Kang tl : Naoya
Kang pf : Naoya
Chapter 3 : Satu Tahun yang Lalu
“Hampir satu tahun kita tinggal bersama, ya”
Aku berkata sambil menghela napas panjang, merasakan ringan koin perak di telapak tangan.
“Tidak kusangka aku dianggap seperti anak berusia lima tahun... Serius, hanya ini?”
Di tanganku hanya ada tiga koin perak kecil.
“Apakah kurang?”
Polly menundukkan matanya dengan sedih. Mata hazelnya basah oleh air mata. Seolah menenangkan hatinya yang bergejolak, ia merapikan rambut hitamnya yang kusut. Di punggung tangan dan jarinya terlihat lebam kebiruan, bekas dihantam oleh sarung pedang salah satu pelanggannya tempo hari.
“Tidak, ini cukup.”
Koin perak Irith, yang biasa disebut koin perak kecil. Satu koin ini akan habis seketika untuk segelas bir dan beberapa makanan ringan. Jika aku seorang biarawan, mungkin ini sudah lebih dari cukup.
“Tapi, sebagai pria aku juga punya tanggung jawab sosial. Malam ini aku sudah janji minum-minum dengan teman.”
“Ya sudah, pergilah.”
Polly mengerutkan kening, seakan merasa terganggu oleh pernyataan yang terlalu jelas itu.
“Kau pasti tahu kan? Minum satu gelas dan langsung pulang itu tidak mungkin, kecuali mereka adalah orang-orang yang sangat lurus.”
“Jadi memang kurang, ya?”
Polly mulai terhuyung-huyung.
“Maafkan aku, aku yang tak becus. Baiklah, aku akan bilang pada bos. Aku akan menggandakan harga dari pelanggan.”
Dia mulai menangis dengan tangan menutupi wajah. Sekali Polly menangis, ia sulit berhenti.
“Maaf, aku yang salah.”
“Bukan, ini semua salahku. Aku selalu begini. Aku bodoh dan lamban, makanya aku selalu dipukul oleh pelanggan.”
“Bukan salahmu...”
“Lalu salah siapa?”
“Salahku.”
Aku tak ingin mengatakan itu, tapi akhirnya keluar juga. Aku merasa muak pada kelemahan diriku sendiri saat melanjutkan kata-kataku.
“Aku yang salah.”
Pintu rumah diketuk. Di lantai dua ini, selain aku dan Polly, hanya tikus-tikus yang tinggal.
“Hei Polly, kapan kamu selesai bersantai? Waktunya pelanggan datang sebentar lagi!”
Itu suara pekerja dari rumah bordil. Dasar gendut menyebalkan, berisik sekali.
“Nah, lihat itu. Karena kamu ngotot dengan hal-hal sepele, aku sudah harus dijemput.”
“Ya, sudah waktunya.”
Aku mengumpulkan tekad dan berkata
“Jadi aku putuskan. Malam ini aku pulang lebih awal. Begitu selesai minum, aku langsung kembali.”
Setelah mengantar Polly pergi, aku merasa lelah dan langsung jatuh ke tempat tidur. Kasur yang reyot itu berderit dengan keras.
Jika dipikir-pikir, hidupku selalu dikendalikan oleh orang lain. Lahir sebagai anak kelima dari delapan bersaudara di keluarga petani, aku dijual kepada pedagang budak saat berusia delapan tahun untuk mengurangi jumlah mulut yang harus diberi makan. Setelah dijadikan budak, aku kabur dan ditangkap oleh perampok, lalu dipaksa menjadi budak lagi. Setelah kabur dari sana, aku berkelana hingga akhirnya ditemukan oleh kelompok tentara bayaran.
Di sana aku belajar dasar-dasar pertempuran. Aku ikut perang. Banyak orang yang kubunuh.
Ketika berusia delapan belas, salah seorang rekan tentara bayaran mengajakku menjadi petualang.
Selama bertarung melawan monster dengan kapak dan tombak, aku mendapatkan banyak teman. Reputasi dan uang pun datang. Bahkan, aku menjadi populer di kalangan wanita. Hidupku yang penuh sial akhirnya tampak berjalan baik. Tapi, aku lupa bahwa roda kehidupan selalu berputar.
Gara-gara dewa matahari tolol itu, kekuatanku direnggut, dan sekarang aku bahkan tak bisa bekerja layak, apalagi menjadi petualang. Setahun sudah aku terdampar di kota ini, dan kini aku hanya menjadi pacar tidak berguna dari seorang pelacur yang labil.
Kalau saja aku punya uang, mungkin nasibku tidak akan seburuk ini. Tapi, semuanya sudah terbuang habis, dan aku sekarang hanya terbaring di ranjang reyot ini.
