Proofreader: Lucretia
Bab 5 : Kencan Dan Ujian
“Selamat pagi, Rest-kun.”
“Selamat pagi, Rest-sama.”
“Sa-selamat pagi… Viola-san, Primula-san.”
Melihat dua gadis cantik di depannya, Rest menelan ludah karena gugup.
Gadis cantik berambut pirang dengan gaun one-piece merah—Viola Rosemary.
Gadis cantik berambut perak dengan gaun one-piece biru—Primula Rosemary.
Dua gadis luar biasa cantik itu tampil anggun dalam pakaian elegan, berdiri menunggu Rest.
(Seriusan…? Aku benar-benar akan pergi kencan sama mereka…!?)
Ungkapan berkah yang terlalu besar untuk diterima rasanya cocok menggambarkan keadaan Rest saat ini.
Ini adalah keberuntungan yang nyaris tak masuk akal. Ia bahkan masih merasa ini semua hanya mimpi.
Hari itu, Rest dijadwalkan pergi berbelanja bersama Viola dan Primula. Singkatnya… kencan.
Karena Rest sudah berusaha keras belajar dan berlatih, dua bersaudari itu yang justru mengundangnya.
(K-kalau mereka yang ngajak duluan… jangan-jangan ini emang beneran kayak gitu…?)
Rest tidak punya pengalaman cinta. Bahkan di kehidupan sebelumnya sekalipun, ia belum pernah pacaran.
Meskipun begitu… dari perlakuan istimewa dan kontak fisik berlebihan yang ia terima, dia mulai menyadari bahwa Viola dan Primula mungkin punya perasaan padanya.
(Tapi kenapa… kenapa harus aku? Memang, aku pernah nyelametin mereka, tapi masa cuma gara-gara itu gadis secantik mereka berdua bisa suka sama aku…)
“Makanya, cukup panggil nama aja, ya? Aku kan udah bilang dari dulu.”
“Baiklah… Viola.”
“Rest-sama, aku juga.”
“Ya… Primula.”
Begitu Rest memanggil mereka tanpa embel-embel, keduanya tersenyum malu dengan wajah bahagia.
“Ngomong-ngomong, Rest-kun. Apa kamu nggak punya sesuatu yang mau kamu bilang ke kami?”
“Rest-sama… setelah lihat penampilan kami, nggak ada komentar sedikit pun?”
Mereka berdua menatap Rest seolah menunggu sesuatu.
“Ah…”
Menangkap maksud dari tatapan itu, Rest pun memerah.
Meski begitu, ia menarik napas, berdeham pelan, lalu memaksakan diri mengucapkan kalimat yang belum pernah ia katakan seumur hidupnya.
“U-umm… ka-kalian kelihatan sangat cocok pakai itu. Kalian berdua… se-indah peri…”
“……!”
Mendengar kata-kata itu, ekspresi Viola dan Primula berubah haru.
“Senangnya… makasih ya!”
“Aku… benar-benar senang sekali…!”
Keduanya kemudian berpegangan tangan dan melompat-lompat kegirangan.
Benar-benar menggemaskan. Ujung gaun mereka yang melayang saat melompat membuat mereka benar-benar terlihat seperti peri.
“Ugh…”
Itu jawaban yang benar. Pilihan yang tepat. Tapi tetap saja… rasa malunya luar biasa.
Rest tidak menyangka kalau memuji pakaian seorang gadis bisa terasa se-malu itu.
(Mereka senang sih… tapi gawat, mukaku pasti merah banget sekarang…)
“Kalau begitu, ayo kita berangkat! Kencannya dimulai!”
“Ayo, Rest-sama!”
“Wah—!”
Kedua saudari itu menggenggam tangan Rest dari kanan dan kiri, lalu menariknya pergi.
Tak bisa melawan, Rest hanya bisa pasrah ditarik berjalan menyusuri jalan utama ibu kota.
Karena status bangsawan, biasanya kedua gadis itu menggunakan kereta saat bepergian.
Namun hari ini, karena ini adalah kencan, mereka memutuskan untuk berjalan kaki.
Meskipun sudah sampai di tengah kota, keduanya masih enggan melepaskan tangan Rest. Akibatnya, orang-orang di sekitar mulai menatap mereka—lebih tepatnya, menatap Rest—dengan rasa ingin tahu dan cemburu.
“Rest-kun, kamu ada sesuatu yang ingin dibeli?”
“Enggak sih, cuma… soal tangan ini…”
“Kalau begitu, mau menemani aku dan kakak belanja?”
“Y-ya, nggak masalah sih… tapi soal tangan…”
“Ayo, ikuti kami!”
Rest hendak menyarankan agar mereka melepaskan tangan, tapi tak diberi kesempatan bicara.
(Jadi… kencan itu kayak gini? Jalan sambil terus gandengan tangan?)
Karena kurangnya pengalaman, dia benar-benar tidak tahu.
Padahal sejujurnya… kondisi dua lawan satu seperti ini pun sudah luar biasa tidak umum.
“Toko ini, nih.”
Keduanya membawa Rest ke sebuah toko barang-barang lucu dengan tampilan luar yang stylish.
Dari depan toko, gadis-gadis seusia mereka terlihat keluar masuk tanpa henti. Sepertinya toko itu memang populer di kalangan remaja putri.
“Toko ini direkomendasikan temanku, dan aku memang pengen banget ke sini.”
“Sesuai dengan yang dibilang orang-orang, ya. Toko ini memang imut. Yuk, masuk.”
Mereka bertiga pun melangkah ke dalam toko.
Interiornya se-stylish tampilan luarnya, dengan rak-rak penuh pernak-pernik, aksesori, dan boneka lucu.
“Wah… lengkap juga, ya.”
“Benar, kan? Toko ini memang terkenal di ibu kota!”
Viola menjawab dengan bangga sambil membusungkan dada, membuat bagian kain merah pada gaunnya ikut bergoyang. Refleks, Rest pun buru-buru mengalihkan pandangan.
“Lihat deh, Kak. Boneka ini lucu banget, ya?”
“Iya, benar. Ini yang bentuknya beruang, yang itu kucing… yang ini burung aneh, ya?”
“Tatapannya tajam dan aneh, tapi… entah kenapa, jadi lucu juga.”
“……Sepertinya itu burung shoebill.”
Rest menjawab rasa penasaran kedua saudari itu.
Boneka yang dipeluk Primula adalah tiruan dari burung bernama shoebill—dikenal dengan tatapan tajam dan ekspresi datar yang khas.
(Kenapa burung ini ada di dunia ini juga…? Yah, ya sudahlah. Tapi yang bikin boneka ini, selera humornya unik juga…)
Entah siapa penciptanya, tapi tampaknya di dunia ini pun ada orang-orang dengan selera yang aneh.
Kedua saudari itu mengambil boneka dan aksesori satu per satu, suara mereka riang penuh semangat.
“Hmm…?”
Di tengah keramaian itu, pandangan Rest tiba-tiba tertarik pada sebuah benda kecil.
Sebuah sisir rambut dengan hiasan permata mungil. Tidak mencolok, tapi punya kesan elegan dan harganya juga cukup terjangkau.
