[LN] Futago Matomete “Kanojo” ni Shinai? ~ Volume 2 _ Chapter 1 [IND]


Translator : Nacchan 

Proffreader : Nacchan 


 Chapter 1 : Ada yang Aneh...?

Awal Juli, saat mampir ke kafe di depan stasiun dalam perjalanan pulang sekolah, topik liburan musim panas muncul.

"Karena ini liburan musim panas yang berharga, ingin cepat-cepat selesaikan tugas ya~"

"Oh ya? Aku tipe yang menumpuk sampai akhir liburan lalu mengerjakannya sekaligus."

Chikage dan Hikari berbicara dengan riang di hadapan Sakuto.

"Bilang begitu, tapi tahun ini aku tidak akan membantu sama sekali lho?"

"Eeh~ jahatnya~ ...Ah, tapi kalau Sakuto-kun yang membantu mungkin tidak apa-apa♪"

"Apa-apaan!? —Sakuto-kun! Jangan memanjakan Hii-chan!"

Sakuto tersenyum kecut, bisa membayangkan dengan mudah akhir liburan musim panas di kediaman Usami.

"Sepertinya SMA Arisuyama banyak tugas liburan musim panas ya, mungkin lebih baik mulai mengerjakannya lebih awal?"

"Benar juga, sepertinya liburan akan dipenuhi tugas ya~..."

"Kalau begitu, bagaimana kalau belajar bertiga~ Ingin cepat selesai biar bisa banyak main."

"Setuju! Sakuto-kun juga... —Sakuto-kun?"

Sakuto mengintip keluar jendela berkali-kali.

Di balik kaca jendela terlihat orang-orang yang berlalu lalang—

"Kenapa gelisah dari tadi?"

"Ada sesuatu yang mengganggu?"

"...Eh?"

Melihat wajah bingung keduanya, Sakuto buru-buru tersenyum dan berkata "Tidak."

"Kalau soal gaya rambut, tetap keren seperti biasa kok?"

"Ah, ya... aku bukan tipe yang terlalu sadar diri sampai mengkhawatirkan gaya rambutku yang terpantul di kaca jendela..."

Sakuto menjawab Chikage dengan nada lelah, tapi perhatiannya tetap tertuju ke luar jendela.

Belakangan ini, dia merasa ada tatapan seseorang.

Mungkin sejak dia mendapat peringkat satu di ujian kemampuan. Dia sering merasa dibuntuti atau diperhatikan.

Akan bagus kalau ini hanya perasaannya saja, tapi dia tetap merasa tidak tenang.

Meski dia sendiri yang memilih untuk menonjol, tapi tetap memperhatikan sekitar—mungkin memang terlalu sadar diri—.

Sementara dia memperhatikan keluar, tanpa sadar topik pembicaraan sudah berganti.

"Terus, bagaimana kalau kita pergi berlibur bertiga? Sekitar dua malam tiga hari?"

"Liburan bertiga... berarti...!?"

Wajah Chikage tiba-tiba memerah.

"Sakuto-kun, bagaimana dengan usulku?"

"Liburan ya... kenapa harus menginap?"

Mendengar pertanyaan itu, Hikari mulai berbicara dengan gembira.

"Kalau bisa, aku ingin pergi ke tempat di mana kita bisa bersenang-senang tanpa memikirkan pandangan orang lain. Lagipula, kalau punya banyak waktu, kita bertiga bisa lebih banyak bersenang-senang kan?"

"Begitu ya..."

Saat hampir mengerti, dia tiba-tiba menoleh ke arah Chikage.

"Menginap... bertiga, banyak... berarti, banyak bertiga..."

Melihat Chikage bergumam seperti mengucapkan mantra dengan wajah merah padam, Sakuto tanpa sadar bergumam "ugh". Seperti biasa, dia masuk mode khayalan.

Mungkin isinya—kira-kira bisa ditebak, tapi Sakuto hanya memasang wajah lelah tanpa mengatakannya.

Sebagai gantinya, Hikari memandang Chikage sambil menyeringai.

"Chii-chan, kira-kira lagi membayangkan apa ya~?"

Chikage tersentak dan panik.

"A-aku tidak membayangkan apa-apa! Aku bukan anak mesum seperti itu! Tidak membayangkan, khayalan mesum seperti itu!"

Tidak ada yang menyebut kata "mesum" atau "ecchi".

Yah, tapi sebenarnya membayangkan kan?—Sakuto membatin dalam hati.

