[LN] Futago Matomete “Kanojo” ni Shinai? ~ Volume 2 _ Chapter 2 [IND]


Translator  : Nacchan 

Proffreader : Nacchan


Chapter 2 : Usami Hikari Anggota Klub Koran...?

"Jadi, ada apa sebenarnya? Kenapa kamu dikejar-kejar dan menyamar jadi Chikage?"

"Hii-chan, aku tidak akan marah kalau kamu cerita... Tapi kalau tidak cerita, aku akan marah."

Sepulang sekolah, di restoran bergaya Barat, Kanon.

Hikari yang duduk berhadapan dengan Sakuto dan Chikage hanya bisa tersenyum canggung tehehehe saat didesak.

Berbeda dengan Sakuto yang lebih tenang, Chikage sepertinya semakin tidak sabar seiring berjalannya waktu, dan akhirnya kehilangan kesabaran karena Hikari tidak kunjung bicara.

"Berani-beraninya menyamar jadi aku lagi! Bukannya sudah kapok waktu kejadian dengan Sakuto-kun!?"

Hikari mengerang "ugh" dan tertunduk lesu seperti anak yang baru dimarahi.

"I-itu... maafkan aku..."

Sakuto mengerti perasaan Chikage yang marah, tapi dia lebih ingin tahu alasannya daripada permintaan maaf pada Chikage. Apalagi kalau ada masalah yang melibatkan mereka, dia ingin membantu kalau Hikari sedang kesulitan.

"Chikage, tenang, tenang... Kalau menanyainya dengan cara menekan begitu, Hikari mungkin tidak bisa jujur?"

Mendengar kata-kata menenangkan itu, Hikari menatap Sakuto dengan mata berbinar, seolah merasa tertolong.

"Jangan terlalu memanjakan! Lagipula, menurutku Sakuto-kun terlalu lembut pada Hii-chan!"

"Tidak, menurutku aku juga terlalu lembut pada Chikage kan? Aku juga menyesali itu."

"Y-yah, memang Sakuto-kun pandai memanjakan sih..."

Chikage sempat melunak, tapi,

"Jangan mengalihkan pembicaraaaaaan!"

Emosinya mendadak meningkat lagi. Entah dia ingin marah atau melunak.

"Tapi, yah, kupikir lebih baik bertanya dengan lebih lembut..."

"Kalau begitu tidak akan membuat Hii-chan jera! Harus lebih tegas!"

"Be-begitu ya... Yah, kalau begitu kuserahkan pada Chikage..."

Hikari yang sedari tadi memperhatikan percakapan Sakuto dan Chikage, tiba-tiba tersenyum.

"Kalian seperti pasangan suami istri yang berdebat soal cara mendidik anak ya?"

"Hii-chan! Aku sedang marah jadi jangan bercanda! —Iya kan, Papa?"

"Benar, Hikari... Ng? —Chikage, barusan kamu panggil aku Papa...?"

Sakuto memandang Chikage dengan heran, tapi dia masih cemberut memelototi Hikari.

"Untuk sementara... Hikari, berhentilah menekan tombol aneh Chikage..."

Meski agak rumit perasaannya, Sakuto ingin melanjutkan pembicaraan.

"Jadi, kenapa kamu menyamar jadi Chikage dan kabur? Dan siapa anak itu?"

Hikari mengerutkan alis dengan gelisah.

"Anak yang mengejarku itu namanya Azuma Wakana-chan, teman sekelasku. Bulan April dia mengajakku bergabung dengan klub koran..."

"Jangan bilang kamu setuju?"

Saat Sakuto bertanya duluan, Hikari mengangguk dengan ragu.

"Klub koran kekurangan anggota, dan cuma Wakana-chan yang anggota kelas satu... Aku bilang kalau begitu tidak harus aku kan, tapi dia memaksa, jadi tidak bisa menolak..."

"Terpaksa ya?"

