[LN] Bishoujo Seito Kaichou no Togami-san wa Kyou mo Ponkotsu de Houtte okenai ~ Chapter 4 [IND]

 


Translator : Nacchan 


Proffreader : Nacchan 


Chapter 4: Ketua OSIS yang ceroboh lemah di gudang olahraga


“Hah... Maafkan aku”

Keesokan harinya, setelah secara tak terduga bertemu dengan Togami di ruang OSIS malam itu.

Setelah jam keenam berakhir, waktu kegiatan seusai sekolah pun dimulai. Di sudut ruang kelas yang dipenuhi keributan teman-teman sekelas, aku menghela napas sendirian.

Kenapa? Tentu saja karena aku kembali memikirkan kejadian kemarin.

“Haaaaaaa~~”

Aku menghela napas lebih dalam lagi sambil menggosok keningku.

Mungkin karena tampangnya terlihat begitu muram, teman-teman sekelasku yang sedang bercanda di dekatku memandang ke arahku dengan wajah tegang.

“Hiih!? Ma-maaf!”

“Maaf, Gujou, maksudku, Gujou-san!”

“Ayo cepat kita pergi.”

“Ah, Gujou-san, kami akan mengosongkan tempat ini!”

“Silakan gunakan sesuka hati!”

“Maafkan kami karena terlalu berisik!”

“Hah? Tidak, aku sama sekali tidak marah...”

Namun tampaknya mereka tidak mendengar kata-kataku, buru-buru membereskan barang-barangnya dan keluar dari kelas.

Bukan, kalian salah paham! Aku tidak ada masalah dengan kalian!

...dan aku bahkan tak punya kesempatan untuk membela diri.

Para siswa lain yang memperhatikan dari jauh mulai berbisik-bisik.

“Serem banget...”

“Dia melotot...”

“Ternyata dia memang preman beneran...”

Bukan, bukan, bukan! Aku sama sekali tidak melotot, dan aku juga bukan preman!

Lagipula, apa maksudnya ‘preman beneran’? Yang terbayang di benakku adalah Don Quijote tengah malam atau bawah jembatan layang, tapi aku tidak punya urusan dengan kedua tempat itu.

Karena aku tidak pandai menjelaskan situasi dengan cepat, kesalahpahaman malah semakin dalam. Tapi, dengan situasi seperti ini, mereka bahkan takut hanya karena aku mendekat. Apa mungkin aku sudah benar-benar berada di titik terjepit?

Yah, apa yang sudah terjadi biarlah terjadi.

Sekarang, aku harus memikirkan masalah OSIS. Atau lebih tepatnya, masalah pribadi sang ketua OSIS.

Togami Nadeshiko.

Dia adalah siswa yang sempurna: berprestasi, atletis, dan berasal dari keluarga terpandang. Tidak ada kekurangan sedikit pun dalam dirinya, benar-benar manusia super yang sempurna.

Itulah gambaran Togami di benak siswa-siswa di sekolah ini, termasuk aku sendiri, sampai kemarin.

Namun, sosok yang kulihat tadi malam berbeda.

Dia melakukan kesalahan dalam tugas pembuatan dokumen yang sederhana, berusaha menutupinya dengan tinggal sendirian di ruang OSIS, bahkan menyeduh kopi, lalu tertidur pulas di meja. Ketika aku menemukannya, dia panik, sampai dua kali menabrak kakinya sendiri, dan menggumamkan hal-hal negatif yang membuat situasinya semakin buruk.

Jika sosok yang kulihat tadi malam adalah sisi asli Togami, maka ini akan menjadi agak merepotkan.

Aku tidak keberatan jika seseorang memiliki dua sisi. Semua orang memiliki bagian dari diri mereka yang ingin disembunyikan, dan upaya Togami untuk menutupinya adalah sesuatu yang patut dihargai.

Namun, masalahnya menjadi berbeda ketika orang itu adalah ketua OSIS, tempat aku juga tergabung. Aku dulu berpikir, dengan Togami yang dianggap sempurna sebagai ketua, pekerjaan di OSIS akan menjadi mudah.

Namun, jika kejadian seperti kemarin sering terjadi, itu jelas tidak akan berjalan semudah yang kubayangkan.

Aku hampir menghela napas lagi memikirkan masa depan yang mungkin terjadi, tetapi aku menahannya, teringat bahwa aku masih di dalam kelas. Jika aku memperkuat kesan buruk sebagai preman, kehidupan sekolahku bisa terganggu.

Aku sebenarnya ingin segera pergi ke ruang OSIS, tetapi jika bergerak sembarangan, aku bisa disalahpahami lagi. Aku juga tidak ingin mereka menyebarkan rumor di belakangku. Pada akhirnya, aku hanya berpura-pura tidur dengan kepala menunduk di meja, menunggu sampai semua teman sekelas pergi.

Dalam perjalanan ke ruang OSIS di koridor, aku bertemu dengan Sensei, Sashiki-sensei.

“Oh, Gujou-kun, kamu terlihat lelah sekali,” kata beliau dengan nada lembut.

“Ah, iya,” jawabku singkat.

“Bagaimana dengan urusan OSIS? Jika berjalan lancar, itu akan membuat aku senang,” tanya Sashiki-sensei dengan senyum lembut.

“Justru soal itu...”

“Oh? Apakah ada masalah?”

Karena topik ini tidak ingin kudiskusikan di tempat terbuka, kami pun masuk ke ruang kelas kosong di dekat situ. Di sana, aku menjelaskan secara singkat tentang kejadian yang terjadi antara aku dan Togami tadi malam.

Sepanjang ceritaku, Sashiki-sensei terus tersenyum, seolah-olah beliau sudah menduga semua ini dari awal.

“Oh, sudah ketahuan, ya? Seperti yang aku duga, Gujou-kun memang tajam,” ucapnya dengan santai setelah mendengar seluruh ceritaku.

Benar-benar orang yang sulit ditebak, pikirku.

“Bukan karena aku tajam, tapi itu lebih seperti kesalahan Togami sendiri,” kataku.

“Hehe, mungkin kamu benar,” jawab Sashiki-sensei sambil tertawa kecil.

“Kamu sudah tahu, kan, Sensei? Bahwa Togami sebenarnya cukup ceroboh,” aku mencoba menyampaikan maksudku tanpa terdengar kasar, menghindari kata “ceroboh” yang lebih keras.

Sulit rasanya untuk mengatakan dia “ponkotsu” (payah) di depan Senseiku.

“Ya, sebagai pembina OSIS, aku sudah memperhatikan Togami-san sejak dia mencalonkan diri,” kata Sashiki-sensei.

“Kalau begitu, bukankah kamu seharusnya menghentikannya mencalonkan diri sebagai ketua? Mungkin lebih baik dia mulai dari wakil ketua dulu. Sejujurnya, masalah bisa muncul kapan saja,” jawabku, sedikit khawatir.

“Aku pikir, sedikit ceroboh juga bisa membuatnya lebih ramah dan mudah didekati,” katanya sambil tersenyum.

“Semua ada batasnya,” balasku tegas.

Aku pernah mendengar bahwa ada kandidat lain yang mundur setelah mengetahui Togami mencalonkan diri. Jika pencalonannya dihentikan, mungkin seseorang yang lebih terampil dalam hal praktis bisa menjadi ketua. Itu jelas akan lebih baik untuk kelancaran operasional OSIS.

“Menurutku, Togami-san adalah orang yang tepat untuk menjadi ketua OSIS,” ucap Sashiki-sensei dengan penuh keyakinan.

“Serius?”

“Serius. Tentu saja, kemampuan kerja itu penting, tetapi ada hal-hal yang lebih penting untuk seorang ketua OSIS,” jawabnya dengan tenang.

“Apa itu?”

“Jika kamu berada di OSIS, suatu saat kamu juga akan memahaminya, Gujou-kun.”

Jawabannya tidak terasa seperti mengelak, meskipun agak misterius.

