapa pengecualian. Jika kau pergi sedikit ke selatan, padang rumput yang rendah akan berganti dengan hutan-hutan kecil yang tersebar di sana-sini.
Terkadang, makhluk sihir yang berbahaya muncul di dekat hutan, dan karena letaknya jauh dari jalan raya menuju Baradale, jarang ada orang yang melintas.
Di tengah hutan itu, terdapat padang rumput kecil yang terbuka. Dikelilingi oleh pepohonan hijau dan sedikit cekung dibandingkan sekitarnya, padang rumput itu sepenuhnya tersembunyi dari pandangan.
Dulunya, tempat itu adalah semak belukar dengan rumput yang tinggi, tapi aku secara rutin memangkasnya.
Aku bukan tukang kebun, juga tidak ada yang memintaku melakukannya. Rumput yang tinggi tidak menguntungkanku. Setelah sekitar tiga bulan, ketika aku datang lagi, rumputnya sudah setinggi pinggangku, jadi aku harus menggunakan sabit untuk memotongnya. Memilih siang hari sebagai waktu pertemuan adalah keputusan yang tepat.
Kemarin aku datang terlambat, jadi mungkin Alwyn masih tertidur.
Aku akan segera menghadapi anggota party sang ksatria putri. Bisa jadi ini akan menjadi pertarungan hidup dan mati. Memikirkan kesedihan yang mungkin dialami Alwyn membuat hatiku berat, tapi aku bukan orang suci yang rela dibunuh begitu saja. Jika ada yang berusaha membunuhku, aku akan membunuh mereka. Begitulah cara hidupku sejak dulu.
Setelah selesai memotong rumput, aku duduk di batang pohon yang tumbang untuk menghela napas. Saat itulah aku merasakan kehadiran seseorang. Seseorang berjalan mendekat, menghancurkan daun-daun yang jatuh di bawah kakinya. Tak lama, dia muncul dari dalam hutan.
“Hei, sudah lama menunggu, Ksatria Suci yang perjaka.”
Ekspresi Tuan Latvig Lustak menjadi sangat masam.
“Jangan terlalu sombong, orang yang hampir mati.”
Latvig menatapku dengan mata penuh kebencian.
Meski dia memegang helm di bawah lengannya, dia mengenakan baju zirah lengkap. Armor perak, pedang tebal, jubah merah, tampak seperti ksatria yang keluar dari cerita balada penyair keliling.
“Kebetulan takkan terus berpihak padamu. Kali ini, aku akan memastikan kau mati di tanganku.”
Latvig berhenti saat jaraknya sekitar sepuluh langkah dariku, berhadapan langsung denganku.
“Tidak ada lagi kesempatan untuk bicara, ya?”
Aku berdiri.
“Sayang sekali.”
“Itu seharusnya adalah kata-kataku.”
Dia mengepalkan tinjunya. Sarung tangan baja yang dikenakannya berderit.
“Melihat pengecut tak berguna sepertimu mendekati sang putri membuatku muak.”
“Jangan bersikap munafik, Tuan.”
Aku mengangkat bahu.
“Kau pikir aku tidak menyadarinya? Kau jatuh cinta pada Alwyn. Alasanmu ingin membunuhku bukanlah tentang kehormatan atau martabat. Kau hanya kesal karena wanita yang kau cintai direbut oleh orang lain, kan?”
“Tidak benar!”
“Aku terus-menerus cemas, bertanya-tanya kapan kau akan melepaskan armor itu dan melompat ke arahnya. Meskipun wajahmu tampak sopan, kepalamu penuh dengan pikiran mesum. Ah, sangat menjijikkan.”
“Diam!”
“Aku juga seorang pria, jadi aku mengerti perasaanmu. Itu sebabnya sampai sekarang, aku berpura-pura tidak tahu bahwa kau terus berfantasi tentangnya. Tapi kali ini, kau sudah keterlaluan. Kalau kau bilang dari awal, aku mungkin bisa mengenalkanmu pada seorang pelacur yang mirip dengannya.”
“Sudah kubilang diam!”
Latvig berteriak marah. Dia melemparkan helm peraknya ke arahku. Helm itu berputar, sedikit mengenai lenganku, lalu terbang ke dalam hutan.
“Melihat sampah sepertimu terus mendekati sang putri membuatku tidak bisa menahannya lagi. Aku akan menghabisimu di sini dan sekarang. Meski itu membuatku kehilangan kasih sayang darinya, aku tidak peduli!”
Latvig mengangkat pedangnya tinggi-tinggi dan melangkah tiga kali.
Tak sampai hitungan sepuluh, aku merasakan lebih banyak orang mendekat dari arah hutan. Lima, tidak, enam orang.