Mungkin ini memang karma. Namun, aku tak ingin mengeluh. Kalau saja aku mati saat bertarung melawan monster, aku tak akan menjalani hidup menyedihkan seperti ini. Tapi karena aku selamat, aku harus bertahan. Bunuh diri bukanlah pilihanku. Kalau pun harus mati, aku lebih baik memilih untuk membunuh nenek yang melahirkanku dengan menggigit putingnya saat aku lahir.
“Yah, biar saja. Apa pun yang terjadi.”
Kehidupan selalu penuh kejutan. Siapa yang tahu, mungkin besok pagi dewa matahari itu terpeleset karena menginjak bulu pantatnya sendiri dan meninggal.
Saat berjalan melewati panti asuhan, aku melihat wajah yang familiar. Seorang anak laki-laki yang berlari-lari tanpa baju dikejar oleh seorang anak yang lebih tinggi.
“Hei, bocah!”
Saat aku memanggil, April mengerutkan wajahnya dengan kesal.
“Apa, Matthew?”
Dia berkata dengan nada tak acuh.
“Jangan ganggu aku. Aku harus memakaikan baju untuk anak ini. Ayo, berhenti! Nanti kau masuk angin!”
Dia kembali mengejar anak kecil itu. Penampilannya mungkin seperti gadis biasa yang imut, tapi tidak ada orang bodoh di kota ini yang berani main-main dengannya. Dia adalah cucu dari ketua guild petualang yang bahkan para penjahat takut padanya. Kalau ada yang berani melukai anak ini, mereka pasti akan mati dalam waktu setengah hari. Meskipun kecil, dia sering membantu di panti asuhan ini dan sesekali bekerja di guild petualang.
“Sedikit penghormatan sepertinya pantas, ya? Aku kan jauh lebih tua dari kamu.”
“Kakekku—ah, maksudku, Yang Mulia Kakek, bilang ‘jangan pernah meladeni Matthew, dia tidak berguna’.”
Dasar kakek brengsek, menyebarkan omong kosong pada cucunya.
“Dez juga bilang begitu.”
Kalau aku bisa, sudah kulindas si bocah kecil ini.
“Dez bilang kau mengajar anak-anak di sini, ya? Bagaimana kalau kau mengajariku juga?”
“Untuk orang dewasa?”
“Menulis itu sulit bagiku. Namaku saja aku tulis dengan susah payah.”
“Aku pasti menolak.”
Dia menolakku dengan dingin. Dingin sekali.
“Cepat pergi. Kalau tidak, aku akan panggil orang.”
“Hei, hei.”
Yah, ini cukup untuk membuang waktu. Perasaan kesal yang tadi ada di rumah kini sudah hilang.
“Sebelum matahari terbenam, pulanglah. Kota ini makin berbahaya. Kabarnya ada penculik anak-anak yang berkeliaran.”
April mengabaikanku dan masuk ke dalam gedung.
Itu sudah cukup untuk berurusan dengan anak-anak. Kini waktunya untuk urusan orang dewasa.
“Hei, apa kamu sudah mau pulang?”
Sterling, yang melihatku berdiri, menarik lenganku dengan wajah merah karena mabuk.
“Ya, sepertinya begitu.”
“Eh, jangan dong. Ayo, kita minum lagi. Matthew, kamu hampir tidak minum apa-apa.”
Sterling merangkul leherku seperti seorang kekasih yang memohon, tapi aku mencoba melepaskannya. Meskipun tubuhnya kurus, tenaganya ternyata lebih kuat dariku.
“Hoi, cukup sudah.”
Baru saja dia melepaskanku, dia terlempar ke belakang dan menghantam dinding kedai. Setelah bersandar sebentar, dia jatuh ke lantai dan mulai mendengkur.
“Aku benci orang mabuk.”
“Terima kasih. Kamu anak yang baik.”
Aku mengacak-acak rambut Desmond yang keriting dan acak-acakan seperti jenggotnya, namun dia hanya meninju perutku tanpa bicara. Aku pun terjatuh ke lantai.
“Aku juga benci orang yang sok akrab.”
Memang dia orang yang tidak bisa diajak bercanda. Sambil mengelus perutku yang terasa sakit, aku berdiri.
“Kenapa lama sekali? Ada masalah?”
Hari ini aku seharusnya minum dengan Dez, tapi karena terlibat dengan Sterling, dompetku kini kosong.
“Dua orang idiot membuat keributan di dalam guild.”
“Itu urusan kecil buatmu, kan?”
Setidaknya di kota ini, tak ada yang bisa mengalahkan Dez dalam pertarungan. Mengacak-acak rambutnya pasti lebih mudah.
“Orang mabuk tidak masalah. Tapi mereka licik. Itu yang bikin repot.”
“Preman?”
Dez menggeleng.
“Orang-orang dari ‘Shiled of Goddes War of Aegis.”
