[LN] Bishoujo-zoroi no Eirei ni Sodaterareta Ore ga Jinrui _ Volume 1 ~ Chapter 1

[LN] Bishoujo-zoroi no Eirei ni Sodaterareta Ore ga Jinrui _ Volume 1 ~ Chapter 1

Translator: Lucretia 
Proofreader: Lucretia 


CHAPTER 1 : Ujian Praktik 

  Tengah malam. Jarum jam di menara hampir menunjuk angka dua belas. Di halaman Akademi Sihir Euclidwood, terlihat sosok seorang pemuda yang menyelinap diam-diam. Dikelilingi oleh kegelapan redup dan keheningan yang mendalam, pemuda berambut hitam dan bermata biru kehijauan itu melangkah malas. Namanya—William, yang tahun ini genap berusia tujuh belas.

"Sial... bener-bener nyusahin. Hidupku itu buat malas-malasan, tahu..."

Sambil mengeluh sendirian, William melangkah menuju kapel yang terletak di area akademi.

Sedikit tentang Akademi Sihir Euclidwood—tempat ini adalah institusi bergengsi penuh sejarah dan tradisi, didirikan untuk mendidik para penyihir sebagai simbol kekuatan negara. Karena itu, banyak siswa penuh semangat yang belajar di sini. Tak sedikit dari mereka yang rela tinggal sampai larut malam demi mengasah kemampuan sihirnya.

Lalu, apakah William datang ke sini tengah malam demi tujuan mulia seperti itu?

Tentu tidak. William tidak punya ambisi setinggi itu. Satu-satunya alasan dia menyelinap ke akademi malam-malam begini adalah untuk mencari kekuatan secara instan—demi menghindari dikeluarkan dari sekolah.

Tentu saja, alasan William yang menyukai kemalasan sampai melakukan hal konyol ini sebenarnya cukup sepele: dia termakan bujuk rayu temannya siang tadi.

"Yo, kudengar si 'senjata terlemah' akhirnya tamat riwayat, ya? Katanya kalau kamu nggak dapat hasil bagus di ujian praktik besok, kamu bakal dikeluarin, kan?"

Semua berawal saat William sedang duduk di atap sambil menggigit roti isi. Temannya yang tukang usil, Zest, muncul dan nyeletuk begitu saja.

Julukan William di akademi adalah Senjata Terlemah. Julukan ini bukan cuma berlaku di sekolah—di seluruh Kerajaan Euclidwood tempat ia lahir dan dibesarkan, semua orang tahu bahwa William adalah satu-satunya orang yang pernah tercatat tidak memiliki kekuatan sihir.

Di dunia di mana darah bangsawan menjamin kekuatan sihir yang lebih kuat dari rakyat biasa, William lahir sebagai pengecualian: bangsawan tanpa setitik pun sihir. Sebagai keturunan bangsawan yang seharusnya bertugas melindungi rakyat dari monster di masa krisis, ia benar-benar tak berguna. Jangankan jadi penyihir pelindung kerajaan, nilainya bahkan di bawah pedang dan tombak. Itulah asal mula julukan Senjata Terlemah.

Singkatnya, dia begitu tidak berguna sampai tak lagi dianggap manusia, tapi disamakan dengan senjata. Dan di antara senjata-senjata itu, dia yang paling lemah—sampah dari semua sampah.

Lebih parah lagi, meski seharusnya para bangsawan (atau mantan bangsawan) diwajibkan untuk menempuh pendidikan di Akademi Sihir, William justru dikenal sebagai siswa bermasalah yang tak pernah hadir di kelas karena... ya, dia memang tidak punya sihir.

"Ya, semua ini juga salahmu sendiri sih. Walau nggak punya sihir, kamu masih bisa belajar teori atau latihan pedang, kan? Tapi kamu milih malas-malasan dan nggak ngapa-ngapain. Bahkan ke kelas aja nggak. Gimana orang-orang mau tahu kamu punya kemampuan apa, coba? Ujian besok tuh nggak bakal cukup cuma ngandelin keberuntungan doang."

"Ya udah sih, kalau dipikir logis emang udah waktunya aku dikeluarin. Padahal aku masih pengin hidup santai di akademi. Soalnya makan-minum-tempat tinggal dijamin, dan dapet uang saku walau dikit."

"Kamu bener-bener nggak punya semangat hidup, ya. Tapi, kayaknya kamu nyerahnya kepagian, kamu bisa naik ke tahun kedua meskipun nggak punya sihir. Sekalian aja coba lulus, siapa tahu bisa."

"Mana mungkin. Udah jelas aku nggak punya harapan."

"Hahahaha... makanya aku dateng bawa info berharga. Katanya ada artefak sihir legendaris yang disebut Cincin Transendensi yang tersembunyi di akademi ini. Konon, di dalamnya tersegel roh pahlawan, dan kalau kamu diakui sama suara misteriusnya saat berdoa di kapel pas tengah malam, kamu bisa dapet kekuatan luar biasa."

"Serius?"

"Yah, kalau memang cincin itu beneran ada, harusnya akademi ini udah melahirkan banyak pahlawan, ya."

"Berarti bohong ya"

"Eh eh, jangan buru-buru bilang bohong. Namanya juga info berharga. Katanya, buat dapet cincin itu, kamu harus punya 'kualifikasi khusus'."

"Kualifikasi?"

"Yup. Dan katanya, bukan diukur dari kekuatanmu sekarang, tapi dari bakat bawaan yang kamu miliki sejak lahir."

"Bakat? Aku ini si 'Senjata Terlemah'."

"Ya tapi siapa tahu, di dalam dirimu ada kekuatan tersembunyi yang luar biasa, kan?"

"Gila, kamu peduli banget sama aku ya sampai segitunya—"

"Jujur aja, kalau kamu sampai keluar, target guru selanjutnya yang disorot soal kelakuan pasti aku. Jadi jangan bikin aku susah."

"……………………"

"Kalau gagal juga nggak apa-apa, anggap aja ini kenangan terakhir di akademi, ya nggak?"

Setelah obrolan aneh itu, William pun akhirnya memutuskan untuk menyelinap ke kapel, menggantungkan harapan pada kemungkinan sekecil apapun.

Seperti kata Zest, “kalau gagal ya sudah”—tapi kalau terjadi keajaiban karena kesalahan semesta? Yah, meskipun harapan itu juga nyaris nol.

William membuka pintu kapel dan, ditemani cahaya bulan yang masuk lewat jendela, ia melangkah mendekati patung salah satu roh pahlawan. Jam dinding di sana menunjukkan tepat pukul dua belas. Tinggal berdoa saja. Tapi, William sama sekali tidak merasa semangat.

"Aku bukan tipe yang suka berdoa. Lagi pula, berdoa juga nggak bakal ngabulin apa-apa."

Setelah berpikir sejenak, William akhirnya menatap lurus patung itu tanpa berlutut.

"Hei, Aku udah repot-repot dateng tengah malam gini, masa kau nggak nyapa sih? Minimal bilang ‘halo’ kek."

Tentu saja, tak ada jawaban.

Yah, beginilah hidup.

William pun sadar bahwa dirinya sendiri tak benar-benar percaya soal suara roh pahlawan. Ia tahu, yang ia lakukan ini hanyalah bentuk pelarian dari kenyataan—atau mungkin sekadar iseng untuk menyegarkan pikiran.

Saat William hendak membalikkan badan dan pergi, tiba-tiba terdengar suara seorang gadis menggema di udara.

"Hei, kalau mau menyapa, setidaknya kenalkan dirimu dulu. Itu sopan santunnya."

"Hah!? A-ada orang di sini!?"

Dengan panik William menoleh ke sekeliling, tapi tak ada siapa pun selain dirinya.

"Huh... kayaknya cuma halusinasi."

"Makanya! Aku bilang duluan kenalan itu sopan santun, kan!!"

A-apaan tuh!? Itu suara lagi!?

"H-hei!? Kamu... kamu di mana sih sebenarnya!?"

"Hah!? Jangan-jangan... kamu bisa dengar suaraku!?"

"Dari tadi aku jawab, kan?"

Begitu ia menjawab, terdengar jeda sejenak.

"…Menarik. Karena kamu cukup menghibur, aku maafkan kelancanganmu tadi. Kalau kamu benar-benar menginginkan kekuatan yang melampaui segalanya… datanglah ke sini."

Suaranya terdengar seperti sedang senang menyambut penantang yang baru muncul.

Tiba-tiba ruang di dekat patung roh pahlawan itu bergetar, dan sebuah tangga menuju bawah tanah perlahan muncul dari kegelapan.

Apa ini beneran...? Kalau ini bukan prank jahat, berarti omongan Zest tadi... ternyata bukan bohong!?

Menelan ludah, William perlahan melangkah maju.

Situasi ini memang di luar ekspektasinya, tapi keinginannya untuk mendapat kekuatan adalah hal yang nyata.

Saat ia terus menuruni tangga, ruang di sekelilingnya mulai berubah menjadi aneh. Dinding yang tadinya ada kini menghilang, berganti dengan ruang luas kebiruan yang seolah tak berujung.

Di tengah ruang itu, ia melihat sebuah pilar altar yang berdiri sendiri, dengan tangga kecil menuju ke sana.

...Kayaknya disuruh ke sana.

Tak diragukan lagi, tempat ini penuh dengan perangkat sihir. Dalam situasi normal, siapa pun akan curiga ini jebakan. Tapi William yang pemalas itu tak berpikir sejauh itu dan langsung melangkah tanpa ragu, dan akhirnya sampai di altar tanpa hambatan.

"Heh... siapa sangka kamu bisa melewati Labirin Tanpa Akhir. Itu tempat jebakan yang mengacaukan ruang dan waktu, lalu membuang para penyusup ke alam bawah sadar untuk tersesat selamanya. Dirancang khusus untuk mengusir mereka yang ingin menyalahgunakan kekuatan kami."

Apa sih yang dia bicarakan..?

Tanpa sadar, William ternyata sudah melewati ujian yang sangat sulit. Tapi, dalam hatinya sama sekali tidak ada rasa bangga atau haru.

"Di atas altar itu tersegel Cincin Transendensi, artefak yang akan memberikan kekuatan bagi mereka yang layak. Kalau kamu merasa punya kualifikasi... sentuh saja."