“Oh…”
Sisir itu tersedia dalam dua warna: merah dan biru. Tanpa sengaja, warnanya sama persis dengan warna baju yang dikenakan oleh dua bersaudari itu. Sambil melirik mereka yang sedang asyik belanja, Rest mengambil kedua sisir tersebut.
(Harganya lebih murah dari yang kukira… Ini masih bisa kubeli.)
Rest bergumam pelan, “Hmm…”
(Selama ini aku sudah banyak merepotkan mereka… Kalau bisa membalas kebaikan mereka, itu lebih baik.)
Gaji sebagai calon butler-nya masih utuh.
Karena tinggal di dalam rumah, dia tidak perlu biaya hidup. Dan sejak kehidupan sebelumnya pun, dia sudah terbiasa hidup hemat dan tidak punya hobi yang perlu dana.
Jadi, kalau untuk hadiah bagi dua gadis ini, ini adalah penggunaan uang yang cukup masuk akal.
(Masalahnya… aku belum pernah kasih hadiah ke seorang gadis sebelumnya…)
Dengan dua sisir di tangan, Rest mengerutkan kening, tampak bingung.
(Hmm… kira-kira gimana ya bilangnya? Soalnya ini bukan ulang tahun atau hari khusus… bilang karena sering dibantu, gitu?)
Lagipula… meski desain sisir itu bagus, tetap saja barang murah yang ditujukan untuk rakyat biasa.
Apa pantas memberikan sesuatu seperti itu ke dua orang gadis bangsawan?
(Memang sih, mereka nggak akan bawa ini kemana-mana, jadi bukan masalah besar kalau murah… Tapi aku yakin mereka pasti punya sisir yang jauh lebih bagus dari ini…)
“Rest-kun, kamu lagi lihat apa?”
Saat Rest masih galau, Viola tiba-tiba mengintip dari balik bahunya.
“Wah, sisirnya cantik juga.”
“Benar, meskipun permatanya kecil, desainnya anggun banget.”
“Uu…”
Primula juga tampak tertarik dan ikut menatap ke arah tangannya.
Dan pada titik ini… Rest sudah tidak bisa mundur.
“…A-aku mau memberikan ini.”
““Eh?””
“Buat kalian berdua… maksudku, aku ingin membelikan ini…”
Dengan terbata-bata, Rest memaksakan kata-katanya keluar.
Dia tahu tanpa harus bercermin—wajahnya sudah semerah tomat.
(G-gawat… ternyata ngasih hadiah ke gadis itu memalukan banget…!)
“Ka-kamu mau… memberikan ini ke kami?”
“Rest-sama… ingin memberi kami hadiah…?”
Viola dan Primula menatapnya dengan mata terbelalak kaget.
Meski kepribadian mereka sangat berbeda, saat menunjukkan ekspresi seperti ini, kelihatan sekali bahwa mereka memang saudara kembar.
“Y-ya… maksudku… kalau kalian nggak keberatan, sih…”
“Senang banget!”
“Aku juga senang!”
Kedua saudari itu berseru nyaris bersamaan.
Wajah mereka memerah seperti mawar mekar, dan senyum mereka seolah memancarkan kebahagiaan yang memenuhi seluruh dada.
Melihat ekspresi itu… Rest yakin kalau keputusannya tadi memang benar.
Setelah membeli sisir rambut di toko pernak-pernik dan meminta dibungkus rapi, ketiganya pun keluar dari toko.
Yang belanja hanya Rest. Viola dan Primula sama sekali tidak membeli apa-apa.
Rest sempat bingung—bukankah mereka tadi tampak ingin membeli sesuatu?
Namun kedua saudari itu tersenyum dan berkata, “Kalau beli yang lain, nanti rasa bahagianya jadi berkurang.”
(Senang sih karena mereka suka… tapi kalau sampai segitunya, jadi agak canggung juga…)
Dengan perasaan seperti itu, mereka pun berjalan menyusuri jalan utama, dan tujuan berikutnya adalah sebuah Restran.
Restran itu tak terlalu mencolok, tapi punya tampilan elegan dan suasana yang tenang, menyambut ketiganya dengan hangat.
“Restran ini juga aku tahu dari teman. Yuk, makan siang di sini saja,” kata Viola sambil masuk lebih dulu.
Rest dan Primula menyusul di belakangnya.
Begitu masuk, tampak sekitar setengah dari meja sudah tErisei. Para pengunjung, dari anak-anak sampai orang tua, tampak menikmati makanan sambil bercengkerama.
Tempat ini bukan Restran mewah, tapi bisa dibilang tempat yang cocok buat “sedikit memanjakan diri.”
“Selamat datang. Untuk tiga orang, ya? Silakan, kami antar ke meja dekat jendela.”
Seorang pelayan segera menyambut mereka dan mengantar ke meja.
Rest duduk berhadapan dengan saudari Rosemarie, lalu membuka menu.
“Rest-kun, pengin makan apa?”
“Minumnya mau yang mana, Rest-sama?”
“Hmm… aku sama seperti kalian. Tapi… oh?”
Rest memperhatikan menu yang dilengkapi gambar kecil dari tiap hidangan, dan pandangannya tertumbuk pada satu gambar.
“Ini… ini kayaknya cheese fondue, ya?”
Makanan di mana berbagai bahan seperti sayur dan daging dicelup ke dalam keju leleh panas—ya, cheese fondue ada di menu.
(Kelihatannya enak banget… tapi aku belum pernah punya kesempatan makan beginian… setidaknya, nggak selama hidupku.)
Dalam bayangan Rest, ini tipe makanan yang biasanya dimakan para orang kaya atau pasangan bahagia.
Sebagai mahasiswa kere di kehidupan sebelumnya, cheese fondue adalah dunia yang asing baginya.
“Oh, kamu pengin makan itu ya, Rest-kun?”
“Kelihatannya enak, aku juga nggak keberatan.”
Kedua saudari itu tersenyum melihat Rest yang terpaku pada menu.
Meski agak malu, rasa penasaran dan lapar membuat Rest tidak banyak berpikir. Dia menerima tawaran mereka dengan senang hati.
Setelah memanggil pelayan dan memesan makanan, sekitar sepuluh menit kemudian makanan dan minuman pun dihidangkan di meja.
“Wah…”
““Uwaa…””
Di tengah meja, ada panci Berisi keju leleh yang masih mengepul.
Tiga piring bahan makanan seperti roti potong kecil, sayuran rebus, dan sosis pun disajikan bersama.
“Kelihatannya enak banget…!”
“Aromanya menggoda… keju ini dicampur anggur ya?”
“Ayo, kita makan!”
Rest, Viola, dan Primula masing-masing mengambil garpu, lalu mencelupkan bahan makanan pilihan mereka ke dalam lelehan keju panas. Begitu masuk ke mulut, aroma dan rasa keju yang hangat langsung menyebar di seluruh rongga mulut.
“Panasss… tapi enak banget…!”
Rest mengunyah dengan mulut masih mengepulkan uap, berusaha menahan panas sambil menelan makanan berbalut keju itu.
Viola dan Primula juga menikmati cheese fondue mereka dengan antusias.
“Badanku jadi terasa hangat. Brokoli-nya enak banget.”
“Ubinya juga gurih, lho, Kak Viola.”