Hikari mengangguk pelan lagi.

"Awalnya cuma namanya saja... Apa aku terlihat sangat santai?"

"Ya."

"Kalian berdua kejam...!? Aku banyak berpikir kok, tidak santai!"

Meski terdengar seperti alasan orang yang terlihat santai bilang "sedang sibuk berpikir", tapi kasusnya berbeda.

Hikari adalah seorang jenius.

Dia belajar sendiri berbagai bidang seperti fisika kimia, biologi dan ergonomi, psikologi, dan telah meraih berbagai prestasi sampai SMP.

Meski terlihat santai, pikirannya pasti selalu bergerak cepat.

Tapi, jenius seperti dia pun ternyata lemah terhadap paksaan. Gadis bernama Wakana itu pasti terus memaksa sampai Hikari tidak bisa menolak lagi.

(Apa hanya untuk memenuhi jumlah? Atau ada alasan lain...?)

Sakuto penasaran kenapa Wakana sangat menginginkan Hikari.

"Kenapa sekarang? Kenapa tiba-tiba butuh Hikari?"

"Hmm... aku tidak terlalu paham, tapi belakangan Wakana-chan jadi memaksa..."

"Bagaimana dengan situasi klub koran? Tidak tanya?"

"Sudah tanya, tapi dia cuma bilang 'tolong karena kamu anggota' atau 'sekarang kami butuh Hikari'..."

Selain alasan menginginkan Hikari, kata "sekarang" itu juga mengganggu. Apa alasan memaksa Hikari yang sudah lama tidak masuk sekolah untuk ikut klub?

Kalau dijelaskan dengan baik, Hikari mungkin akan mempertimbangkannya, tapi—

"Sejak kapan dikejar-kejar begini?"

"Mungkin sejak awal bulan ini? Maaf tidak cerita..."

Chikage yang sedari tadi diam mendengarkan, akhirnya buka suara.

"Mungkin karena bulan ini ada audit kegiatan klub semester pertama. Kalau ada anggota hantu, bisa mendapat nilai minus saat audit."

"Nilai minus? Audit itu apa?"

"Di SMA Arisuyama ada dua puluh empat klub olahraga dan budaya, serta dua belas komunitas. Untuk membagi anggaran secara adil, diadakan audit dua kali setahun. Audit semester pertama dilakukan pada bulan Juli, dan komite audit akan membuat laporan kegiatan—"

Penjelasan Chikage mundur sekitar sepuluh tahun ke belakang.

Pada dasarnya, pembagian dana kegiatan klub di SMA Arisuyama diserahkan kepada OSIS dan harus mendapat persetujuan dari dewan pembina klub sebelum didistribusikan ke masing-masing klub.

Meski belum pernah terjadi penyelewengan dana, sepuluh tahun lalu terjadi perselisihan antar klub soal perebutan dana kegiatan.

Saat itu, OSIS dan dewan pembina klub menjadi penengah, dan setelah diskusi panjang, diputuskan OSIS akan mengaudit setiap klub secara adil. Dengan menyerahkan laporan kegiatan pada pihak ketiga, keadilan bisa dijaga berdasarkan fakta objektif.

Namun, masalahnya adalah kekurangan personel untuk audit.

Jumlah anggota OSIS tidak cukup untuk melakukan audit dengan benar dalam waktu terbatas.

Maka dibentuklah "Komite Audit Kegiatan Klub".

Komite Audit adalah organisasi independen dari OSIS, beranggotakan orang-orang yang membawa bendera bagian kedisiplinan siswa. Artinya, mereka bisa memaksakan penilaian yang adil dan dingin dengan ancaman "Kalau protes, kupanggil guru!"

Para auditor tanpa belas kasihan ini katanya dijuluki "anjing kedisiplinan" oleh sebagian siswa—

"—Wah, kamu tahu banyak ya~"

Sakuto mendengarkan dengan kagum, tapi Chikage dengan canggung mengangkat kedua tangan ke atas kepala, menggantikan telinga anjing.