"Banyak gayanya dari tadi. Tapi ya udah lah, kalau ini memang cincin yang diceritain Zest, Aku ambil aja."

William mengambil cincin yang diletakkan di atas altar dan mengangkatnya mendekat ke matanya.

"Hmm... Cincinnya kelihatan tua. Kusam gini, kau yakin ini beneran cincin legendaris? Kayaknya gak ada nilai jualnya deh."

Cincinnya tampak seperti barang tua yang sudah lama ditinggalkan, kehilangan kilaunya. Logamnya pun tak dikenal, dan satu-satunya hal mencolok hanyalah lambang tiga pilar (Trinity) yang terukir di permukaannya.

"Kalau dijual, dapat berapa ya kira-kira..."

Tepat setelah William dengan santainya menyarungkan cincin itu ke jarinya sambil bersungut-sungut, tiba-tiba telinganya ditarik keras ke atas.

"Hei! Itu barang super langka yang nilainya gak bisa kamu bayangin! Perlakukan yang sopan dong!"

"Sa-sakit s-sakit!! Sakit bodoh!! Siapa yang narik-narik kuping sih!?"

Saat menoleh dengan panik, ia melihat empat gadis asing yang entah dari mana munculnya.

"Wah!? K-kalian siapa!? Dari mana munculnya!?"

"Lucu juga kamu. Dari tadi kan kami udah ngobrol sama kamu. Cuma, gak nyangka kamu beneran bisa melepas segelnya. Jujur aja, aku juga kaget."

Gadis yang menarik telinga William adalah seorang gadis bermata tajam, dengan rambut panjang berwarna ash blonde yang menjuntai hingga pinggang. Dengan aura percaya diri yang luar biasa, dia berdiri mantap dan memperkenalkan diri tanpa ragu.

"Namaku Iris Velzandy. Seribu tahun yang lalu aku adalah Raja Iblis. Senang berkenalan, bocah."

...Hah? Raja Iblis? Seribu tahun lalu!?

William melongo. Perkataan gadis itu benar-benar mengejutkan. Ia menyebut nama sosok legendaris yang dikenal sebagai makhluk paling mengerikan yang membawa kehancuran dan kekacauan ke dunia.

Lalu gadis berikutnya memperkenalkan diri. Ia memiliki rambut merah menyala dikuncir dua, mengenakan pakaian putih mewah, dan menatap dengan mata biru terang—penuh rasa percaya diri.

Dengan tangan terlipat di dada dan gaya bicara tinggi hati, ia menatap William dari atas.

"Namaku Sofia Heartred. Dulu aku dikenal sebagai Malaikat Agung. Orang seperti kamu bukan tipe yang bisa ngobrol santai denganku. Jadi hormatilah aku sebagaimana mestinya."

Malaikat Agung? Bukankah itu pemimpin tertinggi bangsa malaikat...?

William pernah mendengar bahwa bangsa malaikat adalah ras yang penuh kasih dan suci. Tapi gaya bicara sombong dan sikap tinggi hati gadis ini membuatnya langsung yakin—lebih baik jangan terlalu dekat.

Selanjutnya, gadis ketiga melangkah maju. Ia tampak seperti berasal dari timur, mengenakan pakaian bela diri khas timur lengkap dengan hakama, dan menyelipkan pedang di pinggangnya. Rambut pendek hitamnya tidak simetris, memberi kesan unik. Tak seperti dua gadis sebelumnya, ia tersenyum lembut dan ramah, seolah ingin meredakan rasa waspada William.

"Namaku Mio Kirisaki. Dulu aku dikenal sebagai Pendekar Agung, atau juga disebut Peri Pedang—Sword Fairy. Senang berkenalan ya."

Pendekar Agung, katanya... kayaknya dia sendiri nggak paham seberapa berat makna gelar itu.

Itu gelar yang cuma boleh dipakai oleh orang-orang yang, lewat latihan dan dedikasi luar biasa, berhasil mencapai puncak kekuatan di antara umat manusia. Melihat gadis ini menyebutnya dengan santai, William cuma bisa bengong, "nih orang waras nggak sih?"

Gadis terakhir punya rambut sehalus sutra berwarna emas, dengan mata biru kobalt yang tajam.

"Saya Rain Bartnett, pelayan pribadi Iris-sama," katanya sambil membungkuk anggun.

Sopan santun dan wibawanya tidak bisa disangkal. Tapi, seperti yang lain, apa yang ia ucapkan tetap bikin heran.

Jadi... satu mantan Raja Iblis, satu Malaikat Agung, satu Pendekar Agung, dan sekarang pelayan pribadi mantan Raja Iblis...

Empat gadis ini semua cantik luar biasa, tapi William sudah terlalu bingung untuk peduli. Ia hanya menggaruk-garuk belakang kepala dengan ekspresi malas.

"Yah... sebagai formalitas aja, Aku kenalin diri. Nama Aku William. Nggak perlu tahu nama keluarga."

"Hmm… salam perkenalan yang sangat tidak sopan, ya. Padahal kami ini dulunya pernah menggetarkan dunia, lho. Kamu nggak merasa bersalah bersikap segitu dinginnya?"

"Mana bisa Aku sopan ke orang-orang yang pake nama samaran."

"Maksudmu apa?"

"Nama-nama yang kalian pake itu, kan, dari para roh pahlawan legendaris yang katanya hidup seribu tahun lalu—di era kegelapan, saat semua ras saling perang. Kalau kalian beneran asli, mana mungkin bisa akur gitu sekarang?"

"Hoh… perang antar ras, ya? Rupanya informasi soal masa itu nggak sampai dengan benar ke zamanmu sekarang."

Iris menyilangkan tangan dengan ekspresi tak puas.

"Aku tidak menyangka.. hal sebesar itu aja bisa disalahpahami."kata Sofia dengan mata membelalak karena kaget.

"Aneh sekali sejarahnya terlalu melenceng. Memang umur ras manusia jauh lebih pendek dari ras malaikat atau iblis, tapi ini sudah kelewatan." 

Mio tampak merenung sambil menopang dagunya.

Saat keempat gadis itu tenggelam dalam pikirannya masing-masing, Rain dengan sopan berdeham.

"Yang mulia, William-san kelihatannya mulai bingung tuh."

"Ah, iya juga. Menurut kalian, bagaimana anak ini?"

"Hei, siapa yang kamu sebut 'anak kecil'!?"

Protes William, tapi tidak ada yang menggubrisnya.

"Dia memang belum paham situasinya, tapi... yah, menurutku nggak apa-apa sih."

"Aku juga setuju. Juga dia berhasil melepaskan segelnya, itu aja udah cukup bukti."

"Kalau begitu, nggak ada yang keberatan. Mulai sekarang, anak ini jadi kontraktor kita."

Iris langsung menunjuk ke arah William dengan sikap penuh percaya diri.

"Sebagai imbalan karena akan kami beri kekuatan untuk melampaui segalanya, kau harus menjalin kontrak sihir dengan kami. Dan pertama-tama, kami akan ambil dulu sedikit energi sihirmu untuk proses kontrak."

"Ha!? Jangan asal main kontrak! Lagipula... sihir!? Aku kan—aku nggak punya—"

Sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, tangan Iris menyentuh tubuh William.

Dan seketika itu juga, tubuh William seperti kehabisan tenaga, dan dia roboh di tempat.

"A-apa-apaan ini!? E-eh!? Masih di tengah proses kontrak, loh!? Bangun, oi! Kenapa kamu malah pingsan sendiri gitu sih!?"

Suara panik itu perlahan makin samar… dan akhirnya pandangan William menggelap sepenuhnya.


Siang hari, di ruang UKS Akademi Sihir Eucliwood.

"Kenapa aku bisa ada di sini..."

William yang bangun di ranjang UKS merasakan tubuhnya berat, seolah dibalut timah.

"Kau sudah bangun rupanya. Syukurlah. Aku sempat khawatir juga kalau kamu lama nggak sadar."

Sosok yang menyapa dengan tenang itu adalah Meia Belkhut, guru wali kelas sekaligus perawat sekolah yang sedang duduk di kursi.

"Katanya temanmu menemukamu pingsan di kapel pagi tadi. Mereka panik karena kamu nggak pulang ke asrama semalaman."

"Kapel... Ah! Kapel!?"

Mengingat kejadian tadi malam, William langsung bangun dengan panik. Di jari telunjuk tangan kanannya, cincin dengan tiga pilar terukir jelas masih terpasang.

"Tanya aja langsung. Tadi malam aku nemu semacam portal ke dimensi lain di kapel, terus ada cincin ini dan empat gadis aneh yang nyedot kesadaranku! Nih, buktinya! Lihat cincinnya!"

"Hmm..."Meia menatap cincinnya sebentar.

"Dari tampilannya sih cuma cincin tua biasa. Aku juga nggak merasakan aura sihir darinya."

Komentarnya yang simpel itu langsung menampar semangat William.

Meskipun terdengar datar, bukan berarti Meia adalah guru yang tidak peduli. Justru sebaliknya—Meia dikenal sebagai guru yang berdedikasi tinggi dan sangat peduli terhadap muridnya.

"Anak seperti dia yang biasanya nggak serius bisa berubah kalau nemu tujuan yang kuat."

Dengan pemikiran seperti itulah Meia selalu membela dan mengawasi William selama setahun ini, tanpa pernah memandang rendah dirinya.

Kesabaran dan perhatian mendalam Meia yang penuh pengertian, hampir saja ternoda karena William yang hampir tidak pernah hadir di pelajaran dan justru membuat semuanya berantakan. Karena itu, meskipun Meia adalah orang yang sangat tegas dan cerdas, akhirnya dia harus menyerah dan berhenti berharap.

"Selain itu, tidak ada sama sekali jebakan di patung di kapel. Kami, para staf pengajar, sudah menyelidiki rumor lama yang beredar di sekolah ini dan memastikan bahwa itu tidak benar."

"T-tapi aku—"

"Kalau misalnya ada jebakan yang menghubungkan ke ruang lain di luar alam ini, lalu mengapa ada cincin tua yang tergeletak di sana dan ada empat gadis di situ? Lebih masuk akal kalau kita menganggap bahwa itu hanyalah mimpi orang bodoh yang percaya pada rumor dan sedang mengantuk."

"Itu... itu tidak mungkin..."