Di dalam hati, aku merasa bahwa Sashiki-sensei tahu jawabannya, tapi sepertinya dia tidak berniat mengungkapkannya dengan kata-kata.

“Tapi, dalam kenyataannya, kalau tidak bisa bekerja dengan baik, itu akan jadi masalah, kan?” Aku mencoba mengubah pendekatanku.

Sashiki-sensei lalu meletakkan tangannya di dekat mulut dan berpura-pura berpikir dengan gaya imut. “Hmm, memang sepertinya Gujou-kun kemarin menghadapi banyak kesulitan, ya.”

“Itu pasti, sangat merepotkan.”

“Sendirian di ruang OSIS malam hari setelah jam sekolah dengan seorang gadis imut...”

“Jangan membuat situasinya terdengar lebih dari yang sebenarnya,” potongku.

Memang benar, jika dilihat dari permukaannya, situasinya terlihat seperti itu. Tapi, kemarin aku bahkan tidak sempat memikirkan hal semacam itu.

“Tapi, kamu tetap membantu dia, kan?” lanjutnya.

“Ya, benar,” aku mengaku.

“Kamu bisa saja mengabaikannya, tapi kenapa kamu tetap menolong?”

“Yah, aku masih punya hati nurani. Aku tidak sampai kehilangan sisi kemanusiaanku hingga bisa meninggalkan seseorang dalam situasi seperti itu,” jawabku jujur.

“Hehe, seperti yang aku duga, Gujou-kun punya kepribadian yang sesuai dengan penilaianku,” katanya sambil tersenyum puas.

“Apakahkamu sedang mengejekku?”

“Aku sedang memuji, sebenarnya. Tidak banyak orang yang benar-benar mampu membantu orang lain dalam situasi yang membutuhkan uluran tangan, seperti yang Gujou-kun lakukan. Lebih sedikit daripada yang kamu kira.”

“Masa sih?”

Aku mengerti maksud dari ucapan Sashiki-sensei, tapi rasanya dia terlalu membesar-besarkan. Aku sendiri tidak merasa bahwa aku adalah seseorang yang sehebat itu.

“Tapi aku rasa, menunjuk aku sebagai kandidat itu jelas kesalahan, kan?”

“Tidak perlu khawatir. Aku punya kepercayaan diri dalam menilai orang, kok.”

“Padahal aku adalah seseorang yang kesulitan mengikuti pelajaran, pernah terpuruk karena itu, dan sekarang dianggap sebagai preman oleh orang-orang di sekitar.”

“Hmm, benar. Memang, Gujou-kun memiliki nilai buruk, tidak disukai sebagian besar Sensei, tidak punya banyak teman di sekolah, dan hanya berbicara dengan teman masa kecilmu, Yura-san.”

“Aku sendiri yang bilang, tapi bukankah itu terlalu keterlaluan?!”

“Tenang saja. Aku sudah membungkusnya dengan lembut.”

Jika tidak dibungkus, mungkin aku sudah berhenti datang ke sekolah.

Sashiki-sensei menanggapi protesku dengan santai, tetap tersenyum sambil melanjutkan pembicaraannya.

“Gujou-kun, kamu terlambat datang pada hari pidato pemilihan ketua OSIS, kan?”

“Benar,” jawabku singkat.

“Hari itu, saya dengar Yura-san disalahpahami oleh Matsumoto-sensei, dan kamu langsung ikut campur,” lanjut Sashiki-sensei.

“Ah... ya, hal itu memang terjadi.”

Aku ingat, waktu itu Airisu datang untuk membangunkanku dan kemudian ditegur tanpa alasan yang jelas, jadi aku membela dan mengoreksi Sensei tersebut. Aku bahkan tidak tahu nama Senseinya saat itu.

“Aku percaya pada Gujou-kun karena tindakan spontanmu itu,” kata Sashiki-sensei dengan tenang.

“Itu karena dia adalah Arisu, teman masa kecilku,” jawabku.

“Tidak. Bahkan jika yang berada dalam situasi itu adalah Togami-san, kamu pasti akan bertindak sama, bukan?”

Aku kembali kehabisan kata-kata. Melihat bagaimana aku membantu Togami tadi malam, argumen Sashiki-sensei memang benar adanya. Tak peduli apa yang aku katakan sekarang, tidak akan ada cara untuk membantahnya.

“Tapi, aku tidak percaya pada diriku sendiri seperti halnya kamu mempercayaiku, Sensei,” gumamku pelan, menampakkan kekalahan kecil.

Hal ini mengingatkanku pada bagaimana Arisu selalu tertawa ketika aku terjebak dalam fase pemberontakan ini.

“Tidak apa-apa. Pada akhirnya, aku yang akan bertanggung jawab penuh. Jadi, Gujou-kun, bertindaklah sesuka hatimu. Dan jangan khawatir tentang tinggal kelas,” katanya sambil tersenyum meyakinkan.

“…Sensei, soal aku hampir tinggal kelas itu, pasti bohong, kan?” tanyaku.

Memang benar nilai dan sikapku di sekolah cukup buruk, tapi seharusnya bisa diatasi dengan remedial atau tugas tambahan, tanpa harus bergabung di OSIS. Lagipula, cara itu lebih wajar. Ada kecurigaan bahwa sejak awal Sashiki-sensei memang merencanakan untuk memasukkanku ke OSIS.

“Hehe, siapa tahu?” jawab Sashiki-sensei dengan senyum misterius sambil meletakkan jari telunjuk di bawah dagunya.

Sungguh, aku tak bisa mengalahkan orang ini.

Aku membungkuk sedikit sebagai tanda pamit, lalu berbalik dan keluar dari ruang kelas kosong itu. Aku yakin Sashiki-sensei mengantarku pergi dengan senyuman seperti biasanya. Dengan tekad kuat, aku menolak untuk menoleh ke belakang.

Saat aku tiba di ruang OSIS setelah jam sekolah, Hourai-senpai dan Arisu sudah ada di sana. Aku memang datang terlambat, tapi Togami belum terlihat.

“Kerja bagus, Gujou. Hari ini kau datang sedikit terlambat,” sambut Hourai-senpai.

“Ngapain aja? Hampir semua pekerjaan sudah selesai, lho?” tambah Arisu dengan nada menggoda.

“Maaf, aku ada urusan mendadak.”

Sambil mengobrol seperti itu, dia meletakkan ranselnya di atas meja panjang.

Tampaknya mereka berdua sedang melakukan pekerjaan kantor, terlihat banyak dokumen dan binder yang berserakan di atas meja.

Kalau diperhatikan lebih teliti, di salah satu kursi ada tas sekolah milik Togami yang biasa dia gunakan.

Artinya, dia mungkin sudah mampir ke ruang OSIS.

“Di mana Togami?”

“Katanya ada peralatan yang perlu dicek, jadi dia pergi ke gudang olahraga.”

“Gudang olahraga?”

“Ya. Tampaknya penggantian peralatan yang digunakan untuk festival olahraga telah menjadi agenda rapat staf. OSIS diminta untuk memeriksa kondisinya. Bukan gudang yang sering digunakan, tapi gudang olahraga kedua yang ada di sudut lapangan.”

Kalau dipikir-pikir, selain gudang olahraga yang dekat dengan gedung klub tempat ruang ganti klub olahraga berada, aku juga ingat ada gudang tua di sudut lapangan.

Gudang olahraga kedua itu menyimpan peralatan yang jarang digunakan, kecuali untuk festival olahraga atau acara sekolah, dan peralatan itu memakan cukup banyak tempat.

“Aku menawarkan diri untuk ikut, tapi Togami menolak dan bilang dia bisa sendiri. Dia berangkat sekitar dua puluh menit yang lalu.”

“Hourai-senpai memberitahuku hal itu.”

Dari ruang OSIS yang berada di sudut gedung sekolah ke gudang olahraga di lapangan, jaraknya cukup jauh. Jadi, tidak ada yang aneh kalau Togami belum kembali.

Namun, yang membuatku khawatir adalah kenyataan bahwa Togami pergi ke gudang olahraga sendirian.