“Yang paling mantap sih… daging. Sosisnya luar biasa…”
Hanya keju, tapi rasanya luar biasa. Kelezatannya yang lembut dan kaya bikin Rest hampir terharu sendiri.
“Haf, haf…”
“Fufu, Rest-kun makan lahap banget. Kayak anak kecil aja… oh ya.”
Entah apa yang terlintas di kepalanya, Viola mencelupkan sayuran ke dalam keju dan menyodorkannya ke arah Rest.
“Nih, aaan~”
“Mmgh!? …!”
Karena tiba-tiba disuapi begitu saja, Rest hampir tersedak potongan ubi yang sedang dia kunyah.
“Kuhuk, kuhuk… A-aku bisa makan sendiri, kok…”
“Enggak apa-apa. Aaan~”
“E-eh… uhh…”
“Masa kamu jijik sama garpu yang sudah kupakai? Sedih sekali kalau gitu…”
“…Akanku makan.”
Kalau sudah dibilang begitu, mana mungkin Rest menolaknya.
Dengan pasrah, dia membuka mulut dan menggigit brokoli yang disodorkan Viola.
“Gimana? Enak nggak?”
“…Enak.”
Begitu dia menjawab, dari arah lain sebuah sosis meluncur ke arahnya.
“Rest-sama, aaan~”
“Uwooh…”
Entah kenapa, Primula ikut-ikutan dan kini dia juga menyuapi Rest sambil menirukan sang kakak.
“Aaan~”
“Enak nggak, Rest-sama?”
“…Enak.”
“Kalau begitu, sekali lagi ya. Aaan~”
“Aku juga. Aaan~”
“Aaan~…”
Begitulah, akhirnya Rest terus-menerus menerima makanan yang disuapi oleh kedua saudari itu. Karena dia merasa tak enak kalau tak membalas, dia juga mulai menyuapi mereka. Akibatnya, perhatian para pengunjung lain di Restoran pun tertuju ke meja mereka—beberapa bahkan tertawa kecil melihat pemandangan itu.
Saat Rest merasa dirinya benar-benar bisa memahami perasaan anak burung yang disuapi induknya, barulah makan siang itu selesai.
“Haaah… perutku dan hatiku udah penuh banget…”
"Ngomong-ngomong, Rest-kun," kata Viola dengan ekspresi serius, berbeda dengan suasana sebelumnya. "Ada hal penting yang perlu kita bicarakan. Apakah kamu punya waktu?"
Rest, yang masih kelelahan secara mental, melihat Viola yang kini menatapnya dengan wajah serius. Di sebelahnya, Primula juga tampak begitu, dengan ekspresi yang sama seriusnya. Tiba-tiba Rest berpikir, mungkin ini adalah perubahan suasana yang khas dari perempuan.
"Rest-kun, kamu pasti sudah sadar, kan, dengan perasaan kami berdua…"
"W-ya, Aku dan kakak sudah merasa kagum padamu sejak pertama kali bertemu, Rest-sama…!"
Keduanya mengungkapkan perasaan mereka dengan sungguh-sungguh. Rest sudah bisa menebak hal ini sejak lama, meskipun ia tidak menyangka bahwa keduanya akan mengungkapkannya secepat ini. Tentu saja, dia bukanlah batu yang tidak bisa merasakan hal-hal seperti itu. Tidak mungkin ia tidak menyadari bagaimana sikap keduanya yang begitu jelas menunjukkannya.
"Tapi… kenapa… aku? Apa karena aku yang menyelamatkan kalian dari serigala itu?"
"Benar, itu salah satunya, tapi… kami juga tertarik pada kekuatan dan ketulusanmu."
"Aku suka dengan kelembutanmu. Kamu begitu kuat, tapi sama sekali tidak sombong dan sangat penyayang."
Viola dan Primula bergantian menjelaskan alasan mereka. Bagi Rest, alasannya agak sulit untuk dipahami.
(Aku tidak tahu soal kekuatan atau ketulusan… Aku rasa Aku bukan orang yang begitu baik atau penyayang. Aku tidak yakin Aku pantas disukai oleh perempuan seindah kalian berdua…)
Rest merasa terkejut dengan penilaiannya sendiri yang rendah. Walaupun ia memiliki kekuatan magis yang luar biasa, ia tetap merasa tidak layak.
Hal ini berkaitan dengan kekurangan kasih sayang yang ia alami sejak kecil. Di kehidupan sebelumnya, ia selalu mendapat perlakuan buruk dari orang tuanya dan tidak pernah mendapatkan kasih Sayang yang cukup.
Meskipun di kehidupan ini ibunya mencintainya, ia meninggal saat Rest masih kecil.
Dengan kurangnya kasih Sayang dalam hidupnya, Rest merasa tidak memiliki nilai apa pun, dan entah kenapa dia selalu merendahkan dirinya sendiri.
"Rest-kun pasti bingung, kan, karena kami berdua mengungkapkan perasaan kami sekaligus?" kata Viola, seakan memahami kebingungannya.
"Tapi… kalau boleh, bisakah kamu menjadi suami kami berdua?"
"S-suami kalian berdua? Jadi aku harus menikahi kalian berdua, bukan memilih salah satu?"
Rest terkejut bukan main. Tentu ia tak menyangka akan mendengar tawaran seperti itu. Sebelumnya, ia kira mereka akan meminta untuk memilih salah satu di antara mereka.
"Jangan khawatir, kami sudah mendapat izin dari ibuku."
"Malahan, ibuku yang lebih antusias. Dia bilang, dia ingin memastikan Rest-sama jatuh cinta pada kami."
"Tunggu, apa?!" Rest terbelalak. "Ada ibu yang mendorong anaknya untuk punya dua istri?!"
Sejujurnya, Rest memang sudah tahu kalau ibu mereka, Aylish Rosemary, adalah orang yang agak aneh, seperti yang terlihat dalam pErisetiwa duel beberapa waktu lalu. Tapi ini… ini terlalu jauh.
"Rosemary House adalah keluarga penyihir terkemuka di kerajaan. Keluarga kami, yang dominan perempuan, sejak dulu selalu berkembang dengan mengambil suami dari luar yang memiliki kemampuan luar biasa."
Viola menjelaskan dengan tenang kepada Rest yang masih kebingungan.
"Begitu pula dengan ayah kami. Dia adalah seorang penyihir yang sangat hebat, dan ibu yang menemuinya lalu menjadikannya suami. Dan kalau Rest-kun, yang memiliki kekuatan magis luar biasa seperti itu, bergabung dengan keluarga kami, ibu kami merasa akan sangat baik jika kamu bisa menikahi kami berdua."
"Ini memang agak aneh, tapi di keluarga penyihir, ini bukan hal yang jarang. Untuk memastikan keturunan yang cerdas, beberapa keluarga penyihir memilih memiliki lebih dari satu istri atau selir, atau bahkan hanya meminta sperma dari orang luar."
"Ke… kemewahan seperti apa ini…" Rest tergagap.
Kalau dipikir-pikir, ini lebih mirip dunia penyihir ketimbang sekadar masyarakat bangsawan.
Rest merasa terkejut dengan permintaan yang diajukan oleh kedua gadis itu. Setelah bereaksi terkejut, ia tidak bisa menyembunyikan perasaan terkejut dan canggung yang datang begitu mendalam.