* * *

(Kapan ya terakhir kali pergi liburan—)

Setelah keluar dari toko bertiga, Sakuto tiba-tiba memikirkan hal itu.

Kalau diingat-ingat, terakhir kali adalah study tour ke Kyoto, Osaka, dan Nara saat kelas 3 SMP di bulan Mei.

Saat itu dia masih "robot", hanya bergerak mengikuti jadwal dan orang-orang di sekitarnya. Tanpa perasaan khusus, kesan yang samar, hanya pergi dan pulang—itulah study tour bagi Sakuto.

Namun, untuk liburan dua malam tiga hari yang diusulkan Hikari, entah kenapa terasa menyenangkan.

Liburan dengan dia—tidak, "mereka", akan seperti apa ya.

Pasti akan menyenangkan, tapi sebelum itu ada satu kekhawatiran.

"Melanjutkan pembicaraan tadi, soal bisa pergi liburan atau tidak, harus tanya ibu dan bibi dulu."

"Bibi? ...Ah, benar juga. Sakuto-kun sekarang tinggal di rumah bibi ya?"

Chikage yang berjalan di sebelah kanan berkata seolah baru ingat.

"Ya. Untuk sementara akan kubicarakan dengan bibi. Tentu dengan ibu juga—"

Tapi kalau bilang mau pergi liburan dengan pacar (apalagi dua orang), bibinya yang suka khawatir pasti tidak akan mengizinkan. Memberitahu kalau dengan dua gadis juga rasanya—.

Meski tidak enak membohongi keluarga, mungkin lebih baik bilang pergi dengan teman laki-laki.

Kalau ibu—mungkin akan mudah menyetujui.

Ibunya yang sangat pengertian percaya dia tidak akan melakukan hal bodoh, dan membiarkannya melakukan apa yang dia inginkan. Dengan sikap bahwa orang tua yang akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu, dia selalu berkata "Lakukan saja yang kamu inginkan."

"Kalau Sakuto-kun oke, tinggal kami minta izin Papa dan Mama ya?"

Hikari yang berjalan di sebelah kiri tersenyum ceria.

Chikage terlihat sedikit khawatir.

"Hii-chan, mau jujur bilang ke Papa kalau pergi dengan pacar?"

"Hmm... sepertinya tidak masalah sih, tapi mungkin lebih baik bilang dengan teman ya?"

Hikari meletakkan jari telunjuk kanan di bibirnya sambil menatap langit.

Bagaimana cara memberitahu orang tua—

《Fakta bahwa mereka bertiga pacaran adalah rahasia》

Karena ada aturan ini, mereka tidak bisa jujur bahkan pada keluarga. Tapi ketahuan tiba-tiba oleh orang tua juga bukan yang mereka inginkan. Haruskah aturan ini sedikit dilonggarkan?

Liburan dua malam tiga hari.

Karena masih di bawah umur, tidak bisa pergi seenaknya tanpa izin orang tua—

"Papa dan Mama pasti kaget ya? Kalau tahu aku dan Hii-chan pacaran dengan orang yang sama..."

Malah mungkin akan menentang.

Bahkan Hikari pun menunjukkan ekspresi tidak enak.

"Kalau Papa mungkin tidak apa-apa, tapi Mama..."

"Ya... Mama..."

Si kembar di kedua sisinya menghela napas bersamaan.

(Seperti apa ya Papa dan Mama mereka?)

Ada sedikit informasi.

Saat berkunjung ke rumah Usami, Hikari bercerita dengan tersenyum tentang ayahnya yang memberikan planetarium untuk di rumah.

Saat bertanya pada Chikage, katanya ayah mereka cenderung memberi kebebasan, tapi juga percaya pada Hikari. Dari situ bisa disimpulkan, ayah mereka adalah orang yang pengertian terhadap Hikari, orang yang baik dan menyenangkan.

Di sisi lain, Sakuto berpikir mungkin ibu mereka orang yang agak tegas.

"Ngomong-ngomong, bibinya Sakuto-kun orang yang seperti apa?"

"Namanya Kisezaki Mitsumi, tujuh tahun lebih muda dari ibu. Dia pengacara."

Chikage dan Hikari membelalakkan mata.

"Seperti orang yang suka bilang 'Keberatan!' gitu!?"

"Apa dia benar-benar bilang 'Akan kubalas dua kali lipat!' gitu!?"

"Ah, ya... tapi aku tidak pernah dengar dialog seperti itu di rumah sih? Lalu Hikari, itu bukannya dialog bankir ya...?"

