[LN] Taidana Waru Katajikena Kizoku ni Tensei Shita ore, Shinario o Bukkowashitara Kikaku-gai no Maryoku de Saikyou ni Natta Volume 2 ~ Exstra Chapter [IND]

 


Translator : Nels 

Proffreader : Nels


Extra Chapter : Sebuah Pesta Dansa

Di 'Noblesse Oblige', ada berbagai macam event.

Turnamen tag team, festival budaya, Piala Pedang Sihir.

Episode yang menyenangkan di cerita aslinya terkadang tidak semenyenangkan itu di dunia nyata.

Dan event baru akan segera diadakan.

Aku merasa sedih.

Biasanya aku tidak terlalu terbawa emosi, tapi entah kenapa aku tidak bersemangat.

Mungkin karena ini tidak ada hubungannya dengan poin.

Aku terus memikirkan kenapa kami harus melakukan hal yang sia-sia seperti ini.

Meskipun, sepertinya semua orang kecuali aku sangat senang.

"Weiss-kun, ada apa? Apa kau sedang ada masalah?"

Saat aku sedang memikirkan itu, terdengar suara pelan dari sampingku.

Saat aku menoleh, di sana ada seorang gadis mungil dengan rambut pink sebahu dan tongkat sihir besar seukuran tubuhnya, seorang gadis penakut--ah, tidak, sekarang dia sudah berbeda.

Seorang jenius sihir terbang, Carta, sedang duduk di sana.

"Aku hanya sedang berpikir. Kau terlihat senang, Carta."

"Ehehe, ini pertama kalinya kita pergi bersama untuk memesan gaun dan jas, jadi aku sangat bersemangat."

"Begitu, ya."

Carta tersenyum lebih lebar dari biasanya. Saat ini, kami berdua sedang berada di dalam kereta kuda.

Tujuan kami adalah ibu kota kerajaan. Kami akan bertemu dengan Cynthia dan Lilith di sana, mereka sudah menunggu karena perbedaan jadwal libur.

"Ngomong-ngomong, pasangan Weiss-kun pasti Cynthia-san... kan?"

"Tidak, aku tidak berencana untuk berdansa."

"Eh? Apa maksudmu?"

"Aku mencalonkan diri sebagai ketua pelaksana. Pada dasarnya, tugasku adalah menjaga keamanan tempat dan mengatur jalannya acara. Mungkin aku tidak akan punya waktu untuk berdansa. Lagipula, aku tidak terlalu pandai dan tidak suka berdansa."

"...Begitu."

Entah kenapa dia terdengar kecewa saat menghela nafas.

Di Akademi Sihir Noblesse, ada event yang mirip dengan prom di luar negeri.

Pesta dansa yang diselenggarakan oleh murid.

Mereka akan menggunakan aula khusus, menikmati makanan, dan berdansa dengan anggun.

Meskipun mereka murid, mereka tidak akan melakukannya dengan setengah-setengah.

Dan aku memutuskan untuk menjadi panitia.

Di antara para siswa, itu dianggap sebagai peran yang merugikan, tapi bagiku itu bagus.

Salah satu alasannya adalah karena tidak ada poin yang diberikan, dan aku juga tidak suka menari.

Sejak aku terbangun di dunia ini sebagai Weiss, aku hanya fokus berlatih. Meskipun aku bertemu Cynthia di pesta dansa, aku hampir tidak pernah berlatih menari.

Memang, di cerita aslinya pun ada episode ini, tapi pemain hanya bisa menyaksikannya.

Meski begitu, saat itu aku sedikit tersentuh. Cynthia dan Allen... yah, aku tidak ingin melihatnya sekarang.

Saat aku memberitahunya, Cynthia tidak menunjukkan ekspresi tidak senang dan menerimanya dengan senyuman.

Tugas panitia sangat penting dalam event ini.

Tapi aku tidak ingin mengabaikan tunanganku.

Jadi, diputuskan bahwa kami akan pergi ke ibu kota kerajaan bersama untuk memesan gaun.

Karena kejadian di Piala Pedang dan Sihir, para murid masih merasa tegang.

Jadi diputuskan bahwa Carta juga akan ikut, dan kami akan pergi bersama beberapa orang.

"Gaun Cynthia-san pasti sangat cantik."

"Tentu saja. Oh ya, apa kau sudah punya pasangan, Carta?"

"Eh, a-aku!? Belum. Mungkin aku akan menari dengan seseorang...tetapi…"

Di pesta dansa, sebaiknya kita mencari pasangan sebelumnya.

Tapi di Akademi Sihir Noblesse, ada sistem drop out. Sulit untuk memastikan semua siswa, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki pasangan.

Mereka mungkin akan bergantian menari. Karena orang-orang yang tersisa berbeda dengan cerita aslinya, pasti ada sedikit perbedaan.

Aku melihat Carta tanpa sengaja.

Dia memiliki fitur wajah yang cantik dan sepertinya cocok dengan gaun.

Entah kenapa aku jadi teringat marshmallow.

"We-Weiss-kun? Ada apa?"

"Tidak apa-apa. Aku hanya berpikir kau pasti cocok memakai gaun."

"Eh, eee!? Ehehe."

Carta tersenyum gembira.

Yah, ini pasti event yang menyenangkan bagi para murid.

Kecuali aku.

"Ngomong-ngomong, apa yang kau lakukan selama liburan?"

"Eh? Apa?"

"Liburan musim panas. Aku tidak menghubungimu."

"Ah, ehm, aku membantu pekerjaan di rumah. Panen tahun ini melimpah, jadi agak repot."

"...Panen melimpah?"

Aku berpikir sejenak, dan tiba-tiba jantungku berdebar kencang.

Bodohnya aku, bagaimana bisa aku melupakan hal sepenting itu?

"Melomelon, panennya sangat banyak tahun ini. Jadi, kami memutuskan untuk menambah distributor, tapi karena Ibu sibuk, aku yang harus mengurusnya."

"........."

"Dan, tahun ini buahnya sangat banyak, manis, dan enak sekali."

"........."

"Tapi, itu cukup sulit--ah, maaf! Aku malah bercerita tentang hal yang tidak penting--"

"Carta."

"Eh? I-iya!"

"Ayo kita ke rumahmu."

"Eh, rumah? Rumah siapa?"

"Tentu saja rumahmu, Carta. Dan kita akan menyapa orang tuamu."

Aku ingat. Keluarga Carta menjalankan bisnis pertanian melomelon.

Tiba-tiba ingatanku kembali.

Hadiah untuk mengalahkan naga, melomelon yang sangat lezat, Milk-sensei yang menyuapiku.

Saat itu aku tidak tenang. Ingatanku pasti kacau.

"Ke-kenapa kita harus menyapa mereka!?"

"Hanya ada satu alasan. --Aku ingin meminta putri mereka."

Putri yang kumaksud adalah masa panen terbaik melomelon.

Di cerita aslinya, dikatakan bahwa melomelon paling enak saat itu, dan hanya bisa dinikmati selama sekitar seminggu.

Lalu, entah kenapa Carta tersipu.

Mungkin dia senang karena aku memuji Melomelonnya.

Wajar saja, dia merawat buah itu seperti anaknya sendiri.

"Apa kau... serius?"

"Apa aku terlihat seperti sedang berbohong?"

Aku menatap lurus ke arah Carta. Pipinya masih merah. Dia pasti senang dan malu.

Wajar saja, dia sudah merawat buah itu dengan sepenuh hati. Tidak ada yang perlu dia malu.

"Ta-tapi, ini terlalu tiba-tiba, aku belum siap..."

"...Mungkin kau benar. Tapi, aku serius."

Aku memang memaksa. Maaf, Carta, tapi aku tidak akan mundur.

"Apa kau... serius?"

"Ya, dan sebenarnya... aku sudah menyukainya sejak lama (melon)."

"...Eh, benarkah?"

"Ya, itu... kau pasti mengerti. Aku malu untuk mengatakannya."

Sejak aku memutuskan untuk mencegah kehancuran, aku hanya ingin menjadi kuat.

Aku juga sebisa mungkin menghindari keakraban dan hanya melakukan hal-hal yang penting.

Tidak mungkin aku bisa terang-terangan mengatakan bahwa aku menyukai melon.

Tapi Cynthia dan Lilith yang kupercayai berbeda. Dan aku juga berhutang budi pada Carta.

Karena itulah aku harus mengatakan yang sebenarnya. Bahwa aku benar-benar menyukai melon.

Dalam hal ini, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri.

Lalu, sepertinya Carta mengerti perasaanku. Dia tersenyum gembira.

"Aku sangat senang mendengarnya, Weiss-kun."

"Begitu, aku senang kau mengatakan itu. Jadi, bagaimana kalau hari ini?"

"Eh, ta-tapi aku harus mempersiapkannya dulu!? Kau tahu, itu... kan? Kau pasti mengerti?"

Oh iya, benar juga. Aku memang keterlaluan.

Buah itu hanya bisa dinikmati selama seminggu, dan pasti ada jadwal pengiriman juga.

"Baiklah. Maaf, Carta, aku terlalu tiba-tiba."

"Tidak apa-apa, aku memang terkejut, tapi... aku juga... menyukainya..."

Untuk apa mengatakan hal yang sudah jelas sekarang? Tapi, mungkin rasanya memang seenak itu sampai-sampai dia ingin mengaku.

"Begitu. Jadi kita punya perasaan yang sama (cinta pada melon)."

Tapi, Carta pasti sudah terlibat dalam pertanian melon sejak kecil. Mungkin tingkat kesukaan kami berbeda.

"Tapi, apa tidak apa-apa? Meskipun aku orang seperti ini?"

"...Ya. Aku memilih Weiss-kun."

"Begitu. Sekali lagi, terima kasih, Carta."

"Ti-tidak apa-apa! Tapi, itu... bagaimana dengan Cynthia-san?"

Seperti yang Carta khawatirkan, Cynthia juga menyukai melon.

Memang karena pengaruhku, tapi dia mungkin akan marah jika aku pergi makan melon diam-diam.

Tapi jumlahnya pasti sedikit. Maaf, Cynthia, tapi aku akan meyakinkannya.

"Dia pasti akan mengerti jika aku menjelaskannya. Dia tahu aku sudah menyukainya sejak lama."

"Eh, be-benarkah!? Ehehe... kalau begitu, pasti tidak apa-apa. Ya, aku mengerti."

Dia terlihat sangat senang. Aku pun ikut tersenyum.

Carta memang orang yang baik. Ah, aku tidak sabar--.

"Kyaa!"

Tiba-tiba, kereta kuda itu berguncang hebat. Carta hampir jatuh, dan aku langsung menangkapnya.

"Ah, terima kasih!?"

"Tidak masalah. Yang penting, jangan lengah."

Meskipun tidak ada tanda-tanda monster, aku teringat akan bencana itu.

Tapi saat aku keluar, aku langsung tahu bahwa kekhawatiranku tidak beralasan.

Roda kereta sudah tua, dan porosnya patah.

Lalu, Carta mengeluarkan tongkat sihirnya.

"Weiss-kun, karena kita harus mengejar waktu, bagaimana kalau kita lanjutkan perjalanan saja?"

