[LN] Sentenced to Be a Hero _ Volume 1 ~ Arc3 Interlude

[LN] Sentenced to Be a Hero _ Volume 1 ~ Arc3 Interlude

Translator: Yuna Novel
Proofreader: Yuna Novel

Perintah Siaga: Kota Pelabuhan Yorf

Ketika tersadar, ada pria tak dikenal di sana.

Seorang pria dengan senyuman yang mencurigakan sampai kapanpun.

Dan dia sedang melihatku dari atas.

(Apa-apaan ini?)

Aku berusaha mengumpulkan pikiranku dengan kepala yang masih terasa mati rasa.

Pria tak dikenal, tempat tak dikenal. Langit-langit putih, seprei, selimut. Tampaknya aku terbaring. Rumah sakit? Mungkin begitu.

(Pasti.)

Aku terluka parah. Aku ingat lenganku yang kiri terasa sakit seakan-akan hampir putus. Itu adalah medan perang. Medan perang—ya. Kami bertempur melawan fenomena Raja Iblis. Lalu, apakah aku telah 'diperbaiki'?

"Bagaimana perasaanmu, Xylo?"

Pria tak dikenal itu bertanya padaku.

Meski tersenyum, ekspresinya ringan dan dibuat-buat. Seolah dia sendiri menyadarinya, ada sesuatu yang sinis di baliknya. 

Kesimpulannya, tidak ada dalam ingatanku sama sekali.

"Siapa kau?"

Aku bertanya pada pria itu.

"Hmm. Bagus. Pertama, kondisinya baik."

Dia mengangguk ringan dan menoleh ke belakang. Di sana, ada seorang wanita tak dikenal juga.

Wanita itu—apa ya? Wanita dengan wajah yang agak mengantuk. Bertubuh tinggi, mengenakan pakaian putih berlubang di tengah. Kalau begitu, mungkin dia dari kuil.

"Bisa mengobrol. Sepertinya tidak masalah dengan bahasanya, seperti yang kau katakan."

Meski diajak bicara, wanita berbaju putih itu tidak menjawab apa pun. Hanya mengangguk kecil, tatapannya terpaku kosong di udara seolah tidak tertarik.

(Apa-apaan, mereka ini?)

Aku memikirkan situasiku sekarang.

Aku terluka parah dan mungkin dikirim dari medan perang ke bengkel perbaikan. Dengan luka seberat itu, tentu saja begitu. Kalau begitu, apakah ini rumah sakit setelah dipindahkan dari sana? Bengkel perbaikan lebih suram daripada ini.

Dan ruangan ini tampaknya adalah kamar pribadi. Bisa dibilang seperti perlakuan khusus, bukan?

"Tenang saja,"

kata pria itu dengan nada ringan yang sama sekali tidak menenangkan.

"Untungnya, kau tidak mati. Hampir saja, sih. Tentu saja—aku rasa tidak berarti tidak ada efek samping sama sekali."

"Mungkin."

Aku menjawab asal saja. Aku merasa lelah. Sepertinya sekujur tubuhku mati rasa.

"Menurut keterangan dokter, sepertinya kemampuanmu merasakan sakit menjadi tumpul. Itu berdasarkan reaksi selama perawatan. Sebaiknya hati-hati."

Itu mungkin saja terjadi, pikirku. Tatsuya adalah contoh yang bagus.

"Prajurit seperti itu lebih mudah mati. Kami tidak ingin kau mati jika memungkinkan."

Dia bilang 'kami'.

Itu yang mengganjal. Pada akhirnya, siapa dia ini? Bukan seorang Pahlawan. Itu mungkin, pasti. Aku membayangkan wajah-wajah anggota timku di kepalaku. Venetim, Dotta, Norgalle, Tatsuya, Tsav, Jayce, Rhyno... semuanya kuingat. Sepertinya ingatanku tidak bermasalah.

"mendengarnya dari orang asing, gak bikin seneng."

Aku menatap tajam pria itu.

"Tadi juga udah dengar kan. Siapa kau?"

"Kau bisa menganggap kami sebagai sekutumu."

Setelah berkata begitu, dia tertawa dalam-dalam.

"... Ah, tidak perlu juga sih. Yang penting, hati-hatilah. Aku lega kau tampak baik-baik saja. Pasukan Pahlawan adalah kartu as kami."

Omong kosong. Aku sama sekali tidak bisa percaya pada tipe orang seperti ini. Tidak mau mengungkapkan identitasnya saja sudah tidak menyenangkan, dan aku sangat benci mereka yang membuat diri mereka misterius dengan sengaja.