Mungkin Hikari mencampur adukkan beberapa drama. ...Yah, meski aktornya sama di Legal High sih.

"Berarti dia orang yang akan membantu kalau Sakuto-kun berbuat masalah ya?"

"Ah, ya... kenapa asumsinya aku berbuat masalah?"

Hikari berhenti, dengan sengaja meletakkan tangan di pipinya yang memerah dengan malu-malu.

Karena sambil berbicara, mereka sudah sampai di stasiun Yuuki Sakura—tempat dengan kenangan yang kuat—tempat Sakuto berbuat kesalahan.

Mengerti alasan Hikari bersikap malu-malu, wajah Sakuto memerah karena malu.

"Di sini tiba-tiba peluk dan cium aku, sudah lupa ya~?"

"Itu cuma salah paham...!"

"Kalau bukan aku—"

"Bu-bukan berarti aku akan melakukannya pada siapa saja...!"

Kesalahan itu terjadi karena mereka kembar, tapi tentu saja dia tidak akan tiba-tiba memeluk dan mencium sembarang orang. Kalau sampai melakukan itu, dia pasti akan di-BAN dari SMA Arisuyama.

Lalu Chikage menggembungkan pipinya.

"Benar! Seharusnya itu a-ku lho?"

"...Maaf."

Sakuto menunduk dengan penuh penyesalan.

"Yah, aku juga salah karena berpura-pura jadi Chii-chan sih?"

"Kalau begitu, lebih menyesal lagi dong."

"Ehehe, maaf maaf..."

Terhadap Chikage yang cemberut, Hikari membalas dengan senyum kecut.

Bagaimanapun, mencium Hikari karena mengira dia Chikage adalah kelalaian seumur hidup. Mungkin akan tetap jadi insiden besar dalam ingatannya, dan tempat ini akan selalu mengingatkannya pada kejadian itu.

Hikari sengaja mengungkit hal ini di depan Chikage mungkin untuk memancing rasa cemburunya.

"Tapi, Chii-chan dapat pelukan dan ciuman romantis di bianglala keesokan harinya kan?"

"I-iya... memang dapat sih..."

"...Sayang sekali tidak bisa istirahat saat pulang ya~?"

"Tu-tunggu, Hii-chan...!?"

Melihat Chikage yang memerah karena malu, Hikari tertawa riang.

Menjatuhkan dulu baru mengangkat, begitu ya. Benar-benar sesuai rencana Hikari, Sakuto takjub melihat betapa pandainya sang kakak menangani adiknya.

"Ah, ngomong-ngomong... hari setelah aku kencan dengan Sakuto-kun, apa yang Hii-chan lakukan dengan Sakuto-kun di kamar? Aku lihat kamu memeluknya dengan pakaian dalam sih."

"...──"

Hikari dan Sakuto saling berpandangan, wajah mereka memerah.

"Eh... reaksi apa itu!? Apa yang terjadi!?"

Bukannya tidak terjadi apa-apa.

Tapi Chikage tidak perlu bereaksi berlebihan. Malah, lebih sederhana dari Chikage, Hikari hanya mencium pipi Sakuto berkali-kali di atas tempat tidur. Tidak ada yang lebih dari itu—

(—Ugh...)

Saat itu bayangan si kembar dalam pakaian dalam terbayang jelas di benak Sakuto. Mungkin karena Chikage baru saja menyinggungnya.

Dia memang melihat Hikari dalam pakaian dalam, tapi karena sebelumnya juga melihat adegan ganti baju Chikage, itu impas (?) kan. Mungkin.

Tapi Hikari, dengan pipi masih memerah, tersenyum kecil menatap Chikage.

"Eh? Apanya, aku belum bilang ke Chii-chan ya, tapi itu hal yang luar biasa lho? Sakuto-kun yang terangsang, mendorongku ke tempat tidur... fufu."

"—...!? Lalu setelah itu!?"

"Tunggu tunggu tunggu! Hikari, itu sudah keterlaluan! Bukan mendorong tapi mencoba menghentikan...!"

Hikari terkikik, menikmati reaksi Chikage yang wajahnya memerah.

Sepertinya Hikari memang senang menekan tombol khayalan (liar?) Chikage seperti ini.

"Hii-chan, detail lebih detailnya!"

"Chikage? Itu terdengar seperti 'sakit kepala yang sakit', kamu tidak apa-apa...?"