"...Aku setuju, tapi bagaimana denganku?"

"Eh? Ah, itu, kamu bisa duduk di belakangku..."

Carta yang menyadari harga diriku, mulai panik. Tapi aku tidak mungkin bisa terbang ke ibu kota kerajaan.

"Tidak apa-apa. Itu ide yang bagus. --Tapi sebelumnya, aku ingin mengatakan sesuatu."

Aku meminta maaf kepada kusirnya. Meskipun ini bukan salah kami, itu adalah hal yang wajar dilakukan sebagai seorang pria terhormat.

Saat aku naik ke belakang Carta, dia tertawa kecil.

"Kau memang orang yang baik, Weiss-kun."

"Hm? Kau bilang apa?"

"Ti-tidak apa-apa! Kalau begitu, ayo pergi!"

Sebelum aku sempat menjawab, tiba-tiba kami terbang dengan cepat.

Aku buru-buru memegangi bahunya, dan Carta meminta maaf, "Maaf!".

Kemampuan terbangnya sangat mengesankan hingga aku hamper tertawa.

Hanya dia yang bisa mencapai level ini, seumur hidupku pun aku tidak akan bisa.

Tapi, bukankah ini terlalu hebat?

Oh iya... dia juga pasti sudah berusaha keras.

Pemandangan yang luar biasa terbentang di depan kami.

Lembah dan tebing yang seperti mengumpulkan keindahan alam, hutan hijau yang luas, dan saluran air.

"Indah sekali."

"Ya."

Aku belum pernah memperhatikan alam di sekitar sini. Ternyata ada juga pemandangan yang tidak kukenal.

"Hei, Weiss-kun."

"Ada apa?"

"Kalau kau mau, aku ingin kau berdansa dengan Cynthia-san. Aku yakin dia pasti menunggu."

"...Akan kupikirkan."

Carta memang orang yang baik.

Setelah terbang beberapa lama, akhirnya ibu kota kerajaan terlihat.

Karena ada zona larangan terbang, kami mendarat di dekatnya, dan Carta menyeka keringat di dahinya.

Terbang sendirian saja sudah sulit. Pasti lebih sulit lagi dengan dua orang.

Aku meletakkan tanganku di kepalanya, dan dia tersenyum.

"Dan, sekali lagi, Terimakasih. Aku juga harus menyapa Cynthia-san lagi."

"Hm, ah?"

Kedengarannya seperti salam pertunangan.

Saat kami tiba di gerbang ibu kota kerajaan, Cynthia dan Lilith sudah--hm...? Kenapa mereka ada disini...?

"Weiss, bukankah kau seharusnya datang dengan kereta kuda?"

"Rodanya rusak di tengah jalan. Jadi, Carta memboncengku."

"Begitu? Syukurlah kau baik-baik saja. Carta-san, terima kasih banyak!"

"T-tidak! A-aku yang seharusnya berterima kasih!"

"Eh? Kamu berterima kasih untuk apa?"

Cynthia memiringkan kepalanya, dan Carta terlihat menyesal.

Lalu, Lilith berteriak dengan semangat.

"Syukurlah kalian baik-baik saja! Ayo, kita pergi! Semuanya!"

"Benar juga! Aku tidak bisa masuk kalau tidak diundang secara resmi."

"Aku baru pertama kali kesini, jadi aku tidak sabar."

"Sudah lama sejak terakhir kali aku ke sini. Bagaimana dengan Cecil-san?"

"Sudah lama sejak terakhir kali aku pergi ke pesta dansa dan memakai gaun. Jadi, aku tidak sabar."

Entah kenapa, orang-orang yang ada di sana adalah teman-teman biasa.

Duke, Allen, dan Shally sudah mulai berjalan seolah itu hal yang biasa. Cecil sih tidak masalah, kehadirannya tidak membuatku keberatan sama sekali.

Tapi, kenapa mereka ada disini...?

"Mereka mengkhawatirkanmu, Weiss. Allen-san mengajak mereka, 'Bagaimana kalau kita pergi bersama?'"

"Apa maksudmu?"

Lalu, Cynthia berkata seolah-olah dia bisa membaca pikiranku.

"Kau pasti sangat memaksakan tubuhmu di Piala Pedang dan Sihir, kan? Itulah sebabnya."

Seperti yang dia katakan, sihirku memang belum pulih sepenuhnya.

Ini adalah harga yang harus kubayar karena menggunakan Heal Light Healing Protection dan Dark Light Destruction Boost hingga batas maksimalnya. Kekuatan itu kembali hari demi hari, tetapi masih butuh waktu.

Allen mengkhawatirkanku? ... Menyebalkan.

"Weiss! Berhentilah jadi ketua penyelenggara! Ayo berdansa denganku!"

"Jangan sentuh bahuku, Otot Dada Ayam. Lagipula, aku tidak tertarik berdansa dengan pria."

"Kalau begitu, berdansalah dengan Cynthia!"

Sial, dia menusuk tepat di titik lemahku. Untungnya, Cynthia sedang berbicara dengan Shary dan sepertinya tidak mendengarnya.

Meskipun sudah dibujuk beberapa kali, aku tidak berniat mengubah pikiranku.

... Aku tidak seharusnya berdansa.

"Padahal berdansa di depan umum itu menyenangkan."

"... Allen, apa maksudmu?"

"Eh? Apa?"

"Kenapa kau mengatakan hal seperti itu?"

Orang biasa sepertinya menyukai pesta dansa para bangsawan? Tidak, memang benar Allen berdansa di cerita aslinya.

... Begitu ya.

"Karena aku memang suka festival. Dulu, keluargaku sering pergi ke festival saat musim panas."

Allen lahir di desa terpencil. Hal semacam itu memang mungkin terjadi, meskipun tidak dijelaskan secara detail di cerita aslinya.

Tidak, yang lebih penting...

"... Maaf sudah membuatmu mengingatnya."

"Fufu, tidak apa-apa."

Karena pesta dansa Noblesse diselenggarakan terutama untuk para siswa, tidak ada aturan ketat tentang pakaian.

Untuk wanita, panjang gaun tidak boleh terlalu panjang atau terlalu pendek, dan warnanya harus sesuai dengan pemakainya. Pria memakai tuksedo atau jas.

Meskipun, aku tidak terlalu mengerti...

"Cynthia, bagaimana dengan gaun mermaid ini? Ciri khasnya adalah siluetnya yang melebar dengan indah. Pasti cocok untukmu."

"Memang, gaun itu sangat cantik."

"Lilith sepertinya cocok dengan gaun ball gown. Roknya yang mengembang akan terlihat bagus untuknya. Cecil cocok dengan gaun slender yang menonjolkan tinggi badannya, dan Carta cocok dengan gaun A-line klasik."

Kami berpindah ke penjahit di ibu kota dan melihat-lihat berbagai gaun.

Meskipun pada akhirnya gaun akan dipesan secara khusus, kami harus memeriksa warna, bentuk, dan detail kecilnya di toko.

Karena ini adalah toko langganan para bangsawan, harganya memang mahal, tetapi kualitas kainnya tampaknya sangat bagus.

"Pelanggan itu tampaknya sangat paham. Pastikan kita tidak melakukan kesalahan!"

" " "Baik!" " "

Hmm? Ada apa ini, toko ini sangat teratur.

Allen sedang melihat-lihat setelan jas bersama Duke. Ckck, mereka masih terlalu dini untuk bersikap sopan.

"Shary."

"Hmm, ada apa?"

"Bagaimana dengan gaun ini? Sepertinya cocok untukmu."

Gaun yang dipajang ini memiliki model off-shoulder, sehingga membuat area sekitar wajah terlihat lebih cerah dan senyumnya lebih jelas terlihat.

Warnanya oranye dan memberikan kesan lembut.

Dengan sedikit malu-malu, Shary mengambil gaun itu. Lalu, dia mencobanya di depan cermin.

"... Apa tidak terlalu terbuka di bagian bahu?"

"Tidak juga. Kau memiliki garis tulang selangka yang indah, jadi tidak masalah segini. Tapi, perasaanmu juga penting. Bagaimana dengan yang ini? Yang ini sedikit lebih tertutup."

Shary tampak sedikit terkejut. Kemudian, dia diam-diam mengambil gaun itu, mencobanya lagi, dan tersenyum.

"Kau suka?"

"Fufu, ya. Aku mungkin lebih suka yang ini."

Ck, seperti biasa, senyumnya sangat cocok untuknya.

Lalu, aku meraih leher Allen yang sedang bermain-main dengan Duke dan menariknya.

"Eh, a-apa!??"

"Lihat baik-baik. Ini tugasmu."

"Eh, a-apa maksudmu!?"

Allen panik, tetapi ketika dia melihat Shary yang sedang mencoba gaun itu, dia langsung terdiam.

Ck, kenapa aku harus repot-repot mengurus mereka berdua?

Aku ingin sebisa mungkin tidak mengubah alur cerita utama.

Karena Cynthia bersamaku, Allen harus punya pasangan.

Lalu, Otot Dada Ayam menatapku dengan tatapan penuh harap. Ada apa? Kau tidak apa-apa sendiri, kan?

"Weiss, setelanku juga..."

"... Kau pakai yang ini saja."

"Hei, kau mengambilnya secara asal, kan!? Lagipula itu agak kebesaran!? Lihat baik-baik!"

"Ini untuk lengan yang besar. Ototmu tumbuh setiap hari. Kalau dihitung sampai hari pesta dansa, ukurannya akan pas."

"Ka-Kau memang jenius, Weiss Fancent..."

"Baru menyadarinya sekarang?"

Lalu, sepertinya mereka akan mencoba gaunnya, Cynthia dan yang lainnya masuk ke balik tirai.

Karena mereka belum mau menunjukkan gaunnya, aku menunggu di luar.

Allen dan Duke pergi untuk melihat-lihat dasi, jadi hanya aku yang menunggu.

Kemudian, aku mendengar suara-suara kebingungan.

"Cynthia-san, apa kau tidak merasa ukurannya jauh lebih besar?"

"Sebenarnya memang begitu. Kudengar ukurannya sebanding dengan kekuatan sihir, mungkin itu benar. Bentuk Lilith sangat indah."

"Ehehe, terima kasih! Ah, pakaian dalam Shary-san sangat imut!"

"Benarkah? Aku suka warna ini. Tapi, aku lebih suka desain punya Carta-san. Lebih dewasa. Lagipula, ukurannya juga besar!"

"Sha-Shary-san!? A-apa yang kau lakukan!?"

"Teksturnya sangat lembut. Bagaimana kalau kau coba juga, Cecil-san?"

"Fufu, kalian benar-benar akrab ya. Tapi, aku juga sedikit penasaran. Seberapa lembutkah dada Carta-san?"

"Ce-Cecil-san juga!? Hmm, aaahh, jangan!?"

Tidak disangka mereka bisa bersikap seperti ini padahal baru saja mempertaruhkan nyawa dalam bencana beberapa waktu lalu.

Tidak, mungkin justru karena itu mereka bisa sekuat ini.

Saat itu, tirai tiba-tiba terbuka.