"Sepertinya kamu mempercayai rumor itu terlalu serius, ya? Tapi tidak ada cara ajaib untuk menjadi kuat dengan santai. Kalau kamu terus mencari jalan pintas seperti itu, tidak heran kalau kamu selalu disebut sebagai senjata terlemah."

"Tapi aku sudah berusaha keras dan tetap tidak bisa menggunakan sihir. Jadi, menurutku, lebih baik menghabiskan waktu untuk hal yang lebih berguna daripada sia-sia."

"Hmm, itu memang argumen yang masuk akal. Tapi, apa yang dianggap sia-sia dan tidak sia-sia itu tergantung hasil di masa depan. Bahkan kalau saat ini kamu merasa itu sia-sia, nanti saat kamu menoleh ke belakang, kamu mungkin akan menyadari bahwa itu sebenarnya tidak sia-sia."

"Itu... tidak mungkin. Orang dewasa memang suka mengatakan hal-hal seperti itu dengan wajah tenang, padahal sebenarnya mereka sudah tahu semuanya."

"Kamu benar-benar ahli dalam hal bermalas-malasan, ya. Tapi dengan pola seperti ini, aku rasa kamu tidak akan lulus ujian praktik yang diadakan sore ini. Lebih baik kamu mulai memikirkan langkah selanjutnya. Oh, dan, soal kondisi kesehatan, semuanya baik-baik saja, kan?"

Meia berkata begitu sambil mulai menulis sesuatu di dokumen di tangannya. Kemungkinan besar dia sedang membuat laporan tentang kejadian William pingsan tadi. Sementara William, yang merasa tidak punya kegiatan lain, merenungkan nasihat yang diberikan tadi.

Tak peduli seberapa bergunanya nasihat itu, kenyataannya adalah tanpa kekuatan sihir, dia tidak akan mampu melakukan apa-apa. Bagaimana lagi dia bisa bertahan hidup ke depannya?

Saat dia tiba pada kesimpulan yang tak bisa dibantah karena tak ada jalan keluar lain, tiba-tiba terdengar suara dalam pikirannya:

"Sial, semuanya cuma omong kosong. Kalau mau lolos ujian praktik, tinggal lulus saja."

"Kalau begitu, aku nggak mungkin lulus dengan kemampuan aku ini. Eh—apa suara itu!?"

Ketika dia menoleh ke arah suara, dia melihat sesuatu yang membuatnya terkejut:

"Aku nggak nyangka kalau kamu sampai pingsan karena kehabisan kekuatan sihir. Padahal cuma mau pakai sedikit aja kekuatan sih, kok lemah banget ya."

Ternyata, empat orang—Iris, Sofia, Mio, dan Rain—berada di sana seperti biasa.

"Apa—?! Guru, mereka itu!!"

"Eh, William, jangan usil. Jangan bercanda bodoh di depan orang lain, nanti orang nggak percaya kok."

"Apa maksudmu, bercanda apa? Mereka kan ada di sini, kan?"

"Tidak ada orang lain di sini. Jangan main-main lagi, ya."

William menatap ke arah yang disorotnya dengan jari, lalu Meia kembali membuka dokumen dan melanjutkan pekerjaannya seperti tidak terjadi apa-apa.

Apakah itu bohong?! Apakah mereka benar-benar tidak terlihat olehnya?! 

"Sayangnya, manusia biasa tidak bisa menyadari keberadaan kami."

"Mungkin kamu nggak punya kemampuan observasi. Seorang penyihir seharusnya bisa menyadari hal ini dalam sekejap."

"Haha, maaf ya kalau merepotkan."

Setelah ucapan Iris, Sofia, dan Mio, terakhir Rain juga menundukkan kepala ringan sebagai tanda permintaan maaf.

"A-aku... aku merasa sesuatu yang aneh sedang merasuki diriku!!"

"Diam, tenanglah. Jangan sampai terganggu," kata Meia dengan nada tegas.

"Ini... ini pasti keadaan yang sangat berbahaya!!"

"Hei, jangan-jangan kalian berencana memberitahu orang lain tentang keberadaan kami?"

"Sudah pasti begitu," jawab William tegas.

"Kalau begitu, hentikan. Kalau keberadaan kami diketahui orang, akan ada bencana yang tak terbayangkan menimpa dirimu."

"Eh—apa maksud 'bencana' itu!?" William merasa takut setengah mati mendengar kata-kata penuh makna misterius itu.

"Apakah ini nyata atau cuma akting?" tanya Meia yang mulai merasa semakin kesal dengan tingkah aneh William. Tapi, kata-kata itu sudah tidak lagi masuk ke telinganya, karena ada sebuah pernyataan yang membuat pikirannya langsung blank:

"Para orang bodoh yang pernah melakukan kekejaman terbesar dalam sejarah akan datang untuk menghapusmu."

William langsung merasa kepalanya kosong dan membeku.

"Ini... ini cuma bercanda, kan...?"

"Aku nggak akan mengucapkan hal sebodoh itu kalau cuma bercanda."

"Kalau aku sampai mati karena hal ini, aku nggak tahu apa yang akan terjadi."

"Maaf, sayangnya, ini bukan bercanda."

"Hah?! Seriusan...?!"

"Jadi, kamu mengerti? Aku akan menuruti apa yang kalian katakan!!"

Meskipun apa yang didengarnya berbeda jauh dari cerita cincin tadi, jika nyawa yang dipertaruhkan, dia tidak akan menolaknya.

"Kalau begitu, aku paham. Sekarang, aku akan menjelaskan rencana ke depannya, dan kita akan pindah tempat."

Ditelan rasa takut, William buru-buru bilang ke Meia bahwa semua itu cuma salah paham, lalu pergi meninggalkan UKS. Ia pun memilih naik ke atap sekolah. Seharusnya, di jam segini dia mengikuti kelas pagi. Tapi seperti biasa, William malah bolos.

"He-hey... Cincin Transendental itu kan katanya alat sihir legendaris yang bisa ngasih kekuatan luar biasa ke pemiliknya, kan? Ka-kalian tuh sebenernya nggak punya hak buat maksa Aku buat kontrak, kan!?"

"Hmm... dibilang maksa itu agak nyakitin juga ya. Gimana menurut kalian?"

Iris menoleh ke teman-temannya.

"Gimana kalau kita tunjukin aja dulu kekuatan kita ke bocah ini? Biar dia cepat paham."

"Kalau itu bisa bikin semuanya jelas, aku nggak keberatan."

"Ide bagus tuh. Aku yakin sekarang ini William lagi di usia-usia di mana anak pria suka ngimpi soal kekuatan keren."

"Sip, keputusan bulat. Kita bantu dia di ujian praktik buat buktiin siapa kita sebenarnya."

"Eh, bentar. Kenapa kalian malah jadi mau bantu Aku sih?"

"Kalau kamu tahu soal Cincin Transendental, kamu juga tahu dong kalau kami ini pemberi kekuatannya. Jadi, udah jelas dong kalau kami bakal bantu pemiliknya—alias kamu."

Buset... makin lama makin mencurigakan. Kok bisa-bisanya pembicaraan berubah jadi "kami bakal bantu" gitu?

"Denger ya, yang Aku butuhin itu cuma kekuatan buat lolos ujian praktik. Bukan kekuatan bohongan dari 'roh pahlawan' zaman kegelapan yang bahkan Aku nggak yakin kalian tuh beneran!"

"Ngomong-ngomong soal itu, kamu masih ragu ya sama keaslian kami. Santai aja, nanti kamu bisa buktiin sendiri."

"Buktiin gimana maksudnya?"

"Kami sekarang cuma wujud spiritual karena kehilangan tubuh asli. Tapi kami bisa merasuki tubuh pemilik cincin—alias kamu—dan pakai tubuh itu buat nunjukin kekuatan kami."

"Jadi kalian mau... masuk ke tubuh Aku dan bertarung di ujian praktik pakai tubuhku?"

"Benar sekali. Dan kekuatan kami jauh melampaui apa pun yang kamu bayangkan. Kalau kami bisa nunjukin kemampuan kami lewat tubuhmu, kamu pasti bakal percaya dan bersedia buat kontrak."

"Hah! Nggak lucu. Mana mungkin bisa kayak gitu."

William akhirnya tersenyum lega. "Nah, ini nih... akhirnya ada bagian dari cerita kalian yang jelas-jelas omong kosong."

"Lho? Kenapa kamu bisa yakin begitu?"

"Aku tuh dari lahir nggak punya kemampuan sihir sama sekali. Udah dicek sama banyak dokter, katanya Aku nol besar soal sihir. Jadi meskipun kalian hebat, kalau bahan dasarnya kayak Aku, tetap nggak bakal bisa apa-apa, kan?"

Keempat gadis itu saling bertukar pandang.

"Tadi kamu juga bilang hal itu ke gurumu, ya. Tapi... beneran gitu?"

"Mungkin... ini hasil dari kemunduran peradaban akibat waktu yang panjang."

"Tapi, walau begitu, ini tetap agak susah dipercaya."

Alih-alih membantah, Iris dan yang lainnya tampak serius, seperti sedang membahas misteri besar.

"Kalian ngomongin apa sih sebenernya?"

"Intinya, di dunia ini nggak ada manusia yang beneran nggak punya sihir. Jadi kesimpulannya: kamu juga pasti punya. Dan kami bisa bantu kamu buat membangunkannya."

"A-apaa!?"

William hampir refleks berteriak, tapi dia menahannya.

Tunggu... bisa aja mereka cuma ngibul. Tapi... gimana kalau beneran?

Di titik ini, dengan kemungkinan dikeluarkan sudah di depan mata, William merasa... mungkin layak buat ambil risiko ini.

"Oke... terus kalau kalian bantu Aku, Aku harus ngelakuin apa sebagai gantinya?"

Senyum penuh kemenangan muncul di wajah Iris.

"Rahasia dong. Soal itu nanti bakal kita omongin pelan-pelan."

"Kami juga belum kasih bukti apa-apa. Jadi masuk akal kan kalau syaratnya nanti aja."

"Iya, iya. Nanti kalau udah buktiin diri, baru ngomongin langkah berikutnya."

Begitulah, akhirnya William menyetujui perjanjian tidak resmi dengan empat gadis misterius itu.


Menjelang siang, William akhirnya datang ke arena pertarungan, tempat ujian praktik digelar.