"Wan wan... bercanda~ Ahahaha..."

Melihat tawa canggung Chikage, Sakuto tanpa sadar mengerang "aduh".

"...Jangan-jangan, kamu anjingnya?"

"Iya... Aku jadi anjing..."

Bicara soal itu, Tachibana Fuyuko-sensei yang mengajar matematika juga bertugas di bagian kedisiplinan siswa.

(Oh, makanya dipanggil Tachibana-sensei...)

Atas permintaan beliau, Chikage menjadi anjing kedisiplinan.

"Kali ini juga tidak bisa menolak?"

"Bukan, memang Tachibana-sensei yang meminta, tapi kali ini aku lebih positif."

"...Maksudnya?"

"Aku merasa tidak berguna setelah kejadian sebelumnya, jadi ingin balas dendam. Kali ini aku ingin berusaha mengerjakan tugas yang dipercayakan tanpa bergantung pada Sakuto-kun dan Hii-chan!"

Begitu rupanya—sepertinya Chikage masih memikirkan "Festival Ajisai" bulan Juni.

Saat itu Sakuto membawa Hikari dan berhasil membuat acara sukses, tapi Chikage tampaknya menyesal karena tidak bisa menanganinya sendiri. Benar-benar khas Chikage yang serius.

Sakuto tersenyum.

"Kalau itu yang Chikage inginkan, aku akan mendukung. Semangat ya?"

"Wan!"

"Ah, ya... tidak perlu jadi anjing beneran..."

Sambil membayangkan kalau Chikage punya ekor pasti sedang bergoyang-goyang, Sakuto dan Hikari tiba-tiba tersadar sesuatu.

"Chikage, cuma memastikan..."

Sebelum bertanya, Chikage sudah memasang wajah tidak enak.

"...Sudah sadar ya? Benar, aku ditugaskan mengaudit klub koran tempat Hii-chan... kuuun..."

"Nyaaa apa katamu!?"

"Hikari juga tidak perlu ikut-ikutan mengeong..."

Sakuto menghela napas melihat si kembar yang mulai berubah jadi hewan, tapi sekarang dia paham.

(Tidak mungkin ini kebetulan...)

Chikage akan mengaudit klub koran—tempat Hikari bergabung.

Sakuto mengerutkan dahi membayangkan wajah orang yang sengaja mempertemukan si kembar dengan cara paksa.

* * *

"Selamat pagi, Tachibana-sensei."

"Pagi, Takayashiki. Hari ini panas ya."

"Ya... jadi, apa yang Sensei rencanakan kali ini?"

Keesokan paginya, tak lama setelah tiba di sekolah. Sakuto bertanya pada Tachibana Fuyuko yang sedang memangkas bunga hydrangea di taman samping gedung sekolah dekat tempat parkir staf.

Tachibana tertawa tanpa suara.

"Kurang ajar, merencanakan apa... Aku hanya meminta bantuan Usami Chikage kok."

Sudah kuduga, pikir Sakuto.

Padahal dia belum menyebut nama Chikage—mungkin bukan karena peka, tapi dari awal sudah menduga Sakuto akan bertanya begini.

Memang cepat tanggap dan membantu, tapi sebenarnya apa yang direncanakan?

"Sensei menugaskan Chikage ke klub koran karena ada Hikari kan?"

Tachibana tidak mengiyakan atau membantah, hanya tersenyum tipis sambil terus memangkas, snip, snip. Sepertinya tidak ada maksud khusus cara memangkasnya, tidak juga dirapikan dengan bagus.

"Yah, terlepas dari rencana atau apapun, klub koran sedang dalam situasi sangat sulit..."

"...? Apa terancam dibubarkan?"

"Hebat, kamu cepat tanggap ya."

"Tadi cuma asal tebak. Tapi kalau ada masalah, bukankah pembubaran tidak bisa dihindari?"