Mereka adalah kelompok petualang yang sedang naik daun, terdiri dari tujuh orang... ah, sekarang tinggal enam. Pemimpinnya adalah Alwyn Mabel Primrose Mactarod, putri dari Kerajaan Mactarod yang dihancurkan oleh monster. Dia adalah pendekar pedang yang luar biasa dan berjanji akan membangun kembali kerajaannya dengan menjelajahi dungeon besar ‘A Thousand White Night’. Karena kecantikan dan kemampuannya, dia dikenal sebagai ‘Red Knights’. Para penyair pun sering menyanyikan lagu-lagu tentangnya—tentang pertempuran pertamanya melawan seorang ksatria pada usia tujuh tahun, hingga kisah perjuangannya melawan monster untuk menyelamatkan rakyatnya. Lagu-lagu itu sering terdengar di bar, sampai-sampai aku merasa sudah menjadi ahli tentang Alwyn.
“Yang membuat keributan bukan dia, tapi anggota baru. Mereka besar kepala karena reputasi sang putri, dan akhirnya bertengkar dengan para petualang lain.”
“Bagaimana dengan ksatria putri itu?”
“Dia tidak ada di sana. Di depan sang putri, mereka rendah hati, tapi begitu dia tak ada, mereka jadi arogan.”
“Seingatku, salah satu anggota mereka baru-baru ini tewas, ya?”
“Dibunuh oleh Lindwurm.”
Lindwurm adalah ular raksasa yang bersarang di kedalaman dungeon. Biasanya, ia hanya tidur tenang, tapi begitu bangkit, ia tak bisa dihentikan. Tubuhnya sebesar sungai, ekornya tajam seperti tombak, dan taringnya seperti pedang. Aku pernah melihatnya sekali di dungeon lain, dan itu cukup untuk membuatku kabur ketakutan.
“Katanya dia dimakan hidup-hidup mulai dari bagian bawah tubuh.”
“Kasihan sekali.”
“Seandainya tubuhnya dimakan habis, setidaknya dia tak harus meninggalkan mayat yang begitu mengerikan.”
“Dan sekarang mereka malah mabuk dan berkelahi, bukannya menjelajahi dungeon.”
“Kalau mereka butuh pelampiasan, kenapa tidak pergi ke rumah bordil saja?”
“Aku mengerti bagaimana perasaan mereka,”
“Karena hal itu bisa saja terjadi padaku besok.”
Menjadi petualang memang pekerjaan yang dekat dengan kematian. Hari ini kita tidur di tempat tidur, tapi besok mungkin di peti mati. Aku dan Dez mungkin sudah mundur dari garis depan, tapi kenangan akan saat-saat itu masih segar dalam ingatan kami.
“Suasana jadi buruk, ya.”
Aku berdiri.
“Kenapa? Baru saja datang, sudah mau pulang?”
“Itu karena kamu datang terlambat.”
Dez memasang wajah tak puas, jadi aku mencolek pipinya yang penuh dengan janggut.
“Istrimu sebentar lagi melahirkan, kan? Pulanglah lebih awal.”
“Itu bukan urusanmu.”
Tinju besi Dez kembali menghantam perutku. Bukan cara yang lembut untuk menutupi rasa malunya sebagai pengantin baru.
Aku berpisah dengan Dez dan mulai berjalan-jalan di sekitar kawasan bar. Suara riuh orang mabuk terdengar dari berbagai arah, dan aroma daging panggang menggoda hidungku. Perutku pun berbunyi, seolah berterima kasih pada Dez karena telah membuatnya lebih lapar. Aku ingin sekali masuk ke kedai dan menuangkan bir ke tenggorokan, tapi dompetku benar-benar kosong, dan tak ada tempat lagi yang mau memberikan utang.
Di saat seperti ini, cara terbaik adalah menemukan kenalan dan menumpang minum. Sterling? Dia jelas bukan pilihan.
Aku berhenti di beberapa tempat, berharap melihat seseorang yang kukenal, tapi tak ada satu pun yang bisa kuandalkan. Yang ada hanya preman-preman yang pernah merampokku. Ketika seorang anak kecil dengan tubuh mungil mulai mendekat dengan tatapan licik, aku segera pergi dari sana.
“Heh.”
Begitu aku berhasil kabur, seseorang menarik ujung lengan bajuku dari dalam gang. Saat aku menoleh, seorang wanita berambut pirang dengan pakaian terbuka tersenyum genit padaku. Bau bedaknya sangat menyengat.
“Matthew, maukah kamu bersamaku malam ini?”
Itu Maggie, seorang pelacur yang kukenal. Kami pernah bersama beberapa kali di masa lalu. Meskipun dia mencoba tampil muda, usianya pasti sudah lebih dari tiga puluh.
“Aku lewat kali ini.”
“Kamu malu pada Polly, ya? Jangan khawatir, aku bisa merahasiakannya.”