"Jika Rest-kun setuju… kami mohon, bertunanganlah dengan kami!" kata Viola dengan wajah yang penuh harap.
"S-silakan… menjadi suami kami, baik aku dan kakak," Primula juga meminta dengan ekspresi yang sangat serius.
Rest terdiam sejenak, matanya terbuka lebar. Tiba-tiba suasana menjadi penuh ketegangan, dan ia bisa merasakan kehangatan tubuh mereka yang menempel padanya. Di satu sisi, ia merasa canggung dengan kedekatan mereka, tapi di sisi lain, aroma manis yang khas dari perempuan mengelilinginya, membuat kepalanya mulai terasa pusing. Semua rasa cemas dan ragu berkumpul dalam dirinya.
"Dua orang… mengajukan lamaran kepadaku sekaligus," gumamnya dalam hati.
Namun, di saat yang sama, dia juga menyadari betapa tertekan dan cemasnya kedua gadis itu. Wajah mereka tampak cemas, dengan sedikit air mata menggenang di mata mereka.
"Tentu saja mereka gugup," pikir Rest, "Mereka sedang mengajukan lamaran kepada seorang pria. Tidak mungkin mereka tidak merasa tegang."
Dengan perasaan yang campur aduk, Rest merasa malu pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia membiarkan dua gadis ini mengungkapkan perasaan mereka, sementara dirinya tidak bisa memberikan jawaban yang tegas?
"…Aku mengerti perasaan kalian," katanya dengan berat.
Rest menarik napas panjang, kemudian mengumpulkan keberanian, lebih kuat dari saat dia memberikan hadiah mereka sebelumnya.
"Sebenarnya, aku merasa… aku tidak pantas untuk kalian berdua," kata Rest dengan suara yang agak ragu. "Aku tidak punya apa-apa selain bakat sihir, dan aku merasa aku tidak layak untuk menjadi pasangan kalian berdua."
"Rest-sama…!"
"Tapi," lanjut Rest, "Aku akan berusaha untuk menjadi pria yang pantas untuk berdiri di samping kalian. Aku mungkin tidak bisa memberi jawaban sekarang, tapi beri aku sedikit waktu. Dalam satu tahun, tepatnya sebelum aku masuk ke Akademi Kerajaan, aku akan menjadi pria yang bisa membanggakan diri sebagai tunangan kalian."
Viola dan Primula terkejut dan lalu menangis, air mata mereka jatuh karena perasaan bahagia yang tak terbendung.
"Terima kasih… terima kasih sudah mempertimbangkan hubungan kami dengan sungguh-sungguh," kata Viola dengan suara penuh haru.
"Re-stu-sama… ternyata memang benar, seperti yang aku kira, kamu adalah orang yang sangat aku sukai," tambah Primula dengan mata yang berlinangan air mata.
Rest mengangkat tangan dan menggenggam tangan mereka, merasakan bagaimana tangan mereka gemetar karena kegembiraan dan kekhawatiran. Namun, hati Rest masih terasa berat. Ia merasakan bahwa telah mengungkapkan perasaannya, tapi ia juga merasa seolah seluruh tenaganya terkuras habis.
"Terima kasih," kata Rest dalam hati. "Terima kasih karena telah memberi aku kesempatan untuk menjadi lebih baik."
Pada saat itu, tujuan baru muncul dalam hidupnya: menjadi penyihir hebat, dan membuktikan kepada orang tua angkat dan saudara tirinya yang pernah menganiaya dirinya bahwa dia bisa lebih dari itu.
Dan yang lebih penting lagi… dia harus menjadi pria yang layak untuk kedua gadis ini.
Dengan tekad yang baru, Rest memulai perjalanan hidupnya yang penuh tantangan.
Beberapa hari setelah pengakuan dari Viola dan Primula, Rest tiba di tempat yang jauh berbeda dari kehidupan sehari-harinya.
"Jadi ini adalah Gunung Errors. Meskipun tidak setinggi Gunung Fuji, tapi memang tinggi dan terjal seperti yang dikatakan," gumam Rest pada dirinya sendiri.
Hari itu, Rest berada di sebuah gunung batu yang terletak di barat laut Kerajaan Aiwood. Gunung yang curam dan menjulang tinggi ini, dengan puncaknya yang tak terlihat, memiliki dinding batu yang tampak kasar dan keras. Sebuah pemandangan yang terasa sangat asing baginya, setelah terbiasa dengan kehidupan di kota.
Tujuan kedatangannya bukan untuk sekadar menikmati pemandangan atau sekadar mengalihkan pikiran dari ujian yang akan datang. Ini adalah bagian dari pelatihan dan ujian yang lebih berat.
『Dikatakan bahwa singa akan menjatuhkan anak-anaknya dari gunung yang terjal… apakah bisa benar-benar memperoleh kekuatan sejati hanya dengan latihan di tempat yang aman?』
Itulah yang dikatakan oleh Erise, ibu dari Viola dan Primula, ketika ia mengirim Rest sendirian ke tempat ini.
Rest telah menghabiskan banyak waktu untuk belajar ujian dan berlatih sihir dan pertempuran di townhouse keluarga Rosemary. Namun, Erise mengkritik cara itu.
『Menurut pengalamanku, kekuatan sejati yang akan benar-benar dapat diandalkan di saat-saat krisis adalah yang dibentuk melalui pertempuran nyata. Kamu sudah cukup berlatih dasar, jadi sekarang saatnya untuk menguji dirimu di medan yang sebenarnya.』
Singkatnya, Erise memerintahkan Rest untuk pergi ke tempat berbahaya dan melakukan sesuatu yang Berisiko. Ini adalah ujian bagi Rest.
Erise adalah figur yang sangat berpengaruh dalam keluarga Rosemary, bahkan kepala keluarga Albert pun tidak bisa menentangnya.
Viola dan Primula mencoba untuk mencegah, berusaha membujuk Rest untuk tidak pergi, namun perjuangan mereka tidak berhasil. Dengan berat hati, Rest harus pergi ke Gunung Errors untuk melaksanakan pelatihan ini.
Gunung Errors adalah gunung yang tinggi dan terjal, sangat langka di Kerajaan Aiwood yang kebanyakan terdiri dari dataran luas. Terdapat banyak legenda tentang asal-usul gunung ini. Beberapa orang mengatakan bahwa seorang penyihir tingkat tinggi menciptakannya dengan sihir, sementara yang lain percaya bahwa raksasa dari zaman mitos mendorongnya ke tempat ini.
(Pada dasarnya, kita tidak benar-benar tahu asal-usul gunung ini,) pikir Rest, tetapi itu bukan hal yang penting saat ini.
Yang penting adalah tugas yang harus diselesaikan.
Rest harus mendaki gunung ini hingga puncaknya. Itu adalah ujian yang diberikan oleh Erise. Gunung ini tidak hanya terkenal karena medan terjalnya, tetapi juga karena banyaknya monster yang menghuni wilayah tersebut. Meskipun tidak ada bahan seperti bijih atau ramuan yang bisa diambil dari gunung ini, banyak petarung dan penyihir yang datang ke sini untuk berlatih.