"Sebaliknya. Justru karena harus dipertahankan, jadi merepotkan..."

Tachibana menghela napas dan memasukkan gunting ke sarung kulitnya.

"Klub itu tidak bisa dibubarkan dengan mudah. Kalau satu dibubarkan, akan ada tuntutan meningkatkan status komunitas atau membuat klub baru, bukan hanya dari siswa tapi juga orangtua, masyarakat, dan asosiasi pendukung."

"Kedengarannya merepotkan ya?"

"Ya, sangat merepotkan. Mungkin terlihat sepele, tapi pembentukan klub baru menimbulkan gesekan dan konflik. Kalau orang dewasa ikut campur, pihak guru jadi kesulitan."

Tachibana tersenyum kecut.

"Itulah kenapa klub tetap dipertahankan selama masih ada yang aktif. Kalau tidak ada anggota, statusnya jadi 'istirahat', itu juga untuk mencegah pembentukan klub baru."

Tapi Sakuto masih bingung.

Apa gunanya mempertahankan "klub" yang hanya formalitas?

Bukankah lebih baik membuat klub baru yang anggotanya bersemangat?

"Tapi, klub koran ini sedang di ambang pembubaran. Kejayaan masa lalu sudah hilang, dan sudah lama tidak bisa menerbitkan satu edisi pun. Belum lagi... yah, ada berbagai masalah rumit..."

Tachibana memegang kepalanya. "Masalah rumit" itu sepertinya jadi sumber kekhawatiran.

Tapi Sakuto tidak peduli masalah klub koran.

Yang penting baginya hanya Hikari dan Chikage—apakah ini akan berdampak buruk pada mereka atau tidak.

"Umm, Tachibana-sensei—"

"Ngomong-ngomong Takayashiki, kamu tahu kenapa warna hydrangea bisa berubah tergantung tempat menanamnya?"

"...Eh? Karena sifat tanahnya. Kalau tanah asam jadi biru, kalau basa jadi pink, tapi apa hubungannya...?"

"Benar. Kamu tahu banyak ya?"

"Yah, karena sudah belajar... seperti kertas lakmus terbalik..."

Tachibana tersenyum sambil memandangi hydrangea.

"Hmm. Tepatnya, pH tanah. Awalnya bunga hydrangea berwarna pink. Pigmen antosianin dasarnya pink. Tapi, ketika menyerap aluminium, terjadi reaksi kimia dengan antosianin, berubah jadi biru—"

Tachibana berjongkok dan mengambil sedikit tanah dengan jarinya.

"Aluminium mudah larut dalam air di tanah asam, dan sulit larut di tanah basa. Memanfaatkan sifat ini, kita bisa mendapatkan warna yang diinginkan... Yah, tergantung varietasnya juga sih."

Sebenarnya apa yang ingin disampaikan orang ini? Apa mencoba mengalihkan pembicaraan dengan topik yang tidak relevan? —Tidak, sudah waktunya kembali ke topik awal.

"Oh begitu? Kalau begitu, pertanyaanku—"

"Intinya adalah tanah. Itulah yang penting."

Tachibana melihat jam tangannya.

"—Ah gawat. Sudah waktunya rapat pagi staf."

"Sensei, pembicaraan kita—"

"Yah, kebetulan. Ada si kembar Usami, bagaimana kalau kamu membantu klub koran? Aku ingin lihat sejauh mana kamu bisa melakukannya dengan serius—"

Tachibana bergegas menuju gedung sekolah sambil mengalihkan pembicaraan.

(...Kabur ya. Tapi, begitu rupanya... ingin menarik aku masuk...)

Sakuto kurang lebih mengerti rencana Tachibana.

Sepertinya ingin menggunakan si kembar Usami untuk menyelamatkan klub koran yang hampir bubar.

Tapi soal bantuan, Chikage sudah menyatakan ingin melakukan audit sendiri.