‘‘...Tidak mungkin.’’

‘’Apa? Ada apa, Takaki?’’

Arisu menunjukkan ekspresi bingung mendengar gumamanku.

Memang, pikiranku terlalu berlebihan. Tapi, mengingat Togami yang kemarin, aku tidak bisa mengabaikan hal ini.

‘Tidak, rasanya tidak enak kalau aku terlambat datang dan tidak melakukan apa-apa, jadi aku akan pergi ke gudang olahraga untuk berjaga-jaga. Mungkin masih ada pekerjaan yang tersisa.’

‘‘Heh, kamu bicara begitu mulia. Apa besok akan turun salju?’’

‘‘Mottoku adalah hidup dengan kesungguhan dan ketulusan.’’

“Setelah hampir tujuh tahun bersama, ini pertama kalinya aku mendengarnya. Dan orang yang punya motto seperti itu tidak mungkin hampir tidak lulus, kan?”

‘‘Ugh, itu... yah...’’

Saat aku sedang berdebat pelan dengan Arisu, Hourai-senpai berhenti bekerja dan melihat ke arah kami.”

“Gujou, kalau begitu, bagaimana kalau aku ikut juga? Pekerjaan di sini hampir selesai...”

“Tidak, tidak perlu! Aku bisa melakukannya sendiri!”

“Be-benarkah...? Kalau begitu, baiklah.”

Hourai-senpai terlihat sedikit bingung ketika aku buru-buru menolaknya.

Memang mungkin tidak terjadi apa-apa, tetapi jika benar terjadi sesuatu, akan ada banyak hal yang tidak nyaman jika ada orang lain bersamaku.

Lapangan sekolah Reishu terletak sedikit lebih rendah dari kompleks gedung sekolah dan taman tengah, dengan sekitar dua puluh anak tangga yang menghubungkannya. Di lantai yang sama dengan lapangan, ada juga lapangan tenis, aula olahraga, dan dojo. Aula olahraga dan dojo terhubung ke gedung sekolah melalui tangga dan lorong penghubung.

Gudang olahraga kedua yang dibicarakan itu berada di ujung lapangan, dan di belakangnya ada lereng yang ditumbuhi pepohonan. Karena letaknya agak jauh dari deretan ruang ganti klub olahraga, tidak ada siswa yang terlihat di sekitarnya.

Saat aku mendekati pintu, gembok di pintu masuk sudah dilepas.

“Halo, ada orang di dalam?”

Sambil memanggil ke dalam, aku menggeser pintu logam berat itu.

Terdengar suara seperti sesuatu yang tersangkut, tapi tampaknya pintunya tidak terkunci.

Dengan suara berderit, pintu terbuka. Di dalam gudang yang penuh debu, lampu menyala, dan aku bisa melihat tali-tali tua, matras senam, dan tatami yang berjajar di sepanjang dinding.

“Ah!? S-siapa di sana...?”

“Togami, kamu di sini!?”

Sekilas aku tidak melihat ada orang, tapi terdengar suara Togami dari dalam gudang. Meskipun suaranya sedikit teredam, jelas dia ada di dalam.

Di mana? Di mana dia?

Aku memeriksa seluruh gudang, tapi tetap saja tidak terlihat sosoknya.

“Apakah itu kamu, Gujou-san? Aku di sini, di sini!”

Togami berbicara dengan suara yang terdengar tertahan, seolah berusaha agar tidak terlalu keras. Mengikuti suaranya, aku melihat ke arah jendela kecil yang terletak cukup tinggi.

Dari jendela yang menghadap ke luar, bagian bawah tubuhnya terlihat menggantung.

.............

.....................!?

Dengan suara “gachan”, aku menutup pintu gudang.

Sekarang, mari tenang sejenak dan coba menganalisis situasi ini.

Premis pertama: manusia tidak bisa hidup hanya dengan bagian tubuh bawah. Artinya, jika ada bagian bawah tubuh, biasanya bagian atas tubuh juga ikut ada.

Premis kedua: tidak mungkin ada tubuh bagian bawah yang tumbuh dari jendela. Artinya, jika ada tubuh bagian bawah yang terlihat dari jendela, bagian atas tubuh pasti ada di sisi lain.

Premis ketiga: di dalam gudang olahraga ada Togami. Dan Togami adalah orang yang sangat ceroboh.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari sini hanya satu, tapi aku merasa ingin mengabaikan kesimpulan itu, berbalik, dan pulang. Aku ingin melepaskan segalanya dan hidup tenang seperti Tujuh Orang Bijak dari Hutan Bambu. Aku tidak ingin lagi berurusan dengan kebodohan manusia yang tidak masuk akal ini…!

“Gujou-san!? Aku di dalam! Di dekat jendela!”

“...Hah.”

Suara itu terdengar lagi dari dalam, membuatku menghela napas panjang, pasrah.

Jika didengar lebih jelas, meskipun pintunya tertutup, suara itu datang dari sisi lain gudang. Bagian atas tubuhnya mungkin berada di luar tembok.

Aku mengerahkan tenaga ke lenganku yang masih memegang pegangan pintu, dan dengan suara yang lebih ringan daripada sebelumnya, pintu itu pun terbuka.

Di dalam gudang yang remang-remang, bagian bawah tubuh yang menonjol keluar dari jendela diterangi samar-samar oleh cahaya yang masuk dari pintu dan jendela. Aku sempat berpikir bahwa ini seperti lukisan surealis... tapi rasanya aku harus meminta maaf kepada surealisme untuk perbandingan ini.

Kedua kakinya berdiri di atas tumpukan matras olahraga, dan paha Togami terlihat tepat di depan pandanganku.

Singkatnya, Togami berada dalam posisi “terjebak di dinding dengan pantat menonjol keluar.”

...Apakah ada laporan situasi yang lebih menyedihkan dari ini?

“Umm, ini kaki Togami, kan?”

“Iya, ini kakiku.”

“Kamu terjebak di kusen jendela dan tidak bisa bergerak, ya?”

“Seperti yang kamu lihat.”

Suara Togami terdengar sedikit teredam dari balik jendela.

Dalam situasi ini, apakah aku harus berbicara ke kakinya, atau sebaiknya aku berbicara ke wajahnya yang seharusnya ada di luar dinding? Yang mana yang lebih tepat...?


Aku berbicara kepada bagian tubuh yang hampir terlihat, tepat di perbatasan antara jendela dan sisi dalam, mengarah ke perut yang tampak.

“Aku boleh mengajukan beberapa pertanyaan?”

“Tentu saja. Silakan tanyakan apa pun.”

“Kenapa hanya dengan separuh badanmu, kamu bisa memberikan jawaban yang terdengar begitu meyakinkan?”

Suara yang tegas kembali, suara yang tidak dapat dipercaya keluar dari seseorang yang terjebak di kusen jendela, dan aku tanpa sadar berkomentar.

“Itu tidak sopan. Aku juga punya bagian tubuh atas.”

Dari sini, aku tidak bisa melihatnya, jadi rasanya kurang nyata.

Aku ingin menghabiskan waktu sekitar satu jam untuk menginterogasinya soal ini, tapi rasanya buang-buang waktu, jadi aku putuskan untuk menyerah.

“Pertanyaan pertama, apakah mungkin Togami terjebak di kusen jendela ini karena suatu jenis hobi khusus?”

“Hah? Apakah kamu benar-benar berpikir ada hobi di dunia ini yang melibatkan memasukkan tubuh ke dalam jendela gudang olahraga?”

“Aku tahu itu tidak ada, tapi aku ingin bertaruh pada kemungkinan!”

“Maaf, kita tidak punya banyak waktu sekarang, jadi mari hentikan obrolan yang tidak perlu.”

“Saat bagian bawah tubuhmu mengucapkan sesuatu yang terdengar masuk akal, itu benar-benar membuatku marah!”

“Dan, satu hal lagi, sejak tadi kamu memanggilku ‘bagian bawah tubuh’, tapi aku juga punya bagian atas tubuh.”