Menggoda pria yang dia tahu sudah punya pasangan jelas bukan sikap yang pantas.
“Aku senang kamu menawarkannya, tapi sepertinya ada yang lebih membutuhkanmu sekarang.”
Yang menarik ujung lengan bajuku adalah seorang gadis kecil berambut pirang, mungkin berusia tujuh tahun.
“Ibu.”
“Ah, Sera. Kamu tak boleh begitu.”
Maggie berjongkok dan memeluk gadis itu dengan sayang. Aku tak tahu siapa ayahnya, mungkin petualang yang mati di suatu tempat atau lari ke kota lain. Sera masih sangat muda, usia di mana dia pasti ingin selalu dekat dengan ibunya. Tapi Maggie harus menjual dirinya untuk mencari nafkah, tidur dengan pria lain setiap malam.
“Ibu, aku kesepian. Tidurlah bersamaku.”
Maggy menatap bergantian antara putrinya dan aku. Meskipun keinginan putrinya sangat tulus, dia tahu bahwa malam ini dia harus tidur bersama pria-pria asing yang tidak dikenalnya, karena jika tidak, dia dan putrinya akan terdampar di jalanan.
Aku merogoh saku celanaku dan menyerahkan beberapa keping perak yang tersisa kepada Maggy.
“Pakailah uang ini untuk malam ini. Kau bisa tidur bersama anakmu malam ini. Akhir-akhir ini, keadaan semakin berbahaya.”
Kota yang dikenal sebagai ‘Grey Neightbor’ ini dipenuhi dengan orang-orang berbahaya. Selain kekerasan dan penyelundupan, kabar terakhir yang beredar menyebutkan bahwa ada organisasi yang menculik anak-anak dan menjual mereka ke orang-orang mesum.
Maggy menatap koin perak di tangannya, lalu menundukkan kepalanya dengan perasaan haru.
Aku berlutut di depan Sera, putrinya yang berusia sekitar tujuh tahun.
“Hai, senang bertemu denganmu, Nona Kecil. Kudengar kamu suka bermain dengan anak-anak di serikat petualang. Mereka sering membicarakan tentangmu. Kamu tidak merepotkan mereka, kan?”
Sera sering bermain dengan anak-anak di panti asuhan, itulah sebabnya dia dikenal oleh April, seorang teman baikku.
“Dia anak yang baik. Dia manis, tidak pernah merepotkan, dan dia suka memberi permen. Dia juga mengajari anak-anak yang lain cara membaca”
“Bagaimana denganmu?”
“Aku suka April, tapi aku benci belajar.”
“Aku juga”
“Dia anak yang baik. Jadi, tetaplah bersahabat dengannya.”
“Baik, aku mengerti”
Jawab Sarah sambil membusungkan dadanya dengan bangga saat aku mengusap kepalanya.
Aku melambai dan berjalan pergi. Saat aku hampir mencapai sudut jalan, Seraberteriak dengan suara keras.
“Hei, apakah aku melakukannya dengan baik?”
Kaget, aku berbalik dan melihat Maggy menutup mulut Sera dengan rasa malu.
Aktor yang luar biasa, pikirku.
“Tidak apa-apa, kamu sudah melakukannya dengan baik. Pertunjukannya cukup menghibur,”
Aku mengangkat bahu dan melanjutkan perjalanan.
Aku melewati gang sempit dan tiba di jalan yang lebih sepi. Tapi, perjalananku belum berakhir.
Aku tahu bahwa jika aku ingin minum, aku harus menghasilkan uang. Tapi, aku tidak punya tenaga, otak, atau keterampilan. Satu-satunya keahlian yang kumiliki mungkin hanya di 'area itu'. Setidaknya, aku cukup percaya diri dalam hal ukuran dan teknik.
Mungkin ada seorang janda kaya dengan tubuh indah yang merasa kesepian di luar sana, yang terus-menerus mencari pasangan untuk memuaskan hasratnya. Umurnya mungkin sekitar tiga puluh tahun, atau mungkin sedikit lebih tua juga tidak masalah.
“Oh?”
Aku tiba di sebuah tempat yang dikenal sebagai ‘Golden Lion Fang'. Berbeda dengan bar tempatku minum tadi, tempat ini dipenuhi oleh pelanggan yang punya uang. Harganya pun jauh lebih mahal. Segelas bir di sini bisa memberiku lima gelas di tempat sebelumnya. Karena aku lebih memilih kuantitas daripada kualitas, aku biasanya memilih tempat yang lebih murah. Tapi kali ini, ada sesuatu yang menarik perhatianku.
Sosok yang dikenal sebagai ‘Red Princess Knight’—Nona Alwyn, sedang duduk sendirian di meja bar. Dia tampaknya tidak ditemani siapa pun dan menikmati minumannya sendiri.