Mereka semua tampak seperti petualang. Mereka mungkin dipekerjakan oleh Ksatria Suci yang prajaka dengan uang. Orang-orang dengan wajah kumuh, tampak seperti tikus jalanan. Mengenakan armor besi atau chainmail, helm baja, dan salah satunya, seorang pencuri, memegang dua belati di kedua tangannya, bersiap melompat seperti kucing.
“Jangan harap bisa melarikan diri. Kami sudah memastikan tidak ada bala bantuan atau pasukan tersembunyi.”
“Memang tidak ada, seperti yang kau katakan.”
Aku sendiri sudah lebih dari cukup.
“Jangan berharap bisa pulang dengan selamat, ‘The Big Mouth Wisecrack.’“
Bil yang kepalanya dibalut perban, berbicara sambil memegang pedang telanjang.
“Yo, jadi kau yang datang.”
Sepertinya dia menerima undangan dari Tuan Ksatria Pejaka. Sungguh malang.
“Kau selamat dari saudara Aston, itu juga pasti ulah si kurcaci. Tapi hari ini dia tidak bisa datang. Sekarang dia mungkin sedang memungut tulang pendatang baru yang bodoh di bagian terdalam ‘Dungeon’...”
“Minggir.”
Bill didorong dari belakang dan hampir jatuh ke depan. Dia ingin mengajukan protes, tetapi begitu melihat wajah lawannya, dia terdiam.
“Kau Matthew?”
Pria besar yang mendorong Bill maju ke depan. Tingginya sama dengan saya, tapi bahunya lebih lebar satu lengan dari saya. Dengan membawa kapak besar khusus di pundaknya, matanya yang berwarna coklat menyala dengan amarah.
“Aku Nash. Aku datang untuk membalas dendam atas kematian Nathan dan Neil.”
“Kau adalah teman dua orang itu?”
Menurut cerita Dezz, mereka tidak punya teman lain.
“Bukan, mereka adalah saudara-saudaraku!”
Aku terdiam, kehilangan kata-kata.
“Dua hari lalu, saudara-saudaraku menghilang. Ketika aku kembali ke penginapan dan melihat ke kamar mereka, ada noda darah. Kau yang membunuh mereka, kan!”
Aku mendesah sambil menatap langit. Kalau mereka bertiga bersaudara, seharusnya mereka sudah bilang dari awal, si janggut lebat itu.
“Aku tidak peduli apa alasannya. Tapi aku bersumpah, aku akan membunuhmu.”
“Tunggu dulu.”
Nash mendekat, dan aku mengulurkan tangan untuk menyuruhnya berhenti.
“Kau salah paham. Kalau kita bicara, pasti kau akan mengerti. Tentang dua orang itu, yah, itu kecelakaan. Aku tidak berniat membunuh mereka. Sungguh. Aku bersumpah demi Tuhan.”
“Kau menyebut menggantung seseorang di balok langit-langit dengan tali sebagai ‘kecelakaan’?”
“Ada bekas tali di baloknya. Bahkan ada jejak sepatu besar yang tertinggal di kursi. Tidak banyak orang di kota ini yang memakai sepatu sebesar itu. Selain itu, ketika aku memaksa pemilik penginapan untuk mengaku, dia mengatakan bahwa kau yang membuat keributan di lantai dua penginapan.”
“Wah.”
Aku benar-benar terkesan. Dia menyelidiki dengan baik. Tampaknya meskipun penampilannya besar, dia memiliki kemampuan penyelidikan yang tajam.
“Dan karena itu, kau tidak menyerahkanku kepada para penjaga, melainkan memutuskan untuk memenggal kepalaku sendiri dengan menerima tawaran dari Tuan Ksatria Perjaka?”
“Kau sial. Kau akan mati disiksa di sini.”
“Tidak, aku berterima kasih padamu.”
Aku berkata.
“Berkatmu, aku tidak perlu menghadapi para penjaga. Artinya, jika aku membungkam semua orang di sini, aku akan selamat, bukan?”
“Kau bodoh sekali.”
Bill yang berada di samping, meludah ke tanah.
“Kau pikir kau bisa selamat melawan sebanyak ini? Dengan hanya sebilah sabit?”
Baru saat itu aku sadar bahwa aku masih memegang sabit.
“Aku bisa.”
Aku melempar sabit itu ke belakang. Sabit berkarat itu melayang membentuk lengkungan dan menghilang ke dalam hutan. Aku mengingat tempat di mana aku melemparkannya, sehingga bisa kuambil nanti. Nash mengerutkan kening, tampak curiga, tetapi aku tidak punya rencana apa pun. Sabit itu memang untuk memotong rumput.
Dan aku sudah menyiapkan senjataku yang sebenarnya.
“Mengapa aku memanggil kalian ke sini? Sama seperti kalian, agar aku bisa membunuh kalian tanpa diketahui para penjaga.”