Jadi, hanya satu kata yang kukatakan padanya.

"Pergi."

Aku melambaikan satu tangan.

"Wajahmu yang mencurigakan itu bikin tidak nyaman,jadi menjauh dari pandanganku."

"Kasar sekali. Aku cukup repot juga untuk mengunjungimu diam-diam seperti ini. Dan mengirimkan hadiah untukmu juga susah."

Sambil bilang 'hadiah', pria tak jelas itu menunjuk ke meja di sampingnya. Aku tidak menyadarinya sampai sekarang, ada beberapa bungkusan kecil, bunga-bunga, dan sepotong besar roti di atasnya.

Apa ini?

Mungkin ekspresiku menunjukkan pikiranku.

"Ini tanda terima kasih untuk Pasukan Pahlawan Hukuman kalian, katanya."

"Aku gak ingat pernah berbuat apa-apa yang patut untuk menerima tanda terima kasih."

"Tidak. Desa-desa perintis di sekitarnya—sepengetahuanku: Vaigara, Tafuka-Duha, Kaosanto. Serikat Pekerja Hutan Kvunji dan Terowongan Zewan-Gan, Asosiasi Pedagang Barat Lyso. Tentu saja kau tidak mengenal wajah atau nama seorang pun dari mereka. Tapi karena pertahanan di Benteng Myuridd, kehidupan mereka terlindungi. Militer juga bingung bagaimana menanganinya—oh, iya."

Di sana, pria itu tertawa terbahak-bahak seolah tidak tahan.

"Kemarin, katanya ada gadis-gadis kecil yang membawa bunga."

"Aku gak tahu."

Bohong. Apa yang kulakukan memang ada artinya.

Balasan kebaikan yang rapuh di hadapan fenomena Raja Iblis. Justru karena itulah nilainya. Bukan berarti tidak senang. Hanya saja, diejek oleh pria ini sungguh tidak menyenangkan.

"Kau disebut-sebut sebagai 'Kilat Terbang'. Mungkin karena tidak tergabung dalam pasukan resmi. Kau dianggap sebagai prajurit misterius. Hal seperti ini bisa populer, lho."

"Cuma itu yang mau kau bicarakan? Cepat pergi."

"Oke. Maaf, aku terima pendapatmu."

Pria yang tertawa itu mengangkat kedua tangannya, seolah mencoba menenangkanku. Atau mungkin tanda menyerah.

"Tapi, ketahuilah. Bukan hanya warga sipil tak bernama. Ada yang memperhatikan kesuksesan kalian para Pahlawan, baik di kuil maupun markas militer—"

"Pergi."

Mungkin jika ada sesuatu di dekatku, akan kulempar. Bahkan mungkin pisau. Akhirnya pria tertawa itu menyerah. Sambil menggelengkan kepala dengan berlebihan, dia keluar ruangan bersama wanita yang tampaknya adalah pendeta.

"Hanya satu hal terakhir. Hati-hati dengan pelanggaran perintah yang berlebihan. Memang ada pihak yang menganggap kalian mengganggu. Terutama kau yang sedang menjadi sorotan."

"Sia-sia."

Karena sudah jelas tanpa dikatakan.

Hutan Kvunji, Terowongan Zewan-Gan, Benteng Myurid—tidak. Bahkan lebih awal, sejak aku dipaksa menjadi 《Pembunuh Dewi》. Para brengsek di puncak militer, dan mungkin juga di kantor administratif.

"Aku udah tau dari dulu. Orang-orang macam apa mereka?"

"Faksi Koeksistensi."

Pria tertawa itu menjawab singkat dan padat.

"Mereka disebut begitu."

Aku tahu tentang kelompok itu. Mereka yang mengusulkan rekonsiliasi dengan fenomena Raja Iblis. Katanya ada sejak awal kemunculan Raja Iblis, dan kemudian menghilang secara alami seiring meningkatnya perang.

Klaim mereka begini:

'Jika kita bisa berbicara dengan fenomena Raja Iblis, perundingan damai mungkin tercapai. Dalam kasus itu, bahkan dengan mengorbankan perbudakan seluruh umat manusia, kita harus memastikan wilayah hidup minimum. Sebagai pengelola budak-budak itu dan perantara dengan fenomena Raja Iblis, kami, Faksi Koeksistensi, akan berkuasa.' 