Tidak aneh baginya untuk minum di tempat ini. Dia jelas punya uang. Bahkan seorang ksatria putri mungkin butuh waktu untuk menikmati minuman sendirian.
Mungkinkah aku bisa meminta segelas minuman darinya?
Secara logis, kemungkinan besar aku akan ditolak. Mungkin aku juga bisa dipukul. Tapi suara perutku yang keroncongan dan wajah cantik Nona Alwyn yang tampak kesepian membuatku tidak bisa menahan diri. Jadi, aku mendorong pintu ‘Golden Lion Fang’.
Di dalam, suasana temaram diterangi oleh lilin, dan keheningan memenuhi ruangan, seolah-olah kebisingan dari luar hanyalah ilusi. Selain Nona Alwyn, hanya ada tiga pelanggan lain, serta pria berusia sekitar empat puluhan dengan janggut di belakang bar, sibuk mencuci gelas. Tampaknya dialah pemilik tempat ini. Dia menatapku dengan ekspresi tidak senang. Tatapannya jelas mengatakan “Pergilah dari sini, orang miskin.”
Aku mengabaikan pandangan kasar itu dan duduk di sebelah Nona Alwyn.
“Segelas bir, tolong.”
“Kau punya uang?”
Sungguh pria yang tidak sopan.
“Tentu saja. Lebih banyak dari gajimu, mungkin.”
Sedikit kebohongan tidak ada salahnya. Di dunia ini, ada hal-hal yang lebih penting daripada kebenaran—seperti harga diri, misalnya.
“Bayar di muka”
Aku melemparkan koin perak ke atas meja. Meskipun aku berniat untuk meminta minuman dari orang lain, ternyata di dompet Sterling masih ada delapan koin perak lagi. Sepertinya aku telah mengambil lebih banyak dari yang seharusnya, tapi anggap saja ini sebagai biaya penggantian kerugian atas keributan yang dia buat tadi.
Tanpa bicara, pemilik bar itu mengambil koin tersebut dan menyerahkan segelas bir kepadaku.
Nona Alwyn tetap tidak melihatku, seolah-olah aku tidak ada. Namun, aku tahu dia masih waspada. Dari auranya, aku bisa merasakan bahwa jika aku mencoba mendekatinya dengan niat buruk, dia akan langsung mengalahkanku.
Aku tidak tahu harus mulai bicara dari mana, jadi aku hanya menyesap birku pelan-pelan. Betapa menyedihkan.
Tidak ada yang berbicara, dan suasana bar begitu sunyi. Kebisingan dari luar terdengar jauh, seolah-olah itu berasal dari dunia lain.
Terkadang, berbicara omong kosong dengan teman seperti Dez atau Sterling memang menyenangkan. Tapi, ada kalanya aku lebih suka menikmati minuman dalam keheningan. Dan duduk di sebelah wanita cantik seperti Nona Alwyn membuat suasana ini semakin menyenangkan.
“… Apa maumu?”
Akhirnya Nona Alwyn berbicara, menatapku sekilas dari sudut matanya. Aku pikir dia sama sekali tidak menyadari kehadiranku, tapi tampaknya dia mulai merasa kesal.
“Aku hanya ingin bicara.”
“Kalau begitu, percakapan kita sudah selesai”
Dia berkata sambil kembali menatap ke arah bar. Jelas sekali dia ingin aku pergi.
“Tapi aku bisa pergi atau tinggal sesuka hatiku. Kamu tidak punya hak untuk memerintahku”
“Kalau begitu, aku saja yang pergi”
Sambil meletakkan koin emas di atas meja dia bangkit berdiri.
Aku membuka mulutku.
“... Kudengar kamu baru saja kehilangan seorang rekan.”
Ekspresi Nona Alwyn mengeras. Aku tahu itu. Petualang yang minum sendirian biasanya punya alasan yang sama.
“Aku mengerti perasaanmu. Kehilangan rekan adalah hal yang sulit. Kesedihan karena kehilangan seseorang yang penting itu bukan sesuatu yang bisa diatasi begitu saja. Rasa tidak berdaya dan penyesalan bercampur di dalam dirimu, membuat perutmu terasa seperti diputar-putar. Rasanya seperti kehilangan setengah dari dirimu. Bukan hanya saat kau tidur, tapi saat kau melakukan apa pun, bayangan kematiannya selalu ada di pikiranmu. Minum bukan karena kau ingin mabuk atau karena rasanya enak. Minum adalah obat untuk mencegahmu menghantamkan kepalamu ke dinding atau merobek kulitmu sendiri.”
“….”