Sementara Hikari, meski anggota klub koran, sama sekali tidak tertarik.

(Justru sekarang yang penting bagaimana menangani Hikari dan Chikage... yang penting adalah tanah ya...)

Mungkin maksud Tachibana, jika bisa mengubah kondisi klub koran, Hikari yang menjadi anggotanya juga bisa berubah.

(Mengubah Hikari? Padahal menurutku dia sudah cukup baik sekarang...)

Hikari sudah bisa masuk sekolah dengan semangat, dan selain dikejar-kejar Azuma Wakana dari klub koran, sepertinya tidak ada masalah khusus.

Sebagai orang yang tidak ada hubungannya dengan audit maupun klub koran, sepertinya tidak perlu ikut campur, tapi—

(—Tidak, tunggu dulu... kali ini bukan soal Hikari...)

Sakuto mulai cepat memahami.

Klub koran bermasalah yang mungkin akan dibubarkan. Chikage dikirim ke sana sebagai anjing kedisiplinan, dan jika dia mengerjakan tugasnya dengan rajin dan setia—

(Jangan-jangan tanggung jawab pembubaran klub koran akan dibebankan pada Chikage...!? Apanya yang kebetulan!)

Sakuto buru-buru menoleh ke arah gedung sekolah, tapi Tachibana sudah menghilang.

* * *

"—Ada apa, Sakuto-kun?"

Kaget mendengar suara, Sakuto menoleh dan melihat wajah Chikage yang memandangnya dengan khawatir.

Sekarang jam istirahat siang. Karena Hikari tidak ada lagi hari ini, Sakuto sedang makan siang dengan Chikage di bangku taman, tapi dia tidak bisa berhenti memikirkan percakapannya dengan Tachibana tadi pagi.

"Sepertinya dari tadi tidak dimakan, apa tidak lapar?"

Sementara Chikage sudah menghabiskan setengah makanannya, Sakuto baru menggigit ujung sandwich yang dibelinya di kafetaria.

"Ah, bukan..."

Memang tidak nafsu makan. Mungkin karena bimbang apakah harus memberitahu Chikage tentang kejadian tadi pagi atau tidak.

Sakuto menatap Chikage dengan serius.

"A-ada apa? Kalau tiba-tiba ditatap begitu, jadi malu... ha-hari ini panas ya~...!"

Chikage mengipasi diri dengan kipas kertas sambil mengalihkan pandangan dari Sakuto.

"Ka-karena Hii-chan tidak ada, ki-kita berdua saja ya? Apa hari ini Hii-chan juga dikejar-kejar Azuma-san?"

"Entahlah? —Pesannya di LIME belum dibaca. Mungkin begitu."

Sakuto mengecek smartphone-nya lalu memasukkannya kembali ke saku celana.

"Kasihan ya, Hii-chan."

"Hei, Chikage—"

"Ah, iya! Soal liburan, sudah tanya bibi!? Kalau aku, Papa dan Mama bilang oke kalau pergi dengan teman! Sudah tentukan mau ke mana? Sebenarnya aku kurang percaya diri dengan bentuk tubuhku, tapi ingin pakai baju renang—"

Chikage berbicara dengan cepat, tidak seperti biasanya.

Mungkin justru jadi tegang karena tidak ada Hikari. Karena belakangan selalu bertiga, jadi bingung harus bicara apa kalau berdua saja—seperti itulah.

Sakuto merasa sayang melihat Chikage seperti itu. Meski mungkin terlibat masalah tanpa dia sadari, Sakuto merasa sangat menyayangi gadis yang begitu malu-malu, gugup, dan sangat menyukainya ini.

Tiba-tiba dia teringat masa SMP.

Bagaimana dia diejek dan dipanggil oleh teman-temannya—

"Hei, Takayashiki itu seperti robot ya?"