Aku merunduk sedikit dan meraih batang pohon yang telah kupakai sebagai tempat duduk dengan kedua tanganku. Panjangnya sekitar lima yur (sekitar delapan meter), dan tebalnya setara dengan tubuh seorang dewasa. Sambil merasakan sinar matahari di atas kepalaku, aku mengangkat pohon itu dan mengangkatnya di pundakku. Beratnya menekan pundakku, tetapi tidak terlalu berat. Selain sensasi kulit pohon yang kasar menusuk bahu, tidak ada masalah lain.
“Senjataku adalah ini.”
“Konyol.”
Latvig melangkah mundur, matanya terbelalak.
“Tidak mungkin kau sekuat itu.”
“Tidak masalah.”
Aku mengangkat batang pohon itu dengan satu tangan. Meskipun cukup berat, jika dibandingkan dengan waktu aku mengangkat kaki Cyclops, ini bukan apa-apa. Selain itu, cuacanya cerah. Terlalu bagus, malah membuatku kesal.
Aku menggerakkan tangan yang bebas dan mengisyaratkan mereka untuk datang.
“Ayo. Kalian datang ke sini bukan untuk piknik, kan?”
Meski sedikit ragu, mereka mulai bergerak. Seorang pria bertubuh kecil yang terlihat seperti pencuri, mulai mengitari bagian belakangku sambil memutar-mutar belati di tangannya. Dia maju perlahan, berusaha mengejutkanku dari belakang.
“Hup,”
Aku mengayunkan batang pohon ke arah di mana aku merasakan keberadaan pencuri itu. Sesaat kemudian, terdengar suara benturan keras.
Ketika aku menoleh ke belakang, pria kecil yang tampak seperti pencuri itu membentur pohon dengan kepalanya dan menyemburkan darah. Sebagian otaknya terlihat, jadi sepertinya tidak perlu menghabisinya.
“Satu sudah selesai.”
Para petualang lainnya mulai berbisik cemas setelah kehilangan salah satu teman mereka.
“Berhati-hatilah! Orang ini punya kekuatan luar biasa!”
Setelah peringatan dari Bill, mereka mulai mengelilingiku. Meski terkejut karena kehilangan salah satu teman, mereka cepat pulih.
Seorang pria berbaju besi lengkap dengan perisai mendekat dari depan, diikuti dua petualang lain dengan pedang yang siap di tangan.
Di belakangku, Bil dan Nash juga sudah bersiap dengan senjata besar mereka.
Rencana mereka cukup jelas, pria dengan perisai akan menahan serangan dari depan, sementara yang di belakang akan membunuhku. Jika aku berusaha menghabisi yang di belakang terlebih dahulu, yang di depan akan menyerang. Rencana sederhana, tapi sulit untuk dikalahkan.
Aku mengangkat batang pohon di pundakku, lalu menurunkannya dengan keras ke arah pria dengan perisai di depanku. Dia bereaksi cepat, melemparkan perisainya dan melompat ke samping. Tentu saja, tidak ada penebang pohon yang akan berani menahan serangan pohon tumbang.
Keputusan yang tepat. Jika lawannya bukan aku.
Tepat sebelum batang pohon menghantam tanah, aku memutar arah pukulan dan menyapu batang itu ke samping. Batang pohon itu mengenai kepala pria dengan perisai, lalu terus berputar dan menghantam Bill yang sedang mengayunkan pedangnya. Tubuh Blil terlempar seperti ditabrak banteng dan jatuh ke rerumputan. Suara lehernya patah terdengar saat tubuhnya jatuh, dan dia langsung berhenti bergerak.
Pria dengan perisai masih tersangkut di cabang pohon dengan helm yang penyok. Sepertinya aku tidak perlu memastikan apakah dia sudah mati.
Dua orang yang berada di belakang pemegang perisai wajahnya menjadi pucat pasi. Mereka berbalik dan mulai berlari.
“Lupa sesuatu nih.”
Aku melemparkan kayu yang kupegang dengan kedua tangan. Kayu itu terlempar ke udara dan melayang ringan. Ketika kayu tersebut menghantam punggung kedua orang itu, mereka langsung terhempas dan terhimpit di bawahnya.
“Ogre raksasa…”
“Kau sungguh tidak sopan.”
Aku mengembuskan napas dan menggembungkan pipiku mendengar gumaman Nash.
“Menurutmu bagian mana dari pria tampan ini yang mirip dengan ogre raksasa?”
Meskipun logikaku sempurna, Nash tampaknya tidak terkesan. Sambil mundur, dia memeluk kapak tempurnya seperti memeluk boneka beruang.
“Ayo maju! Aku tidak bersenjata. Bukankah kau ingin membalaskan dendam kakakmu? Atau jangan-jangan kau sudah ngompol di celana?”
Namun, Nash tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menyerang. Ini akan memakan waktu terlalu lama. Aku berdeham dan mengucapkan kata-kata yang bahkan aku sendiri tidak percayai.