“…Kalau kamu baik-baik saja begini, aku bisa pulang sekarang, kan?”

“Maaf, Gujou-san, tolong bantu aku.”

Setelah sedikit mengancam, Togami akhirnya menjadi jujur. Jika dia bisa seperti ini sejak awal, seharusnya dia langsung minta tolong. Maksudku, dalam keadaan terjebak di kusen jendela, aneh rasanya kalau dia tidak langsung meminta bantuan.

Setelah mendengar ceritanya dengan singkat, Togami menjelaskan bahwa dia baru saja menyelesaikan pekerjaannya di gudang olahraga dan hendak keluar, tetapi pintunya tidak bisa dibuka. Karena itu, dia mencoba melarikan diri melalui jendela, namun akhirnya terjebak di kusen jendela hingga sekarang.

Ngomong-ngomong, saat aku masuk ke gudang tadi, aku merasakan sesuatu yang seperti tersangkut. Ketika aku kembali ke pintu dan memeriksa sekeliling, ada jejak geseran pada papan kayu (suno) yang terletak di samping pintu.

“Togami, apa kamu menyentuh papan kayu di sini?”

“Papan kayu? Seingatku, aku memindahkannya sedikit karena mengganggu pekerjaan.”

“Pantas saja.”

Sepertinya papan kayu itu menghalangi jalur pintu geser, sehingga pintunya tidak bisa dibuka.

Setidaknya, aku merasa lega karena tidak ada yang sengaja menjebaknya di sini. Namun, ketidakmampuan Togami yang terjebak di kusen jendela karena ulahnya sendiri membuatku semakin khawatir. Rasanya lebih baik jika dia dijebak oleh seseorang, karena setidaknya itu bisa diantisipasi.

Aku kembali memandang ke arah Togami (bagian bawah tubuhnya). Dari sisi ini, yang terlihat hanya rok dan kakinya, dan pemandangan ini sungguh konyol. Apalagi, karena dia terus berusaha melepaskan diri, roknya sedikit tersingkap, dan itu membuatku sedikit resah. Tentu saja, aku tidak bisa menyentuhnya untuk merapikannya, dan jujur saja, ini cukup membuat jantungku berdegup kencang.

Melihat kondisi Togami yang begitu menyedihkan, aku hanya bisa menghela napas sambil memegangi kepalaku.

“Hah... kenapa ini bisa terjadi?”

“Gujou-san, sekarang bukan saatnya untuk bersedih. Kita harus memikirkan cara bagaimana bisa keluar dari sini tanpa ada yang mengetahuinya.”

“Kenapa kamu bisa tetap tenang dalam keadaan terjepit di dinding seperti ini?”

“Kabejiri... apa itu?”

Sial, tanpa sengaja aku mengucapkan istilah “kabejiri”, yang mungkin sedikit sensitif. Sungguh, aku tidak mempelajarinya dengan sengaja. Di era internet seperti sekarang, sulit menghindari pengetahuan seperti itu, seolah-olah kita menghisapnya secara pasif.

“Jangan khawatir tentang itu. Sekarang mari kita pikirkan cara keluar dari situasi ini.”

Jika terlalu lama berleha-leha dan siswa lain menemukannya, ketua OSIS kita bisa dianggap sebagai orang bodoh yang terjebak di kusen jendela gudang olahraga. Meskipun memang begitu kenyataannya, martabat OSIS akan hancur.

Jika pekerjaan OSIS menjadi sulit, itu juga akan merugikan diriku, jadi meskipun tidak sepenuhnya rela, aku harus menolong Togami.

“Tunggu sebentar.”

Aku memutuskan untuk keluar dari gudang sebentar dan memeriksa keadaan Togami (bagian atas tubuhnya).

Beruntung, gudang olahraga kedua ini terletak di sudut sekolah. Saat aku keluar, para siswa dari klub olahraga sedang beraktivitas di lapangan yang agak jauh, dan tidak ada yang memperhatikan ke arah sini.

Aku berjalan ke belakang gudang, yang menghadap lereng yang dipenuhi pepohonan.

Bagian atas tubuh Togami mencuat dari tempat yang kira-kira satu kepala lebih tinggi dari diriku. Rambut hitam panjangnya menjuntai ke bawah karena tertarik oleh gravitasi, dan jika aku tidak tahu bahwa bagian bawah tubuhnya terjebak di dalam, pemandangan ini akan sangat menyeramkan. Jika aku bertemu dengannya di jalan gelap, aku pasti akan ketakutan hingga terjatuh.

Blazer Rishu yang terkenal karena desainnya yang populer kini sedikit kotor, mungkin karena Togami memaksakan diri untuk melewati kusen jendela.

“...Hei.”

Aku tidak tahu harus mengatakan apa, jadi aku hanya mengangkat tangan sedikit dan menyapa Togami (bagian atas tubuhnya).

Togami menatapku dengan ekspresi canggung dari atas. Wajahnya masih tampan seperti biasanya, meskipun dalam situasi seperti ini, yang entah kenapa membuatku sedikit kesal.

“Halo.”

“Entah kenapa rasanya kita sudah lama tidak bertemu.”

“Jangan konyol. Apa kamu pikir tubuh bagian atas dan bawahku adalah dua entitas yang terpisah?”

Meskipun apa yang dia katakan benar, aku tidak ingin mendengar logika dari seseorang yang terjebak di kusen jendela. Aku selalu agak skeptis dengan pernyataan bahwa siapa yang berbicara lebih penting daripada apa yang diucapkan, tapi kali ini aku tidak bisa tidak setuju.

Aku mencoba memulai percakapan lagi.

“Eh... kamu baik-baik saja?”

“Aku ingin melihat seseorang yang tetap baik-baik saja setelah terjebak di jendela.”

“Benar juga.”

“Perasaanku benar-benar buruk. Haa...”

Togami menghela napas kecil dengan wajah lesu.

Saat berada di dalam, aku tidak menyadari, tapi sekarang setelah melihat wajahnya, terlihat jelas bahwa Togami sedikit frustasi. Posisi tubuhnya, dengan bagian atas yang terjulur keluar dari jendela dan tangannya bertumpu di dinding untuk menopang tubuhnya, terlihat cukup melelahkan.

Aku merasa campuran antara keinginan untuk membantunya (sekitar 30%) dan keinginan untuk segera pulang (sekitar 70%), jadi aku mencoba memberikan saran yang konstruktif.

“Bagaimana kalau kamu mundur perlahan? Mungkin kamu bisa kembali seperti saat kamu masuk tadi.”

Setidaknya, jika dia bisa keluar dari dalam, seharusnya ada ruang untuk menarik kembali tubuhnya.

Namun, Togami menjawab dengan pipi yang memerah.

“Masalahnya, saat keluar tadi, aku memaksakan diri, jadi berhasil. Tapi ketika mencoba mundur, dadaku tersangkut...”

“Oh, dengan ukuran itu... ehem, baiklah, aku mengerti situasinya.”

Dada Togami, yah, agak berada di luar ukuran yang biasa. Sepertinya itulah alasan mengapa dadanya tersangkut di kusen jendela, seperti kaitan yang terjebak.

Memiliki dada yang terlalu besar juga bisa jadi masalah... tapi di kehidupan normal, tidak mungkin ada orang yang terjebak di kusen jendela seperti ini.

“Bagaimana kalau didorong dari belakang? Mungkin kamu bisa keluar dengan cara itu.”

“Mungkin bisa, tapi masalahnya, dindingnya terlalu dekat dan tingginya pas-pasan, jadi tidak ada tempat untuk kakiku menapak dengan kuat. Kalau aku mencoba keluar, aku harus mendorong dengan keras menggunakan tangan yang menempel di dinding, tapi aku khawatir akan jatuh dengan kepala duluan.”

“Benar juga. Itu memang berbahaya.”

Saat ini, bagian atas tubuh Togami berada hampir dua meter dari tanah. Meskipun tanahnya belum diaspal, jika dia jatuh ke depan dalam posisi seperti itu, tidak aneh kalau dia bisa patah tulang.