"Nghh!? We-Weiss-kun!?"

Yang terlihat olehku adalah Carta dengan pakaian dalam tipis berwarna pink yang dipenuhi dengan... yang bergoyang-goyang, ah, yang hampir tumpah.

Shary dengan pakaian dalam merah dan Cecil dengan pakaian dalam putih muncul dari belakangnya dengan khawatir.

Dan juga...

"Weiss, tolong palingkan wajahmu."

"Weiss-sama, jangan lihat!"

Cynthia dengan pakaian dalam hitam dan Lilith dengan pakaian dalam biru muda.

Bergoyang-goyang, ah, bergoyang-goyang, bergoyang-goyang.

"Weiss-sama, apa warna tirai ini sudah bagus?"

"Ya, itu tidak masalah. Pencahayaannya..."

"Baik! Kami sudah memesannya dari luar, jadi mungkin akan tiba lusa."

"Begitu."

Setelah itu, kami hanya perlu menunggu gaun dan setelan yang dipesan tiba, tapi ternyata tidak sesederhana itu.

Masih banyak yang harus dilakukan untuk persiapan pesta dansa.

Di bagian terdalam Akademi Sihir Noblesse, terdapat aula besar yang cocok untuk pesta dansa.

Di sanalah kami sibuk bekerja.

Tempat ini tidak digunakan setiap hari. Interiornya selalu diganti untuk setiap acara.

Di akademi yang mengutamakan kemandirian siswa ini, mendirikan semuanya dari awal juga dianggap sebagai pembelajaran.

Selain dekorasi, kami juga harus menyiapkan makanan dan minuman.

Ini juga merupakan bentuk pelayanan dari siswa kelas bawah kepada siswa kelas atas.

Mungkin lebih mudah dipahami jika diibaratkan sebagai acara tradisional.

"Baik. Saya yang akan mengurusnya."

Cynthia juga, meskipun bukan sebagai panitia, dia membantuku sebagai asisten.

Aku sangat berterima kasih atas kesetiaannya.

Keduanya ramah dan ceria, sehingga disukai semua orang.

Sungguh, aku tidak pantas mendapatkan mereka.

Lalu, tiba-tiba sosok terkuat muncul.

Rambut perak lurus, kulit seputih susu, dan wajah cantik seperti boneka Barat.

—Eva Avery.

"Tahun ini kalian sangat bersemangat ya."

Sepertinya dia menyukainya. Hanya dengan berjalan, Eva menarik perhatian semua siswa.

Bukan hanya kekuatannya, tapi juga pesona misterius dan aura menawan yang sulit dijelaskan.

Tentu saja, itu semua berkat kekuatan sihirnya yang luar biasa.

"Merupakan suatu kehormatan mendengar Anda mengatakan itu."

"Oh, junior. Kudengar kau selalu bekerja keras. Jangan terlalu memaksakan diri."

"Terima kasih. Keamanan juga akan diperketat, jadi kurasa tidak akan ada masalah. Tapi mungkin saja..."

"Fufu, tidak apa-apa. Kalau terjadi sesuatu, aku akan ada di sana."

Sulit dipercaya kalau bencana akan terjadi lagi. Tapi aku memang menginginkan bantuan Eva.

Aku berniat untuk memintanya secara langsung, tapi sepertinya dia mengerti tanpa harus kujelaskan.

"Aku sudah mendapatkan gaun yang cantik. Mungkin aku akan mengincar gelar Queen tahun ini."

Di akhir pesta dansa, gelar Queen akan diberikan kepada wanita tercantik. Untuk pria, gelarnya adalah King.

Kudengar tahun lalu Eva yang terpilih. Katanya, dia sangat cantik hingga menakutkan.

"Aku menantikannya. Tapi aku akan mendukung Cynthia."

"Membuatku iri. —Kalau begitu, sampai jumpa lagi."

Baiklah, aku harus kembali bekerja.

Beberapa hari kemudian.

Sambil menjalani kelas seperti biasa, kami melanjutkan persiapan pesta dansa.

Aku bekerja keras sebagai ketua penyelenggara, dan Cynthia serta Lilith juga membantuku.

Aku sangat berterima kasih pada mereka berdua. Aku harus membalas budi mereka nanti.

Setelah itu, kami hanya perlu menunggu hari H—sayangnya, tidak semudah itu.

"Mau bagaimana lagi. Apa tidak mungkin mencari pengganti?"

"Aku sudah mencoba menghubungi beberapa orang, tapi karena program pesta dansanya rumit dan banyak yang menantikan untuk berdansa, mereka menolak."

Tentu saja, musik adalah bagian penting dari pesta dansa.

Di dunia ini tidak ada alat perekam yang praktis, jadi musik harus dimainkan oleh manusia.

Dan kali ini, kerabat pemain piano utama kami mengalami musibah, sehingga dia tiba-tiba tidak bisa hadir.

Ini bukan hanya soal memainkan satu atau dua lagu, tapi juga peran penting yang membutuhkan berbagai sesi.

Mempekerjakan orang luar bukannya tidak mungkin, tapi ini adalah acara yang diselenggarakan oleh siswa. Lagipula, informasi internal Akademi Sihir Noblesse dirahasiakan.

Mungkin kepala sekolah akan mengizinkan jika aku memintanya, tapi aku ingin menjadikannya pilihan terakhir.

"Baiklah. Aku akan memikirkan sesuatu. Terima kasih, Lilith."

"Sama-sama. Oh ya, gaun Cynthia-san sudah sampai. Gaunnya sangat indah!"

Lilith mengepalkan tangan dengan senyum lebar. Dia pasti ingin menyemangatiku.

Karena aku terlibat dalam penyelenggaraan, pasti ada beberapa orang yang merasa tidak nyaman.

Aku masih memiliki reputasi buruk. Terlepas dari kebenarannya, lebih baik menghilangkan rumor yang tidak berdasar.

"Aku menantikannya. Cynthia memang sangat cocok memakai gaun."

Meskipun begitu, hanya ada satu orang yang terlintas dalam pikiranku ketika membicarakan pemain piano.

Seorang jenius yang lulus tanpa berinteraksi dengan siapa pun di cerita aslinya.

Karena itulah dia tidak ikut serta dalam pesta dansa ini.

Nah, yang terpenting adalah bagaimana cara menemuinya.

Gedung siswa kelas atas hampir sama dengan gedung siswa kelas bawah.

Tapi kekuatan sihir yang terpancar dari kelas-kelasnya sungguh luar biasa.

"Jadi dia Weiss, dia memang terlihat kuat."

"Begitu ya? Bukankah dia masih anak-anak?"

"Dia lebih manis dari yang kukira."

Aku telah tiba di gedung kelas atas.

Koridor dan pemandangan kelasnya memang sama, tapi level kekuatan sihir para siswanya jauh berbeda.

Dan mereka tampak cukup tenang untuk menyebutku manis.

Yah, mungkin suatu saat nanti kami akan bertarung.

Dan seperti dugaanku, atau lebih tepatnya, seperti di cerita aslinya.

Dari ruang musik di ujung deretan kelas, terdengar alunan piano.

Aku memang kurang paham musik. Tapi aku tetap bisa merasakannya.

Suara harmonis yang menggetarkan hati, melodi yang merdu.

Tanpa kusadari, aku telah berdiri di luar kelas dan mendengarkan seluruh lagu sampai selesai.

Hah, dia jauh lebih hebat daripada di cerita aslinya.

"Ada perlu apa?"

Piano itu berhenti tiba-tiba, dan terdengar suara datar.

Aku sudah menekan kekuatanku agar tidak mengganggunya, tapi dia memang siswa kelas atas.

Sepertinya aku masih belum cukup berpengalaman. Aku membuka pintu, dan pertama-tama, aku menundukkan kepalaku.

"Maaf. Aku tidak ingin mengganggu, jadi aku tidak berani menyapa. Dan, alunan pianomu sangat indah."

Jika seorang siswa kelas bawah mengatakan hal seperti itu padanya, biasanya dia akan merasa sedikit tidak enak.

Tapi—Carol Stanway, siswa kelas atas Akademi Sihir Noblesse, menatapku dengan tatapan dingin.

Seperti di cerita aslinya, dia memiliki rambut panjang keabu-abuan, bando hitam, tangan putih dan ramping, serta mata biru seperti kristal. Carol adalah musisi terkenal yang tidak ada yang tidak mengenalnya di Noblesse.

Sebagai putri tertua keluarga Stanway yang terkenal, dia sudah mahir memainkan berbagai alat musik seperti piano, flute, terompet, dan cello sejak kecil.

Setiap kali dia mengikuti kompetisi, piala kemenangan pasti jatuh ke tangannya.

Keahliannya yang paling menonjol adalah piano, tapi bukan itu saja yang luar biasa.

Sihir yang menggunakan [Suara] adalah keahliannya. Serangan gelombang suara dengan getaran suaranya tidak dapat ditangkis, bahkan dengan sihir pertahanan.

Tentu saja, nilai akademisnya juga termasuk yang terbaik.

Tapi dia bahkan lebih sulit didekati daripada Cecil.

Karena sering dicemburui sejak kecil, dia membenci orang lain.

Tapi, hanya dialah yang bisa memainkan seluruh program pesta dansa dengan sempurna.

"Sudah berapa kali kubilang aku tidak akan bermain?"

Tapi aku mengerutkan kening mendengar kata-katanya. Aku belum mengatakan apa-apa. Tapi kenapa—?

"Jangan-jangan, ada orang lain yang datang sebelumku?"

"Putri keluarga Violetta itu kan tunanganmu? Aku tahu hal seperti itu."

Begitu rupanya. Dia pasti langsung bergerak agar aku tidak terbebani. Namun, tidak kusangka akan terjadi kesalahpahaman seperti ini. Tidak heran jika dia marah.

"Sudahlah—"

"Maafkan aku. Aku tidak tahu soal itu."

"Begitu... kalau kau sudah mengerti, pergilah. Kau mungkin salah paham, tapi aku sebenarnya tidak suka musik. Hari ini aku hanya memeriksa program karena ada hadiah uang di kompetisi berikutnya. Jangan muncul lagi di hadapanku."

Carol meninggalkan ruang musik sambil berkata begitu.

Negosiasi ini benar-benar gagal. Tapi, dia pasti mengenalku. Meskipun begitu, dia tidak menunjukkan rasa benci sedikit pun pada keluarga Fancent.

Saat aku mendekati piano, aku melihat sesuatu yang berkilau kecil.

"... Cincin?"

Mungkin dia lupa membawanya. Dia pasti melepasnya agar tidak merusak piano.

Jika dia bermain piano hanya karena terpaksa, dia tidak akan melakukan hal seperti ini.

"Maaf, senior. Keluarga Fancent tidak mudah menyerah."

Sepulang sekolah, saat aku berjalan di halaman tengah, aku melihat Carol Stanway menatapku dengan tajam.

Dia berjalan ke arahku dengan langkah tegas.

Baiklah, ronde kedua.

"Apa kau melihat cincinku?"

"Ya, aku tahu. Aku langsung sadar kau meninggalkannya."

"Begitu, kalau begitu bisakah kau kembalikan?"