"Iya ya. Seperti punya AI gitu~"

Berbeda dengan dirinya yang tahan terhadap hinaan dan cemoohan, Chikage tidak begitu—

"Aku pikir menonjol itu tidak buruk, tapi kadang terasa menakutkan. Aku juga masih sering khawatir bagaimana pandangan orang lain."

—Kalau begitu, mengaudit klub koran hanya akan merugikan Chikage.

(Aku tidak ingin Chikage mengalami hal yang sama sepertiku...)

Kalau klub koran sampai bubar, dia pasti akan menjadi pusat perhatian yang buruk. Mungkin kekhawatiran berlebihan, tapi Sakuto tidak bisa mengabaikan firasat buruknya.

"...Chikage, bisa dengarkan aku sebentar?"

Chikage membalas tatapan Sakuto yang tidak biasa seriusnya dengan bingung.

"Ada apa? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiran...?"

Menghadapi ekspresi khawatir Chikage, Sakuto perlahan membuka mulutnya—

"Aku ingin melindungimu."

Chikage menghela napas lega.

"Oh begitu? Jadi yang Sakuto-kun pikirkan adalah—...........—eh?"

Chikage membeku sesaat tidak mengerti apa yang terjadi, lalu,

"Hueeeeee—————!? Kenapa tiba-tiba!?"

Chikage mulai panik sambil memegangi dadanya.

"Doki doki, doki doki, DOKIIIIN———!"

"Um, Chikage, orang-orang bisa dengar, tenang dulu, tarik napas dalam-dalam..."

"I-iya... hih hih huu... hih hih huu..."

"...Itu metode Lamaze lho? Yang untuk kontraksi persalinan..."

Sakuto mengomentari dengan heran, tapi Chikage masih kalang kabut.

"Ini kasus doki-mati, kasus doki-mati, kasus doki-mati... tidak bisa tenang sama sekaliii!"

"Oh, gitu? Terus gimana biar tenang?"

"To-tolong ulangi yang tadi! Ulangi kata-kata tadi! Harusnya efeknya berkurang kalau diucapkan dua kali! Tolong tambahnyaaa!"

"Kalau begitu... —aku ingin melindungimu."

"Gah, hah...!?"

Chikage terhuyung seolah kehilangan kesadaran, seperti baru saja memuntahkan darah. Critical hit.

Mungkin serangan pertama melukai armor dadanya, dan serangan kedua menembusnya.

"Tidak mungkin tidak mungkin tidak mungkin... kata-kata yang ingin didengar dari Sakuto-kun peringkat tiga, dua kali hari ini..."

"Ah, ya... jadi penasaran peringkat satu dan duanya..."

"Lagipula, kenapa tiba-tiba!? Kok jadi semangat melayani!? Kalau sekarang, harusnya sepaket sama pelukan dan ci-ciuman kan!?"

"Apa-apaan Happy Set yang menguntungkan itu...?"

Sakuto menggelengkan kepala sambil menghela napas, lalu kembali memasang wajah serius.

"Bukan soal itu, Chikage mungkin sedang terlibat masalah besar tanpa sadar. Makanya aku bilang ingin melindungimu..."

"...Masalah besar?"

Chikage kembali serius.

"Ya... kalau kujelaskan situasinya—"

Sakuto menceritakan percakapannya dengan Tachibana tadi pagi, fakta dan skenario yang dia simpulkan.

Terlepas dari Hikari yang menjadi anggota klub koran, saat ini klub tersebut sedang menghadapi masalah dan berada dalam posisi yang sangat sensitif.

Dan—meskipun hanya dugaan, audit Chikage mungkin akan mempengaruhi aktivitas klub koran ke depannya.

"—Sepertinya Tachibana-sensei tidak ingin klub koran bubar. Kurasa hasil audit Chikage tidak akan berpengaruh langsung, tapi..."

"Tapi apa?"

"Kalau dana klub dipotong atau dalam kasus terburuk klub koran dibubarkan... Chikage mungkin akan jadi bahan pembicaraan, dan bisa dibenci anggota klub koran."