“Ayo cepat! Mau kutunjukkan apa yang dikatakan kakak-kakakmu di saat-saat terakhir mereka? Mereka bilang, ‘Tolong, Ibu!’ Kalau kau takut mati, pulanglah ke ibumu dan mintalah dia memberimu air seni sebagai pengganti ASI, dasar pengecut tak berguna.”
Nash berteriak marah. Dengan emosi yang memuncak, dia mengangkat kapak tempurnya tinggi-tinggi.
Kapak itu memang tumpul, tetapi jika kena, kepalaku pasti akan hancur. Ketika kapak itu turun menebas udara, aku dengan mudah menghindar. Bersamaan dengan itu, aku berputar ke samping Nash dan menghajarnya dengan pukulan kanan di pipinya.
Awalnya aku berniat hanya memberi serangan ringan, tetapi pipi Nash malah membentur tanah. Bahkan tanahnya sampai cekung sesuai bentuk wajahnya.
“Begitu bersemangat, ya. Cinta pada pandangan pertama?”
Nash tergeletak di tanah, matanya berputar-putar, tubuhnya kejang-kejang. Tapi tampaknya dia masih sadar.
“Si-siapa kau sebenarnya?”
“Tak perlu kau tahu.”
Aku mengambil kapak tempur yang tergeletak di tanah.
“Tu-tunggu!”
“Sudah, selamat tinggal. Di sana nanti, akur ya dengan kakak-kakakmu. Oh iya, seandainya di sana kau bertemu gadis-gadis manis, kenalkan juga padaku. Oh, tunggu…”
Saat aku terlalu banyak berpikir, kapak di tanganku sudah meluncur dan menebas. Sebelum aku sadari, kepala Nash sudah terpisah dari tubuhnya.
Tinggal satu lagi, pikirku sambil menatap sekitar. Dari arah pria yang terhimpit kayu, terdengar suara rintihan. Salah satu dari mereka tampaknya sudah mati dengan tulang punggung yang patah, tetapi yang lainnya berhasil menarik kakinya dari bawah kayu.
“Hei, maaf menunggu.”
Sambil mengangkat kapak tempur peninggalan Nash di pundakku, aku tersenyum. Aku tidak suka membiarkan orang terlalu lama menderita.
“Tu-tunggu, tolong.”
Pria itu berguling menjauh dari kayu, suaranya terdengar serak seperti darah keluar dari tenggorokannya. Ada bekas luka bakar di atas mata kanannya.
“Aku menyerah. Aku kalah. Aku janji tidak akan pernah mendekatimu lagi.”
Dia melemparkan pedangnya, lalu berlutut dan mengangkat kedua tangan.
“Apa yang harus kulakukan ya?”
Membunuh orang yang tidak berdaya itu bukan gayaku. Aku meletakkan kapak tempur di tanah.
“Begini saja. Jika kau menyerah, maka kau adalah tawanan. Kalau kau bisa bayar tebusan, aku mungkin akan melepaskanmu.”
“A-aku mengerti.”
Dia mengulurkan tangannya ke sakunya. Tapi aku cepat-cepat menjentikkan batu kecil ke arahnya. Pria itu menjerit, memegangi tangannya dan terjatuh. Dari sakunya, keluar bola kecil yang dibungkus kertas.
“Lama sekali tak melihat benda ini. ‘Bom asap’, ya?”
Tampaknya dia berencana melemparkan bom itu padaku, lalu membunuhku saat penglihatanku terhalang.
“Untunglah.”
Aku melemparkan bom asap ke udara. Asap hitam membubung di hutan, dan aku merasa lega.
“Sekarang aku bisa membunuhmu tanpa ragu.”
“To-tolong, jangan bunuh aku.”
Dengan kaki yang terluka, dia tak bisa melarikan diri. Dengan mata penuh air mata, dia mundur ketakutan.
“Aku hanya diperintah. Keluargaku... Aku punya istri dan seorang anak perempuan yang baru berusia delapan tahun! Jika aku mati, mereka akan terlantar.”
“Kalau begitu, nanti aku sampaikan pada keluargamu.”
Aku kembali mengangkat kapak tempur.
“Bilang bahwa ayah mereka mati dengan sia-sia dan tanpa alasan.”
Suara permohonannya terhapus oleh bunyi tumpul. Yang tersisa hanyalah mayat dengan kepala terbelah seperti kue ulang tahun. Tak ada dendam, tetapi membiarkannya hidup juga bukan pilihan.
“Apa yang kau lakukan? Tinggal kau satu-satunya.”
Saat aku hendak berbalik, aku merasakan angin dingin di punggungku. Dengan cepat aku melempar kapak dan melompat mundur. Sesaat kemudian, pedang besar seorang kesatria suci menghantam tanah, mengoyak permukaan tanah.
“Tanpa menyebutkan nama dan menyerang dari belakang, begitukah gaya kesatria suci zaman sekarang?”
“Diam!”
Latvig menggertakkan giginya, kumisnya yang rapi bergetar karena marah.