"Tentu saja. Tapi, aku sudah pergi ke kelasmu tadi. Tapi kau malah menyuruhku pergi tanpa mendengarkan penjelasanku. Jadi, sekarang cincin itu ada di kamarku."

"Kalau begitu, bisakah kau ambilkan?"

"Tentu saja. —Tapi, sebagai gantinya, bisakah kau meminta maaf padaku?"

"—Ke-kenapa aku harus!?"

"Karena kau berkata dengan dingin pada junior yang hanya ingin mengembalikan barangmu yang tertinggal."

Ekspresi wajahku pasti tidak terlihat seperti orang yang shock. Tapi tidak apa-apa. Aku adalah Weiss Fancent.

Meskipun aku bersikap sopan, hati Carol tidak akan berubah.

Aku tidak akan pilih-pilih cara.

Aku akan melakukannya dengan caraku sendiri.

"... Tidak mau."

"Eh?"

"Sudahlah. Kalau begitu..."

Setelah mengatakan itu, Carol pergi. Aku tidak menyangka ini akan terjadi.

... Aku memanggilnya dari belakang.

"Aku yakin itu milikmu, tapi untuk berjaga-jaga, aku sudah menyerahkannya ke ruang guru sesuai peraturan sekolah. Kau bisa mendapatkannya kembali kalau memberitahu mereka waktu dan tempatnya."

Carol menghentikan langkahnya.

Lalu, tanpa menoleh ke belakang, dia berkata dengan suara pelan,

"... Itu barang berharga bagiku. Terima kasih."

Hanya itu yang dia katakan sebelum pergi.

Sekarang, aku kembali ke titik awal.

Tapi, setelah membuatnya semarah itu, dia pasti tidak mau bicara lagi denganku.

Apa boleh buat, aku harus meminta bantuan orang luar—

"Tolong tambahkan Melomelon untuknya. Ini peringkatku."

"Eh?"

Saat istirahat siang keesokan harinya, di kantin.

Saat aku memesan menu harian, tiba-tiba terdengar suara dari sampingku.

Rambut panjang keabu-abuan, Carol Stanway—senior itu.

Di kantin Akademi Sihir Noblesse, ada menu tambahan yang bisa dipesan tergantung peringkat.

Aku memang termasuk yang teratas di kelas bawah, tapi dia adalah siswa kelas atas, dan peringkatnya jauh lebih tinggi.

Lagipula, Melomelon!? Aku tidak tahu ada menu tambahan seperti itu.

Apa dia tahu itu makanan favoritku? Tidak, yang lebih penting—

"Ada apa ini?"

"Sebagai senior, sebagai manusia, aku hanya ingin membalas budi. Tidak ada perasaan lain."

"Begitu ya. Kalau begitu, aku tidak akan sungkan."

Tidak ada alasan untuk menolak.

Melihatku yang tidak ragu sedikit pun, Carol tampak sedikit tersenyum.

Hah, apa dia tahu? Dia bisa saja menolakku dengan alasan itu.

"Bukankah junior yang kurang ajar itu imut?"

"Fufu, terserahlah. —Tolong carikan tempat duduk. Kalau bisa di dekat jendela, di tempat yang tidak banyak orang."

"Eh?"

"Junior harus menuruti seniornya, kan?"

"... Baiklah."

Apa maksudnya ini? Aku tidak mengerti. Tapi, aku akan mematuhinya saja.

Cynthia dan Lilith sedang latihan memakai gaun di kamar mereka.

Untungnya Allen dan yang lainnya tidak ada di sini.

Saat aku menunggu di dekat jendela, Carol datang membawa nampan berisi makan siang di kedua tangannya.

Aku segera berdiri dan mengambilnya darinya.

"Kau pengertian juga ya. Terima kasih."

"Sama-sama. —Mari makan."

Meskipun sama-sama Melomelon, asalnya berbeda-beda. Rasanya juga berbeda tergantung kondisinya.

Saat kugigit, rasa manis yang pekat membuat lidahku bergoyang.

Saat aku tanpa sadar menunjukkan kekagumanku, terdengar suara tawa.

"Fufu, kau ternyata kekanak-kanakan juga ya. Kudengar kau dijuluki iblis sejak masuk Noblesse, tapi sepertinya itu tidak benar."

"........."

Iblis? Sudah lama sekali aku tidak diperlakukan seperti anak kecil.

Yah, memang aku masih kecil sih.

"Bercanda. Makan saja. Melomelon memang enak, kan?"

Carol tampaknya tidak banyak makan, dia hanya makan sedikit pasta. Cara makannya cantik, aku jadi menyukainya. Saat itu, aku menyadari bahwa jari-jarinya yang putih dan ramping tidak hanya indah, tapi juga pecah-pecah.

Dia tidak jago bermain piano hanya karena bakat. Aku bisa langsung melihatnya.

... Aku payah sekali. Aku selalu mengingatkan diriku sendiri untuk tidak menelan mentah-mentah cerita aslinya, tapi aku malah bersikap seolah-olah tahu segalanya.

Setelah memikirkannya, aku menyadari bahwa aku telah bersikap sangat kasar.

Carol memang murid Akademi Sihir Noblesse, tapi dia adalah orang berbakat yang setara dengan profesional, bahkan mungkin lebih hebat.

Seharusnya aku membuat perjanjian dengan benar, dan membahas masalah bayaran dengan jelas. Meskipun ini acara yang diselenggarakan oleh siswa, wajar saja dia menolak jika aku tidak bersikap profesional.

"Kudengar kau ketua penyelenggara? Dan kau tidak akan ikut berdansa?"

"... Bagaimana kau tahu?"

"Siswa kelas atas tahu segalanya. Ngomong-ngomong, kenapa kau memintaku bermain padahal kau sendiri tidak ikut berdansa? Kau tidak akan dapat poin, kan?"

"Ya, itu benar… Kenapa ya?."

Aku sendiri tidak terlalu mengerti. Aku hanya ingin melakukan tugasku sebagai penyelenggara dengan baik.

Tidak, bukan hanya itu saja.

“Karena terlihat menyenangkan. Semua orang, kecuali aku, terlihat senang.”

Tanpa kusadari, aku mengatakan isi hatiku. Biasanya aku tidak akan mengatakan hal seperti ini. Tapi, ini adalah kebenarannya.

Memang bisa saja mengundang orang luar. Tapi, itu mungkin akan membuat pesta dansa yang sudah susah payah kami siapkan jadi kurang bebas.

Carol tampak bingung. Lalu, dia tersenyum kecil.

"Hmm, kau ternyata baik juga ya, Iblis-kun."

"Julukan itu... siapa yang memulainya?"

"Rahasia. Apa kau suka musik?"

"Entahlah. Aku bukan tipe orang yang sering mendengarkan musik. Tapi, aku terpesona dengan permainan pianomu, Carol-senpai."

"Fufu, kamu memang lancang."

Oh, ternyata dia bisa tertawa seperti itu juga.

Aku tadinya ingin meminta Carol bermain sebagai seorang profesional, tapi dia langsung memberiku peringatan.

"Kurasa menjadi panitia itu berat. Aku juga seorang musisi, dan aku menghormati orang-orang yang bekerja di belakang layar. Tapi, aku tidak akan bermain. Maaf, tapi aku harus mengatakannya."

Tidak seperti sebelumnya, Carol tampak menyesal. Tapi, mau bagaimana lagi.

Namun, aku menyadari perasaanku yang lain. Aku ingin mendengarkan permainan piano itu sekali lagi.

"Kau bisa meminta tambahan Melomelon pada staf kantin. Semoga pesta dansanya sukses ya. Dan, terima kasih untuk cincinnya. Itu milik temanku. Aku harus mengembalikannya suatu saat nanti..."

Setelah mengatakan itu dengan nada sedikit sedih, Carol pergi lagi. Meskipun usianya tidak jauh berbeda denganku, siswa kelas atas memang terlihat lebih dewasa.

Mungkin, punya pacar yang lebih tua juga tidak buruk—

"Weiss, kau sedang mengejar siapa?"

"Cy-Cynthia."

"Weiss-sama, apa kau sudah akrab dengan Carol-senpai!?"

Entah sejak kapan Cynthia dan Lilith sudah ada di sampingku. Dan, orang-orang di sekitar juga memperhatikan kami.

"Carol makan siang dengan junior? Baru pertama kali aku melihatnya."

"Hebat sekali. Apa Weiss juga punya bakat playboy?"

"Cara apa yang dia gunakan... Sial, aku juga ingin makan siang dengan Carol."

Sepertinya, dari sudut pandang siswa kelas atas lainnya, aku telah mencapai prestasi yang luar biasa. Aku sendiri tidak menyadarinya.

Aku hendak menceritakan semuanya pada Cynthia, tapi dia sudah tahu.

"Apa dia menolak?"

"... Ya, dia tetap tidak mau bermain. Untungnya kita masih punya waktu. Kita coba cari orang luar saja."

"Mau bagaimana lagi. Weiss-sama sudah berusaha keras! Aku selalu kagum padamu! Kau hebat! Aku memujimu!"

"... Terima kasih."

Meskipun ada pesta dansa, bukan berarti kelas reguler ditiadakan.

Hari ini ada kunjungan langka untuk melihat sihir para senior.

Mereka memamerkan semua teknik mereka tanpa ragu. Aku lebih takjub dengan teknik mereka yang luar biasa daripada kekuatannya.

Sejujurnya, aku mungkin bisa mengalahkan sebagian besar dari mereka. Tapi itu hanya dalam hal kekuatan bertarung murni.

Sihir itu seperti gunting-batu-kertas, menang atau kalah tergantung situasinya.

Dan aku menyaksikannya secara langsung.

"—Sihir [Suara]."

Dalam pertarungan simulasi, Carol melepaskan sihir yang mengerikan.

Itu bukan serangan, juga bukan pertahanan.

—Dia benar-benar melenyapkan sihir itu.

"Gila, barusan menghilang, kan?"

"Bagaimana caranya?"

"Tidak tahu. Tidak mengerti sama sekali."

Dia pasti secara naluriah tahu bahwa suara akan saling meniadakan jika bertabrakan.

Tapi, kepekaannya yang luar biasa untuk melakukannya dengan sihir...

Meskipun tidak memiliki pengetahuan modern, dia pasti menemukannya dengan caranya sendiri.

Dia seperti Eva Avery.

"—Bagaimana? Hebat, kan?"

Carol menatapku dan berkata begitu dengan senyum licik.

"Barusan Carol-senpai tersenyum padaku!"

"Bukan, padaku!"

"Tidak, padaku. Dia melihat ototku, kan, Allen!?"

"Kurasa tidak."

Sepertinya dia juga populer di kalangan junior.

Pada akhirnya, kami tidak menemukan pianis pengganti. Wajar saja, karena memainkan piano berarti tidak bisa ikut berdansa di pesta dansa.

Jadi, aku meminta izin kepala sekolah.

Saat aku mengisi dokumen untuk meminta bantuan orang luar, aku melihat kolom untuk menuliskan tipe piano.

Piano yang akan digunakan di pesta dansa adalah piano yang ada di ruang musik gedung kelas atas.