Ujian praktik ini berbentuk duel antar murid. Guru-guru akan menilai kemampuan peserta berdasarkan performa tempur mereka.

Karena tradisi pertarungan sihir menggabungkan seni bela diri dan sihir, semua murid membawa senjata masing-masing. Yang paling umum tentu saja pedang—dan mayoritas peserta tampak mengenakan sabuk pedang di pinggang mereka.

William juga... secara teknis membawa senjatanya. Ia mengambil sabuk pedang dan pedang ksatria yang selama ini tersimpan di loker. Tapi—

Sejak masuk sekolah, William belum pernah benar-benar menggunakan pedang kesayangannya secara serius. Kalau ditanya apakah itu disebut sebagai pedang cinta, pasti jauh dari kata itu.

Ketika dia menuju papan pengumuman untuk memeriksa daftar pasangan, Zest menyapa.

"Halo, tubuhmu baik-baik saja kan?"

"Eh, ya—ah, ya... lumayan lah."

"Terus, cincin transendensi itu ada nggak?"

"Ah, itu... nggak tahu, ya... mungkin ada, mungkin nggak... hahaha."

William tidak bisa memberitahu Zest bahwa dia sedang terjebak dalam situasi yang sangat buruk, jadi dia hanya tersenyum dan mencoba mengarang suasana agar tidak terlalu tegang.

"Ya, jangan terlalu dipikirkan kalau sampai gagal. Yang penting, ini jadi kenangan terakhir, kan?"

William yang dipukul di bahu oleh Zest, sambil berpikir bahwa mungkin tidak selalu begitu saja, lalu menatap daftar pasangan yang dipajang di depan. Di bagian paling atas, dia melihat namanya.

"Eh?! Di urutan pertama?!"

"Menjadi yang pertama itu keberuntungan. Tidak suka menunggu, jadi ini cocok buatmu."

"Bagus, Iris-sama."

Di samping William yang tampak sedih dan mengeluh, Iris mengangguk puas, sementara Rain hanya tersenyum tipis.

"Jangan senang dulu! Aku belum siap secara mental, tahu?!"

William yang biasanya suka bermalas-malasan, tanpa sadar ikut mengeluarkan suara. Setelah itu, dia menoleh ke Zest, dan Zest menatapnya dengan alis yang bersilang, menatap penuh perhatian.

"Apa yang kamu lakukan? Tiba-tiba berteriak tanpa alasan? Atau, mungkin kamu masih merasa tidak enak badan?"

"Aku minta maaf. Aku ingin sendirian sebentar. Biar aku keluar sebentar, ya."

Setelah melewati kerumunan siswa yang ramai, William menarik diri ke sudut dan mulai menanyai Iris.

"Eh, kau benar-benar baik-baik saja, kan? Aku kan nggak bisa pakai kekuatan sihir."

"Itu benar. Kalau begitu, mari kita selesaikan masalah itu terlebih dahulu."

Tak lama kemudian, sosok Iris menghilang dan berubah menjadi butiran cahaya. Tanpa menunggu lama, butiran cahaya itu mengalir ke tubuh William, dan seketika dia merasakan sensasi aneh. Tangannya sendiri mulai mengepal dan membuka tanpa disadari, seolah-olah ada kekuatan lain yang mengendalikan.

"Apa?! Apakah aku kerasukan?!"

"Tidak usah takut. Aku tidak akan merebut tubuhmu. Tapi yang pasti, tubuh ini cukup kotor."

Suara Iris terdengar dari dalam pikiran William, dan dia tiba-tiba menjadi pucat karena kaget.

"Karena adanya kekotoran yang dihasilkan dari jantung kekuatan sihir, saluran sihirmu tertutup. Seperti yang sudah aku prediksi, menghilangkannya pasti menyakitkan. Tapi, pria pasti bisa tahan, kan? Ayo, kita mulai."

"Eh, belum siap mental aku—ah?! Guh?!"

Segera setelah merasakan sakit luar biasa dari jantung kekuatan sihir, William muntah darah hitam dalam jumlah besar. Ketidaknyamanan itu tidak hilang, malah muncul lagi dan lagi, membuatnya terus-menerus muntah. Setelah keadaan sedikit membaik, William yang masih tersisa tenaga, mengajukan keberatan kepada sosok yang menyatu dalam dirinya.

"Ini… kenapa tiba-tiba saja melakukan itu?!"

"Aku menghilangkan hal yang menghalangi kekuatan sihirmu di dalam tubuhmu."

"Apa yang aku maksudkan dengan yang hitam kayak darah itu?"

"Iya. Sekarang, kamu sudah bangkit secara magis."

"A-apa maksudnya?!"

"Di dunia ini, meskipun orang-orang lupa, semua orang secara bawaan memang memiliki kekuatan sihir. Jadi, nggak ada orang yang benar-benar tanpa kekuatan sihir."

Di samping William yang terkejut, Sofia dan Mio memperhatikan cairan hitam yang keluar dari tubuh William itu.

"Hmm, sepertinya sudah cukup lama menumpuk, ya?"

"Tapi aneh juga, biasanya manusia biasa nggak punya kekotoran seperti ini."

"Mungkin, karena sifat burukmu, kekotoran itu malah makin menumpuk."

"Ugh, diamlah!!" William tak mampu menahan diri dan mengomel keras.

"Apakah kamu baik-baik saja?! Kamu malah muntah sebelum ujian! Dan, ngomong-ngomong, siapa yang kamu ajak bicara selama ini?" 

"Eh!?" 

Tiba-tiba, dia melihat Zes yang tampak khawatir dan mengawasinya. Jika dia melihat sekeliling, banyak siswa sekolah yang menatapnya penuh simpati.

"Lebih baik jangan menonjol di tepi arena pertarungan," saran Rain.

William menyesal mendengar saran itu dan merasa sangat bodoh.

"Muntah sebelum ujian? Kamu benar-benar senjata terlemah."

"Dan kamu bahkan bicara dengan makhluk halus? Wah, kelemahanmu benar-benar ekstrem."

Suara-suara ejekan dari siswa sekolah terdengar, sementara Iris dan teman-temannya mengerutkan alis, tetapi William yang sudah terbiasa, mengabaikan semua itu.

"Ujian praktik akan segera dimulai. Semua berkumpul dan berbaris!"

"Kalau sampai kalian gagal pakai sihir pakai tubuh Aku... Aku gak bakal maafin!"

"Kau belum sadar, ya? Sihirmu sudah mulai bangkit, kok. Coba fokusin perasaanmu, kamu pasti bisa ngerasain kekuatan yang mengalir di dalam tubuhmu."

"Y-ya, kayaknya sih memang ada... tapi Aku mana tahu itu beneran sihir atau bukan!"

Sebenarnya William sendiri juga mengira itu memang sihir, tapi dia enggan mengakuinya. Dia gak suka bagaimana para gadis itu terus mendorong cerita seenaknya.

"Oh, pantesan. Karena kamu belum pernah punya pengalaman soal sihir, jadi kamu nggak tahu rasanya, ya. Nggak apa-apa, nanti juga terbukti sendiri. Dan ngomong-ngomong, kamu sebenarnya gak perlu bisik-bisik gini. Karena kamu pakai cincin itu, kita bisa ngobrol lewat pikiran kok. Bukan cuma aku, tapi semuanya juga bisa."

(Kenapa hal sepenting itu baru dikasih tahu sekarang sih!?)

William protes lewat suara batin, dan di saat itu juga, bam, Sofia dan Mio ikut “masuk” ke tubuhnya. Sekarang tinggal Rain saja yang belum ikut merasuki tubuh William.

"Ngomong-ngomong, siapa sih lawanmu kali ini?"

Baru saat itu William sadar kalau dia belum mengecek siapa lawannya. Dia menunggu Meia selesai bicara, lalu bertanya ke Zest.

"Eh, Zest... Kau tahu nggak siapa lawan Aku hari ini?"

"Woi, masa kau nggak ngecek sih. Bahkan penjelasan Meia-chan barusan juga lo gak dengerin, ya?"

Sambil mengelus pelipisnya dengan jari telunjuk, Zest tampak kesal.

"Lawan kau tuh... Cecile Clifelt. Si jenius gadis yang masuk pasukan sihir kerajaan di usia paling muda dalam sejarah. Ujian praktik kita ini juga sekalian jadi ujian masuk dia ke akademi. Gila, nasibmu bener-bener sial."

"A-apa!? C-Cecile Clifelt!?!"

Nama yang seharusnya tidak muncul di tempat ini membuat mata William terbelalak. Saat Meia memanggil namanya untuk naik ke panggung, dia langsung mengenali sosok di hadapannya—gadis berambut ungu muda bergelombang dan mata biru seperti permata yang sering ia lihat di masa kecil.

"Sudah lama ya, Will."

"Eh!? K-kenapa kamu ada di sini!? Bukannya kamu kerja di pasukan sihir kerajaan!?"

"Karena prestasiku di pasukan, aku dikasih izin khusus buat sekolah di sini. Katanya, kalau lulus dari akademi, aku bisa jadi penyihir istana."

Dengan sorot mata jujur dan senyum ringan di bibirnya, Cecile terlihat benar-benar suci dan bersih. Hanya dari sikapnya saja sudah bisa ditebak bahwa dia tipe orang yang lurus dan berhati murni.

"H-hei Cecile, sebenernya... kalau nilai ujian Aku jelek kali ini, Aku bisa di-drop out. Jadi, bisa nggak kamu pura-pura kalah—"

"Tentu saja tidak. Aku akan bertarung sepenuh hati, jadi bersiaplah."

Tanpa ragu, Cecile mengangkat pedangnya dan bersiap.

Ini mimpi buruk. William rasanya mau pegang kepala dan berteriak.

Gimana bisa si jenius dari kecil yang hidupnya tanpa kekurangan... muncul di saat kayak gini!?

"Kenapa kamu malah minta dia ngalah? Dasar pria cemen, mana harga dirimu!?"

(K-kau tidak mengerti! Ini hidup dan matiku!)

"Terus dia itu siapa sih sebenernya?"

(Cuma... temen masa kecil. Tapi ya gitu, dari dulu dia udah super jenius...)

William teringat perbedaan kekuatan mereka waktu kecil—bagaimana dia sama sekali nggak bisa melawan Cecile yang menghajarnya pakai sihir.