“Kau! Beraninya kau menyembunyikan identitasmu!”
“Apa maksudmu?”
“Jangan pura-pura bodoh! Tak mungkin ada orang yang sekuat itu!”
Suara kesatria itu dipenuhi amarah dan ketakutan.
“Kau... ‘Predator Giant’, ‘Thousand Blade’, Maducas, kan?!”
“Sudah lama sekali aku tak mendengar nama itu.”
Dulu, di benua timur, ada sekelompok tujuh petualang. Mereka terkenal karena kekuatan fisik, sihir, dan kecerdasan mereka yang luar biasa, mencapai banyak prestasi besar. Mereka dikenal sebagai kelompok petualang terkuat pada masanya, yang dijuluki ‘Thousand Blade’.
Di antara mereka, Maducas terkenal dengan kekuatan fisiknya yang luar biasa, mencapai prestasi seperti membunuh Minotaurus dengan tangan kosong, menggigit leher vampir, menghancurkan kepala Iblis dengan kepala hantam, meretakkan taring naga, dan melubangi perut raksasa besi dengan tangan kosong. Julukannya adalah ‘Predator Giant’. Saat itu, hanya dengan mendengar namanya, para petualang lainnya akan ketakutan dan kabur. Selain kuat, dia juga tampan, tinggi, humoris, dan ahli dalam berbagai bidang, membuatnya populer di kalangan wanita. Satu-satunya kekurangan adalah kurangnya pendidikan, tetapi selain itu, dia hampir sempurna.
“Aku dengar setelah kelompok itu bubar, kau menghilang... Apa rencanamu dengan mendekati sang putri sambil menyembunyikan identitasmu?!”
“Kau salah orang.”
Aku mengangkat bahu.
“Dia sudah mati. Gara-gara Dewa Matahari yang lebar kayak lubang pantat itu. Yang ada di sini sekarang, seperti yang kau tahu, cuma aku, si parasit ganteng dari sang Putri Kesatria.”
“Cukup bicara omong kosong!”
Latvig menghantamkan pedangnya ke tanah dengan marah. Ujung pedang itu membelah batu seakan-akan itu mentega dan menancap di tanah. Ngomong-ngomong, bukankah pedangnya itu semacam pedang ajaib? Menurut Alwyn, kekuatan sihirnya bisa membuat ketajamannya meningkat untuk waktu yang singkat, mampu membelah besi maupun batu.
“Aku akan membunuhmu di sini. Cacing menjijikkan sepertimu tak pantas hidup.”
Dia mencabut pedangnya, lalu bergerak mendekatiku dengan langkah perlahan, pedangnya diposisikan di depan dadanya.
Tampaknya dia berniat membunuhku dengan hati-hati dan pasti.
Aku tidak punya kewajiban untuk meladeninya, tetapi awan mulai muncul. Waktuku juga tak banyak.
Lebih baik segera menyelesaikannya.
Dengan kedua tangan terentang seolah meminta pelukan, aku melangkah lebar menuju ke arahnya.
Ekspresi Latvig tegang. Mengenakan baju zirah membuat gerakannya lebih lambat. Jika aku berhasil merangkulnya dan menjatuhkannya, semuanya akan berakhir. Aku bisa dengan mudah melumpuhkan persendiannya atau mematahkan lehernya.
Saat jarakku hanya tinggal beberapa langkah dari jangkauan pedangnya, Latvig berteriak. Dia meluncur mendekat dengan cepat dan mengayunkan pedangnya ke bawah. Aku mengangkat kedua tanganku.
Pedang besar yang diayunkan dengan kecepatan luar biasa berhenti di atas kepalaku, terjepit di antara kedua tanganku.
“Apa?!”
“Maaf, tapi sejak awal memang ini yang aku incar.”
Dengan kedua tangan masih menjepit pedang, aku mengubah posisiku. Sambil setengah berbalik, aku mendekatkan tubuhku ke arah Latvig, menyelinap ke celah sempit di bawah pedangnya. Pedang sihir yang terjepit di lenganku terlepas dari tangan Latvig. Dengan pedangnya terampas, sang ksatria perjaka kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke depan. Setelah tersandung beberapa kali, akhirnya dia jatuh dengan pantat menghadap ke arahku.
“Oh, eh, bagaimana ya...”
Aku tersenyum kecut sambil menggaruk kepalaku.
“Maaf, tapi ‘Magic Sowrd’ milikku sudah kupersembahkan kepada sang Putri Kesatria. Tak peduli berapa kali kau memintanya, aku tak sebegitu tak tahu malu untuk mengikuti. Setidaknya, lepaslah baju zirahmu dulu. Kalau aku melihat pantatmu yang telanjang, mungkin perasaanku bisa berubah.”
“Kau!”
Wajah Latvig memerah kehitaman saat dia menoleh. Dengan wajah dan jenggot yang berlumuran tanah, dia berusaha meninjuku.