"Baiklah… ayo mulai mendaki," kata Rest, menegaskan tekadnya, dan memulai pendakian.
Dengan ransel yang berat di punggungnya, ia melangkah hati-hati, menghindari tergelincir di jalan setapak yang berbatu.
"Huff… Huff…"
Ia menarik napas dalam-dalam, menjaga ritme napasnya agar tetap stabil, dan berhati-hati dengan setiap langkahnya, memastikan agar tidak terjatuh.
Gunung ini hampir tidak memiliki pepohonan, hanya rumput pendek yang tumbuh di beberapa tempat. Jika ia tergelincir, tidak ada yang bisa dipegang, dan ia bisa tergelincir puluhan meter.
(Bukan hanya pendakian biasa… ini juga menjadi latihan sihir,) pikirnya.
Biasanya, untuk mendaki gunung seperti ini, alat seperti crampon dan pickaxe dibutuhkan. Namun, tanpa alat-alat tersebut, satu-satunya cara untuk melanjutkan adalah dengan menggunakan sihir.
Rest mengaktifkan sihir untuk memperkuat tubuhnya dengan 【Physical Strengthening】, dan menggunakan sihir seperti 【Wind Control】 dan 【Floating】 untuk menopang tubuhnya dan mengatasi medan yang curam.
"Gii! Gii!"
Tiba-tiba, monster muncul dan menyerangnya.
Rest dengan cepat menggunakan 【Wind Cutter】 untuk memotong monster serangga sebesar bola sepak yang mencoba menyerangnya, berhasil mengalahkan makhluk itu dengan mudah.
Rest terus berjuang menanjak, meskipun semakin jelas bahwa setiap langkah menuju puncak semakin berbahaya. Melawan monster-monster yang semakin kuat, medan yang semakin terjal, dan konsentrasi yang harus dijaga agar tidak jatuh, ia mulai merasakan betapa beratnya ujian ini.
(Pantas saja Erise mengirimku ke sini. Ini bukan hanya tentang fisik, tapi tentang kekuatan mental juga. Kalau aku bisa bertahan, berarti aku siap menghadapi apa pun yang akan datang.)
Semakin lama ia mendaki, semakin banyak monster yang muncul untuk menyerangnya. Tidak hanya jumlahnya yang banyak, tetapi juga tingkat kekuatan mereka. Monster-monster yang sebelumnya mudah dihadapi kini membutuhkan lebih banyak sihir dan usaha untuk dikalahkan.
Dengan hati-hati, Rest menggunakan berbagai macam sihir untuk melawan mereka. Sihir angin dan api yang biasa ia gunakan untuk menyerang, serta sihir air untuk menahan monster yang lebih kuat, semuanya dicoba.
Namun, semakin ia mendekati puncak, semakin berbahaya situasi yang ia hadapi. Setelah mengalahkan seekor tokek raksasa yang terbuat dari batu, Rest akhirnya memperhatikan sesuatu yang mencurigakan di bawahnya.
"Ini... manusia?" gumamnya, menatap tulang belulang yang berserakan di tanah.
Ia tidak tahu apakah orang tersebut tewas karena monster atau karena terjatuh. Namun, satu hal yang pasti: orang itu gagal menjalani ujian ini. Tumpukan tulang itu adalah bukti nyata bahwa tidak semua orang bisa bertahan di tempat ini.
(Mungkin ada yang lebih kuat dari aku yang gagal. Ini bukan sekadar ujian fisik, tapi ujian sejati dari tekad dan keberanian.)
Dengan hati-hati, Rest melanjutkan perjalanan, lebih berhati-hati dari sebelumnya. Setiap langkahnya penuh dengan kewaspadaan, dan meskipun ia merasa kelelahan, semangatnya tetap membara.
"Ini belum selesai... aku tidak bisa berhenti di sini," pikirnya, menggenggam erat tongkat sihirnya.
Jika ia bisa sampai ke puncak, itu akan membuktikan bahwa ia benar-benar siap untuk menghadapi tantangan yang lebih besar di masa depan, termasuk menjadi pasangan yang layak untuk Viola dan Primula. Ia tahu, ujian ini bukan hanya tentang kekuatan sihir, tetapi tentang karakter yang dibentuk melalui kesulitan dan tantangan.
"Segera... aku akan sampai," ucap Rest, meskipun napasnya semakin berat dan tubuhnya terasa lelah.
Tatapan gadis itu bertemu dengan mata Rest, dan seketika dia tertegun. Matanya yang berwarna merah rubi tampak begitu indah, seakan-akan dia bisa terserap ke dalamnya. Namun, perasaan itu segera berganti dengan kesadaran bahwa dia harus fokus pada situasi yang ada di hadapannya.
"U-uh, iya, aku yang menolongmu. Kamu tiba-tiba jatuh begitu saja, aku terkejut," kata Rest sambil terus memegangi gadis itu.
Gadis itu masih terlihat sedikit bingung, lalu memandang sekeliling sambil berkata, "Maaf... Sebenarnya, aku sedang berlatih dan tiba-tiba terpeleset... aku tersesat di gunung ini."
Dia sedikit malu dan wajahnya memerah saat berkata begitu.
"Tapi, terima kasih... kamu benar-benar menyelamatkanku!"
"Tidak masalah, aku juga senang bisa membantu," jawab Rest dengan tersenyum, meskipun merasa sedikit cemas melihat gadis yang masih terguncang di pelukannya.
"Sebenarnya, kamu kenapa ada di sini? Tempat ini cukup berbahaya, loh," tanya Rest, mulai merasa khawatir.
Gadis itu sedikit ragu, lalu menjawab, "Aku... sedang berlatih. Katanya, aku harus berlatih di gunung ini untuk menjadi lebih kuat, tapi aku tidak sengaja tersesat di sini..."
"Latihan? Lalu, latihan apa?" tanya Rest dengan sedikit rasa penasaran.
Gadis itu menjawab dengan serius, "Aku... seorang pendekar pedang, dan aku berlatih untuk menjadi lebih kuat. Aku harus bisa bertahan di gunung ini."
"Pendekar pedang, ya?" Rest sedikit terkejut mendengarnya. Ternyata, gadis ini juga berlatih keras di tempat yang sangat berbahaya ini.
Gadis itu melanjutkan, "Tapi, sepertinya aku terlalu percaya diri. Aku tidak menyangka akan tersesat begini..."
Rest memandang gadis itu dan berkata, "Kamu sendirian di sini? Aku saja merasa bahaya di sepanjang perjalanan tadi."
Gadis itu terlihat sedikit terkejut mendengar Rest mengatakan hal itu, lalu menjawab, "Iya... Aku memang sendirian, tapi aku tidak boleh menyerah."
Melihat tekad di mata gadis itu, Rest sedikit merasa kagum. "Kalau begitu, kamu mau kami berdua naik bareng? Karena ke depan, akan semakin berbahaya, kamu tahu."
Gadis itu berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Kalau begitu, kita naik bersama! Tapi aku akan berusaha sebisa mungkin agar tidak merepotkanmu."
Rest tersenyum mendengar jawabannya. "Baiklah. Kalau begitu, ayo kita sama-sama naik."