“Kita masih punya teman lain. Kita tidak sendirian. Daripada memikirkan mereka yang sudah pergi, kita seharusnya memperhatikan dan melindungi yang masih ada sekarang. Tapi, itu hanya teori. Perasaan seperti 'seharusnya' atau 'harus dilakukan' saja tidak bisa menghilangkan rasa sakit ini. Mungkin waktu akan menyembuhkannya, tapi tidak ada jaminan kita bisa bertahan sampai saat itu tiba. Dan tidak ada yang bisa menjamin itu untuk kita. Ah, berapa lama lagi ini akan berlangsung, ya?”
Sadar atau tidak, Alwyn sudah duduk tegak dan menghadapku. Padahal, sebelumnya dia bahkan tidak mau menatapku dan hanya menatap bar.
“Maaf, kalau aku mengorek luka lama. Aku minta maaf.”
Aku sudah bersiap-siap jika dia hendak memukulku. Tapi, ekspresi Alwyn menunjukkan keterkejutan, bukan kemarahan atau penghinaan. Sepertinya, ucapanku tadi tidak sepenuhnya sia-sia.
“… Kamu juga seorang petualang?”
“Ya, dulu.”
Sejak masa-masa menjadi tentara bayaran, aku sudah kehilangan banyak teman. Bahkan ketika aku bergabung dengan ‘Thousand Blade’, hal yang sama terus terjadi. Kesalahan kecil, situasi yang tak terduga, pengkhianatan, kelalaian, serangan mendadak, dan sebagainya. Orang-orang di sekitarku seolah mudah mati. Itulah sebabnya aku sangat menyukai pria berjanggut lebat yang ceroboh tapi jujur itu, yang bahkan setelah dipukul, dibakar, dipotong, atau bahkan dihimpit batu besar, masih tetap berdiri tegak.
Alwyn menatapku penuh pertimbangan.
“Kamu terluka?”
“Yah, bisa dibilang begitu.”
Aku tidak ingin bercerita soal Dewa Matahari yang kotor itu. Lagi pula, ini adalah percakapan dengan seorang wanita cantik. Tidak pantas jika suasana rusak karena cerita itu.
“Itulah sebabnya, sebagai nasihat dari seseorang yang pernah mengalaminya, aku bilang, tidak apa-apa untuk bersedih. Aku juga tidak bilang kamu harus melupakan. Kamu boleh marah, takut, atau membenci sebanyak yang kau mau. Tapi tolong, jangan pernah menyesal. Penyesalan bukan sesuatu yang bisa 'ditelan'.”
“‘Ditelan’? Maksudmu 'dilakukan', kan?”
Alwyn menatapku dengan wajah heran, jadi aku melanjutkan.
“Penyesalan itu seperti obat. Jika kau menggunakannya untuk melarikan diri dari penderitaan, kau akan tenggelam dalam rasa kasihan pada diri sendiri, dan akhirnya tidak bisa bergerak lagi dari sana.”
“……”
Alwyn menunduk, menatap gelasnya. Saat dia meletakkannya, cairan di dalamnya bergelombang, menciptakan riak merah.
“Seandainya aku melakukan ini, seandainya aku lebih cepat menyadarinya, itu semua adalah pemikiran yang muncul belakangan. Semuanya hanya khayalan. Kamu setuju?”
Tidak ada jawaban. Dari pandangan matanya yang tertunduk, sepertinya dia sedang mencoba menggali emosinya sendiri.
Aku menarik napas panjang.
“Kalau kau mau, aku bisa mendengar keluhanmu. Apa pun itu. Bagaimana kalau kita lanjut minum di tempat lain? Oh, dan soal bayarannya...”
Tiba-tiba aku dipukul dari belakang. Serangan yang begitu mendadak membuatku tersungkur, dan saat aku berbalik, seorang pemuda berambut pirang dengan wajah memerah menendang daguku. Aku terlempar ke belakang, terjatuh telentang tanpa sempat menahan diri.
“Berhenti, Ralph!”
Alwyn menahan pemuda bernama Ralph yang berusaha menyerangku lagi.
“Apa-apaan ini, langsung pakai kekerasan?”
“Jangan biarkan dirimu terlibat dengan orang bejat seperti dia, Nona.”
Ralph sepertinya mengenalku. Dia menggelengkan kepala dan menarik tangan Alwyn, memaksanya keluar.
“Ayo pergi. Tuan Rust menunggu.”
Dia tampak bertekad menyeret Alwyn pergi, tanpa memedulikan pendapat sang putri.
“Lepaskan, Ralph!”
“Tidak, kali ini aku akan bicara terus terang. Anda harus segera kembali ke dungeon, Nona...”
“BERHENTI!”
Suara Alwyn yang nyaring menggema di seluruh bar. Tempat itu mendadak hening. Bahkan Ralph membeku seperti tiang karena terkejut. Ketika aku melihatnya, Alwyn tampak pucat. Dia mungkin menyesal karena menjadi emosional.
“Aku... Aku bukan anak kecil. Aku bisa pulang sendiri.”
Dia bergumam pelan, seolah-olah merasa bersalah.