“Sudahlah, hentikan.”
Aku melemparkan pedang sihir itu ke belakang dan menangkap tinjunya.
“Meski ditolak, kekerasan bukanlah solusi, kan?”
Aku mulai menekan tangannya. Jeritan kesakitan keluar dari mulut sang ksatria perjaka. Tetesan darah merembes keluar dari celah di sarung tangan logamnya. Seolah menghindari rasa sakit, dia mencoba meninjuku lagi dengan tangan kirinya.
Karena aku tidak suka ditinju, aku mengangkat tangan yang kupegang tinggi-tinggi. Tubuh ksatria itu terangkat ke udara dan menempel erat ke tubuhku. Secara alami, wajah Latvig semakin dekat denganku.
“Mau dicium, ya?”
Aku tersenyum lebar.
“Sayangnya, aku harus menolak.”
Aku membalikkan tubuhku dan menarik tangannya dengan keras. Tubuh Latvig, bersama dengan zirahnya, terlempar melewati punggungku. Dengan suara keras, dia jatuh duduk di tanah.
“Sekali lagi!”
Dengan gerakan yang sama, aku memutar tubuhnya lagi. Kali ini dia jatuh telentang, lalu dengan perut menyentuh tanah, dia mencium tanah. Saat aku hendak mengangkatnya lagi, dia tidak menunjukkan tanda-tanda perlawanan. Tampaknya dia hanya bisa bertahan dari rasa sakit yang luar biasa. Setelah tiga kali mencium tanah, sepertinya tulang punggung atau pinggulnya rusak.
“Kau terlalu bersemangat. Sebaiknya pertimbangkan usiamu dan berapa kali kau bisa melakukannya.”
“Bunuh aku.”
Dia bergumam seperti orang yang sedang mengigau.
“Setelah penghinaan sebesar ini, mana mungkin aku bisa hidup. Lagipula, jika kau mengatakan semuanya kepada sang Putri, aku pasti akan tamat.”
Nada suaranya yang seolah sudah pasrah membuatku semakin kesal.
“Dengar, Pak Tua.”
Aku mengangkat wajah ksatria yang terkapar itu.
“Apakah itu saja keberanianmu saat mengawal Alwyn? Jangan manja. Kau tidak tahu betapa besar tekadnya saat dia menghadapi dungeon ini?”
“Tentu saja aku tahu,”
Kata Latvig dengan bangga.
“Untuk menyelamatkan tanah air yang hancur oleh monster, meskipun masih muda, dia selalu memimpin kami di barisan depan. Penampilannya mirip dengan legenda Valkyrie yang gagah berani. Kami semua—”
“Itu saja?”
Aku tak butuh cerita heroik dari penyair.
“Awalnya, aku juga berpikir kalau menaklukkan ‘Dungeon’ hanyalah mimpi belaka. Namun, sang Putri tak pernah menyerah. Di tengah kegelapan yang tak tersentuh cahaya, dia selalu menghadapi monster dengan keberanian dan memimpin kami. Demi mengembalikan kerajaannya, demi rakyat dan bangsawan yang kehilangan tanah mereka, serta demi membalas dendam Raja dan Ratu yang terbunuh, dia bertarung dengan segenap nyawa. Meskipun kehilangan teman, langkahnya tak pernah berhenti. Semuanya berjalan lancar... sampai kau muncul!”
“Cukup.”
Aku melepaskan cengkeramanku. Dengan suara gedebuk, ksatria itu mencium tanah untuk keempat kalinya dengan dagunya.
Orang tua ini sama sekali tidak mengerti. Dia tak tahu siapa wanita yang seharusnya dia lindungi. Yang penting baginya hanyalah gelar ‘Putri Ksatria’, tanpa mempedulikan orang di balik gelar itu. Setelah menyadari betapa bodohnya kemarahanku, aku merasa semua ini sia-sia.
Aku mengambil pedang sihir itu dan menusukkannya ke tanah di depan Latvig. Pedang itu menancap dalam hingga tertahan oleh gagangnya. Sebuah wajah konyol muncul di gagang pedangnya.
“Dengar baik-baik. Jangan pernah berpikir untuk membunuhku lagi. Jika kau melakukan itu, atau jika kau menceritakan kejadian hari ini kepada siapa pun, aku akan memberitahu semuanya kepada sang Putri Ksatria. Semua. Tanpa terkecuali.”
“Jadi kau tidak akan membunuhku?”
“Kalau itu niatku, kau sudah lama mati.”
Aku mendesah panjang. Kenapa ksatria ini begitu lambat memahami sesuatu?
“Kalau aku membunuhmu, siapa yang akan melindungi Alwyn di ‘Dungeon’?”
“Kau bisa.”
“Jangan konyol.”
Aku menggelengkan kepala.