(Gimana ini? Gak ada harapan menang...)

"Salah besar. Justru kamu pasti menang. Malah, bisa dibilang kamu nggak mungkin kalah. Dia memang jenius, tapi masih terlalu kecil dibanding kekuatan kami."

Kenapa dia bisa sepercaya itu...?

"Tapi yang aku penasaran justru reaksi kamu tadi. Dibilang temen masa kecil, tapi mukamu panik kayak mantan ketemu gebetan."

(A-apaan sih! Bukan gitu!)

"Eh? Eh~? Hehe, jangan-jangan kamu suka sama dia?"

"Ah, iya iya! Aku juga nyadar! Jadi penasaran deh, tipe gadis idaman Will seperti apa ya?"

(Jangan digangguin dong! Udah mau mulai nih! Mending kasih tahu sekarang harus ngapain!? Aku harus gimana biar bisa bertarung!?)

"Santai. Serahkan aja tubuhmu ke kami, buka mata lebar-lebar, dan nikmati pertunjukannya."

(Cuma gitu doang? Lawannya Cecile, loh!)

"Mau dia seberapa jenius, lawannya tiga orang, dan dia cuma satu. Jelas-jelas kita yang unggul."

(Tapi tubuh ini cuma satu! Yang bisa bertarung satu orang doang, jadi ya tetap satu lawan satu lah!)

"Salah. Kami bisa saling bergantian selama pertarungan, jadi masing-masing bisa pakai kemampuan terbaiknya di waktu yang pas. Ini keuntungan yang sangat besar."

(Beneran...?)

"Tentu. Kami gak akan kalah, itu jaminan."

William nggak bisa menilai secara pasti. Pengetahuannya soal sihir terlalu minim. Tapi... rasanya mustahil para gadis yang berhasil membangkitkan sihir dalam dirinya sampai sejauh ini cuma ngibul.

(Aku ini sering bolos kelas sih… jadi nggak tahu, tapi emang biasanya bisa kayak gitu ya?)

"Tentu saja. Makanya, apapun yang terjadi nanti, jangan kaget. Anggap aja semuanya wajar."

Di arena pertarungan, William—yang kini tubuhnya sedang dirasuki oleh Iris dan kawan-kawan—berdiri berhadapan dengan Cecile.

"Kelihatannya kamu lagi nggak fit, tapi maaf ya... aku nggak bakal nahan diri."

Cecile menarik keluar pedang ksatrianya dari sarung putihnya dan mengambil posisi siap bertarung.

"Nggak perlu ditahan. Yang menang udah jelas kami."

Sebaliknya, William—atau tepatnya Iris yang kini mengendalikan tubuhnya—mencabut pedangnya dari sabuk dan mengambil posisi tengah.

(Kenapa juga kau yang jawab!?)

"Karena kau kayaknya mau ngomong sesuatu yang memalukan. Lagian kita kan udah sepakat kamu bakal nyerahin tubuhmu. Jadi jangan terlalu banyak protes."

(……………………)

Yah, kalau memang bisa menang, William pikir gak ada gunanya ribut. Dia memilih untuk percaya dan diam.

"Nada bicaramu berubah ya. Ada sesuatu yang terjadi?"

"Maaf ya ganggu fokusmu. Cuma urusan internal."

Cecile menyipitkan matanya sedikit curiga, tapi Iris tetap tenang dan bersikap arogan seperti biasa.

Keduanya sudah sama-sama mengangkat pedang. Begitu Meia memberikan aba-aba—

"Mulai!"

Langsung saja, sang jenius penyihir Cecile bergerak pertama, berusaha mengambil inisiatif.

"Biar aku sendiri yang memberikan akhir untukmu."

Dengan pedang ksatrianya, Cecile langsung memotong jarak. Gerakannya cepat dan tajam, jelas hasil dari penggunaan sihir penguat tubuh.

"Dia ingin menyelesaikan ini dengan ilmu pedang. Kalau begitu, biar Mio yang ambil alih."

"Serahin aja kepadaku, Iris. Tapi, udah lama gak adu pedang.. membuatku agak deg-degan."

Keputusan tubuh William sekarang sepenuhnya diserahkan pada Mio.

"Ayo sini! Jangan ditahan-tahan!"

Gelar yang pernah disematkan ke Mio adalah Ken-Sei—Pendekar Suci Pedang. Gelar tertinggi yang hanya diberikan pada pendekar terkuat dalam sejarah umat manusia. Jika memang dia asli, maka tak ada yang bisa dia taklukkan begitu ia memegang pedang.

"Sebagai bentuk belas kasihan... akan kuakhiri dalam sekejap."

Cecile yang sudah menutup jarak mengayunkan pedangnya. Tujuannya jelas—menghancurkan William secara langsung, yang seharusnya tak bisa menggunakan sihir penguat tubuh.

"Ahaha, kayaknya kamu agak terlalu meremehkan, deh?"

Ayunan dari depan yang begitu frontal itu langsung disambut oleh Mio tanpa ragu—dengan mengangkat pedangnya.

Tapi bagi Cecile, itu adalah tindakan yang konyol.

"Kamu gak ngerti ya... Tanpa sihir, kamu gak bakal bisa menahan tebasanku. Bahkan buat nahan atau menangkis aja kamu nggak diizinkan!"

Dalam dunia sihir, perbedaan antara yang bisa menggunakan penguatan tubuh dan yang tidak adalah mutlak. Tak mungkin bisa dilawan tanpa itu.

Tapi kemudian, hal yang tak masuk akal terjadi.

"Hah!?"

Tebasan dari Cecile tak ditahan frontal, tapi malah dialirkan—Mio membuat pedangnya seperti permukaan es, membelokkan arah serangan lawan dengan teknik luar biasa.

"Kamu... Membelokkan tebasanku!? Padahal aku pakai sihir penguat tubuh!"

Cecile jelas panik. Matanya melebar, tak percaya dengan apa yang ia lihat.

"Biasa aja. Di zaman dulu, kalau gak bisa minimal seperti ini, ya pasti udah mati."

Mio tersenyum santai, sementara Cecile mencoba menyerang lagi, tapi hasilnya sama. Semua serangannya dibelokkan dengan mudah.

Setiap kali serangan Cecile gagal, raut wajahnya makin suram.

Karena—

"K-kenapa kamu bisa ikutin gerakanku meski gak pakai sihir penguat tubuh!?"

Dalam pertarungan jarak dekat, penguatan tubuh itu wajib. Tapi lawannya ini... bertarung seakan dia tak butuh itu sama sekali.

"Hehe, kenapa ya~?"

"Nggak usah jawab pertanyaan dengan pertanyaan!"

Dan di saat itu—pedang Cecile yang diayunkan melewati udara... dan di atas pedangnya, berdiri William. Atau lebih tepatnya, Mio yang sedang mengendalikan tubuhnya.

"Wi-Will!? J-Jangan bilang kamu... pakai sihir!?"

"Sayang sekali... ini bukan sihir. Cuma teknik biasa. Lihat, dari cara kamu ubah posisi badan sebelum menyerang, aku bisa tebak gerakanmu ke mana. Sisanya tinggal insting dan pengalaman aja."

"Tidak, itu mustahil bisa dilakukan──"

Di tengah aksi yang bisa disebut sebagai puncak keahlian, Cecile terpana seolah-olah melupakan semuanya dalam pertarungan. Dia terkesima melihat kehebatan lawannya.

"Kalau begitu, sudah tahu siapa yang lebih unggul, kan? Kamu tampaknya datang dengan anggapan meremehkanku dan ingin menyelesaikan semuanya cepat, tapi dalam hal keahlian pedang murni, kamu masih jauh dari cukup latihan."

Mio yang secara implisit menyuruhnya untuk menunjukkan kekuatan sebenarnya, melompat besar ke belakang. Sementara itu, Cecile menatap dengan mata yang tampak malu dan menyesal karena telah bertanya sesuatu yang tidak seharusnya, seolah-olah menyadari kekurangannya.

"Aku akan pergi dengan segenap kekuatanku!!"

Dia menyadari bahwa jika terus seperti ini, dia pasti bakal kalah perlahan-lahan. Maka, Cecile mengayunkan pedang ksatria yang dia pegang dengan energi magis yang cukup besar untuk membuatnya tampak nyata, dan mulai mendekat.

"Yaah!!"

"Hmm, ini adalah [Fear's Piercing]."

Tak lama kemudian, tusukan yang tampaknya tidak mungkin keluar dari penampilan anggun Cecile, meluncurkan gelombang serangan yang ganas dan mendekat ke arah lawannya.

"Ini cukup sulit untuk dielakkan."

Dalam situasi genting ini, Mio tersenyum licik.

"Kamu punya bakat, jadi aku akan menunjukkan sesuatu yang khusus dan menarik."

Dalam sekejap, dunia Mio menjadi sangat perlahan, seperti dalam slow motion.

Di dunia yang seolah-olah berjalan sangat lambat itu, Mio yang satu-satunya bisa bergerak cepat, mengayunkan pedang ksatria secara tiba-tiba. Hanya dengan satu gerakan itu, gelombang kejut luar biasa tercipta dan menembus [Fear's Piercing], menghempaskan Cecile jauh-jauh.

"Ah?! Apa yang terjadi?! Aku seharusnya nggak bisa mengeluarkan kekuatan sebesar ini tanpa sihir kekuatan hati!!"

Cecile yang terkejut dengan teknik yang seperti fenomena supranatural itu, kehilangan perhatian sejenak. Dalam momen itu, Mio melompat tinggi ke udara. Cecile yang bingung mencari ke kiri dan kanan, kehilangan jejak Mio di pandangannya. Tapi, ke mana sebenarnya Mio pergi? Saat dia berpikir begitu, Mio yang berada di atas memberi tahu dengan suara.

"Kamu lihat ke mana? Aku di atas."

"Eh!?"

Serangan dari atas menghantam Cecile dengan kekuatan besar.

"Kalau kamu melompat mundur saat tiba-tiba diserang, itu keputusan yang bagus. Kalau saja kamu langsung menerima serangan terbalik, kamu pasti nggak akan bangkit lagi."

Sambil tersenyum dingin, Mio memberi penilaian, sementara Cecile yang hampir pingsan dan terkejut besar, benar-benar terbelalak.