Dengan kata lain, mereka sampah masyarakat.

Apa mungkin mereka sudah berkembang menjadi kekuatan yang cukup serius untuk menjebakku?

"Kalau begitu, permisi."

Sementara aku berpikir, pria tertawa itu membuka pintu dan memanggil seseorang di luar ruangan.

"Sudah selesai. Cukup,《Dewi》."

"—Xylo!"

Bayangan kecil melompat masuk. Senelva.

Gadis dengan rambut emas dan mata seperti api—gadis? Bukan. Senelva tidak sekecil ini. Kalau begitu, ini...

"Ksatria milikku. Kenapa wajahmu seperti itu?"

Dengan nada menegur, atau mungkin memohon sesuatu, gadis itu menatapku.

"Bersukacitalah. karena aku sendiri yang datang menjengukmu."

Kepalaku pusing.

Aku seharusnya tahu. Aku mengingat-ingat. Memang aku pernah melihatnya.

"Aku akan marah, Xylo."

Wajahnya tampak seperti hendak menangis.

"Kalau kau melupakanku, aku tak akan memaafkanmu. Aku yang agung, pengampun, dan penuh belas kasihan ini..."

Kurasa dia agak menangis. Membuatku merasa seperti penjahat. Sial.

"Xylo. Aku ini 《Dewi》, ... kalau kau melupakanku, aku tak akan memaafkanmu."

"Aku tidak melupakan mu."

Hanya itu yang bisa kukatakan. Dan agak terburu-buru.

"Teoritta."

Kupanggil namanya.

"Aku tidak melupakannya."

"Iya."

"Jadi, jangan menangis."

"Aku tidak menangis."

"Benarkah?"

"Benar. Karena aku agung, aku tidak menangis."

Rambut Teoritta memercikkan bunga api, dan aku tersenyum.

"Tapi, bagus, Xylo. Aku juga akan memujimu."

Teoritta mengulurkan tangan dan dengan kaku membelai kepalaku. Bunga api berjatuhan lembut.

(Yasudahlah.)

Kupikir begitu. Tubuhku terlalu lemas, bahkan untuk mengusirnya.

Di belakang Teoritta, wanita bermata tajam itu menatapku dengan pandangan mengawasi, tapi aku tak bisa memberi reaksi apa-apa.

"... Xylo Forbartz."

Wanita itu, Kivia, membuat wajah serius dan berkata.

"Mari kita bicarakan apa yang terjadi setelah kalian mengalahkan Raja Iblis 'Iblis'."

"Sedang tidak mood mendengar cerita rumit sekarang."

"Tidak. Kau harus mendengarnya. karena Itu perlu."

Aku mengernyit dan menolak, tapi Kivia tidak mengizinkannya. Orang yang tak bisa diajak bercanda.

"Pertama, kau dan Teoritta-sama akan ditempatkan sementara di Pasukan Kesatria Suci ke-13 kami."

'Ditempatkan' berarti tidak lain diperlakukan sebagai perlengkapan.

Pada akhirnya, posisi kami tidak berubah. Ingin mengolok-olok hal itu, tapi bahkan tenaga untuk itu tak muncul.

"《Dewi》 Teoritta berada dalam posisi yang mengkhawatirkan. Markas militer dan kuil sedang memperdebatkan keagungan tubuh-Nya. Karena insiden di benteng, yang menghasilkan hasil jauh melebihi perkiraan, situasi mulai berubah."

Bahasa sopannya yang berlebihan bahkan sekarang, sepertinya mencerminkan sifat wanita ini. Dan perdebatan tentang 'keagungan tubuh'. Singkatnya, mereka pasti sedang memikirkan bagaimana memperlakukan Teoritta ke depan.

Markas militer, Galtwil, seharusnya terpecah antara faksi 'analisis' Teoritta dan faksi 'pemanfaatan' yang ingin terus menggunakan-Nya untuk militer. Dari sudut pandang militer, kami telah menunjukkan kegunaan—begitulah pikiranku.

Di sisi lain, bagaimana dengan kuil?

Karena itu dunia yang tidak terlalu kuketahui, aku hanya bisa menebak. Mempertimbangkan hubungan kekuatan politik, mungkin menyerahkan keputusan pada militer dan meloloskan undang-undang lain, atau gerakan untuk mengamankan-Nya di kuil.

Bagaimanapun, tidak ada organisasi yang benar-benar bersatu. Perdebatan itu mungkin akan berlarut-larut.

"Kau, Xylo, harus terus melindungi 《Dewi》."