“Baiklah, aku akan melakukan sesuatu.”

Aku kembali ke dalam gudang dan mengeluarkan beberapa papan kayu (suno) yang bisa digunakan sebagai alas, lalu menyusunnya di bawah tubuh bagian atas Togami. Setelah itu, aku meletakkan beberapa matras olahraga sebagai bantalan. Matrasnya disimpan di gudang olahraga cadangan, jadi agak berdebu, tapi Togami harus bisa menahannya.

Jarak antara tubuh bagian atas Togami dan matras kira-kira satu setengah meter. Entah seberapa berguna, tapi lebih baik ada daripada tidak sama sekali. Aku pernah mendengar rumor bahwa Togami punya kemampuan fisik yang baik, jadi aku akan percaya bahwa dia bisa mendarat dengan baik.

“Jika aku bisa menggunakan kedua tanganku, mungkin aku akan baik-baik saja.”

“Terima kasih! Kalau begitu, Gujou-san, tolong dorong aku dari belakang. Aku pikir aku bisa keluar dengan cara itu.”

“Oke. Kalau terasa berbahaya, beri tahu aku.”

Aku kembali ke dalam gudang dan berhadapan lagi dengan bagian bawah tubuh Togami. Entah kenapa, rasanya seperti sudah lama tidak bertemu dengannya.

Ngomong-ngomong, hari ini aku lebih banyak berbicara dengan bagian tubuh atas atau bawahnya ya...?

Saat aku tenggelam dalam pertanyaan yang tidak berarti, terdengar suara Togami dari luar.

“Kalau begitu, Gujou-san. Tolong dorong dengan sekuat tenaga.”

“Oh... huh?”

Aku menjawab, tapi kemudian mendadak terdiam.

Meskipun Togami berkata “dorong”, sebenarnya aku bingung. Bagian mana yang harus aku dorong?

Di depanku, bagian bawah tubuh Togami dari atas ke bawah adalah: pantat, paha, belakang lutut, betis, pergelangan kaki, dan sepatu loafers-nya.

...Bagaimanapun juga, tidak peduli bagian mana yang aku dorong, pemandangan ini pasti akan terlihat sangat mencurigakan, bahkan bisa dibilang kriminal.

“Ada apa, Gujou-san? Tolong dorong aku!”

Togami mendesakku dari luar, jadi aku memutuskan untuk bertanya padanya.

“Eh, begini... Togami.”

“Apa?”

“Sebenarnya, aku harus mendorong bagian mana?”

“Tentu saja, di... ehm, pantat... atau mungkin paha... eh, tunggu, itu...”

“.........”

Sepertinya Togami juga baru menyadari masalah dari rencana ini.

Keheningan canggung terjadi.

“.....................”

“...........................”

“Eh, Gujou-san...”

“Oh.”

“Aku akan menggunakan kedua tanganku untuk mendorong diri keluar dari sini. Bisakah kamu keluar dan membantuku agar aku bisa mendarat dengan aman?”

“Dimengerti.”

Aku segera keluar dari gudang dan menuju ke tempat bagian atas tubuh Togami berada. Togami sudah menempelkan kedua tangannya di dinding, siap untuk mendorong.

“Baiklah, aku akan berusaha sekuat tenaga.”

“Baik, aku akan menunggu di bawah dan siap menangkapmu jika ada yang berbahaya.”

“Tolong ya.”

Setelah berkata begitu, Togami mulai mengerahkan kekuatannya, terdengar suara “uuuuuuh” saat dia menekan kedua tangannya ke dinding. Mungkin dia juga menendang matras di bagian kakinya.

Perlahan-lahan tubuh Togami mulai keluar dari kusen jendela. Pada saat yang sama, tubuh bagian atasnya yang kehilangan keseimbangan mulai condong ke arahku.

“Kyah!”

Tubuh bergoyang keras, dan bersamaan dengan itu, Togami mengeluarkan teriakan kecil.

Dia memegang kusen jendela dengan kedua tangan, tubuhnya dalam posisi yang menggantung dengan canggung.

“Tolong... tolong tunggu sebentar!”

“Tidak apa-apa, meskipun jatuh, aku akan menangkapmu.”

“Tetap saja, posisi ini sangat menakutkan! Sudut pandang ini tidak mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari!”

“Yang tidak mungkin itu justru terjebak di kusen jendela!”

“Ini ketiga kalinya dalam hidupku!”

“Aku tidak tahu kehidupan yang aneh seperti itu!”

Setelah mendengar informasi yang tidak masuk akal itu, aku secara refleks hampir mendorongnya. Apa artinya menjalani hidup lima belas atau enam belas tahun dan tiga kali terjebak di kusen jendela? Bagaimanapun, siapa yang mencoba keluar dari jendela selain tahanan yang berusaha melarikan diri?

“Kalau tidak cepat keluar, seseorang akan menemukannya! Aku mohon, berusahalah sedikit!”

“Ugh... kenapa aku harus mengalami hal seperti ini...”

Aku ingin mengatakan itu adalah kalimatku. Kenapa aku yang harus mengambil peran menangkap gadis yang terjebak di kusen jendela ini?

“Mungkin aku tidak bisa melakukannya... rasanya tidak mungkin keluar...”

“Hei, jika kamu menyerah, di situlah pertandingan berakhir! Setidaknya, sebagai ketua OSIS, ini akan berakhir!”

Dengan mata kosong dan senyum tipis, Togami mulai berbisik-bisik dengan ucapan yang negatif.

Ngomong-ngomong, kemarin di ruang OSIS juga dia seperti ini. Meskipun biasanya Togami terlihat sangat percaya diri, tampaknya di dalam hatinya, dia cukup negatif.

“Fufu... aku akan hidup selamanya terjebak di kusen jendela... Karena tidak bisa bergerak, aku akan semakin gemuk, dan perutku akan semakin pas di kusen jendela ini...”

“Pasti ada seseorang yang akan menemukannya dan mengeluarkanmu.”

“Ahaha, benar juga... Aku akan menjadi terkenal sebagai ketua OSIS yang terjebak di kusen jendela... Dan kisahku akan dibicarakan di SMA Reishu sampai generasi mendatang...”

“Yah, mungkin ini akan jadi bahan obrolan ringan di kelas oleh para Sensei.”

“Ah, itu sebenarnya hal yang tidak ingin aku dengar! S-sebenarnya aku juga tidak mau ditemukan oleh siapapun!”

Setelah melampiaskan segala pikiran negatifnya, Togami mulai menguatkan dirinya lagi dan kembali memegang erat kusen jendela dengan kedua tangannya.

“Grunnn...!”

“Bagus, teruskan seperti itu.”

“Ugh... ughh... nnnghh... aghhh...”

Suara yang seharusnya tidak keluar dari seorang perempuan terdengar, tetapi mengingat dia terjebak di kusen jendela, tindakan ini sendiri sudah tidak pantas untuk seorang perempuan, jadi aku memilih untuk mengabaikannya.

Sementara itu, Togami berhasil keluar sampai ke pinggulnya.

“Bagus, Togami! Teruskan seperti itu!”

“Um, Gujou-san...”

“Ada apa!?”

“Pantatku... sepertinya... tersangkut...”

“Perkecil dengan semangat!”

“Jangan bicara yang tidak masuk akal!”

“Tidak masalah, berdasarkan perkiraanku, pantat Togami lebih kecil dari dadanya!”

“K-kapan kamu membuat perkiraan paling buruk seperti itu!?”

Togami menatapku dengan pandangan yang penuh ketakutan. Tidak kusangka, akan ada hari di mana aku ditatap jijik oleh gadis yang terjebak di kusen jendela.

“Itu hanya asal bicara, tapi rasanya seperti begitu!”

Sebenarnya, tadi aku memperkirakan itu saat berbicara dengan setengah badan bawah Togami, tapi jika aku mengatakan ini, dia pasti akan semakin jijik, jadi aku memilih untuk merahasiakannya.