"Ini… aku tidak menyangka bisa diombang-ambingkan kayak gini?! Kamu, berapa banyak sih latihan pedang yang sudah kamu jalani?!"

Mungkin, gambaran William yang terlihat di mata Cecile saat ini jauh lebih besar dari kenyataannya. Perbedaan kekuatan yang terasa seperti tembok tak tertembus antara orang dewasa dan anak-anak, membuatnya merasa bahwa jarak kekuatan itu begitu besar.

"Kalau begitu, kamu harusnya sudah tahu perbedaan kekuatan kita, kan? Jadi, apa yang akan kamu lakukan?"

"Aku harus mengakui bahwa aku tidak bisa mengalahkanmu dalam hal keahlian pedang."

Ekspresi Cecile yang mengakui kekalahan tidak berubah dari sebelum ujian dimulai, seolah-olah kepercayaan dirinya tidak tergoyahkan.

"Tapi sayangnya, ini sudah akhir dari pertarungan.──[Ice Needle]!!"

Serangan sihir yang dilancarkan pasti tak mampu dilawan William tanpa kekuatan magis, dan ini adalah dasar kepercayaan diri Cecile.

Tapi, dia tidak tahu bahwa saat ini, William sedang didukung oleh roh pahlawan dari seribu tahun yang lalu.

"Fia, aku percayakan padamu."

"Iya, serahkan padaku."

Yang keluar menggantikan Mio adalah Sofia.

Sejak seribu tahun lalu, gelar yang diberikan kepada Sofia adalah "Archangel". Itu adalah gelar tertinggi yang diberikan kepada pemimpin tertinggi kaum malaikat yang ahli dalam sihir.

"Wow, sihir yang membutuhkan mantra ini cukup imut, ya."


Saat sejumlah jarum es meluncur ke depan, Sofia tersenyum sambil mengedipkan mata, lalu menepuk jari-jarinya. Dalam sekejap, di sekitar Sofia muncul beberapa bola api [Fire Ball].

"Eh?! Kamu bisa menggunakan sihir?! Dan, itu… itu tadi sihir apa, ya?!"

"Ngapain harus terkejut hanya karena ini?"

Kelima bola api yang dilepaskan Sofia dengan presisi itu menghancurkan jarum es yang meluncur ke arahnya.

"Kenapa kamu bisa menggunakan sihir tanpa mantra yang seharusnya sudah hilang? Mungkin selama ini kamu berpura-pura tidak punya kekuatan magis agar bisa menyembunyikan itu?"

"Aku tidak akan melakukan hal norak seperti itu. Lagipula, sihir tanpa mantra yang sudah punah ini, sepertinya, sudah sangat jarang digunakan selama seribu tahun ini. Kalau dilihat dari situ, yang bisa muncul tanpa mantra itu cuma sihir peningkat kekuatan fisik yang mengaktifkan tubuh dengan energi magis."

Sofia berkata tanpa peduli dengan kebingungan Cecile, seolah-olah tidak mempedulikan apa yang dirasakan lawannya.

"Bagaimana kamu bisa menguasai sihir tanpa mantra itu?"

"Karena aku bisa, ya... cuma itu saja, tidak ada yang lebih dari itu yang mau aku bagikan."

"Begitu, tapi aku nggak akan mengakui kekalahan cuma karena kamu bisa menggunakan sihir tanpa mantra. [Ice Lance], [Ice Lance], [Ice Lance]!!"

Seperti membentuk barisan dengan tombak es, Cecile menyerang dengan tombak es yang berbaris rapih.

"Kalau melihat dari fakta bahwa kamu tidak pernah menggunakan kekuatan fisik untuk mendekat, aku yakin kamu kurang percaya diri dengan jumlah kekuatan magismu. Dan sekarang, kamu menyerang dengan [Ice Lance] tingkat kedua. Lebih kuat dari [Ice Needle] tingkat pertama. Kalau aku harus menebak, menggunakan sihir sebesar ini pasti membuatmu cukup kelelahan."

"Hmm, tebakan yang bagus. Memang ada alasan tertentu aku perlu menghemat konsumsi kekuatan magisku."

"Kalau begitu, ini akhir dari pertarungan! Tembuslah!!"

Ribuan [Ice Lance] dilepaskan ke arah Sofia. Saat Maia, yang menjadi wasit, hendak mengumumkan bahwa ini adalah akhir, Sofia tersenyum lembut.

"Tapi, jika dikerjakan secara kasar, ada banyak cara untuk melakukannya."

Dari tangan kanan Sofia yang diangkat, muncul ledakan api besar yang menyerap seluruh tombak es tersebut.

"Ah?! Itu… itu adalah [Fire Blast] tingkat ketiga?!"

"Aku rasa, bakatmu nggak jelek, tapi cara mengoperasikan sihirmu terlalu ceroboh. Kalau mau menembakkan dari depan saja nggak cukup, kamu tahu?"

Melihat Cecile yang terlihat terkejut dan terbelalak, Sofia memutuskan untuk melakukan sihir lanjutan. Tanpa bergerak sedikit pun, Sofia langsung berpindah ke belakang Cecile.

"Kamu terlalu ceroboh. Selalu panik dan bergerak saat bertarung menunjukkan bahwa kamu masih sangat belum matang."

Tiba-tiba, suara itu membuat Cecile panik dan berbalik. Tapi, anehnya, Sofia yang sebelumnya berada di depan, sekarang ada di belakangnya. Keadaan itu membuat Cecile bingung dan gelisah.

"Kamu lihat ke mana? Aku di belakangmu."

Cecile yang mendengar suara itu, dengan cepat mengambil jarak, merasa bingung dan tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

"Itu… itu tadi 【Sonic Move】?! Tidak, aku yakin aku seharusnya bisa merasakan kehadiranmu. Tapi, kamu nggak menyadarkan aku sama sekali, jadi… apakah itu… 【Teleport】 yang legendaris itu?!"

Bukan sihir tingkat pertama atau kedua yang bisa digunakan oleh siswa sekolah ini, dan juga bukan sihir tingkat ketiga yang hanya bisa dilakukan oleh alumnus yang jauh lebih hebat. William, yang mampu menampilkan sihir yang jauh melampaui tingkat itu tanpa mantra, membuat teman-teman sekelas yang menyaksikan dengan kagum berseru.

“Eh?! Itu… itu bukanlah senjata terlemah, kan?!”

“Kenapa dia bisa menggunakan sihir sehebat itu seperti nggak apa-apa?!”

Menonton dari kejauhan, semua orang yang tahu bahwa sihir terlemah yang dikenal di seluruh negeri sedang diluluhlantakkan oleh seorang jenius, tak bisa tidak merasa terkejut.

"Kamu… benar-benar William, kan?!"

Melihat kekuatan yang jauh berbeda dari yang diperkirakan sebelumnya, Cecile mulai meragukan identitas William.

"Aku tinggal menyelesaikan saja. Ku serahkan padmu, Iris."

"Iya, aku akan mengakhiri dengan gaya yang mencolok."

Yang menggantikan Sofia adalah Iris. Gelar yang diberikan padanya seribu tahun lalu adalah “Raja Iblis”. Gelar itu terkenal sebagai gelar tertinggi di antara kaum iblis, makhluk terkuat.

"Selama ini kamu menyembunyikan kekuatanmu, ya. Aku nggak tahu alasan apa, tapi aku benar-benar tertipu."

Mendengar kata-kata Cecile, Iris yang menempati tubuh William tersenyum.

"Tak bisa disangkal bahwa kamu berpikir begitu, dan aku tidak keberatan kalau kamu merasa seperti itu."

"William, dari semua latihan yang sudah kita jalani, aku tahu bahwa sihir dan keahlian pedangmu sangat luar biasa. Tapi, inti dari seorang penyihir adalah kemampuan menggabungkan kedua kekuatan itu dan bertarung dengan kemampuan gabungan. Dan, karena kamu terlalu mengandalkan bakat dan tidak cukup melatih diri, aku bisa lihat dari bentuk tubuhmu. Itu adalah kelemahanmu."

"Apa yang akan kamu lakukan?"

"Aku akan menggabungkan semua kekuatanku saat ini untuk menyerang tanpa henti, dan menciptakan celah agar aku bisa melancarkan serangan mematikan."

"Hmm, ide itu bukan buruk, tapi aku merasa itu akan membosankan."

"Bosan?!"

Di depan Cecile yang tampak gelisah dan cemas, Iris tersenyum sinis.

"Ya. Kamu mungkin berpikir bahwa aku akan lengah, tapi seberapa besar usaha yang kamu lakukan, aku nggak akan memberi celah sedikit pun. Kalau aku mau, aku bisa mengatasi semuanya tanpa harus bergerak dari tempat ini."

Terdengar suara nafas tertahan dari Cecile.

Meskipun kedua pihak bertarung dengan kekuatan yang terkenal sebagai yang terlemah dan jenius sihir, situasi yang berlangsung jauh berbeda dari prediksi awal.

Siapa pun bisa melihat siapa yang lebih unggul, dan orang yang paling merasakan hal itu adalah mereka yang sedang bertarung.

Mata jenius sihir itu jelas melihat monster yang melampaui imajinasi.

"Tak perlu terlalu tegang. Kamu berani menantang aku, dan aku akan memberitahumu seberapa luas dunia ini. Jadi, lemparkan serangan terbaikmu."

Iris berkata dengan penuh percaya diri.

"Kamu bicara seperti seorang penyihir besar. Tapi, saat ini, jarak antara aku dan kamu sangat besar sehingga aku harus membiarkanmu menerima kenyataan itu. Tapi aku akan membuatmu menyesal karena lengah!"

Cecile mengangkat pedang ksatrianya ke depan dada, bersiap.

"Aku berdoa agar dunia ini membeku dalam keheningan, segala sesuatu membeku dan yang tersisa hanyalah keheningan. Semua makhluk hidup akan terperangkap dalam kesedihan yang fana. Hadirlah, bunga es dari nol mutlak!"

Dengan segenap kekuatan yang tersisa, Cecile menampilkan bunga es dari suhu nol mutlak. Kelopak bunga es yang membawa dingin yang membekukan seluruh arena ini secara perlahan mulai membekukan segala sesuatu di sekitarnya.

"Eh?! Itu… itu mendekat ke sini?!"

"Kita… kita akan terlibat?! Lari, lari!!"