Dengan itu, Rest dan gadis itu memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju puncak gunung bersama. Mereka saling mendukung, dan perlahan mulai saling mengenal satu sama lain, mempererat ikatan mereka di tengah perjalanan yang penuh bahaya itu.
"Terima kasih sudah menolongku! Namaku Yuri. Yuri Catreia. Kamu siapa?"
"Ah, ah... Namaku Rest," jawab Rest, namun segera timbul pertanyaan dalam benaknya.
"Hm... Catreia...?"
Itu adalah nama yang ia kenal. Ketika mendengar nama Catreia, yang pertama kali terlintas di pikirannya adalah keluarga bangsawan Catreia yang setara dengan keluarga Marquis Rosemary.
"Apakah itu... bukannya nama komandan kesatria...?"
"Heh? Ah, bukan! Bukan, bukan!"
Gadis yang memperkenalkan diri sebagai Yuri tampak panik dan langsung mengibas-ngibaskan kedua tangannya.
"Aku tidak ada hubungannya dengan komandan kesatria! Aku bukan putri Marquis Catreia, dan aku juga tidak melarikan diri dari rumah!"
"Putri Marquis Catreia yang melarikan diri...?"
Ternyata gadis ini tipe orang yang tidak bisa berbohong. Ia mengucapkan hal-hal yang seharusnya tidak perlu dia katakan.
"Eh... jadi, Yuri ini sebenarnya siapa...?"
"Yuri saja sudah cukup. Aku akan memanggilmu Rest, jadi tolong jangan pakai bahasa formal juga."
"…Yuri, itu..."
Rest hampir saja bertanya lebih lanjut tentang keadaan Yuri, namun baru menyadari bahwa ia masih memeluk tubuh Yuri.
Karena terjatuh ke dalam bola air, tubuh Yuri basah kuyup, dan pakaian yang berbentuk celana ketat itu menempel erat pada tubuhnya. Dengan begitu, meskipun tubuhnya ramping, bentuk dadanya yang cukup terlihat menonjol.
"Pertama-tama, lebih baik mengeringkan pakaianmu... 【Pengeringan】."
Rest merasa malu, namun tetap menggunakan sihir untuk mengeringkan tubuh Yuri dan pakaian yang basah.
"Ini... luar biasa! Jadi kamu benar-benar penyihir hebat!"
"Sebaliknya, kamu siapa? Kenapa bisa sampai mendaki gunung ini?"
"Aku... sedang dalam perjalanan menuju rumah bibiku di ibu kota kerajaan, namun... aku tersesat," jawab Yuri.
"Tersesat? Maksudmu bagaimana?"
"Aku sudah melihat peta dengan baik, tapi... kenapa aku bisa sampai ke tempat seperti ini ya?"
"…………"
Gunung Eras terletak di bagian barat laut Kerajaan Aiwood.
Jika Yuri adalah orang dari keluarga Marquis Catreia, maka wilayah mereka berada di arah yang berlawanan dengan ibu kota.
"Seharusnya aku pergi ke selatan menurut peta... jadi seharusnya itu arah atas kan?"
"Tidak, itu salah. Pasti salah."
Peta datar tidak memiliki konsep atas dan bawah. Selain itu, selatan biasanya lebih cenderung ke bawah.
Lagi pula... meskipun tersesat, dia memilih untuk mendaki gunung yang begitu terjal.
Apakah dia tidak merasa curiga, mengingat ada monster di sepanjang perjalanan?
"Ah, ternyata aku salah jalur. Mungkin tadi aku harus belok kanan di persimpangan itu?"
"Itu bukan jenis kesalahan yang seperti itu."
"Sepertinya naik gunung ini adalah kesalahan... Lalu, Rest, sebenarnya kamu sedang apa?"
"Aku...," Rest menjelaskan singkat tentang alasan ia mendaki gunung ini untuk latihan dan ujian sihir.
"Begitu, begitu... Jadi, kamu sedang berlatih sihir dan ini adalah ujianmu, ya? Hebat!"
"…Terima kasih."
"Kalau begitu, aku juga akan ikut naik ke puncak bersama kamu."
"Kenapa!?"
Rest tidak mengerti.
Kenapa dia harus mendaki bersama Yuri ke puncak gunung?
"Aku sudah dibantu olehmu! Kamu yang menyelamatkan nyawaku, jadi aku tidak bisa membiarkanmu menuju bahaya sendirian!"
"Bahaya...?"
"Di puncak gunung ini ada monster burung besar. Dengan Akupnya, ia mengibaskan angin, dan aku pun terbang terbawa angin dan terguling jatuh."
"Ah, jadi itu sebabnya kamu jatuh dari atas puncak, ya..."
Rest kembali melihat tubuh Yuri. Meski Yuri terguling dengan kecepatan luar biasa, tubuhnya tidak menunjukkan luka parah. Hanya beberapa goresan kecil yang terlihat.
Dengan sekuat itu terjatuh dan menghantam batu, seharusnya tidak hanya memar atau luka gores, pasti ada patah tulang atau cedera lebih serius.
(Mungkinkah tubuhnya diperkuat dengan sihir...? Tapi, ini terasa aneh...)
"Ah, tidak masalah... 【Heal】."
"Eh?"
Saat Rest mengaktifkan sihir penyembuhan, luka-luka pada tubuh Yuri langsung sembuh.
"Hebat! Kamu bisa menyembuhkan luka juga ya."
"Ya, kalau yang seperti ini sih bisa."
"Ah, kamu sudah menyelamatkanku lagi. Sepertinya aku harus mengantarmu sampai puncak."
"........."
Yuri memberikan senyuman lebar yang tidak ada niat jahatnya, dan Rest menahan kata-kata "kembali saja" yang ingin ia katakan.
"...Baiklah, terserah. Tapi tolong jangan jadi penghalang ya."
"Tentu saja. Kalau aku dalam bahaya, kamu boleh tinggalkan aku."
"...Sepertinya itu tidak akan terjadi."
Rest mulai melangkah lagi menuju puncak gunung, dan Yuri mengikuti di sampingnya.
"........."
Baru saja mereka mulai berjalan, Rest langsung menyadari... Yuri tidak menggunakan sihir sama sekali.
Sementara Rest menggunakan sihir untuk memperkuat tubuhnya dan mencegah dirinya jatuh, Yuri tidak menggunakan sihir apapun. Dia berjalan hanya dengan kemampuan fisiknya sendiri.
"~~~~♪"
Selain itu, Yuri bahkan bersenandung kecil sepanjang perjalanan. Meskipun nada suaranya agak kacau dan sumbang, sikapnya sangat ceria seolah-olah sedang piknik.
(Kemampuan fisik dan keseimbangan tubuh yang luar biasa... Tanpa menggunakan sihir, apakah dia benar-benar bisa menguatkan tubuhnya sampai selevel ini...?)
"Ada apa, Rest?"
"...Yuri, apakah kamu benar-benar putri komandan kesatria? Yang disebut sebagai prajurit terkuat di kerajaan itu?"
"Ch-ch-ch... TIDAK!"
Melihat Yuri yang panik dan gelisah saat menjawab, Rest merasa sedikit terkejut.
"Aku bukan... eh, bukan putri komandan kesatria! Aku tidak kabur dari rumah, dari mansion di wilayah, dan tidak sedang melarikan diri ke rumah bibiku!"