“Memang, bagian dada juga tertutupi blazer yang tebal, dan aku memakai banyak lapisan pakaian di dalamnya. Jadi, dibandingkan dengan itu, kain di bagian pantat mungkin lebih mudah untuk melewatinya.”

Dalam situasi kritis ini, Togami justru mengeluarkan pendapat yang sangat konstruktif. Aku langsung teringat pada teori tak masuk akal yang pernah kudengar, seperti “kecoa jadi jauh lebih pintar saat terpojok.” Seandainya saja dia bisa menunjukkan kecerdasannya sebelum terjebak di kusen jendela ini.

“Itu semangat yang bagus. Memang secara gravitasi akan sulit, tapi bisakah kamu mengangkat kaki atau melakukan sesuatu untuk menggeser pusat gravitasi ke arah sini?”

“Baik, aku akan mencobanya!”

Togami menekan kedua tangannya ke dinding luar, dan dengan kekuatan, dia mulai mendorong tubuhnya ke depan.

Kemudian, dalam posisi yang menghadap ke bawah, Togami perlahan-lahan tergelincir ke arahku.

“Gu... nu... nu... Kyaa!!”

“Tidak apa-apa, bagus, teruskan!”

Aku berusaha mencegah Togami jatuh terbalik dengan wajah terlebih dahulu, menyelipkan kedua tanganku di bawah ketiaknya dari samping untuk menopangnya.

Jika aku menurunkannya perlahan seperti ini, hampir tidak akan ada guncangan sama sekali.

“Gujou-san, kamu, err, menyentuh... dadaku!”

“Itu ketiak! Itu ketiak, kok!”

“Benarkah!? Tapi, err, kurasa agak meleset sedikit, bukan?”

Setelah dia mengatakan itu, aku mulai menyadari ada semacam sesuatu yang sedikit membulat yang terasa di tanganku. Namun, ini masih sebatas kemungkinan, dan kemungkinan besar itu adalah bagian dari ketiak.

Bagaimanapun, saat ini aku sangat sibuk memastikan Togami mendarat dengan aman, sehingga aku benar-benar tidak punya waktu untuk memikirkan sensasi yang kurasakan. Aku perlahan memperbaiki posisi tanganku ke sisi ketiaknya untuk mengalihkan perhatian.

“Sekarang bukan waktunya untuk memikirkan hal seperti itu! Jika secara tidak sengaja aku menyentuhnya, tolong abaikan saja!”

“Apakah... apakah ini yang disebut pelecehan!?”

“Jika tidak mau terluka, diamlah!”

Tanpa konteks, kata-kata ini terdengar seperti ucapan seorang penjahat, tapi aku dengan susah payah menopang tubuh Togami.

Togami memang punya tubuh yang ramping, tapi tetap saja, menopang berat satu orang manusia itu tidak ringan. Kakiku juga mulai gemetar.

“Ki... kyaaa!!”

“Uooo!!”

Seluruh tubuh Togami tiba-tiba tergelincir dan terlempar ke atas matras. Untuk mengurangi dampak jatuhnya, aku menahan tubuhnya dan menjadi alas di bawahnya.

Selama beberapa detik, kami berdua tergeletak dengan tubuh yang bertumpuk di atas matras, napas kami terengah-engah. Aku dan Togami sama-sama melepaskan ketegangan, merasa sedikit linglung.

...Tidak ada makna yang dalam sebenarnya, tapi entah mengapa jika ditulis, ini jadi terasa seperti ada makna yang dalam.

“Hah... hah... hah... Togami, kamu baik-baik saja? Tidak ada luka, kan?”

“Y-ya... Gujou-san, maafkan aku. Aku tadi menindihmu... ah!”

Dengan panik, Togami melompat mundur, dan aku pun terbebas dari beban. Meskipun tubuh Togami ramping, dia cukup tinggi, jadi beratnya lumayan terasa.

“Gujou-san, kamu benar-benar tidak terluka, kan?”

“Tidak apa-apa. Malah aku yang harus minta maaf karena tadi menyentuh tubuhmu.”

“Tidak, itu situasi darurat... aku tidak mempermasalahkannya.”

“Syukurlah. Kalau kamu menuntut, mungkin aku bakal kalah.”

“Aku tidak akan melakukan hal seperti itu pada orang yang sudah menyelamatkanku, dan mungkin ada beberapa alasan yang bisa meringankan hukuman, kan...?”

Setelah saling melempar candaan ringan, akhirnya kami berdua mulai kembali tenang.

Untuk menghilangkan semua bukti, kami berdua berbagi tugas untuk mengembalikan matras dan papan kayu yang kami susun tadi ke gudang. Meskipun aku berpikir Togami mungkin akan kelelahan, ternyata dia memiliki stamina yang lebih dari yang aku kira, dengan semangat mengangkut papan kayu.

Setelah semua pekerjaan beres, aku duduk di pojok gudang dan menarik napas panjang.

“Fuh, akhirnya selesai juga.”

“Um…”

“Hm?”

“Terima kasih banyak. Gujou-san benar-benar pahlawan bagiku.”

Dengan seragamnya yang berdebu, Togami tersenyum dan menampilkan ekspresi yang benar-benar lega. Melihat wajah seperti itu, semua sarkasme yang ada di pikiranku pun lenyap.

...Yah, sebenarnya aku tidak keberatan membantu orang yang sedang dalam kesulitan. Hanya saja masalahnya adalah orang itu adalah ketua OSIS kita yang luar biasa ceroboh.

“Maafkan aku karena menunjukkan sisi diriku seperti ini, apalagi setelah kejadian kemarin.”

“Jangan terlalu dipikirkan. Hal seperti ini… yah, bisa terjadi atau tidak terjadi pada siapa saja.”

“Itu tidak menghibur sama sekali! ...Hah. Benar-benar, aku hanya merepotkan Gujou-san.”

Togami terlihat lebih membungkuk dari biasanya, dan tampak agak terpuruk. Mungkin karena dalam waktu singkat, kelemahan yang selama ini dia sembunyikan terus-menerus terlihat, jadi dia sedikit terkejut.

“Nah, Togami.”

“Ada apa?”

“Bolehkah aku tidak menceritakan ini pada anggota OSIS lainnya?”

“Eh?”

Mata Togami bergetar, menunjukkan rasa takut. Aku berusaha berbicara dengan nada suara yang alami, agar tidak terlihat mengintimidasi.

“Yah, begini. Setelah hal seperti ini terjadi berturut-turut, akan sulit untuk terus menyembunyikannya dari anggota OSIS. Jadi, mungkin lebih baik jika sejak awal kamu jujur saja kalau... yah, kamu punya beberapa kelemahan, dan meminta dukungan. Bukankah itu akan lebih lancar?”

Dengan begitu, bebanku juga akan berkurang, dan risiko kelemahan Togami terbongkar pun akan lebih kecil. Sebagai seseorang yang bergabung dengan OSiS untuk menghindari tinggal kelas, aku juga ingin menghindari masalah dalam operasional OSIS karena Togami. Meskipun aku merasa kasihan padanya yang ingin menyembunyikan kelemahannya, menurunkan risiko dengan sedikit malu jauh lebih efisien.

Begitu pikirku, namun ekspresi Togami tampak murung, dan ia menunduk.

“Aku...”

“Hm?”

“Aku harus sempurna.”

Kata-kata itu keluar dengan susah payah dari mulut Togami.

Meskipun suaranya lemah, aku bisa merasakan tekad yang jelas di baliknya.

“Satu-satunya cara aku bisa diterima adalah dengan menjadi sempurna. Karena itu, aku juga harus menjalankan tugas ketua OSIS dengan sempurna. Aku tidak bisa membiarkan orang lain tahu kalau aku adalah seseorang yang bisa terjebak di kusen jendela gudang olahraga seperti ini.”

Memang akan memalukan jika orang lain tahu kalau kamu bisa terjebak di kusen jendela.

“Tapi, faktanya pekerjaanmu sudah terganggu...”