“Aku punya misi sendiri. Bukankah aku sudah bilang kepada bocah itu? Tugas kita sama pentingnya. Pokoknya, kau hanya perlu fokus melindungi Alwyn. Jangan pikirkan hal lain.”
Latvig masih tergeletak di tanah dengan ekspresi linglung. Yah, tak apa. Pesanku sudah kusampaikan.
“Baiklah, aku pergi sekarang. Oh, dan jangan lupa bereskan semuanya.”
Aku berbalik dan berjalan ke hutan untuk mengambil sabit yang tadi kulempar. Tepat saat itu, tubuhku terasa berat seolah-olah tenggelam ke dalam lumpur timbal. Bahkan menggerakkan satu jari pun terasa melelahkan. Meski sudah terbiasa, sensasi ini tetap saja menyebalkan. Namun, aku tak bisa memperlihatkan kelemahan. Aku masih merasakan tatapan di punggungku. Sepertinya si ksatria perjaka masih memperhatikan pantatku.
Setelah menemukan sabit yang terlempar lebih jauh dari yang kuduga, aku keluar dari hutan menuju padang tandus. Tanah kering dan bebatuan membentuk pola-pola yang aneh.
Berdiri dengan tubuh besar yang gemetar tertiup angin, aku mendongak ke langit yang dipenuhi awan abu-abu. Jika aku bertarung sekarang, bahkan melawan petualang rendahan pun aku akan kalah. Sungguh menyedihkan, bahkan bertarung pun tak bisa kulakukan tanpa memperhatikan cuaca. Semua ini gara-gara Dewa Matahari sialan itu.
Waktu itu, kami, kelompok ‘Thousand Blade’, sedang mengeksplorasi reruntuhan yang disebut ‘Menara Dewa Matahari’. Menurut mitos, menara itu dibangun untuk Dewa Matahari dan di dalamnya terdapat harta karun yang melimpah. Setelah melewati ratusan monster dan perangkap, kami berhasil mencapai puncak menara. Namun tiba-tiba, suara bergema di kepalaku.
【Mulai saat ini, kekuatanmu hanya bisa digunakan di tempat yang berada di bawah pengawasanku.】
Sepertinya Dewa Matahari sangat marah karena kami mengganggu tempat tidurnya. Akibat kutukan yang diberikan oleh Dewa Matahari berjiwa kecil itu, kami semua dikutuk. Ada yang kehilangan penglihatannya, ada yang tak bisa lagi menggunakan sihir, ada yang kehilangan tujuan hidup sebagai petualang, dan aku... kehilangan ‘kekuatan’.
Karena kutukan Dewa Matahari yang pengecut itu, aku tak lagi bisa menggunakan kekuatanku sesuka hati. Hanya bisa saat dia mengawasiku, yakni saat matahari bersinar. Bahkan berada di bawah bayangan pun tak bisa, apalagi di balik awan, atau di dalam bangunan. Petualang adalah pekerjaan yang sering berada di tempat gelap. ‘Dungeon’, hutan, dan gua sudah tak bisa kumasuki lagi. Di padang rumput terbuka atau gurun sekalipun, saat matahari tertutup awan, kekuatanku menjadi lebih lemah dari manusia biasa. Sebagai petualang, hidupku sudah berakhir.
Party kami akhirnya bubar, dan aku berhenti menjadi petualang.
Beberapa temanku mendapat posisi penting, ada yang kembali ke pekerjaan lamanya.
Namun aku, dengan otak yang tidak pintar, tak bisa menggunakan sihir, dan hanya bisa menulis namaku, tak bisa menemukan pekerjaan yang layak. Aku dikejar oleh orang-orang yang dulu pernah kubuat marah, hingga aku harus lari terus-menerus.
Aku kehilangan semua hartaku, membuang namaku, dan setelah mengembara tanpa tujuan, akhirnya aku menyeberangi lautan dan tiba di Kota ‘Grey Neightbor’ atau yang dikenal sebagai ‘Kota Dungeon’, sebuah kota para petualang. Di sini, aku juga tidak punya keahlian untuk bekerja dengan layak, sampai akhirnya saat aku berkeliaran, aku bertemu dengan Alwyn, yang dikenal sebagai ‘Red Princess Knights’, dan setelah berbagai kejadian, aku berakhir seperti sekarang.
Bekerja demi Alwyn berarti aku harus selalu memperhatikan cuaca... dan harus melihat suasana hati si bajingan Dewa Matahari itu. Ini benar-benar menyebalkan. Ah, menjijikkan.
Matahari menyembul dari balik awan. Aku menyipitkan mata karena cahaya yang menyilaukan itu dan mengacungkan jari tengahku ke arah langit.
Aku kembali ke kota, dan untuk mengambil jalan pintas menuju rumah, aku berbelok dari jalan utama dan melewati ‘Ambush Gang’. Meskipun hari masih terang, jalanan sudah sepi, namun ada beberapa orang yang sudah mabuk, membuat barang-barang kecil mereka berhamburan di jalan. Ada banyak orang bodoh di kota ini yang sepertinya tidak bisa hidup tanpa mengotori jalanan setidaknya sekali sehari.