"Jadi, aku nggak tanya soal itu... Iya, jadi memang seperti itu ya..."
Pangeran Katoleia adalah komandan kesatria... bersama dengan Albert, Kepala Penyihir Istana, dia adalah pria terkuat yang disebut sebagai Akup ganda raja. Jika dia adalah putri dari orang seperti itu, tidak heran kalau dia memiliki kemampuan fisik yang luar biasa.
"Ah, kita sudah sampai. Puncaknya."
Akhirnya... mereka sampai di puncak.
Bagian paling atas dari Gunung Elers berbentuk seperti meja bundar, dengan ruang terbuka yang luas.
"Setidaknya nggak ada monster di sini..."
Saat Rest memandang sekitar, dia segera menyadari ada keberadaan yang terdeteksi oleh 【Life Search】.
Sesuatu yang mendekat dengan kecepatan tinggi dari langit. Rest segera membentuk pEriseai sihir dengan cepat.
"【Ice Wall】...!"
"Gyuiiiiiiiiii!!"
Yang muncul adalah burung pemangsa raksasa. Burung yang lebih besar dari kondor, burung terbesar di Bumi, dan berukuran sebesar gajah, dengan Akup terbentang lebar turun ke bawah.
"Wow!"
Yuri menjerit.
Burung raksasa itu mengayunkan Akupnya dengan kuat, menciptakan angin yang berusaha menerbangkan mereka berdua.
Jika Rest tidak membuat dinding angin, mereka berdua akan terjatuh dari gunung seperti Yuri tadi.
"Ini... Jadi ini 'Emperor Falcon'!"
Sebelum pendakian, saat mengumpulkan informasi, dia mendengar tentang monster ini.
Penguasa Gunung Elers. Burung pemangsa raksasa, Emperor Falcon.
Ini adalah salah satu penyebab utama mengapa Gunung Elers menjadi daerah berbahaya, dan alasan mengapa sangat sedikit orang yang berhasil mencapai puncaknya—karena monster ini menguasai puncak gunung sebagai wilayahnya.
"Gyuiiiiiiiiiii!!"
"Sungguh… harus menghadapi monster seperti ini, sungguh memang sulit," keluh Rest.
Tugas yang diberikan oleh Erise adalah untuk mencapai puncak gunung dan kembali. Jadi, seharusnya tidak ada masalah jika mereka kembali tanpa mengalahkan burung raksasa ini.
(Tapi… kalau Ibu yang memberi tugas, pasti dia akan menganggap kita harus mengalahkan monster yang ditemukan. Kalau kita tidak menang, pasti dia akan mengatakan itu adalah kegagalan. Paling tidak, kita butuh bukti bahwa kita melawan dan mengusirnya…)
"Jangan salah, aku harus melakukannya!"
Rest segera memantapkan hati dan melepaskan serangan dengan 【Water cutter】.
"Gyui!"
Namun, ketika Emperor Falcon mengayunkan Akupnya, pisau air itu dengan mudah terbang berantakan.
"Jadi, serangan sihir tingkat rendah tidak akan efektif, ya…!"
"Seräș€ tanggung jawabnya!"
Tanpa menunggu Rest, Yuri melompat dan langsung menerjang menuju Emperor Falcon, mencoba menendang tubuh burung tersebut.
"Gyui!"
"Wah!? Ah, ah, ah, ah!"
Namun, disambut dengan angin yang menderu dari Emperor Falcon, Yuri terlempar ke arah yang salah.
"To-long! Haaaah!"
"Ah, lagi-lagi kamu merepotkan!"
Rest menggunakan sihir angin untuk menahan Yuri yang hampir terjatuh.
"Kata-kata jangan bilang menghalangi dalam keberhasilan masalah sebaliknya, bukan salah orang!"
"Maaf!"
"Gyui!?"
Suatu serangan sihir yang pernah dilemparkan oleh saudara tirinya dulu.
Petir mengarah ke Emperor Falcon, sedikit meleset dan hanya mencakar Akupnya.
Meskipun bisa menembus dinding angin yang melindunginya, sepertinya burung itu segera menghindar.
"Gyui! Gyui!"
"Kecepatan luar biasa... Sepertinya, sulit untuk mengenainya…!"
Emperor Falcon tampak merasakan ancaman dari serangan Rest.
Burung itu terbang kesana kemari, menghindari semua tembakan Rest, sementara angin tetap bertiup kencang. Jika mereka sedikit lengah, mereka bisa terlempar.
"Rest, sihirmu luar biasa!"
Sambil memegang tubuh Rest dengan erat, Yuri memujinya.
"Kalau kamu bisa menembakkan puluhan serangan seperti tadi, mungkin kita bisa menang! Jangan khawatir, aku akan menjaga agar kamu tidak terlempar!"
"Uggh…"
Yuri semakin mempererat pelukannya terhadap Rest.
Sekejap perasaan aneh melintas di benak Rest, namun dia sadar bahwa itu bukan waktu yang tepat untuk memikirkan hal tersebut.
Meskipun ini tidak bisa dihindari, dia merasa canggung berada dalam pelukan seorang wanita yang bukan kekasihnya.
(Serangan biasa tidak bisa menangkapnya. Kalau begitu… sihir area besar mungkin bisa menjadi solusi.)
Jika bisa menyerang area luas sekaligus, mungkin bisa menjatuhkan burung itu.
Masalahnya adalah… sihir area adalah sihir tingkat tinggi. Rest belum pernah mempelajari sihir tersebut dari Diberu, dan ketika dia meninggalkan rumah, Cedric pun belum menguasainya, jadi dia tidak tahu bagaimana caranya.
(Ibu pasti tahu kalau aku belum menguasai sihir tingkat tinggi… Dan jika dia mengirimku kesini, mungkin dia memang berniat membuatku mati, kan?)
Meskipun terdengar sangat kejam… Rest tidak merasa bahwa Erise berniat jahat. Mungkin dia sengaja mengirimkan Rest untuk melawan musuh yang sulit agar bisa mendorongnya untuk berkembang.
"...Aku akan melakukannya."
Dalam situasi yang sangat sulit ini, Rest mulai menyulut semangatnya dan menggenggam tinjunya.
Walaupun tantangan ini terasa seperti bentuk penyiksaan, itu justru membangkitkan semangat melawannya.
Rest telah hidup dengan nyaman di keluarga Marquis Rosemary, tetapi dia sebenarnya adalah orang yang tidak memiliki banyak hal. Semakin terpojok, dia semakin bisa menunjukkan kekuatannya.
Erise pasti mengerti sifatnya seperti ini dan berharap dia tumbuh melalui cobaan yang berat.
"Aku akan baik-baik saja. Meski belum pernah menggunakan sihir tingkat tinggi, atau bahkan melihatnya… Aku bisa melakukannya!"
Rest mulai membangun pola sihir dalam pikirannya. Bukan meniru orang lain, melainkan menyusun sihir yang pernah dia baca dalam buku saat belajar.
Dalam keadaan perang melawan monster, Rest tetap bisa berpikir dengan tenang dan fokus, tidak terpengaruh tekanan yang luar biasa.
"[Petir Badai]!"