Malam hari. Jika aku meminta bantuan guru untuk mendapatkan izin, akan butuh waktu sampai pagi.

Jika aku mengirimkan burung sihir sekarang, akan sampai di pagi hari. Untuk memastikan semuanya berjalan lancar, aku ingin menyelesaikannya hari ini. Setelah berpikir sejenak, aku berdiri dan membuka jendela.

"... Yah, tidak masalah."

Aku melompat keluar jendela dan membuat dinding Unnatural di udara, lalu terbang menuju ruang musik.

Aku sudah mendapatkan kunci ruang musik sebelumnya. Aku masuk melalui jendela yang terbuka dan membuka pintu ruang musik. Aku memang tidak punya izin masuk gedung, tapi tidak apa-apa selama tidak ketahuan.

Ruang musik di malam hari adalah tempat klasik untuk cerita horor.

Tapi, wajah Carol terbayang di pikiranku, jadi aku tidak merasa takut sama sekali.

Tapi di sini masalah lain muncul.

Aku sudah memeriksa piano itu, tapi aku tidak tahu di mana nomor serinya tertulis. Aku bingung karena tidak menyangka akan menemukan kesulitan ini, dan tanpa sengaja jariku menyentuh tuts piano.

Suara dentingan piano bergema, dan jantungku berdebar kencang. Meskipun ini gedung siswa kelas atas, mereka tidur di tempat lain.

Seharusnya tidak ada yang mendengarnya. Tapi, aku harus tetap berhati-hati.

Aku terus mencari, tapi tetap tidak ketemu.

Apa boleh buat, aku harus kembali dan meminta bantuan besok pagi—

"Pencuri piano."

Tiba-tiba terdengar suara dari belakangku. Aku langsung menoleh. Di sana ada Carol Stanway sedang berdiri.

"Eh, e-etto, i-ini... anu—"

"Memang sulit ditemukan. Nomor serinya ada di bagian dalam, kalau kau buka penutup atasnya."

Dia berjalan mendekat dengan tenang, dan menunjukkan tempat yang tidak terduga.

Di tempat seperti ini...? Kenapa tidak ditulis di tempat yang lebih mudah dilihat?

Lagipula, bagaimana dia bisa tahu? Apakah ini yang disebut otak kelas atas Akademi Sihir Noblesse?

"Jadi, kau tidak mau mencatatnya?"

"... Mau."

Aku tidak mengatakan apa-apa lagi dan menerima tawarannya.

Carol tidak memakai seragam, tapi pakaian santai.

Apa aku membangunkannya? Tidak mungkin, kan?

"Jangan-jangan kau hantu ruang musik?"

"Mana mungkin. Aku bisa mendengar suara piano di mana pun aku berada."

"... Bohong, kan?"

"Tentu saja bohong. Aku tidak bisa tidur, jadi aku jalan-jalan di luar, dan kebetulan mendengarnya."

Oh, begitu. Entah kenapa, aku merasa lega.

Setelah berhasil mencatatnya, aku hendak menutup penutup tuts piano.

Tapi entah kenapa, Carol tidak mengizinkanku.

"Coba mainkan sedikit."

"Eh? Apa maksudmu...? Lagipula, sekarang...?"

"Ya. Tidak mungkin mengatakan 'sampai jumpa besok' dalam situasi seperti ini, kan?"

Yah, memang benar sih, tapi aku tidak bisa main piano.

Lagipula, bahaya kalau ada yang mendengarnya.

Tiba-tiba, Carol menjentikkan jarinya.

Perisai transparan langsung terpasang, mengelilingi kami dan piano.

Ini... dinding suara?

"Sekarang tidak akan ada yang mendengar. Ayo, kau sudah membangunkanku, jadi lakukanlah ini sebagai gantinya."

"Tapi, kau kan memang sudah bangun..."

"Sudahlah. Kau pasti bisa memainkan lagu yang mudah, kan?"

Meskipun dia berkata begitu, aku hanya bisa memainkan satu frase sederhana.

Apa aku tidak akan dimarahi karena memainkannya di depan seorang musisi jenius?

Tapi, aku juga tidak bisa menolak untuk memainkannya sekarang.

Aku menyerah dan meletakkan tanganku di atas tuts piano. Ckck, ini memalukan sekali....

"Jangan menertawakanku, ya."

"Tentu saja."

Tapi beberapa detik kemudian, setelah mendengar permainanku, Carol tertawa kecil.

"Kau melanggar janjimu."

"Aku menertawakanmu karena hal yang bagus, kok. Kau lumayan juga. Ini lagu apa?"

"Menginjak Kucing."

"Eh? Barusan kau bilang apa?"

"Judulnya Menginjak Kucing."

Carol langsung mengerutkan kening dengan ekspresi jijik. Sekarang setelah kupikirkan lagi, judulnya memang agak tidak sopan. Tapi, bukan aku yang membuatnya....

Gawat. Aku harus mengganti topik pembicaraan.

"Kalau begitu, giliranmu untuk bermain."

"Eh?"

"Tidak adil kalau hanya aku yang malu. Lagipula, aku ingin mendengarnya sekali lagi."

"... Apa kau serius?"

"Aku tidak bohong. Pada dasarnya."

"Fufu, lancang sekali."

Entah karena sedang mood yang baik, atau karena dia sangat menyukai lagu "Menginjak Kucing" yang kumainkan, Carol duduk di kursi itu menggantikanku.


Ekspresinya tampak serius. Lalu—

"Bolehkah aku bertanya satu hal? Aku serius."

"Aku paling suka pertanyaan serius."

"Jangan bercanda."

"... Baiklah."

"Apa kau pernah menyesal karena membuat seseorang dikeluarkan dari sekolah?"

Pertanyaan itu mengingatkanku pada percakapan dengan Carta dulu.

Aku telah menghabiskan semua poin teman baiknya.

Suatu hari, aku pernah mengunjunginya secara langsung. Aku bertanya, apa dia tidak membenciku?

Tapi Carta menjawab dengan tatapan lurus.

Tidak ada yang salah jika bertarung dengan jujur.

Meskipun aku tidak sedang sedih, rasanya seperti beban berat telah terangkat dari pundakku.

Sejak saat itu, aku tidak pernah memikirkannya lagi.

Sebagai siswa kelas atas, dia pasti sudah mengalami banyak hal. Pertarungan individu, pertarungan tag team, pertarungan tim.

Pasti ada banyak hasil yang tidak sesuai dengan keinginannya. Faktanya, ada siswa berprestasi yang memilih untuk keluar dari sekolah.

Tapi, ini tentang diriku. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan dan dirasakan Carol.

Saat aku bingung bagaimana menjawabnya, Carol mulai menggerakkan tangannya.

Dan begitu dia mulai bermain piano, maaf, semuanya langsung hilang dari pikiranku.

"... Luar biasa."

Rasanya seperti kepalaku dipukul dengan keras. Dimulai dengan melodi yang lembut, lalu lagu itu dimainkan dengan sentuhan yang kuat.

Mulai sekarang, aku tidak akan pernah bisa mengatakan bahwa aku tidak tertarik pada musik.

Permainan piano Carol sangat menggetarkan hatiku.

Lagipula, mungkin hanya aku satu-satunya orang yang pernah mendengarkannya dari tempat istimewa seperti ini.

"—Bagaimana menurutmu?"

"Aku hanya bisa memberikan pendapat yang biasa saja, tapi itu sungguh luar biasa."

"Fufu, kau memang lancang."

Pada saat yang sama, rasa hormat dan pertanyaan muncul di dalam diriku.

Sihir suara, secara halus, membutuhkan usaha yang sangat keras.

Dan dia pasti juga mencurahkan usaha yang sama besarnya untuk musik.

Orang kuat itu sombong. Tentu saja ada pengecualian, tapi Carol tampaknya tidak seperti itu.

Jika dia berbakat, dia pasti percaya diri.

Tapi, entah kenapa dia terlihat rapuh.

"... Karena aku sedang lancang, apa kau punya waktu sebentar?"

Atap Akademi Sihir Noblesse tidak memiliki penghalang untuk pemandangan.

Saat aku mendongak, langit penuh bintang terlihat jelas.

Kami, yang naik ke atas dengan dinding Unnatural, memandangi langit.

"Apa memasuki tempat terlarang adalah keahlianmu?"

"Aku tidak suka dikekang."

"Oh, sama denganku."

Di cerita aslinya, Carol lulus sebagai orang kuat yang pendiam dan tidak bergaul dengan siapa pun.

Wajar saja, aku hanya tahu Carol yang sudah menjadi senior.

Setelah ditolak, aku mendengar cerita mengejutkan dari senior lain.

Ternyata, dia dulunya ramah dan suka mengurus juniornya.

Tapi suatu hari, dia menutup diri seolah-olah kepribadiannya berubah.

Dan, sepertinya pertanyaan tadi berisi perasaannya saat itu.

Aku tidak tahu jawabannya. Tapi, aku bisa menyampaikan perasaanku.

"Soal pertanyaanmu tadi, bukannya aku tidak pernah menyesal. Tapi, setelah aku membulatkan tekad, aku tidak menyesalinya lagi."

Aku menjawab pertanyaan Carol dengan jujur. Dia tampak terkejut, tapi sepertinya dia langsung mengerti.

Saat upacara penerimaan, dengan sombongnya aku bilang akan mengalahkan semua orang, tapi aku malah menyelamatkan Sharly yang seharusnya mati. Tapi itu semua adalah pilihanku.

Aku tidak akan menyesalinya sekarang.

Tidak ada jawaban, tapi tak lama kemudian, Carol membuka mulutnya dengan tenang.

"Aku... masuk ke akademi ini bersama sahabatku. Dia lebih jago main piano daripada aku, dan dia juga lebih jago sihir."

"Lebih hebat dari senior? Dia pasti hebat sekali."

"Ya. Tapi, akulah yang membuatnya dikeluarkan dari sekolah. Itu pertarungan tim. Aku tidak melakukan hal curang. Kami bertaruh poin dengan jujur. Dan, aku menang. Aku tidak mau kalah. Sampai hari itu, aku tidak pernah menyesali apa pun, dan aku tidak menyangka akan merasakan hal seperti ini. Dia pergi dengan tersenyum. Sejak saat itu, dia tidak pernah menghubungiku lagi."

... Aku tidak bisa berkata-kata. Aku hanya mendengarkan dengan tenang. Carol melanjutkan.

"Aku naik kelas menjadi senior tanpa tahu apa yang seharusnya kulakukan. Lalu, aku mengeluarkan banyak siswa dari sekolah. Tapi, hatiku tidak sakit. Hatiku hanya sakit saat aku mengalahkan sahabatku. Saat itulah aku sadar. Pada akhirnya, aku hanya memikirkan diriku sendiri. Aku sedih karena sahabatku pergi, hanya itu saja. Aku menyadarinya."

Sekarang semuanya masuk akal. Dia merasa tidak nyaman karena telah mengeluarkan sahabatnya dari sekolah.

Dan, dia menyalahkan dirinya sendiri. Setelah melihat ini, tidak ada jejak Carol yang angkuh itu.