Kemungkinan itu tidak bisa diabaikan—karena dia Usami Chikage, siswa transfer yang lulus dengan nilai tertinggi.

Sakuto tahu bahwa kebenaran tidak selalu diterima dengan benar.

"Aku tahu Chikage bersemangat, tapi kalau ini akan merusak citramu... aku tidak bisa membiarkannya."

Ditambah lagi, jika hal ini berdampak pada Hikari yang juga anggota klub koran—

"Aku tidak setuju Chikage jadi sasaran. Apa tidak bisa mengundurkan diri sekarang?"

Mendengar pernyataan tegas itu, Chikage tersenyum lembut. Wajahnya penuh kasih sayang.

"...Aku mengerti perasaan Sakuto-kun. Jadi karena ini ya kamu terlihat tidak bersemangat? Memikirkan aku... tidak, bahkan Hii-chan juga..."

"Ya, makanya—"

"Aku senang sekali. Syukurlah bisa jadi pacar Sakuto-kun."

Chikage memotong kata-kata Sakuto, meletakkan tangan di dadanya dengan pipi merona.

"Kalau dipikir kami berdua bersaudari begitu diperhatikan oleh Sakuto-kun, rasanya... hatiku jadi hangat dan muncul keberanian."

"Chikage..."

"Karena itu aku akan baik-baik saja apapun yang terjadi. Dan kalau terjadi sesuatu pada Sakuto-kun dan Hii-chan, serahkan saja padaku untuk melindungi kalian ya?"

Sakuto memutuskan untuk tidak berkata apa-apa lagi.

Dia sangat memahami bahwa Chikage memang pekerja keras sejak lahir dan orang yang berprinsip.

Sebagai pacar, dia merasa harus mempercayai Chikage dan berhenti memaksakan skenario terburuk dan kekhawatiran berlebihan yang dia pikirkan.

Tapi jika terjadi sesuatu, saat itu—

"...Tapi kalau ada masalah, boleh minta saranmu?"

"Tentu saja. Kapan saja."

"Terima kasih. Benar-benar syukur Sakuto-kun jadi pacarku..."

Pembicaraan terhenti, dan mereka saling memandang.

"...Apa?"

"Um, sekarang aku sangat ingin bermanja... sedikit saja..."

Entah bagaimana, keduanya merasakan suasana seperti itu.

Jarak di antara mereka yang duduk agak berjauhan perlahan mengecil.

Jantung berdebar kencang. Tapi mereka tidak mengalihkan pandangan, tidak bisa mengalihkan.

Wajah mereka yang memerah semakin mendekat, napas mereka bertemu, mata terpejam, dan kemudian—

"Aah! Mereka mau ciuman!"

Kaget, keduanya langsung menjauh dan duduk di ujung-ujung bangku.

Suara itu milik Hikari, yang muncul dari balik sandaran bangku.

"Hikari!? Sejak kapan di situ!?"

"Dari 'Benar-benar syukur Sakuto-kun jadi pacarku' kali? Lagian kalian berdua, ini kan sekolah? Masih ada orang di sekitar tapi tidak bisa menahan diri ya~..."

Hikari menggoda mereka.

"Ugh—————..."

Sakuto dan Chikage menunduk dengan wajah merah padam seperti akan mengeluarkan uap.

Twink! 1: Menuju Musim Panas...?

Malam hari, di ruang keluarga rumah Usami,

"Hnnggggh! Hnnggggh! Hnngggh~~~!"

Chikage sedang melakukan push-up dengan ekspresi serius.

"Chii-chan, sedang latihan otot?"

"Untuk musim~ panas~! Diet~~~!"

"...Kenapa pakai bentuk jamak?"

Chikage ambruk dengan wajah merah padam. Di sampingnya, Hikari santai duduk di sofa, mulai makan es krim Kari-kari rasa soda sehabis mandi.