“Maafkan saya, Nona. Tapi, jika Anda terus seperti ini, kita hanya akan membuang waktu. Saya mengerti Anda sedang sedih, tapi sudah saatnya...”
Meskipun Ralph meminta maaf, dia tampaknya belum menyerah untuk membawa Alwyn pergi. Alwyn mengangguk pelan, tampak tidak rela.
“Berapa totalnya?”
Saat mereka hendak keluar dari bar, pemiliknya memanggil dengan suara tenang.
Sebagai jawaban, Ralph kembali dengan langkah lebar dan melemparkan sesuatu ke atas meja. Dari suaranya, sepertinya dia meletakkan sejumlah uang.
Tepat sebelum pintu tertutup, aku sempat melihat wajah Alwyn di celahnya. Dia tampak seperti anak kecil yang tersesat.
... Mereka sudah pergi. Aku menghitung sampai lima puluh sebelum berdiri. Pukulan tadi tidak seberapa. Aku mungkin tidak bisa melawan balik, tapi aku juga tidak akan mati.
“Yah, aku juga akan pulang. Maaf sudah membuat keributan.”
Alwyn sudah pergi, dan tidak ada orang lain yang bisa aku manfaatkan untuk minum gratis. Aku sudah mulai sober. Tak ada pilihan lain selain kembali ke tempat tidur.
Satu-satunya tempat tidur yang aku miliki kosong. Dia belum pulang. Aku menghampirinya, tapi sebelum sempat tidur, bayangan hitam muncul dari bawah meja. Seperti laba-laba, dia melompat ke kakiku, memeluknya erat-erat.
“Kalau kamu ingin bermain kejar-kejaran, aku bisa ikut, Polly.”
Ketika aku mencoba menarik tangannya untuk mengeluarkannya dari bawah meja, dia merajuk seperti biasa.
Aku membuka jendela. Cahaya bulan masuk, menerangi tubuh Polly yang malang. Ujung matanya memar berwarna merah kehitaman, rambutnya kusut, dan sudut bibirnya robek.
“Kasihan sekali kamu, diperlakukan seburuk ini lagi.”
Di kalangan pelacur kelas rendah, pelanggan biasanya adalah sampah. Orang-orang aneh yang tidak bisa merasa puas kecuali mereka memukul seorang wanita dilarang masuk ke rumah bordil yang terhormat.
Tidak ada obat mewah untuknya. Aku berdiri untuk mencari air dan membersihkan wajahnya, tapi Polly tiba-tiba memelukku.
“Maafkan aku, Matthew.”
Dia mengusap air mata dan ingus di celanaku sambil menggesekkan pipinya padaku.
“Aku selalu menyusahkanmu.”
“Bukan salahmu. Kamu tidak bersalah. Orang yang memperlakukanmu dengan kejam itulah yang salah.”
“Tidak, ini salahku.”
Dengan tatapan kosong, Polly menggigiti kukunya. Itu kebiasaannya saat dia cemas. Karena itulah kuku jempolnya selalu setengah terkoyak.
“Aku ini payah. Mereka adalah pelanggan. Aku seharusnya bisa menghadapi mereka dengan senyuman, bahkan jika mereka sedikit kasar. Ayahku selalu bilang begitu. Kau tahu itu, kan?”
“Iya.”
Aku belum pernah bertemu dengannya, tapi aku sudah mendengar hal ini darimu sejuta kali.
“Aku ingin menjadi lebih baik. Hanya karena aku seorang pelacur, bukan berarti orang boleh meremehkanku. Meskipun aku tidak sepintar Vanessa, aku yakin aku bisa menjadi pelacur yang pandai.”
“Iya, aku tahu kamu bisa.”
“Itulah sebabnya, jangan tinggalkan aku, ya, Matthew. Aku akan berusaha. Kamu tahu, kan? Aku bahkan bisa menulis. Jika aku mau, aku bisa bekerja sebagai juru tulis. Kalau punya modal, aku bisa memulai bisnis. Suatu hari nanti, kita bisa memulai usaha bersama. Tidak harus di kota ini.”
Malam ini, sekali lagi, dia mengulang kata-kata yang entah adalah penyesalan atau deklarasi tekad. Tapi aku belum pernah melihat Polly melakukan sesuatu untuk mengubah keadaannya. Bahkan istilah “sebentar panas, cepat hilang” tidak berlaku di sini. Ini hanyalah impian sesaat. Dengan berbicara tentang mimpi, dia bisa merasakan versi dirinya yang lebih baik daripada dirinya yang sekarang. Dia bisa meratapi ketidakbahagiaan dan terjebak dalam penyesalan, tetapi tidak pernah berusaha untuk mengubah kenyataan. Tanpa alkohol atau obat-obatan pun, Polly adalah seorang pemabuk yang kecanduan.