Jadi, apakah ini Carol Stanway yang sebenarnya? Tapi—

"Kau pengecut."

"... Apa katamu—"

"Kau pengecut karena berlarut-larut dalam kesedihan setelah mengeluarkannya dari sekolah dengan tanganmu sendiri. Kalau kau menyesal seperti itu, kau bisa saja keluar dari sekolah. Tapi, kau kan yang memilih untuk tidak melakukannya."

Carol membelalakkan matanya mendengar kata-kataku. Aku bahkan bisa merasakan kemarahannya. Tapi, itu segera menghilang.

"... Kau benar. Aku pengecut, aku wanita terburuk. ... Terima kasih, karena telah menyadarkanku. Fufu, aku bodoh sekali—"

"Bukan begitu."

"... Eh?"

"Yang ingin kukatakan adalah, kau bisa menjadi kuat mulai sekarang."

"... Kuat?"

"Semua orang lemah pada awalnya. Aku juga bisa sampai di sini karena bantuan banyak orang. Itu karena aku menerima kelemahanku. Carol-senpai, kau hebat. Baik sihir suara maupun pianomu. Tapi, kau mendapatkannya dengan usahamu sendiri, kan? Jadi, jangan menyangkal dirimu sendiri. Berbanggalah. Hanya kau sendiri yang bisa memuji dirimu yang telah menang dengan jujur."

Di Akademi Sihir Noblesse, semua siswa mengerahkan seluruh kemampuan mereka. Menang atau kalah adalah hal biasa.

Pemenang merasa bangga, yang kalah membalas dendam di pertandingan berikutnya. Itulah sopan santun, dan menurutku itu adalah tindakan untuk menerima diri sendiri di masa lalu.

Awalnya aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tapi sekarang berbeda. Aku bisa menggerakkan tubuhku sesuka hati.

Aku bisa merapalkan mantra sihir. Aku bisa mengayunkan pedang.

Aku akan mengubah segalanya. Aku akan—menghindari kehancuran.

Untuk itu, aku harus bangga pada diriku sendiri. Baik diriku di masa lalu, maupun diriku yang sekarang.

Tapi, aku langsung menyesal setelah mengatakannya.

Dia adalah senior, aku adalah junior. Kalau aku mengatakan hal seperti itu, dia pasti akan marah—

"Fufu, ahahaha, fufu, kau memang lancang."

Carol tertawa terbahak-bahak. Dengan ekspresi lembut yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Dia tertawa lepas dengan mulut terbuka lebar. Sebaliknya, aku yang jadi panik. Aku merasa bersalah, dan sekarang sudah larut malam. Lagipula, kami sedang berada di atap yang terlarang.

"Tidak apa-apa. Aku sudah menghilangkan suara tawaku tadi."

"Kapan kau— Maaf aku lancang."

Aku tidak tahu bagaimana kata-kataku terdengar di telinga Carol. Tapi, sepertinya dia sudah merasa lega.

"Baiklah. Aku terima."

"Eh?"

"Piano. Aku akan memainkan semuanya untukmu. Tugas senior yang lancang adalah mengabulkan permintaan junior yang lancang, kan?"

"... Aku tidak akan sungkan."

"Tapi sebagai gantinya, izinkan aku sedikit mengubah programnya. Itu syaratku."

"Sesuai keinginanmu."

"Fufu, kau memang lancang."


"Ti-tidak mungkin...? Itu Carol-senpai...?"

"Eh, be-benar!?"

"Ke-kenapa dia ada di sini?"

Saat kami memasang lampu dan dekorasi di aula, Carol Stanway muncul.

Tidak seperti sebelumnya, dia menunjukkan ekspresi yang lembut.

Orang-orang di sekitar juga terkejut. Aku hendak mendekat dan berterima kasih padanya, tapi dia lebih dulu membuka mulutnya.

"Pesta dansa itu intinya ada pada dansanya. Dengan posisi lampu seperti ini, wajah penari tidak akan terlihat jelas."

Dia langsung mengkritikku. Tapi, memang itu yang kuinginkan.

Karena dia sudah bersedia berpartisipasi, aku memintanya untuk mengatakan semua hal yang mengganggunya. Sebagai panitia, aku ingin melakukan pekerjaanku dengan baik.

Lagipula, seorang jenius kelas dunia akan bermain piano untuk kami.

Tidak sopan kalau kami tidak melakukan yang terbaik.

"Baiklah. —Hei, Otot Dada Ayam, lepas semua lampunya."

"Hei, hei, serius!? Aku kan cuma kebetulan bantu-bantu!?"

"Ototmu pasti akan terlihat lebih indah. Bukankah itu lebih baik?"

"Apa kau bilang...! Baiklah Allen, gendong aku!"

"Eh, a-aku!? Lagipula, Duke kan yang akan naik ke atas!? Bukannya ini terbalik!?"

Setelah Carol datang, semuanya berjalan lancar. Dia pasti sudah sering melihat pesta dansa.

Dia sangat memperhatikan detail, bahkan posisi vas bunga pun tidak luput darinya, dan itu menunjukkan profesionalismenya.

Aku merasa tidak enak karena sudah meminta bantuan Cynthia dan Lilith sejak awal, tapi mereka tidak keberatan sama sekali, malah mereka senang bisa membantu.

Kalau ada waktu, Carta, Cecil, dan Shary juga datang membantu.

Setelah persiapan pesta dansa selesai sampai tahap tertentu, ada sedikit tes.

"Kalau begitu, bisakah kalian menari sedikit sambil diiringi piano?"

Dia mengumpulkan siswa kelas bawah yang sedang tidak sibuk untuk memeriksa apakah ada masalah.

Mereka tampak sedikit malu karena hanya memakai seragam sekolah, bukan gaun pesta, tapi begitu Carol mulai bermain, semua orang bergerak seolah-olah tubuh mereka bergerak sendiri.

Lagi-lagi, permainan pianonya menggetarkan hati.

Tapi entah kenapa, musiknya juga menunjukkan bahwa dansa adalah bintang utamanya.

"Allen, kau sudah mahir ya."

"Fufu, terima kasih."

Tarian Sharly dan Allen sangat serasi. Dia memang serba bisa.

Dan yang paling mengejutkan, orang ini adalah yang terbaik.

"Duke-kun, kalau tidak salah? Tarianmu indah sekali. Kau menari sesuai dengan musiknya, dan kau juga memperhatikan pasanganmu dengan baik."

"Terima kasih! Aku senang dipuji oleh Carol-senpai!"

Oh iya, dia kan dari keluarga ksatria. Mungkin itu sebabnya dia pandai menggerakkan tubuhnya.

Cynthia tidak ikut menari, dia mengawasi sekeliling sepertiku.

Sudah lama aku tidak melihatnya memakai gaun. Pasti dia cantik sekali.

Tesnya tidak ada masalah. Orkestra dan piano, semuanya sempurna.

Saat kami akan pulang, Carol memanggilku.

"Jadi, kenapa ketua panitia tidak ikut menari?"

"Aku seperti penjaga keamanan di sini."

"Begitu, kau takut ya?"

"Ya. Aku tidak mau ada masalah lagi."

Sejujurnya, awalnya aku hanya merasa ini merepotkan. Tapi, sekarang berbeda.

Aku benar-benar berharap acara ini sukses.

"... Benarkah?"

"Eh, kau bilang sesuatu?"

"Tidak. Baiklah, aku akan mengecek suara lagi sebentar. Mohon bantuannya sampai akhir ya."

"Oke."


Tinggal tujuh hari lagi sampai pesta dansa.

Gaun-gaun para siswi sudah tiba, dan jadwal semua orang sudah dikonfirmasi.

Di kamarku, aku sendirian mencentang daftar peserta pesta dansa.

Tanganku berhenti di kolom Cynthia Violetta.

Dia tidak pernah sekalipun menyalahkanku meskipun aku bilang tidak akan ikut berdansa.

Dia menghormati keputusanku, dan dengan sukarela membantu mengurus acara ini bersama Lilith.

Tapi, bukan berarti dia tidak kecewa sama sekali.

Bagi para bangsawan, pesta dansa adalah tempat yang penting untuk menunjukkan diri.

Dia hanya mengerti perasaanku.

Dan, aku teringat kata-kata yang kukatakan pada Carol.

—'Kau pengecut.'

... Bajingan. Itu kan tentang diriku sendiri.

Aku melihat jam di atas meja.

Kalau jam segini, mereka pasti masih di sana.

... Ah sial, aku ini benar-benar—menyedihkan.

"Allen, dengan serangan seperti itu, kau tidak akan bisa mengalahkan Weiss."

"... Kau benar. Aku harus lebih berusaha keras lagi—eh? Weiss?"

"Sepertinya kalian selalu bersemangat di malam hari ya."

Aku datang ke arena pertarungan bawah tanah. Biasanya Duke dan Allen melakukan pertarungan simulasi di malam hari.

Aku ke sini bukan karena tertarik pada mereka, semua murid tahu soal ini.

"Ada apa, ada apa? Kau mau ikut bertarung? Baiklah, ayo! Lawan aku!"

“Ah, itu bukan yang ingin aku bicarakan. Aku punya permintaan.”

Mendengar kata-kataku, mereka berdua saling berpandangan. Aku belum pernah mengatakan hal seperti ini sebelumnya.

Duke berseru dengan gembira.

"Tentu saja! Kita kan teman!?

"... Entahlah."

"Santai saja! Allen, boleh kan?"

"Tentu saja. Kalau begitu, ayo kita bertarung bergantian dulu."

Setelah itu, kami berlatih beberapa kali. Mereka berdua semakin kuat saja.

Ckck, kalau para tokoh utama ini berusaha keras, mereka akan jadi lawan yang merepotkan.

"Jadi, apa permintaanmu?"

"Iya, benar. Ini aneh, Weiss?"

"........."

"Ada apa? Kau lelah?"

"Weiss?"

Waktunya sudah mepet sampai pesta dansa. —Aku harus mengakui kelemahanku.

"—Ajari aku."

"Hah? Ajari kau?"

"Ajari aku... dansa."

Aku merasa bodoh sekali sampai rasanya ingin tertawa.

Aku mencalonkan diri jadi panitia karena aku tidak pandai dansa.

Tapi, bukan hanya itu alasannya.

Aku tidak mau mempermalukan Cynthia.

Aku ini Weiss Fancent yang terkenal buruk.

Cynthia, yang bertunangan denganku, pasti jadi sasaran berbagai gosip pada awalnya. Dia mungkin pernah menerima banyak hinaan.

Sekarang situasinya sudah tenang, tapi dansa adalah keterampilan dasar para bangsawan.

Kalau aku buruk dalam dansa, dia akan terkena masalah.

Dan, aku juga meremehkan pesta dansa. Kupikir itu hanya hiburan orang kaya.

Daripada membuang waktu untuk itu, lebih baik digunakan untuk latihan pedang dan sihir.

Memang, acara ini tidak ada gunanya untuk menghindari kehancuran.

Meskipun aku tidak ikut, hidupku akan tetap berjalan, dan nilaiku tidak akan terpengaruh.

Tapi, aku sadar bahwa pikiranku itu salah.