"Kalau soal melindungi,"

akhirnya aku melihat Teoritta yang berhenti membelai kepalaku.

"Jauhkan kami dari garis depan untuk sementara waktu. Sejak menjadi Pahlawan, belum ada satu hari pun untuk liburan."

"Benar. Kau akan dijauhkan dari garis depan untuk sementara."

"Apa?"

Jujur, aku terkejut. Atau kupikir itu lelucon—tapi Kivia bukan tipe yang bisa melucu.

"Tugas kalian adalah melindungi tubuh Teoritta-sama di kota pelabuhan Yof ini."

"Apa-apaan itu. Bukannya lebih berbahaya di kota daripada di medan perang?"

"Penilaianmu benar."

Kivia mengangguk dengan wajah serius yang menjemukan.

"Ada faksi dalam kekuatan yang terkait dengan kuil, yang mengincar tubuh Teoritta-sama."

Aku mendengar hal yang tak bisa dipercaya. Bukankah kuil adalah sekelompok orang intelek yang secara berlebihan memuja 《Dewi》?

"Di kuil juga ada berbagai faksi."

Kivia tampak menyadari wajah penuh keselekuanku dan sepertinya ingin menambahkan sedikit.

"Faksi yang terutama berbahaya adalah mereka yang mengutamakan kemurnian 《Dewi》. Mereka menyebut diri 'Ortodoks'. Mereka mengambil posisi tidak mengakui 《Dewi》 baru Teoritta-sama dari awal."

"Apa-apaan itu. Tidak masuk akal."

"Mereka kaum puritan yang keberatan jika 《Dewi》 sebagai sosok mutlak bertambah atau berkurang. Jumlah mereka seharusnya tidak banyak, tapi ternyata mereka telah memperluas pengaruh lebih dari perkiraan."

Apa yang mereka bicarakan? pikirku.

Orang-orang yang konyol. 《Dewi》 juga bisa mati. Aku tahu betul. Bahkan dalam Pertempuran Raja Iblis Ketiga dulu, ada catatan beberapa 《Dewi》 tewas. Apakah mereka tidak mengakui itu?

"Faksi radikal mereka berusaha melukai Teoritta-sama secara langsung. Diketahui mereka terkait dengan kultus pembunuhan."

"... Ah, sudahlah. Kepalaku mulai pusing. Aku akan dengar detailnya nanti—"

Aku menoleh ke Teoritta. Apakah ini pembicaraan yang pantas didengarkan-Nya? Kekhawatiran itu ternyata salah sama sekali.

"Iya. Xylo, karena itu kau yang akan melindungiku. Kau, dan para Pahlawan."

Teoritta tersenyum lebar. Seolah sangat senang. Apa yang begitu menyenangkan? Jawaban atas pertanyaan itu segera kudapatkan.

"Ini liburan, Xylo. Segera setelah tubuhmu pulih, bawalah aku ke kota."

"Ya, ya."

Aku melihat ke luar jendela. Nuansa musim dingin kuat. Langit tertutup awan kelabu mengandung bayangan badai besar. Mungkin nanti malam akan turun salju.

(Melindungi 《Dewi》 sebagai pekerjaan...)

Venetim mungkin akan mengoceh sembarangan untuk mendapatkan posisi yang nyaman.

Dotta perlu diikat kedua tangannya saat dibawa ke kota.

Norgalle akan berkeliaran di pasar seolah dia raja, makan dan minum tanpa membayar.

Tsav harus dilarang memasuki kasino dan distrik hiburan—lalu—

(Apa yang sedang kulakukan?)

Hanya bisa tertawa. Ada diriku yang merasa situasi ini lebih menyenangkan daripada dulu, daripada saat masih menjadi Ksatria Suci, bahkan daripada sebelum bertemu Teoritta. Menikmatinya.

Fakta itu membuatku merinding. Tidak buruk. Meski teman-temanku orang-orang tolol, aku tidak marah.

"Xylo."

Teoritta menarik lenganku.

"Karena kau adalah ksatria milikku, kuperintahkan untuk berpegangan tangan di kota agar tidak tersesat."

"Baik."

Hal seperti ini pernah terjadi sebelumnya.

Benar. Aku mencoba mengingat lagi ekspresi senelva waktu itu, percakapan itu—dan gagal.

"Itu suatu kehormatan."

Aku memaksakan diri untuk tersenyum.


------- END VOLUME 1 -------



Post a Comment

Join the conversation