Murid-murid sekolah yang menyaksikan panik mundur menjauh, sementara Iris yang terkena dingin tetap teguh dan tidak mundur sedikit pun.

"Huh, itu adalah 【Blizzard Blossom】 tingkat keempat. Kalau kamu mengerahkan kekuatan magismu sebanyak itu, kamu kemungkinan besar nggak akan mampu berdiri lagi setelah munculnya sihir ini."

"Benar, aku memanfaatkan kekuatanku sebaik mungkin. Sekarang, aku akan serang 【Blizzard Blossom】!!"

Kelopak bunga es dari suhu nol mutlak meluncur menyerang Iris.

"Ini mulai menarik. Baiklah, bocah, perhatikan baik-baik. Ini adalah inti dari kekuatan yang akan kamu miliki nanti!"

Iris yang meningkatkan kekuatannya secara tiba-tiba mulai membakar seluruh kekuatan magis yang dimiliki William, menyiapkannya untuk mengubahnya menjadi sesuatu yang luar biasa. Tak lama kemudian, aura hitam yang melampaui kekuatan magis dari tubuh William muncul, berkumpul di pedang ksatria yang dipegangnya.

"A?! Apa… apa kekuatan magis yang begitu dahsyat itu?!"

William sendiri tidak memahami betapa bahayanya kekuatan itu. Sementara itu, Cecile yang menghadapi lawan dengan kekuatan luar biasa, tampak seakan-akan wajahnya terserap oleh kekuatan yang tak bisa dia bayangkan.

"Ingatlah ini: seberapa besar pun rasa bangga dan kekuatan yang kamu miliki, semuanya akan kembali ke nol di hadapan kekuatan yang melampaui segalanya!"

Iris yang mengayunkan pedang ksatria yang dikelilingi aura hitam itu. Tak lama kemudian, aura itu berubah menjadi serangan berkilauan yang melesat dan memotong semua yang dilalui. Setelah jeda sekejap, bunga es raksasa itu pecah berkeping-keping seperti mengingatkan bahwa mereka telah terluka dan runtuh.

"Tidak… tidak mungkin?! 【Blizzard Blossom】 hancur?!"

"Serangan itu tidak buruk. Kalau aku bukan dia, mungkin dia bisa berjuang lebih keras lagi."

Tak lama setelah itu, Cecile, yang telah kehabisan kekuatan magis, jatuh terlentang. Pada saat yang sama, pedang ksatria milik William yang tidak mampu menahan kekuatan Iris pun pecah menjadi kepingan kecil.

“Pemenangnya, William!!”

Suara penilaian Maia bergema di arena yang sunyi.


Ayo, sekarang aku tidak perlu khawatir lagi tentang masa depan.

William, yang berhasil memenangkan pertandingan sihir, tidak menyadari apa yang telah dia lakukan. Dia dengan semangat meninggalkan panggung. Tapi, setelah turun dari panggung, suasana teman sekelas dan guru-guru di sekitarnya menjadi aneh. Entah kenapa, mereka semua menunjukkan kebingungan yang luar biasa terhadap William. Ada yang membuka mulut tanpa suara, ada yang menatap dan langsung pingsan.

(Apa mereka melakukan sesuatu yang aneh? Kenapa semua terlihat bingung begini?)

Biasanya, mereka yang biasanya meremehkan dan menganggapnya sebagai senjata terlemah tidak ada yang menghina dia. Keadaan ini aneh dan membuat William merasa tidak nyaman.

"Tidak ada yang aneh dari kejadian ini. Yang kalah cuma yang lebih kuat saja."

(Benar juga.)

William yang bingung memijat kepalanya, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Sekali lagi, William yang selama ini menjalani hidup tanpa kekuatan magis, tidak pernah terlibat dalam dunia sihir secara langsung. Dia tidak tahu seberapa kuat penyihir di akademi, apa standar kekuatan sihir yang umum digunakan, atau dasar-dasar pengetahuan tentang sihir.

Entah kenapa, suasana sekitar terasa aneh—tapi, setidaknya dia berhasil menghindari dropout, jadi ya sudah.

Di tengah kebingungannya, Zest yang tampak sangat marah berlari mendekat.

“Kamu… kamu sadar apa yang baru saja kamu lakukan?!”

“Apa? Aku cuma menampilkan hasil bagus dalam ujian praktek, kan?”

“Bukan itu!! Kamu baru saja mengalahkan Ksatria Es, dan lebih jelasnya lagi, orang yang diakui sebagai jenius sejati! Dan juga, apa yang kamu lakukan selama pertarungan itu… Banyak banget hal yang nggak bisa aku jelaskan karena terlalu gila dan luar biasa!”

Melihat Zest yang sangat bersemangat, William masih belum merasa bahwa ini hal besar.

(Apa sih yang sebenarnya terjadi? Meski ada julukan “Kecil” itu, aku juga seumur mereka.)

"Aku merasa ada potensi dari gadis kecil itu."

"Mungkin, situasi penilaiannya cukup tepat."

"Aku rasa, teknik pedangnya juga nggak buruk."

(Jadi, mereka cukup hebat sampai bisa melihat potensi itu.)

Meski mendengar penilaian dari Iris dan yang lainnya, William yang menganggap bahwa mereka bisa menang dalam situasi tiga lawan satu, masih belum menyadari apa yang sebenarnya mereka lakukan.

“Apa sih yang membuatmu bisa mengalahkan jenius terkenal itu? Kapan kamu bisa menemukan kekuatan magismu?”

“Eh, itu… sebenarnya…”

Karena tidak menyiapkan alasan, William bingung harus berkata apa. Tapi dari cara Zest dan teman-temannya berbicara, sepertinya mereka bukan sekadar membohongi—mereka benar-benar menganggap bahwa William dan yang lainnya luar biasa. Maka, William mulai mengoreksi penilaiannya terhadap Iris dan yang lainnya.

“Aku juga pengen tahu, sebenarnya apa yang terjadi…?”

Suaranya datang dari Cecile yang baru saja selesai bertarung.

“Apakah kamu sudah bangkit lagi? Kamu merasa cukup baik setelah kehabisan kekuatan magis?”

“Kekuatanku habis karena terlalu banyak menggunakan kekuatan magis, jadi aku baik-baik saja. Tapi, ngomong-ngomong, kapan kamu sadar kekuatan magismu?”

Dua orang menanyakan hal yang sama, dan William semakin merasa bahwa mereka pasti melakukan sesuatu yang besar—atau bahkan, melakukan sesuatu yang tidak biasa.

“Eh… itu, sebenarnya…”

William ragu-ragu mengungkapkan kenyataannya di hadapan Cecile yang memberikan tekanan besar dan membuatnya sulit mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi.

“Hari ini.”

“Hari… ini?”

Keduanya mengulangi dengan suara serempak. Kemudian,

“Eh?! Kamu, aku nggak percaya… hari ini kamu sadar kekuatan magismu?!”

“Y-ya, benar….”

【Detect Life】?! Huh?! Tidak! Ini nggak mungkin… 【Detect Life】【Detect Life】【Detect Life】?! Gak, ini beneran hari ini?! Aku nggak bisa mengerti apa yang sedang terjadi!”

Zest yang menggunakan sihir untuk mengungkap kebohongan tampak terkejut dan wajahnya tersungging.

“A-apa… bagaimana kamu bisa mendapatkan kekuatan sehebat itu?!”

“Eh?! Apa?! Hari ini, kamu bilang?!”

“Kekuatan pedang yang melampaui kekuatan fisik, sihir tanpa mantra yang sudah hilang di zaman modern, dan serangan dari aura misterius—semuanya menunjukkan bahwa dia memiliki kekuatan yang jauh melebihi orang biasa.”

Apakah… apakah sebenarnya itu bukan hal biasa?!

Pada saat ini, William mulai mengingat kembali semua ucapan dan tindakan sebelumnya.

Iris yang mengklaim bahwa kemenangan karena tiga lawan satu adalah hal yang wajar, dan William yang mempercayainya.

Tapi, sepertinya pemahaman itu salah. Dengan asumsi bahwa dia melakukan sesuatu yang luar biasa, William melakukan simulasi dalam pikirannya.

Tidak, ini nggak boleh! Kalau aku memberi tahu, pasti mereka akan menganggapku orang gila! Atau, sebenarnya mereka itu nggak bohong, dan semuanya benar-benar luar biasa?! Aku nggak percaya banget, ini gila!

Jujur saja, William sama sekali tidak tahu seberapa hebat Iris dan yang lainnya. Karena dia tidak pernah belajar sihir secara serius, dia tidak tahu berapa kekuatan penyihir dewasa atau tokoh-tokoh besar seperti penyihir agung yang disebut-sebut sebagai orang kuat.

Tapi, yang jelas,

William tahu bahwa Iris dan yang lainnya melakukan sesuatu yang luar biasa. Kalau begitu, tentu saja, dia penasaran dengan identitas mereka. Tapi, kalau dia menanyakannya di sini dan mereka memberikan jawaban yang dia duga, dia nggak yakin bisa tetap tenang di depan Cecile dan yang lainnya.

“Maaf, aku… aku harus pergi mendadak.”

“Eh?! Tunggu, William! Jangan pergi dulu!”

William mengabaikan cegahan Cecile dan berlari meninggalkan arena dengan wajah pucat.

William yang lari kembali ke atap, menatap ke arah mana saja tempat dia bisa bersembunyi—dengan keringat dingin di dahi, dia menatap sekelilingnya, hanya bisa melihat hantu-hantu yang menyebut diri mereka pahlawan suci.

“Siapa kalian… sebenarnya kalian siapa?!”

Aku pernah bertanya hal yang sama sebelumnya, tapi kali ini, kata-kata yang keluar dari mulutku terasa berbeda—berat dan penuh makna.

"Kamu tahu sendiri, kan? Itu pasti pahlawan suci zaman gelap yang kamu sebutkan."

“J-jadi, kamu benar-benar raja iblis yang asli?!”

"Tepat sekali. Aku memang raja iblis."

Melihat Iris yang dengan santai mengiyakan, William tak bisa menahan teriakan.

“Gyaaaaaaaa! Kenapa kamu harus bilang hal penting kayak gitu belakangan?! Kenapa nggak bilang dari awal?!”

"Kamu nggak percaya, kan? Aku sudah bilang, aku pasti raja iblis."