Melalui kegiatan panitia, melalui Carol, melihat para siswa yang menari dengan gembira... aku sadar bahwa aku harus menghadapi diriku sendiri.

Jangan lari, hadapilah.

Tapi, aku selalu bersikap sok. Tidak heran kalau Allen dan Duke menertawaiku.

Kalau aku jadi mereka, pasti—

"Tentu saja! Aku ini pria yang dipuji Carol-senpai! Aku serahkan semuanya padamu!"

"Ini jarang terjadi, Weiss. Tentu saja. Aku senang kau mau meminta bantuan kami."

Tapi mereka tidak menertawakan atau meremehkanku.

Ckck, para tokoh utama ini memang curang.

Mereka menerima semua kelemahan dan segalanya tanpa syarat.

"Oh, ada apa Weiss? Apa kau baru saja tersenyum?"

"Iya, sepertinya dia tadi tersenyum."

"Aku tidak tersenyum."

"Tidak, aku melihatnya. Pipimu sedikit terangkat!"

"Iya, dia pasti tersenyum."

"Aku tidak tersenyum."

"Auranya jadi menyeramkan.... Ya sudahlah. Jadi, kau mau belajar dari mana?"

"Kalau bisa, aku ingin belajar dari dasar."

"Kalau begitu, Waltz atau Vienna Waltz! Akan kuajari cara memegang yang benar!"

"Kau... benar-benar Duke, kan?"

"Apa maksudmu?"

Sepulang sekolah, aku belajar dansa dari Duke dan Allen di aula pesta dansa. Sepertinya keseimbanganku tidak buruk, tapi aku tidak terbiasa.

Meskipun aku mengerti penjelasannya, aku tidak bisa melakukan langkahnya dengan benar.

"Aku tahu. Weiss, kau masih malu, kan?"

"... Kenapa kau berpikir begitu?"

"Tubuhmu kaku. Cobalah mengikuti irama musik. Lama-lama kau akan merasa senang."

"Duke benar. Aku juga masih kesulitan dengan Waltz, tapi aku tahu betapa menyenangkannya dansa. Tersenyumlah dan nikmati saja."

Meskipun mereka berkata begitu, aku tidak pandai tersenyum. Aku hanya bisa bertarung. Mungkin, aku memang tidak bisa.

Lalu, saat itu, terdengar suara piano.

Meskipun hanya satu bar, aku langsung tahu siapa yang memainkannya.

"Hei. Jangan hanya berdiri di situ, menarilah. Waktunya tidak banyak."

Carol Stanway berkata begitu dari balik piano.

Aku tersenyum. Aku tidak perlu malu. Semua orang pasti punya pengalaman pertama.

Jangan lupakan itu.

"Duke, maaf, tapi aku minta tolong sekali lagi."

Demi Cynthia, aku harus bisa.


Dan tibalah hari yang ditunggu-tunggu.

Asrama perempuan, tempat yang biasanya tidak kukunjungi.

Sambil merasa gugup, aku menarik napas dalam-dalam dan merapikan dasiku.

Lalu, aku mengetuk pintu kamar Cynthia dan Lilith.

Tak lama kemudian, pintu terbuka.

"Weiss-sama, selamat malam!"

Di luar sudah gelap.

Karena itu, pada dasarnya pria harus menjemput pasangannya sampai ke pesta dansa.

Lilith mengenakan gaun dengan warna dasar kuning. Sangat cocok dengannya yang selalu ceria.

Lalu, aku hendak memberikan sesuatu yang sudah kusiapkan.

Tapi Lilith menggelengkan kepalanya, dan mengarahkan wajah dan tangannya ke arah Cynthia yang ada di belakangnya.

"Weiss, bagaimana menurutmu?"

Gaun putih bersih dengan aksen berwarna biru.

Rambut panjang keemasan yang berkilau indah, dan mata biru seindah lautan yang seolah-olah bisa melihat menembus segalanya.

Dia terlihat jauh lebih cantik daripada saat pertama kali kulihat.

"Kau sangat cantik. Sungguh."

"Fufu, terima kasih. —Kalau begitu, ini untukmu."

Cynthia menyematkan korsase bunga di dadaku. Warnanya oranye cerah.

"Bunga ini melambangkan kemajuan dan harapan. Weiss, aku menantikan masa depan bersamamu. Itulah makna yang kukandung dalam bunga ini. Dan, aku selalu menghormati caramu yang selalu menatap ke depan."

Aku sangat berterima kasih atas perhatiannya.

Tentu saja ada rasa cinta. Tapi, lebih dari itu, aku menghormatinya.

"Lilith, bisakah kau berdiri di sini?"

"Eh, a-aku tidak perlu, kan!?"

"Kumohon."

Dengan ekspresi menyesal, Lilith berdiri di samping Cynthia.

Aku memakaikan gelang bunga yang sudah kusiapkan di tangan mereka berdua.

Mawar merah untuk Cynthia, mawar putih untuk Lilith.

"Kalian berdua adalah sosok yang tak tergantikan bagiku. Aku sungguh-sungguh mempercayai dan menghormati kalian. Dan aku harap kalian akan terus mendampingiku. Itulah makna yang kukandung dalam bunga ini."

Mereka berdua saling berpandangan, lalu tersenyum padaku.

Tepat setelah itu, Lilith memelukku.

"Aku senang! Aku tidak akan pernah meninggalkanmu! Dan gaya rambutmu yang disisir ke belakang itu sangat keren! Keren sekali! Iya kan, Cynthia-san!"

"Ya, kau terlihat beberapa ratus juta kali lebih keren dari biasanya."

Seperti yang dikatakan Lilith, aku menata rambutku dengan gaya yang berbeda dari biasanya. Ini adalah ajaran dari Duke.

Seorang ksatria harus menunjukkan sisi yang berbeda dari biasanya.

Hah, tidak kusangka aku akan berterima kasih padanya suatu hari nanti.

Tapi Cynthia, beberapa ratus juta kali itu berlebihan, kan...?

Aku sengaja datang ke tempat acara lebih awal dari siapa pun.

Untuk melakukan pemeriksaan terakhir. Tapi, musik piano sudah terdengar dari pintu masuk.

Saat aku masuk, Carol Stanway, yang mengenakan gaun berwarna abu-abu seperti warna rambutnya, sedang bermain piano.

Melodi yang tenang dan elegan, yang sudah diprogram sebelumnya sebagai lagu pembuka, mengalun di ruangan itu.

Suaranya terdengar jauh lebih halus daripada saat tes.

Aku sampai terpesona mendengarkannya. Tapi tiba-tiba, piano itu berhenti.

"Begitu, pepatah 'dua bunga di tangan' memang benar ya. Bahkan aku yang sesama perempuan jadi iri."

Aku bingung apa maksudnya, tapi ternyata Cynthia dan Lilith sedang berpegangan di lenganku.

Dan mereka menggenggamnya erat-erat, tidak mau melepaskan. Bergoyang-goyang.

"Carol-senpai, kau sangat cantik."

"Ya! Kau sangat cantik!"

"Fufu, terima kasih. Kalau begitu, aku akan menyetel piano sampai waktunya tiba. Sisanya kuserahkan pada kalian."

Setelah berpisah dengan mereka berdua, aku melakukan pemeriksaan terakhir bersama para siswa panitia.

Tak lama kemudian, murid-murid lain mulai berdatangan.

Carta dengan gaun berwarna pink muda seperti warna rambutnya.

Cecil dengan gaun slender yang menonjolkan tubuh rampingnya, warna putih sangat cocok untuknya.

"Weiss-kun, ba-bagaimana menurutmu?"

"Cocok sekali. Kau cantik."

"Ehe, ehehe."

"Fancent-kun, kalau aku?"

"Kata 'cantik' sangat cocok untukmu."

"Fufu, terima kasih."

Ternyata mereka berdua cukup serasi. Lalu, Duke dan Allen muncul dengan suara keras.

Karena otot mereka berdua kencang, setelan jas itu terlihat bagus untuk mereka.

Dia juga menata rambutnya ke belakang sepertiku. Tidak buruk juga.

"Yo, Weiss! Tapi ini keren sekali. Aku tidak menyangka dekorasinya akan secantik ini."

"Duke benar. Pianonya juga, seperti biasanya, sangat luar biasa."

"Sebentar lagi siswa kelas atas akan datang. Pastikan tidak ada masalah. Ngomong-ngomong, di mana Shary? Allen, apa kau tidak bersamanya?"

"Tadi kami bersama. Dia bilang ingin memeriksa sihir instalasi di luar."

"Dia memang selalu rajin. Kau sudah menjemputnya dengan benar, kan?"

"Eh? Tentu saja... kenapa?"

"Tidak, tidak apa-apa kalau begitu."

Ckck, kenapa aku harus repot-repot mengkhawatirkannya?

Tak lama kemudian, Shary muncul. Dia mengenakan gaun oranye dengan bahu terbuka yang kubilang cocok untuknya.

Sepatu hak tingginya juga cocok untuknya.

"Seperti pepatah 'pakaian bagus karena orangnya', Weiss."

"Ya, karena dasarnya sudah bagus."

"Kau bisa saja. Tapi, kau terlihat lebih serius dari biasanya."

"Seolah-olah aku biasanya tidak serius saja."

"Oh, apa kau tidak tahu?"

"Aku adalah orang yang paling serius. Dalam hal apa pun."

"Fufu, aku anggap saja begitu."

Seperti biasa, dia tidak berubah. Meskipun mereka sudah terbiasa dengan pesta dansa, ini adalah pertama kalinya mereka di Akademi Sihir Noblesse.

Semua orang gugup. Tapi, hanya Shary yang tetap tenang.

Setelah bencana berakhir, dia adalah orang yang paling bersemangat mengikuti kelas. Pasti banyak siswa yang termotivasi melihatnya.

Setelah aku mengubah alur cerita, mungkin bukan aku atau Allen yang akan mengalahkan Raja Iblis, tapi Shary.

"Ada apa? Apa ada sesuatu di wajahku?"

"Tidak, tidak ada. Kalau begitu, aku kembali ke tempat panitia. —Shary."

"Ya?"

"Kau cantik sekali."

"... Fufu, terima kasih."

Saat para siswa mulai selesai makan, musik pianonya berubah.

Sebagai bagian dari tugasku sebagai panitia, aku membereskan meja dan mengganti lampu.

Sampai di sini, banyak siswa yang mulai gelisah. Karena mereka bangsawan, banyak yang sudah punya tunangan, tapi yang tidak punya harus mengajak lawan jenis untuk berdansa.

Satu per satu, mereka mulai berdansa.

"Shary, bolehkah aku mengajakmu berdansa?"

"Tentu saja. Jangan sampai menginjak kakiku, ya."

"Tentu, serahkan padaku."

Allen menggandeng tangan Shary dan mengajaknya berdansa. Tingkah lakunya seperti seorang bangsawan sejati, tidak terlihat seperti orang biasa.

Aku jadi penasaran dan melihat Duke, ternyata dia cukup populer di kalangan senior, dia sedang berdansa dengan seorang siswi kelas atas.

Memang, dia bisa diandalkan.