"Ih! Jangan makan es krim di depan orang yang sedang diet dong!"

"Orang yang sedang diet..."

Hikari tersenyum sambil mengarahkan es krim Kari-kari di tangannya ke Chikage.

"Mau satu gigit? Nih, aaa~~~..."

"Um♪ Aaa~~~...eh tidak! Kan sudah kubilang tidak boleh!"

"Wah, di saat-saat terakhir akal sehat menang..."

"Ini demi cintaku pada Sakuto-kun!"

"...Maksudnya?"

Chikage langsung menyodorkan majalah fashion wanita "am・am" edisi khusus ke Hikari.

"'Teknik membentuk tubuh yang dicintai untuk memikat cowok yang kamu taksir'?"

"Hehe! Kalau mengikuti ini, pasti bisa dapat PERFECT BODY sampai musim panas!"

"Ah, iya... sekarang sudah musim panas sih, tapi daripada itu, pengucapan bahasa Inggrismu bagus banget ya...?"

"Hii-chan juga harus berlatih... ugh..."

Chikage mengerang tanpa sadar saat melihat seluruh tubuh Hikari yang baru selesai mandi.

Di bawah tank top-nya adalah celana pendek, tapi rambut basah, kulit lembut yang hangat, dan seluruh tubuhnya yang sedikit kemerahan terlihat begitu menggoda sampai harus menelan ludah.

Padahal tidak pernah berolahraga, tapi yang seharusnya menonjol menonjol, yang seharusnya kencang kencang.

BODY Hikari hari ini pun PERFECT, sampai sulit dipercaya mereka kembar.

"Ke-kenapa... genku, apa yang berbeda dengan Hii-chan..."

"...Apanya?"

Hikari diam-diam memperhatikan tubuhnya sendiri sambil melihat Chikage yang terpuruk dengan tangan di lantai.

Tanpa perlu berlatih pun, proporsi tubuh Chikage terlihat sempurna.

Ukuran dadanya satu size lebih besar dari dirinya, dan meski berisi tapi sama sekali tidak gemuk. Hikari merasa Chikage terlalu tidak percaya diri. Malah, Hikari berpikir dirinya yang membuat kancing kemeja terbang mungkin lebih gemuk.

"Ngomong-ngomong, tadi waktu istirahat siang mau ci-ciuman sama Sakuto-kun ya?"

Chikage tersentak mengangkat wajahnya.

"Diam-diam ngelakuin itu pas aku nggak ada ya~?"

"I-itu cuma karena suasananya!"

"Suasana yang gimana? Aku cuma lihat dari tengah-tengah, ceritain dong."

Chikage seperti mengingat-ingat—

"Hatiku berdebar... dia bilang 'Aku akan melindungimu!' gitu..."

—yang tidak pernah terjadi. Lebih dari setengahnya adalah khayalan Sakuto versinya.

"Apa itu!? Beneran Sakuto-kun ngomong gitu!? Aku nggak pernah digituin lho!"

"Iya ya... aku juga kaget awalnya..."

Kalau Sakuto ada di sini sekarang, mungkin dia yang lebih kaget.

"Terus terus apa lagi!?"

"Habis itu mengalir aja... aah, malu banget cuma dengan mengingatnya~~~...!"

"Chii-chan! Itu bagian pentingnya!"

Hikari menggerak-gerakkan tangannya dengan antusias di samping Chikage yang wajahnya merah karena malu.

"Um, sisanya dari yang Hii-chan lihat... kami saling memandang..."

"Iya iya!"

"Wajah kami mendekat..."

"Terus terus!?"

"...Diganggu Hii-chan."

Melihat kesedihan di mata Chikage, wajah Hikari memucat sepucat warna es krim Kari-kari.

"...Maaf."

"...Iya."

"...Mau makan es krim?"

"...Iya. —Ah, dapat hadiah."


Post a Comment

Join the conversation