Kalau Chikage sudah masuk mode liar, bahasa Jepangnya jadi aneh. Di saat seperti ini harus ditenangkan dulu, kalau tidak dia akan terus lepas kendali, jadi,

"Yah, kembali ke pembicaraan liburan—"

Sakuto tiba-tiba mengembalikan topik pembicaraan.

"—Kalian ada tempat yang ingin dikunjungi?"

"Itu sudah pasti dong— Iya kan, Chii-chan?"

"Ya. Kalau musim panas ya pasti itu kan~?"

Sakuto memandang keduanya yang berbicara dengan riang sambil ber-"ya" dengan kagum.

Memang si kembar yang akrab. Tanpa diucapkan pun tempat yang ingin dikunjungi sama.

"Kalau gitu, kita umumkan bareng-bareng ya?"

"Ya. Satu... dua...—"

"Laut!" "Gunung!"

Sakuto tanpa sadar mengeluarkan suara "auh".

(Te-ternyata si kembar pun bisa berbeda pendapat ya...)

Terhadap Chikage yang cemberut, Hikari membalas dengan senyum agak kaku. Di sudut stasiun yang penuh dengan hiruk pikuk jam pulang kerja, mulai terasa atmosfer yang tidak mengenakkan.

"...Hii-chan, tadi bilang laut?"

"Iya, tapi Chii-chan bilang gunung ya?"

"Ya. Soalnya kalau musim panas ya gunung dong."

"Tsk tsk tsk. Laut itu lebih standar kan~?"

Saat Sakuto tersenyum kecut—

"Sakuto-kun!?"

"Eh!? Aku!?"

Ditanya tiba-tiba dengan tekanan yang luar biasa, Sakuto terkejut mundur ke belakang.

"Karena kita pergi bertiga, kami ingin dengar pendapat Sakuto-kun! Jadi gunung kan!?"

Kamu tidak berniat mendengarkan ya, pikir Sakuto.

"Aku ingin memperlihatkan baju renang yang seksi pada Sakuto-kun lho~?"

Itu cukup menarik juga ya, Sakuto mulai bimbang.

"Hii-chan, menggiring opini seperti itu curang! —Sa-Sakuto-kun lebih suka support tights yang basah keringat kan!?"

"Chikage, aku tidak punya selera khusus seperti itu...? Lagipula pembicaraannya jadi melenceng..."

Laut dan gunung—jujur saja keduanya boleh. Bukannya tidak peduli, tapi kalau bisa pergi liburan bertiga, ke mana pun pasti akan menyenangkan—

(—Tidak, tunggu...)

Sakuto meletakkan tangan di dagu dengan gumaman "hmm".

Kalau dipikir-pikir, mungkin kedua pendapat ini bisa disatukan—.

Ya, tidak baik menganggap sesuatu mustahil dari awal.

Para pendahulu yang disebut jenius, dalam situasi sulit apa pun tidak menyerah mencari kemungkinan, dan meninggalkan prestasi besar yang belum pernah dicapai sebelumnya.

Thomas Edison yang terkenal sebagai raja penemuan, saat mengembangkan bola lampu pijar yang konon mengalami kegagalan sepuluh atau dua puluh ribu kali, menggunakan bambu asli dari Otokoyama, Iwashimizu Hachimangu di Kyoto sebagai material filamen.

Itu adalah momen di mana dua negara yang terpisah lautan, Amerika dan Jepang, terhubung oleh tangan seorang jenius—.

(Begitu ya, intinya kombinasi...)

Dengan kata lain, "masalah laut atau gunung" ini, jika menghubungkan titik-titik dalam garis lurus, jawabannya akan terlihat dengan sendirinya. Baju renang, atau gaya gunung, jika dikombinasikan—

"—Ah, begitu...!?"

Sebuah bola lampu bersinar di atas kepala Sakuto.

Itu adalah kilatan jenius satu persen—

"Bagaimana kalau pakai baju renang di gunung!?"

"Itu fetish aneh!"

"Ka-kalau begitu, gaya gunung di laut..."

"Itu fetish aneh!"

"Kalau begitu sekalian saja, pakai support tights di bawah baju renang..."

"Sudah kubilang itu fetish aneh!"

—Sepertinya memang aneh.

Dalam artian tertentu, memang belum pernah dilakukan sebelumnya. Atau lebih tepatnya, pembicaraannya jadi melantur.

"Simpan dulu selera anehmu itu, untuk sekarang tolong pilih Sakuto-kun mau ke laut atau gunung."