Sambil mencubit hidung, aku terus berjalan. Dari belakang, dua pria membawa tandu mendekat. Di tandu itu terbaring seorang pria. Wajahnya tertutup kain, dan para pembawanya tampak tidak peduli. Kemungkinan besar dia adalah gelandangan yang mati kelaparan atau orang miskin yang akan dibuang ke ‘A Thousand White Night’. Bagian dadanya berlumuran darah, jadi mungkin dia diserang perampok atau terjebak dalam perkelahian.
Ketika mereka lewat di sampingku, salah satu dari pembawa tandu kehilangan keseimbangan dan terhuyung.
Saat itu juga, sebuah benda kecil jatuh dari tandu.
Sebuah almond.
Aku menoleh ke belakang dan melihat tangan pria yang terbaring di tandu terkulai ke bawah, dengan bintik-bintik hitam terlihat di pergelangan tangannya.
Aku mengabaikan tandu yang terus berjalan dan memungut almond itu. Setelah membersihkannya dari debu, aku memasukkannya ke dalam kantong dan melanjutkan langkahku melalui ‘Ambush Gang’. Ini adalah hal yang biasa di kota ini. Pria itu tidak beruntung. Itu saja. Di belakangku terdengar suara kering. Mungkin seseorang menginjak almond tadi dan menghancurkannya. Itu juga kejadian yang biasa. Tidak selalu mungkin untuk memungut semua barang yang terjatuh.
Dua malam kemudian, aku mendengar kabar bahwa Latvig telah keluar dari kelompok.
“Dia terlibat dengan para bandit saat berjalan di kota. Meskipun berhasil mengalahkan mereka, dia jatuh dan menghantam pinggangnya dengan keras. Bahkan sihir penyembuhan sulit untuk menyembuhkannya. Dia akan kembali ke sanak saudaranya untuk beristirahat.”
Alwyn terlihat sangat kecewa.
“Begitu ya, sayang sekali,”
Kataku dengan nada kasihan, padahal dalam hati aku merasa lega. Rupanya dia berencana untuk merahasiakan semua yang terjadi antara kami. Meskipun sayang dia harus keluar dari kelompok, biarlah dia menerima nasibnya.
“Lalu bagaimana dengan dungeon?”
“Saudaranya akan mengirimkan bantuan. Aku juga sempat berpikir untuk merekrut orang di kota ini, tetapi sepertinya lebih baik meminta bantuan orang yang sudah terpercaya,”
Meskipun Kerajaan Mactarod telah hancur, para ksatria yang selamat tersebar di berbagai tempat. Latvig menggunakan koneksi mereka untuk merekrut anggota baru.
“Sampai mereka tiba, kita harus puas berlatih di lantai atas yang lebih mudah untuk sementara waktu.”
Bagi Alwyn, yang sangat ingin segera menaklukkan dungeon, ini pasti terasa seperti kemunduran yang besar.
“Betul-betul sial, ya. Pertama rumahmu kemalingan, lalu kehilangan rekan.”
Aku sudah memberi tahu Alwyn bahwa saat dia tidak ada, ada pencuri yang masuk ke rumah.
“Jangan terlalu dipikirkan. Nanti pasti ada hal baik yang terjadi”
“Tidak perlu terburu-buru. Jika memaksakan diri, kita justru akan semakin jauh dari tujuan”
“Kau benar”
“Duduklah dan tunggu sebentar. Makan malam spesial akan segera siap.”
Malam ini, aku membuat salad, ikan cod goreng, daging sapi yang dimasak empuk, dan sup ayam dengan kacang.
Saat aku sedang mencicipi masakan yang tengah mendidih di panci, tiba-tiba terasa sesuatu yang hangat. Aroma manis tercium, dan lengan bajuku ditarik perlahan.
Aku tersenyum.
“Sebentar lagi makan malam siap”
“Aku tahu”
Di menjawab dari belakangku yang terdengar agak kekanak-kanakan
“Tapi kau tidak bisa menunggu?”
Aku merasakan anggukan pelan di belakangku, dan lengan yang memeluk pinggangku sedikit gemetar.
“Setelah mendengar Latvig keluar, aku merasa cemas, dan saat melihatmu...”
“Ya, ya, baiklah,”
Aku menjawab sambil mematikan kompor dan memeluk Alwyn di bahunya.
“Barangnya ada di lantai dua. Aku akan mengambilnya.”
“Aku ikut.”
“Seperti yang kamu mau.”
Aku dan Alwyn pun berjalan bersama menaiki tangga ke lantai dua.
Benar-benar merepotkan melayani ksatria putri ini.
Menjadi pria simpanan memang tidak mudah.