Ketika aku mencoba menolak, Togami tiba-tiba menundukkan kepalanya dengan cepat. Rambut hitamnya yang berkilau jatuh dan hampir menyentuh tanah.

“Tolong!! Jika Gujou-san mau tetap diam, aku akan melakukan apa saja!! Aku bisa mengerjakan semua tugas sebagai sekretarismu, atau bahkan mengerjakan semua tugas sekolahmu.”

“...”

Saat aku masih diam, Togami mengatupkan kedua tangan di depan dadanya dan memandangku dengan tatapan memohon.

“Aku akan melakukan apa saja untukmu! A-aku tahu, pria biasanya suka hal-hal... yang, e-erotis, jadi, kalau itu yang kamu mau, aku...”

“Tenang dulu, Togami.”

“Aduh.”

Aku menepuk kepala Togami dengan ringan, menghentikan aksinya yang mulai lepas kendali.

Secara refleks, dia memegangi puncak kepalanya dengan kedua tangan. Barulah saat itu dia menyadari kalau dia baru saja mengatakan sesuatu yang aneh.

“T-Tolong maafkan aku. Aku mengatakan hal yang aneh.”

“Tenang dulu, mari kita bicara dengan kepala dingin, oke?”

“Iya...”

Togami terlihat lesu dan menyesal, namun tekadnya tampaknya tak berubah. Dia menatap mataku dengan serius, dengan ekspresi sungguh-sungguh.

“Gujou-san, sekali lagi kumohon. Tolong rahasiakan apa yang terjadi kemarin dan hari ini.”

“Tadi kamu bilang ingin diakui dengan menjadi sempurna, kan?”

“Benar. Aku punya alasan untuk menjadi ketua OSIS yang ideal.”

“Yah... aku bisa mengerti perasaanmu, kira-kira.”

Aku juga pernah melalui masa-masa di mana aku ingin diakui oleh seseorang. Saat aku masih di sekolah dasar, ibuku meninggal karena sakit, dan aku hidup hanya dengan ayah. Namun, kemudian ayahku harus bekerja di luar negeri, dan karena aku menolak untuk pindah sekolah, aku tinggal bersama bibiku.

Sebelum ayah meninggalkan Jepang, dia berkata, “Aku akan kembali ketika Takaki sudah menjadi siswa SMA.”

Karena itu, aku berusaha keras agar ketika ayah kembali ke Jepang, aku bisa membanggakannya. Selama tiga tahun di SMP, aku selalu mendapatkan nilai terbaik dan bahkan menjadi ketua OSIS. Aku juga berjuang keras untuk ujian masuk SMA dan akhirnya berhasil diterima di SMA Reishu yang bergengsi. Meskipun jarang bisa melakukan video call dengan ayah karena kesibukannya, aku tetap percaya pada kata-katanya.

Harapanku hancur seketika saat mendapat kabar tepat sebelum masuk SMA, “Kepulangan ditunda. Mungkin aku tidak akan pulang selama tiga tahun lagi.”

Tentu saja, aku sangat terpuruk. Selama libur musim semi, aku tidak bisa fokus belajar, dan mungkin aku tidak akan datang ke upacara penerimaan siswa baru jika bukan karena Arisu yang mengajakku.

Setelah beberapa waktu, aku mulai bisa menerima keadaan, tapi tak lama kemudian aku mengalami patah tulang, yang membawaku pada situasi sekarang. Patah tulang dan ujian tengah semester menjadi pukulan terakhir, tapi mungkin sebelumnya ada rasa kehampaan yang mendasarinya.

Berapa pun kerasnya usaha yang kulakukan, semuanya bisa sia-sia karena hal-hal di luar kendaliku.

Kehampaan itu masih ada di dalam diriku hingga kini.

“Semuanya mungkin akan sia-sia.”

“Eh?”

Kata-kata itu keluar begitu saja tanpa kusadari. Tak tahu harus melampiaskan perasaanku ke mana, aku melanjutkan bicara dengan apa yang terlintas di pikiranku.

“Hanya karena kita berusaha, bukan berarti kita akan berhasil. Dunia ini memang seperti itu, kan? Semua usahamu bisa saja hancur karena sesuatu yang tidak bisa kamu kendalikan. Dalam dunia seperti itu, apa gunanya berusaha?”

Seperti yang terjadi padaku, usaha keras Togami saat ini juga mungkin tidak ada artinya.

“Ya, mungkin saja begitu,” jawabnya.

“Eh?”

“Aku juga merasakan perasaan bahwa semua bisa saja sia-sia,” kata Togami dengan tenang, mengejutkanku.

Aku tidak menyangka dia akan menyetujui ucapanku yang penuh emosi. Sebenarnya, aku lebih mengira dia akan menentang pendapatku.

Namun, kenapa?

“Lalu, kenapa kamu tetap mengejar kesempurnaan?”

“Karena itu adalah makna hidupku saat ini.”

Togami menatapku lurus dengan sorot mata yang tegas. Tatapan itu membuatku terdiam, seolah kata-kataku tersangkut di tenggorokan.

“Aku tahu, mungkin saja setelah semua usaha ini, tidak ada hasilnya. Tapi menurutku, itu bukan alasan untuk tidak berusaha. Setidaknya, fakta bahwa aku telah berusaha akan tetap ada. Kalau pada akhirnya memang tidak ada apa-apa, aku hanya ingin bisa melihat ke belakang dan berpikir, ‘Dulu aku sudah berusaha sebaik mungkin.’”

Pancaran semangat dari Togami terasa menyilaukan. Dia memiliki sesuatu yang telah hilang dari diriku tanpa kusadari. Aku merasa begitu.

Togami menundukkan kepala sedikit kepadaku yang tak mampu berkata apa-apa.

“Maaf, kalau aku terdengar sombong. Ayo, kita keluar dari sini. Kalau terlalu lama, kita bisa dicurigai,” katanya sambil tersenyum sedikit malu, menepuk-nepuk debu yang menempel di seragamnya.

Ah, benar-benar... Melihat Togami seperti ini, aku merasa seperti melihat diriku yang dulu. Diriku yang dulu berusaha keras setiap hari, hanya untuk mendapatkan pujian dari ayah.

Aku menggaruk kepalaku dengan kasar, seolah ingin mengusir rasa cemas yang menggantung. Setelah menghela napas panjang, aku akhirnya memulai pembicaraan.

“Hei, Togami.”

“Ada apa?”

Mata Togami, sejuk seperti es yang mengambang dalam gelas pada musim panas, menatap lurus ke arahku. Cahaya yang masuk melalui jendela membuat debu yang berterbangan tampak berkilauan dengan indah. Hanya ada aku dan Togami, seolah kami berada di dasar laut yang tenang.

Aku ragu. Apakah ini akan dianggap lancang? Apakah aku akan mengganggunya? Pikiran-pikiran itu melintas di benakku.

Aku butuh waktu untuk mempersiapkan diriku. Setelah menarik napas dalam, aku pun membuka mulut.

“Bisakah kau izinkan aku untuk membantumu, Togami?”

“Eh?”

Togami menatapku dengan mata terbelalak, terkejut. Aku menelan ludah dan melanjutkan kata-kataku.

“Kamu adalah ketua OSIS, dan aku adalah salah satu anggota. Jika ada masalah, aku ingin kamu mengandalkanku.”

“Aku berencana untuk membagi pekerjaan sekretaris denganmu, Gujou-san,” katanya dengan nada bingung.

“Bukan hanya tentang pekerjaan OSIS. Kalau ada hal pribadi seperti hari ini yang menyulitkanmu, aku ingin kamu memintaku untuk membantu. Jika kamu melakukannya, aku tidak akan memberi tahu Arisu atau Hourai-senpai tentang ini.”

Ini benar-benar bertolak belakang dengan ucapanku sebelumnya. Namun, aku merasa jika tidak mengatakannya sekarang, aku akan menyesal.

Togami, yang masih tampak bingung dan belum sepenuhnya memahami situasi, perlahan bertanya dengan hati-hati.