"Tentu saja pilihan lain juga boleh. Kami akan mengikuti pendapat Sakuto-kun."

Sakuto berpikir kalau begitu sekalian saja pergi ke laut dan gunung, tapi tidak ada tempat yang terpikirkan, dan kandidat ketiga pun tidak ada.

Untuk sementara, sebelum membuat kesimpulan, dia memutuskan untuk menanyakan ini—

"Ngomong-ngomong kalian tim Takenoko atau tim Kinoko?"

"Takenoko"

"Ah, kalau itu sama ya...?"

Ngomong-ngomong Sakuto tim Kinoko.

—Begitulah.

Si kembar, masing-masing bersikeras dengan laut dan gunung, tidak ada tanda-tanda akan mengalah.

Sakuto sendiri ingin membuat liburan dua malam tiga hari bersama kekasihnya ini menjadi kenangan terbaik bagi masing-masing si kembar.

Karena itu, dia cukup kesulitan mencari jalan tengah yang bisa menyatukan pendapat keduanya.

Dan karena belum mencapai kesimpulan, mereka memutuskan untuk membicarakannya lagi lain waktu, dan untuk hari ini mereka bubar dulu.

* * *

Keesokan harinya, saat istirahat siang.

Chikage sepertinya dipanggil Tachibana-sensei lagi, jadi ada LIME minta untuk makan siang duluan. Hikari—entah kenapa tidak bisa dihubungi.

Karena LIME-nya bahkan belum dibaca, Sakuto menyerah dan pergi ke kafetaria sendirian.

(Yah, ada juga hari seperti ini...)

Kalau Chikage tidak bisa karena tidak tahu kapan selesai bicara dengan Tachibana-sensei itu tidak bisa dihindari, tapi ada apa dengan Hikari. Saat berjalan sambil memikirkan hal itu, dia melihat sosok Chikage di ujung koridor.

"Lho?"

"Ah... Sakuto-kun, selamat siang. Mau ke kafetaria kan? Mau pergi bersama?"

Dia tersenyum ramah.

"Urusan dengan Tachibana-sensei bagaimana? Bukannya dipanggil?"

"Ya. Aku pikir akan mengabaikannya saja."

"Jangan diabaikan... Tachibana-sensei akan marah kalau dengar itu..."

"Aku pikir dia tipe yang suka permainan pengabaian seperti itu."

"Ya, prasangka macam apa itu...?"

Sakuto menggaruk belakang lehernya sambil menghela napas.

"...Ngomong-ngomong, apa yang kamu lakukan, Hikari?"

"Hee!? A-ada apa ya~ Apa yang kamu salah pahami? Ohohoho..."

"Aku belum pernah lihat Chikage tertawa 'ohohoho'... orang lain juga..."

Memang benar Hikari.

Hikari tidak memakai hiasan rambut biasanya tapi pita kesayangan Chikage. Cara bicara dan tertawanya sangat mencurigakan, tapi cara jalan dan tingkah lakunya mirip Chikage, dan tidak ada headphone yang biasa digantung di leher. Sekilas, mungkin ada siswa yang akan salah mengiranya sebagai Chikage.

Tapi, ada satu bagian yang jelas-jelas bukan Chikage—

"Jadi, apa yang kamu lakukan, Hikari? Mau mengejutkanku lagi?"

"...Haah... kenapa bisa ketahuan ya?"

"Kenapa katamu, itu karena—"

Sakuto dengan agak canggung menunjuk ke arah dadanya. Cara berpakaian berantakan seperti ini hanya Hikari yang melakukannya. Kalau ini Chikage, orang akan khawatir ada apa dengannya.

"Ah, benar juga!"

Sepertinya Hikari juga menyadarinya, dia buru-buru mencoba mengancingkan bagian dadanya, tapi sangat kikuk. Entah karena dadanya terlalu menonjol, atau ukuran kemejanya tidak pas, tapi dia kesulitan mengancingkannya.

Tidak bisa hanya diam melihat keadaan itu, Sakuto mengalihkan pandangan sambil menunggu.

Akhirnya selesai dikancingkan. Dengan ini "Usami Chikage" sudah sempurna.

"Bisa dibilang kurang teliti atau bagaimana ya..."

"Hmm... aku masih harus banyak belajar ya."

Hikari tertawa tehehehe seperti ketahuan berbuat nakal.

Daripada itu, kenapa dia berpura-pura menjadi Chikage? Padahal sebelumnya dia dimarahi Chikage karena hal ini.

"...Jadi, sebenarnya ada apa ini?"