Akhirnya, sihir itu selesai. Rest mengangkat tangannya ke udara dan melepaskan sihir tingkat tinggi.
Energi sihir yang sangat besar mengalir keluar dari tubuhnya, menuju langit, dan meledak di sana.
Kekuatan petir yang tercipta di udara itu berubah menjadi ribuan sambaran petir yang jatuh seperti hujan ke puncak gunung.
"Gyuiiiiii!?"
Serangan petir yang datang dari arah yang tidak terduga akhirnya mengenai Emperor Falcon.
Tubuh raksasa itu terguncang, tetapi masih tetap bertahan di udara, tidak jatuh meskipun terhantam petir.
"[Thunderstrom]!"
"Gyuuuuuuu!?"
Kemudian, satu serangan tambahan dilepaskan.
Saat burung itu terhuyung, serangan itu mengenai dan menembusnya, membuat Emperor Falcon menjerit kesakitan.
"Gyuu, gyui...!"
"Luar biasa... Masih belum jatuh juga, ya...!"
Emperor Falcon menggerakkan Akupnya dan berusaha melarikan diri dari tempat itu.
Meskipun telah dihujani serangan petir yang cukup kuat, burung itu ternyata lebih tangguh daripada yang dibayangkan.
"Kalau begitu, aku akan terus menyerang sampai dia jatuh...!"
"Tidak akan kubiarkan dia kabur!"
"Hah...?"
Rest yang hendak mengejar justru terkejut oleh kejadian yang tidak terduga. Yuri yang sedang memeluknya bergerak.
Tanpa memberitahu Rest, Yuri melepaskan pelukan dan menendang tanah, terbang ke arah Emperor Falcon yang hendak melarikan diri.
"Gyuiiiiiiiii...!"
"Hei! Jangan lari... Waaa!"
Dengan kekuatan luar biasa, Yuri berhasil menahan Emperor Falcon, namun itu tidak berlangsung lama. Burung raksasa itu meronta dan melemparkan Yuri, membuatnya terjatuh.
"Hyaaahhhh!? Waaaahhh!!"
"Ah, benar-benar... Menyusahkan sekali!"
Rest terburu-buru menggunakan sihir untuk menciptakan bola air besar dan menangkap Yuri yang sedang jatuh.
"Maaf... Sudah kubantu lagi."
"...[Pengeringan]"
Yuri yang basah kuyup, tubuh dan pakaiannya, segera dikeringkan oleh Rest.
Ketika mereka berdua melihat ke atas, burung raksasa itu sudah jauh sekali. Sekarang, sihir mereka sudah tidak bisa menjangkaunya lagi.
"...Kita melewatkannya."
Seharusnya, Rest ingin mengalahkan burung itu dan membawa bukti kemenangan.
Dengan begitu, Erise yang mengirim Rest pasti tidak akan menyalahkannya.
"Ah, sudah terlanjur... Yah, yang sudah melarikan diri ya tidak bisa diubah."
"Maafkan aku... Rest. Sepertinya aku justru malah mengacau."
Yuri terlihat kecewa dan menundukkan kepalanya, ekspresinya tampak sedih.
"Kalau aku tidak bergerak, kita pasti bisa mengalahkannya dengan sihir... Tapi, tubuhku tidak bisa menahan diri untuk tidak bergerak."
"Yah, ada saja orang seperti itu, kan... Tidak masalah kok."
Meskipun Yuri terkadang merepotkan, dalam pertempuran ini, ada juga momen di mana dia membantu. Rest tidak berniat menyalahkannya.
"Oh, ngomong-ngomong, aku dapat sesuatu nih. Kalau kamu mau, bisa ambil ini."
"Ini... apakah ini bulu dari burung itu?"
Yuri menyerahkan sebuah bulu panjang sebesar lengan manusia.
Itu adalah bulu Akup dari Emperor Falcon. Ketika mereka bergulat, Yuri berhasil mencabutnya.
"Jika aku punya ini, itu bisa menjadi bukti bahwa aku telah mencapai puncak dan mengalahkan musuh... Ini sangat membantu!"
"Begitu ya, kalau aku bisa sedikit membantu, aku senang."
Yuri tampak lega dan mengusap dadanya dengan tenang.
Rest merasakan kelegaan yang sama. Dengan ini, dia bisa kembali ke keluarga Marquis Rosemary tanpa masalah.
(Akan tetapi... Aku masih sangat kurang pengalaman, ya.)
Meskipun merasa telah cukup kuat, pertempuran kali ini menunjukkan kelemahan yang ada pada dirinya.
Jika dia tahu lebih banyak sihir, atau jika dia bisa menggunakan sihir yang lebih kuat, mungkin dia bisa mengalahkan musuh dengan lebih mudah.
(Jika aku bisa menciptakan sihir yang cocok dengan sifat dan karaktermu sendiri...)
"Sihir orisinal, ya..."
"Tapi, sungguh berbahaya tadi! Kalau salah langkah sedikit saja, kita bisa jatuh dari sini!"
Sementara Rest tenggelam dalam pikirannya, Yuri menatap ke bawah dari puncak gunung.
Dari puncak gunung, pemandangan yang lebih indah terbentang dibandingkan yang dilihat di tengah gunung.
Tanah hijau yang luas terlihat di bawah. Hutan-hutan dan pepohonan tersebar di mana-mana. Di kejauhan, meskipun kecil, kota kerajaan terlihat.
"Ah... Rest! Apakah itu kota kerajaan!?"
"Ya, itu dia... itu adalah..."
"Syukurlah! Sekarang kita bisa menuju ke kota kerajaan!"
Yuri bertepuk tangan dan bersorak dengan kegembiraan.
"Terus terang, aku sempat bingung karena tersesat... Tapi ternyata jalan yang terbaik adalah jalan yang lebih jauh! Kalau kita lanjut langsung dari sini, kita bisa sampai ke kota kerajaan!"
"Ah, tidak... Yuri, kalau itu kota kerajaan, aku yang akan memandu..."
"Terima kasih, Rest! Aku benar-benar senang bisa bertemu denganmu!"
Tanpa mendengarkan kata-kata Rest, Yuri menggenggam tangannya dan mengangkat-angkatnya dengan ceria.
"Pasti kita akan bertemu lagi! Aku tidak akan pernah melupakanmu!"
"Ehh, tidak... itu bukan maksudku..."
"Baiklah, sampai jumpa lagi!"
Yuri melompat seperti kelinci dan melompat turun dari puncak gunung.
Dengan kecepatan dan tenaga luar biasa, dia berlari menuju kaki gunung.
Kecepatan dan kekuatannya sangat luar biasa. Mungkin, Yuri telah meninggalkan rasa takut sejak masih berada di rahim ibunya.
"...Apa yang baru saja terjadi, sungguh."
Seumur hidupnya, bahkan termasuk kehidupan sebelumnya, Rest belum pernah bertemu dengan orang seperti Yuri yang begitu polos dan tidak mendengarkan apa yang dikatakan.
Rest merasa seolah-olah telah melihat seekor makhluk langka.
"Tapi, entah kenapa... aku merasa kita akan bertemu lagi."
Entah itu sesuatu yang baik atau buruk, Rest merasakan getaran aneh di dadanya dan merinding.