“...Kenapa Gujou-san ingin melakukan semua ini untukku?”

“Ini bukan alasan yang begitu penting. Hanya saja, sudah terlanjur terlibat sejauh ini, kalau dibiarkan saja, perasaan jadi tak enak.”

Sebenarnya memang bukan alasan yang besar. Ini semua Cuma karena aku punya teman masa kecil yang selalu ikut campur, sehingga aku tidak bisa sepenuhnya jadi orang yang egois. Mungkin itu merugikan dalam menjalani kehidupan di masyarakat modern.

Togami, yang mendengarkan kata-kataku sambil berpikir, bergumam dengan wajah penuh keraguan.

“Memang benar, akan sangat membantu jika kamu menolong kami... Namun, tidak ada keuntungan bagimu, Gujoi-san... Ah! Jangan-jangan, ini soal uang!? Memang benar keluargaku kaya, tetapi uang yang bisa aku gunakan secara pribadi tidak terlalu banyak... Yah, jika sekitar empat atau lima juta sebulan, mungkin…”

“Ini bukan soal uang!”

Semua sifat buruk orang kaya terkumpul di sini. Meski hatiku sempat tergoyahkan mendengar jumlah yang begitu spesifik, aku tetap menahan diri.

Seharusnya dia bersyukur aku masih punya rasa malu untuk tidak membicarakan soal uang belakangan ini.

“Pokoknya, dari sudut pandangku, setidaknya aku tidak harus menanggung rasa bersalah, dan kau juga akan terbantu jika urusan OSIS berjalan lancar. Kalau begitu, ini saling menguntungkan.”

“Ya, memang begitu, tapi...”

“Apakah kamu tidak bisa mempercayaiku?”

“Tidak, aku sepenuhnya mempercayaimj, Gujou-san. Kemarin dan hari ini, kamu sudah membantuku.”

Diperlakukan dengan begitu mudah percaya malah membuatku merasa sedikit cemas. Dia sepertinya punya kepribadian yang mudah tertipu oleh penipu atau semacamnya.

“Hanya saja, aku merasa tidak adil jika Gujou-san tidak mendapatkan keuntungan apa pun.”

“Seperti yang dikatakan Sashiki-sensei, aku bergabung dengan OSIS untuk menghindari tinggal kelas. Menyelesaikan masa tugas OSIS dengan lancar adalah keuntungan bagiku.”

Berdasarkan pembicaraan sebelumnya, sepertinya tidak masalah kalau aku tidak bisa menjalankan tugasku sebagai pengurus OSIS dengan sempurna. Itu tidak langsung membuatku tinggal kelas, tapi untuk saat ini, anggap saja begitu.

“Kalau begitu, baiklah. Aku mengerti.”

Akhirnya, Togami tampaknya menerima dan mengulurkan tangannya. Aku terdiam sejenak, tidak mengerti maksudnya.

“Tolong bantu aku, Gujou-san.”

“...Ya, sama-sama.”

Aku baru sadar dia meminta jabat tangan setelah Togami sendiri yang meraih tanganku yang tergantung lemas di samping tubuhku, dan menggenggamnya.

Aku merasakan suhu dingin dari tangan Togami, dan sentuhan halusnya membuat hatiku bergetar. Dalam kegelapan samar gudang olahraga, setidaknya aku merasa sedikit terbantu. Padahal tadi aku sempat menyentuh bagian bawah lengannya, tapi hanya karena tangan kami bersentuhan, perasaan ini jadi begitu kuat. Aneh sekali.

◆◆◆

Saat senja mulai tiba, kami kembali ke ruang OSIS. Ketika membuka pintu, Arisu dan Hourai sedang duduk di meja panjang, menyeduh teh dengan teko yang tersedia, sambil menikmati kue kering. Mereka sepertinya sedang menikmati waktu yang sangat santai. Sementara itu, aku harus berurusan dengan seseorang yang tersangkut di kusen jendela, membuatku berlumuran debu.

“Oh, kalian lama sekali,” kata Arisu dengan tatapan curiga.

“Terima kasih atas kerja keras kalian berdua. Jika butuh lebih lama lagi, kami berencana untuk melihat keadaan kalian,” Hourai menambahkan dengan nada lega.

Melihat kami masuk, Arisu menatap kami dengan mata tajam yang penuh curiga, sementara Hourai-senpai terlihat lega.

“Ah, maaf soal itu. Tempatnya agak gelap, jadi pengecekannya memakan waktu lebih lama,” jawabku.

“T-Tepat sekali! Gujou-san banyak membantuku! Benar, terima kasih!” kata Togami dengan nada canggung. Aku tertawa kecil untuk menutupi rasa canggung itu dan dengan cepat mengambil ranselku, seolah ingin melarikan diri dari Togami yang mulai berbicara dengan nada aneh.

Hampir saja... Jika dua orang itu datang ke tempat tadi, pasti Togami tidak bisa menyembunyikan kekonyolannya.

“Kalau Takaki pulang, aku juga pulang. Senpai, mari kita bereskan teko dan cangkirnya?” kata Arisu.

“Benar juga. Kami juga sebaiknya pulang,” balas Hourai-senpai.

“A-Aku juga akan membantu!” tambah Togami.

Mereka mulai merapikan semuanya dengan cekatan, dan Togami ikut serta. Aku berpikir untuk membantu, tapi rasanya canggung untuk menyentuh peralatan yang sudah mereka gunakan, jadi aku membatalkan niat itu.

Kami berpisah dengan Togami yang pulang dengan berjalan kaki di dekat stasiun, dan dengan Hourai-senpai yang keretanya ke arah yang berlawanan, di depan gerbang tiket.

Aku dan Arisu menaiki kereta sebelum jam sibuk pulang kerja. Masih ada tempat duduk kosong di kereta yang kembali dari pinggiran kota ke arah pusat kota, jadi kami duduk bersebelahan di tengah bangku panjang.

Saat kereta mulai bergerak, Arisu, yang duduk di sebelahku, menatapku dengan wajah serius. Meski dia adalah teman masa kecilku, ketika wajah cantiknya mendekat seperti ini, aku tidak bisa menghindari rasa gugup.

“…Takaki, kamu lama sekali bersama Togami-san,” kata Arisu, nada suaranya terdengar sedikit curiga.

“Yah, banyak hal yang terjadi,” jawabku. Itu bukan bohong. Memang benar, banyak hal yang terjadi, dan tidak mudah dijelaskan hanya dengan “banyak hal.”

“…Aku mencium sesuatu,” lanjut Arisu.

“Hah?” Aku menatapnya bingung, tapi dia mendekatkan wajahnya ke seragamku, mencium-cium dengan hidungnya seperti anjing kecil.

“Baunya mirip dengan Togami-san. Ada sedikit bau debu… dan sedikit lagi, bau conditioner rambut yang dia pakai?”

Apa dia anjing? Dan sejak kapan dia mencium bau Togami juga?

“Yah, kami bekerja di gudang olahraga yang sama,” jawabku, mencoba menghindar. Tapi Arisu tidak menyerah.

“Tapi, sampai baunya nempel di rambutmu? Rasanya itu tidak mungkin kecuali… kau memeluknya atau semacamnya, bukan?”

Gadis ini terlalu tajam. Mungkin pekerjaan ideal untuk Arisu adalah jadi anjing pelacak. Atau mungkin jadi detektif. Aku pernah menonton drama lama yang diulang di TV, tentang seorang detektif yang menggunakan bau sebagai petunjuk.

“…Tidak mungkin, kan? Ini aku dan Togami yang kau bicarakan,” kataku, berusaha menjauhkan diri dengan cara menggeser sedikit posisi dudukku, menjaga jarak darinya.

Melihat reaksiku, mata Arisu semakin tajam. “Hmm… mencurigakan…”

Sampai beberapa puluh menit kemudian, sebelum kami turun dari kereta, aku berpura-pura tidur untuk menghindari interogasi lebih lanjut.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Join the conversation