Dan saat itu, aku beradu pandang dengan Carol yang sedang bermain piano.

Di saat yang sama, Lilith memanggilku dari belakang.

"Weiss-sama, selanjutnya serahkan padaku. Cynthia-san, dia sudah menunggumu."

Aku terkejut mendengarnya. Memang aku sudah latihan dansa, tapi seharusnya hanya Duke dan Allen yang tahu.

Aku sudah bilang pada Lilith kalau aku tidak akan berdansa. Apa dia melihatku latihan? Tidak, sepertinya tidak.

"Aku ini pelayan Weiss-sama. Aku tahu segalanya. Weiss-sama pasti bisa."

"... Terima kasih."

Begitu, dia tahu semuanya. Hah, aku ini memang payah.

Aku selalu merepotkannya.

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menghampiri Cynthia yang sedang berbicara dengan panitia lain.

Dia sudah beberapa kali diajak berdansa, tapi dia selalu menolak. Mungkin demi aku.

"Cynthia."

"Ya. Ada apa, Weiss?"

"Maukah kau—berdansa denganku?"

Dengan tenang, aku menatap lurus ke matanya.

Mata merahnya yang indah, sama seperti saat pertama kali kami bertemu.

Cynthia tersenyum padaku. Dengan lembut, dia menerima tanganku yang terulur.

"—Dengan senang hati."

Kami berjalan perlahan, masuk ke dalam lingkaran dansa.

Tapi, aku sangat gugup sampai rasanya ingin tertawa.

Bukan karena takut melakukan kesalahan. Aku tidak mau Cynthia ditertawakan.

Kalau orang-orang di sekitar berpikir bahwa dia berpasangan dengan pria yang payah, itu akan memengaruhi reputasinya.

Jantungku berdebar kencang. Aku tidak bisa mengingat bagaimana cara berdansa—

"Lagu apa ini?"

"Eh, apa?"

"Aku baru pertama kali mendengarnya. Entah kenapa, lagunya menarik."

Lalu saat itu, melodi yang mengalun membuatku tersenyum tanpa sadar.

Lagu yang kumainkan karena permintaan Carol yang tidak masuk akal.

Secara alami, aku beradu pandang dengannya.

'Se-mangat.'

Anehnya, rasa gugupku menghilang.

Aku bisa melihat wajah Cynthia dengan jelas.

Musiknya kembali seperti semula. Sangat alami. Seperti yang diharapkan dari Carol Stanway.

"—Weiss, apa kau ingat? Hari pesta dansa itu."

Cynthia berkata begitu sambil menatap mataku.

Awalnya dia sangat membenciku. Tapi, melalui dansa, kami bisa saling memahami.

Kenapa aku bisa melupakannya?

Kenapa aku menganggap acara ini tidak berguna?

Padahal, pesta dansa itu seharusnya menjadi sesuatu yang sangat berharga bagiku.

"... Cynthia, aku pasti akan merepotkanmu lagi nanti. Tapi tetaplah di sisiku. Aku pasti akan menjagamu."

"—Ya, tentu saja, Weiss."


Setelah itu, aku berusaha sebisa mungkin.

Tentu saja masih jauh dari sempurna. Tapi, aku sudah melakukan yang kubisa.

Aku juga berdansa dengan Lilith. Seperti biasa, dia berdansa dengan ceria dan penuh semangat. Cynthia tersenyum melihatnya.

Saat lagu terakhir berakhir, tepuk tangan meriah bergema.

Berkat orkestra, acara ini sukses besar. Dan tentu saja, banyak mata tertuju pada Carol.

Tanpa dia, acara ini tidak mungkin sesukses ini.

Tak lama kemudian, hasil kotak suara untuk menentukan Queen dan King diumumkan.

Pemungutan suara sudah selesai.

Di cerita aslinya, Allen dan—

"Baiklah, hasil pemungutan suara sudah keluar."

Semua orang menahan napas. Dan—

"Queen adalah Cynthia Violetta. King adalah—Weiss Fancent."

Sorak-sorai kembali terdengar. Aku tidak mengerti apa yang terjadi.

Seharusnya aku menari dengan buruk. Aku bahkan tidak bisa melakukan langkah dengan benar. Aku sudah merepotkan Cynthia.

Tapi, sepertinya semua orang kecuali aku merasa puas dengan hasilnya.

Lalu, Carol mengambil mikrofon.

"Ini hasil yang pantas. Cynthia-san, tarianmu sangat cantik dan anggun. Tentu saja, itu adalah hasil dari usahanya. Dan, Weiss Fancent. Menurutku, dia memang sedikit kaku. Tapi, dia yang paling berusaha keras. Secara pribadi, aku mengenalnya. Dia lancang. Kalian semua mungkin juga sudah tahu."

Tawa riuh terdengar. Apa maksudnya ini...?

"Tapi, kurasa kita semua, termasuk aku, menghormatinya karena hal yang sama. Menjadi yang teratas di kelas bawah bukanlah hal yang mudah. Itu sungguh luar biasa. Dan kali ini, dia menantang dirinya sendiri untuk berdansa, meskipun dia tidak pandai. Biasanya orang tidak akan melakukan itu, kan? Karena itu memalukan. —Tapi, dia menghadapinya. Aku menghormatinya. Aku menghormati dirinya yang kuat, yang berani menghadapi kesulitan apa pun. —Jadi, mari kita berikan tepuk tangan sekali lagi untuk mereka berdua."

Tepat setelah itu, tepuk tangan meriah bergema di ruangan itu.

Tidak kusangka aku, yang biasanya egois, akan menjadi pusat perhatian seperti ini.

"Weiss, aku sangat bahagia bisa menjadi tunanganmu."

Kata-kata terakhir Cynthia membuatku sangat bahagia.

Acara ini memang tidak ada hubungannya dengan menghindari kehancuran.

Tapi, ini menjadi kenangan yang tak terlupakan seumur hidupku.


Setelah itu, hari-hari biasa pun berlalu. Tidak, hari-hari yang berat dan penuh pertempuran seperti biasa.

Allen masih saja lancang, dan dia semakin kuat.

Suatu hari, aku mendengar cerita yang mengejutkan.

"Apa itu benar, Lilith?"

"Ya. Sepertinya dia sudah berada di kereta kuda—"

Aku bergegas menuju gerbang.

Di sana, Carol Stanway sedang bersiap untuk naik kereta kuda.

Dengan membawa banyak barang bawaan.

"Ada apa ini?"

"Oh, anak lancang, apa kau mau mengantarku?"

"Aku tidak mengerti. Kau pasti bisa lulus. Pasti."

Di cerita aslinya, Carol Stanway lulus dengan nilai terbaik.

Lalu kenapa—dia keluar dari sekolah?

Tidak mungkin. Tidak, ini salahku. Ini karena aku.

Pasti karena aku menyalahkannya di atap. Karena aku menghinanya dan menyebutnya pengecut.

Sial, kenapa, kenapa aku...?

"Bisakah kau menungguku sebentar?"

Carol mengatakan itu pada kusirnya, lalu berjalan mendekat dengan tenang.

Entah kenapa, dia tersenyum lebar.

"Sepertinya kau salah paham. Ini salahku. Ayo kita bicara sebentar."

Kami duduk di bangku terdekat. Setelah lulus dari Akademi Sihir Noblesse, masa depan yang cerah sudah menantinya.

Dia juga hebat dalam sihir. Dan aku—

"Berkat kau, aku jadi berani."

"... Berkat aku? Apa maksudmu?"

"Aku tidak cocok. Di Akademi Sihir Noblesse ini. Aku sudah lama menyadarinya. Aku sudah menemukan hal lain yang ingin kulakukan."

"Hal lain yang ingin kau lakukan?"

"Aku telah membuat sahabatku dikeluarkan dari sekolah. Tidak ada gunanya menyesalinya, dan seperti yang kau katakan, aku memutuskan untuk menerima masa laluku. Dan, masa depanku juga. Kalau aku lulus dari Akademi Sihir Noblesse, memang nilaiku akan naik dan banyak hal akan menjadi mudah. Tapi, yang benar-benar ingin kulakukan adalah musik. Aku menyadarinya melalui pesta dansa itu. Maaf kalau ini menyinggungmu, tapi di dunia ini masih banyak orang yang tidak mengenal musik, atau tidak bisa menikmatinya."

Dunia ini luas. Bahkan ada daerah yang masih berperang.

Ada tempat yang politiknya belum berkembang.

Ada orang-orang yang tidak bisa menikmati musik karena kemiskinan.

"Aku... menghubungi sahabatku. Dan ternyata, dia tidak menghubungiku karena tidak ingin membuatku khawatir. Dan dia memberitahuku. Dia akan berkeliling dunia sambil membawa alat musiknya."

"... Jangan-jangan..."

"Fufu, benar. Aku akan ikut dengannya. Aku tahu dunia ini penuh dengan bahaya. Karena itu, aku ingin berada di sisinya. Dan, aku ingin lebih banyak orang di seluruh dunia yang mengenal musikku. Itulah yang paling ingin kulakukan."

"Apa... sudah terlambat kalau kau melakukannya setelah lulus?"

"Ya. Aku ingin segera pergi sekarang juga. Lagipula, kenapa kau begitu peduli?"

"Karena aku... ingin kau lulus."

"Oh, apa ini pernyataan cinta? Apa kau ingin lebih banyak mengobrol denganku?"

"Mungkin... begitu."

Carol telah mengajariku. Tidak ada yang sia-sia.

"—Hei, Weiss."

"Ya."

"Ini semua berkat kau. Aku sangat berterima kasih. Aku akan menjadi musisi yang bisa membuat orang bahagia. Aku tidak akan menyerah sampai saat itu tiba. Jadi, kau juga jangan menyerah. Teruslah berjuang."

"Itu permintaan yang berat."

"Fufu, junior harus menuruti seniornya. —Kalau begitu, sampai jumpa. Meskipun singkat, aku senang bisa bertemu denganmu. Tarianmu juga bagus sekali. Dan kau juga keren."

Setelah mengatakan itu, Carol naik kereta kuda dan pergi.

Aku telah mengubah alur cerita lagi. Tidak, aku telah melakukannya.

Aku tidak tahu apakah ini hal yang baik atau buruk untuk saat ini.

Tapi setidaknya, tidak seperti saat pertama kali kami bertemu, dia pergi dengan senyum lebar.

Tidak, mungkin aku tidak boleh berpikir seperti ini.

Aku memang tahu masa depan. Tapi, hanya itu saja. Aku tidak bisa mengatur hidupnya.

Yang lebih penting, aku harus menerapkan apa yang telah diajarkannya padaku.

Untuk selalu hidup dengan sungguh-sungguh, dalam situasi apa pun.

—Ah, aku tidak boleh kalah lagi. Weiss.

—Aku tidak akan kalah dari siapa pun.

—Kau juga berpikir begitu, kan?

—Tentu saja kau tidak akan menjawab.

"Baiklah, kelas sore ini adalah ujian pertarungan. —Akan kuhabisi kalian semua."

Aku akan terus menatap ke depan.

Tapi, sesekali berbelok arah juga tidak buruk.

Post a Comment

Join the conversation