“Ugh… I-ya, aku minta maaf. Aku nggak bermaksud meremehkan.”

"Kalau begitu, maafkan aku juga. Bersyukurlah karena aku bersikap murah hati."

Kenapa raja iblis seribu tahun lalu, malaikat agung, pedang suci, dan bawahan raja iblis bisa saja menempel di aku… Ini pasti hal yang sangat buruk.

Karena merasa terjebak dalam situasi aneh, William secara otomatis mencoba bersikap biasa-biasa saja dan berpikir, Ini mungkin bukan hal yang bagus. Dengan cepat, dia menyadari bahwa dia harus segera memutuskan hubungan dengan mereka yang menyebalkan itu, dan dengan nada biasa saja, dia memutuskan untuk mengatakannya secara langsung tanpa basa-basi.

“Begini, aku… aku berterima kasih karena kalian sudah membantu, meskipun aku punya banyak hal yang ingin aku katakan. Tapi, tolong, lakukan saja apa yang seharusnya dilakukan.”

William yang hendak berbalik dan meninggalkan tempat, berusaha pergi dari atap. Tapi, sebelum dia sampai di pintu, sebuah lingkaran sihir tiba-tiba muncul di bawah kakinya, dan rantai-rantai yang keluar dari sana segera membelit tubuhnya.

“Eh?! Lepasin aku! Aku… aku nggak ada hubungannya lagi!”

"Jangan sembarangan ngomong kayak gitu. Ini kontrak, di mana kalian meminta bantuan kami agar kami mau bekerja sama denganmu."

“Eh… kalau aku bilang, aku nggak mau kalian repot-repot membantu, dan kalian pulang aja?”

"Kalau begitu, kami akan menghancurkanmu di tempat ini."

Mata Iris yang serius menunjukkan bahwa dia benar-benar serius.

“Y-ya, aku mengerti. Jadi, aku harus apa untuk bekerja sama? Untuk jaga-jaga, aku nggak bisa mati, jadi jangan paksa aku juga, ya.”

Setelah rantai-rantai itu terlepas, William bertanya, dan Iris serta yang lainnya saling memandang sebentar, lalu diam.

“Eh?! Kenapa kalian saling memandang kayak gitu di saat seperti ini?! Apakah kalian benar-benar berencana membunuhku?!”

"Kami tidak bermaksud begitu, tapi itu bisa jadi makna yang sama. Kami ingin kamu menjadi murid kami."

“Menjadi murid? Kenapa itu berhubungan sama nyawaku?! Apakah kalian sebenarnya makhluk yang memberi kekuatan luar biasa kepada kontrak?” 

"Kami akan memberi kekuatan, tapi tidak gratis. Ada syaratnya, yaitu membuat kontrak sihir, seperti yang sudah aku katakan sebelum ujian praktik."

Kalimat itu membuatku semakin merasa nggak enak.

"Sebenarnya, di dunia ini ada makhluk yang disebut “penyala” yang mampu seimbang atau bahkan mengalahkan kami. Mereka yang pernah kita bicarakan sebagai para pelaku kejahatan terbesar dan tersadis dalam sejarah—itulah para penyala. Dan, kami dan para penyala ini ditakdirkan untuk saling bertarung. Jadi, kamu juga akan bertarung bersama kami, sebagai murid kami."

“J-jangan… jangan tentukan masa depanku secara sembarangan! Aku nggak punya keberanian buat begitu!”

William tanpa ragu menolak kondisi yang terlalu berbahaya itu.

“Selain itu, pembicaraanmu itu nggak masuk akal. Aku nggak pernah dengar ada makhluk hebat seperti kalian yang berkeliaran di dunia ini. Apa kalian selama ini sebenarnya dikurung dan dihancurkan saat itu?”

"Tidak mungkin makhluk yang bisa seimbang atau bahkan mengalahkan kami akan binasa begitu saja. Dari sudut pandang kami, sangat aneh dunia ini masih ada dan berjalan normal, tapi satu hal yang pasti: Penjelajah Kesadaran pasti ada di dunia ini."

Dengan tegas mengucapkan itu, Iris membuat William yakin bahwa dia memang terjebak dalam skala yang sangat besar, sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.

"Baiklah, kita tunda dulu masalah ini. Sekarang, aku akan bicara soal menjadi muridmu."

“Tidak, itu penting juga. Kamu bisa cerita tentang Penjelajah Kesadaran sekarang, kan?”

"Hah, itu juga masuk akal. Tapi—"

"Oh, kamu nggak tahu? Gadis itu punya rahasia yang nggak bisa diungkap ke orang lain."

Gadis yang mewakili Iris, Sofia, menyela dengan suara ceria.

“Gadis kayak kalian, umur biologisnya pasti jauh lebih tua dari yang kalian akui, kan?”

"Apa apaan sih, aku ini dari ras malaikat. Jadi, persepsi soal umur itu berbeda dari ras manusia. Omong-omong, umurku berhenti saat aku jadi gadis yang malu-malu."

"Memang sih, kedengarannya konyol. Aku ini dari ras iblis, tapi jiwaku selalu dipenuhi semangat."

"Kalau dihitung dari seribu tahun, itu kan masa saat aku dikurung. Kalau kecuali masa itu, aku ini ras manusia, jadi umurnya sekitar satu tingkat di atasmu."

"Heh, dasar, Mio!"

"Memang, kamu curang banget, ya."

"Ehh, aku nggak curang atau licik sama sekali. Aku cuma bicara soal umur secara jujur. Kalau dihitung serius, Lis dan Fia jauh lebih tua dari aku, lho."

"Apa?! Apa yang kalian katakan?!""Apa?! Kamu bilang apa?!"

Iris dan kawan-kawan mereka tertawa riang, bergurau satu sama lain.

Saat William mencoba langkah mundur, berpikir mungkin dia bisa lolos, Iris yang menatap tajam langsung menatapnya.

Gagal kabur. Sekarang, pilihan William cuma tinggal tunduk atau melawan.

"Kami ingin tahu jawabanmu segera."

“Nggak, aku… aku nggak akan kerja sama… Aku nggak mau punya hubungan sama makhluk berbahaya kayak kalian.”

"Kalau kamu jadi murid kami, kamu bisa jadi makhluk terkuat. Kenapa kamu nggak mau?"

“Seumur hidup ini, aku cuma dianggap senjata terlemah tanpa kekuatan magis. Sekarang, aku nggak tertarik jadi yang terkuat.”

"Kelihatannya kau keras kepala banget, ya. Kamu termasuk yang langka."

"Orang zaman sekarang sulit diurus. Saat aku kecil, aku juga ingin jadi yang terkuat."

"Atau mungkin, Wil, ini cuma karena kamu memang istimewa saja."

"Ini permintaan dari Iris-sama. Kalau kamu dengar baik-baik, kenapa nggak coba?"

“Ngak, aku bilang aku nggak mau.”

William menolak dorongan dari Rain dan berusaha keras untuk menolak secara tegas.

Sebagai anak muda tanpa kemampuan dan tanpa harga diri, dia nggak mau dipukul, tapi juga nggak mau terjebak dalam masalah. Kalau bisa, dia ingin menghindari semuanya.

Dia sudah berhasil lolos dari hukuman drop out, jadi yang dia butuhkan hanyalah melewati situasi ini dan kembali ke kehidupan malas di sekolah… 

Saat William berusaha menunggu dan berharap mereka akan pergi, Sofia tersenyum nakal seperti punya rencana.

"Kalau begitu, bayar dulu hutangmu."

“A-ya, kalau cuma soal ujian praktik sih, aku bersedia.”

William berpikir, selama mereka membantu mencegah dia di-drop out, dia nggak akan menganggap hutangnya belum lunas. Itu sepertinya solusi terbaik.

"Kalau gitu, buat janji sebagai murid kami dan berjanji akan jadi yang terkuat."

Sofia lalu melakukan sesuatu dengan sihir. Sekilas, cahaya lembut muncul dari tubuh William, dan terlihat seperti rantai yang menghubungkan dari jari Iris ke jantung William.

“Eh?! Apa yang kalian lakukan?!”

William, yang khawatir ada sesuatu yang buruk terjadi, melihat Sofia tersenyum puas.

"Ini sihir janji. Kalau orang yang terkena sihir ini melanggar janji, jantungnya akan berhenti. Kalau kau melanggar janji ini, hatimu akan berhenti."

“Eh?! Keji sekali! Ini penipuan dan pengkhianatan, kan?! Apakah ras malaikat boleh menipu manusia?!”

"Hah, kamu nggak paham, ya? Nggak ada yang berbohong di sini. Ini cuma penyalahgunaan janji, dan sebagai ras malaikat, aku nggak merasa malu sama sekali."

William merasa marah dan bingung, tapi dia nggak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang.

Di hadapan William yang terpaku tak mampu berkata apa-apa, Iris dan yang lainnya mulai membicarakan sesuatu.

"Hei, ini terlalu memaksakan, nggak sih?"

"Gak apa-apa, kan aku sudah membuat dia kontrak, kan?"

"Itu memang benar, tapi…"

"Hah, meskipun agak paksa, aku rasa ini langkah yang tepat. Pokoknya, kita harus buat William jadi murid kita."

"Hmm, iya juga sih."

“Eh?! Tunggu dulu, itu nggak benar sama sekali!!”

Meskipun tampak setuju, Iris kembali tersenyum tanpa beban.

"Sekarang, aku akan tambahkan pendukung buatmu, yang akan membantumu secara mental sebagai muridku."

Rain, yang didorong dari belakang oleh Iris, memerah dan tampak bingung.

"Eh?! Aku… aku harus mendukung orang seperti kamu?!"

"Iya. Mungkin ini agak keras buatmu, tapi kamu memang perlu bantuanku."

"…Baiklah. Aku berjanji akan mendampingi William dan membantu urusannya dari sekarang."

Eh?! Kenapa semua keputusan ini diambil seenaknya?! 

William berusaha keras menyela agar obrolan ini tidak berlanjut, tapi karena Iris terus memaksa dan tidak ada yang membela, dia tahu bahwa berontak sama saja buang-buang tenaga.

Iris dengan senyum lebar menunjuk ke arahnya.

"Mulai sekarang, kamu akan menjadi murid kami dan berusaha menjadi penyihir terkuat di dunia."



Post a Comment

Join the conversation