"Sebenarnya... —Ah, gawat!"

Hikari melihat ke belakang Sakuto dan buru-buru merapikan penampilannya, berdehem ehem-ehem.

Sakuto juga penasaran dan menoleh ke belakang—

"Ketemu! Usami Hikari!"

Yang mendekat dengan sikap sangat agresif adalah gadis berambut twintail.

Siswi kelas satu, namanya tidak diketahui. Beberapa kali melihatnya di sekolah, tapi berbeda kelas dan belum pernah bicara, hanya ingat "oh ada anak twintail ya" saja.

Si twintail, tanpa peduli ada Sakuto, langsung mendekati Hikari yang menyamar sebagai Chikage.

"Begini, hari ini aku pasti—"

"Ehem! ...Maaf, 'saya' adalah Usami Chikage, ada perlu apa?"

"Eh? ...Eeeh!? Usami Chikage...!?"

Begitu nama Chikage disebutkan, si twintail langsung sangat panik. Entah karena trauma dengan Chikage atau apa, dia mundur dua, tiga langkah dengan wajah menegang.

"Benar lho? Kalau sudah mengerti, bagaimana kalau anda segera pergi ke sana?"

Sakuto mendengarkan kata-kata palsu Chikage yang entah sopan atau tidak sopan itu dengan takjub.

Ini pasti langsung ketahuan—pikirnya, tapi si twintail sepertinya benar-benar percaya itu Chikage. Entah ke mana perginya keagresifan tadi, dia gemetar dan pucat.

Sebagai orang yang pernah mengalaminya, Sakuto agak mengerti perasaan si twintail saat ini.

Lalu—

Pret—Pas!

"A-aduh...!? Apa itu tadi...!?"

Si twintail panik memegang dahinya.

Lalu sesuatu menggelinding sampai ke kaki Sakuto, berhenti saat menabrak sepatu dalamnya.

Saat diambil—

"—Kancing?"

"Wah, gawat~..."

Dia menoleh ke arah suara. Bagian dada kemeja Chikage—tidak, Hikari, yang baru saja dikancingkan terbuka lebar, belahan dadanya yang seperti buah persik putih mengucapkan "halo".

Ketiganya membeku sesaat di tempat, tapi,

"Ahahahaha... kancingnya lepas~"

Melihat Hikari tertawa,

"Reaksi itu... ternyata memang Hikari ya!?"

Si twintail akhirnya menyadari.

"Gawat!? Kalau begitu Sakuto-kun... I love you—"

Setelah berbisik di akhir, Hikari pergi dengan segar meninggalkan senyum nakal.

"Ah!? Tunggu! Hikariiiii———!"

Saat si twintail mengejar sambil berteriak, Hikari kabur sambil berteriak "Uhya—".

Saat Sakuto memandangi kejadian itu sambil memegang kancing yang dipungut dengan takjub,

"—Ah, Sakuto-kun. Tidak lihat Hii-chan?"

Chikage (asli) datang berpapasan dengan Hikari.

"Ah, tadi ada di sini, tapi pergi entah ke mana..."

Saat diperhatikan, entah kenapa Chikage terlihat agak kesal.

"Ada apa? Jangan-jangan, dimarahi Tachibana-sensei?"

"Bukan itu. Saat mau ke ruang guru, tiba-tiba Hii-chan merampas pitaku di koridor lalu pergi entah ke mana... benar-benar..."

"Ah, begitu ya... pantas..."

Sambil menghela napas, Sakuto menyerahkan kancing yang tadi dipungutnya kepada Chikage.

"Ini, untukmu."

"Jangan-jangan... ini kancing keduamu, Sakuto-kun!?"

Mata Chikage tiba-tiba berbinar.

"Aku tidak mau hanya aku saja yang lulus... Memang kancing kedua, tapi milik orang lain..."

"Eh... kalau begitu tidak usah..."

Semangat Chikage langsung turun. Dia memang tipe orang yang mudah terbaca.

"Tidak, kurasa nanti akan berguna... Ngomong-ngomong, belum makan siang kan? Mau ke kafetaria bareng?"

"...Eh? Ma-mau! Asik!"

Chikage melompat-lompat riang menuju kelas untuk mengambil bekal.

(...Tapi, kenapa Hikari tadi dikejar-kejar ya?)

Sakuto mengernyitkan dahi, tapi saat itu dia belum tahu bahwa dirinya sendiri sudah terlibat dalam insiden itu.


Prolog | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Join the conversation