“Apa yang sebaiknya kita jual, ya? Anggur mungkin bagus, tapi Matthew pasti akan meminumnya semuanya, jadi itu tidak bisa. Bagaimana dengan garam, gandum, atau lilin?”
Semua barang itu sudah dimonopoli oleh serikat dagang. Karena merupakan barang kebutuhan pokok, pengawasan terhadap perdagangan ilegal dan hukuman bagi pelanggar sangat ketat. Kalaupun kami bergabung, tidak akan ada ruang bagi pendatang baru. Ide-ide Polly selalu kosong dan tidak realistis.
Menurut Vanessa, sang penilai di guild petualang, dulu Polly tidak seperti ini. Dia berasal dari keluarga pedagang yang cukup baik. Walaupun agak bodoh, dia dulu membantu keluarganya. Katanya, dia bahkan pernah bertunangan. Mungkin saja dia akan menjadi istri pedagang yang cukup kaya. Namun, ketika tokonya bangkrut, ibunya menggantung diri, dan ayahnya menjual Polly ke rumah bordil. Tidak bisa menerima kenyataan, Polly tak bisa menyesuaikan diri dengan kehidupannya sekarang, terjebak dalam impian solusi yang tidak realistis, dan akhirnya jatuh ke titik paling rendah. Vanessa, yang tidak tahan melihatnya, berkali-kali mencoba menyarankan pekerjaan lain, tetapi Polly bahkan tidak bisa bertahan setengah hari.
Kerja yang benar. Hadapi hidupmu dengan serius. Tidak ada gunanya mengajari Polly dengan kebenaran ini. Dia akan mengangguk setuju saat itu juga, tetapi keesokan harinya, dia akan mengulangi hal yang sama. Lebih mudah baginya untuk menangis dan mabuk dalam alkohol murahan daripada berusaha mengubah keadaan. Perlahan-lahan, dia semakin menua. Aku bisa melihat diriku yang lain dalam dirinya.
“Iya, benar. Kamu tidak salah. Kamu pasti bisa melakukannya.”
Dan sekali lagi, aku mengucapkan kata-kata yang bahkan aku sendiri tidak percayai sedikit pun.
Beberapa waktu kemudian, istri Dez melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat. Dez sangat bahagia. Di guild, dia masih bersikap keras, tetapi saat pulang ke rumah, dia akan tersenyum dan menggendong bayinya. Melihat sahabatku bahagia juga membuatku senang. Aku juga punya bahan untuk menggodanya.
Saat aku berjalan-jalan di kota untuk mencari hadiah untuknya, aku melihat sosok seseorang memasuki gang secara tiba-tiba.
Secara refleks, aku menoleh. Sosok dengan tudung abu-abu itu berjalan masuk ke dalam. Bentuk pantatnya yang bagus dan cara berjalannya yang anggun tidak mungkin salah.
Sejak hari itu, aku belum bertemu lagi dengan sang ksatria putri. Kadang-kadang aku mengintip ke dalam ‘Golden Lion Roar Tavern’, tapi dia tidak pernah ada di sana.
Dia sibuk memasuki ‘dungeon’ dan berperang dengan gagah berani. Sementara aku menghabiskan hari-hariku dengan minum, berjalan tanpa tujuan di sekitar kota, mencari-cari koin di jalan, dan menghibur Polly yang selalu menangis di malam hari. Kami hidup di dunia yang berbeda.
Sungguh, kami berasal dari dua dunia yang berbeda. Percakapan yang kami lakukan hanyalah sebuah kebetulan. Mungkin aku akan melihatnya lewat atau dari kejauhan, tetapi kesempatan untuk berbicara lagi mungkin sudah tidak ada.
Apa yang dia lakukan di sini? Pakaiannya berbeda dari biasanya, dan tempat ini bukanlah tempat di mana seorang putri seperti dia seharusnya berada. Bahkan si bocah gila, Ralph, tidak ada.
Setelah ragu sejenak, aku memutuskan untuk mengikutinya. Aku mengikuti bau pesing dari kencing orang mabuk dan bau busuk dari berbagai barang kecil yang dijual di sana. Dengan postur tubuhku yang besar, aku khawatir dia akan menyadari bahwa aku mengikutinya, tetapi dia tampaknya tidak menyadarinya.
Kami berjalan melewati gang-gang berliku, dan akhirnya tiba di belakang rumah bordil bernama ‘’Red Boxer’ yang terletak di ‘Night Light Butterfly Road’. Apa yang dia lakukan di sini? ‘Grey Neighbor’ dikenal dengan banyak rumah bordil pria, tetapi di tempat ini, hanya ada pelacur wanita. Apakah sang ksatria putri punya preferensi seperti itu?
Saat aku kebingungan, seorang pria keluar dari pintu belakang, dan aku terkejut.
Itu Oscar. Kekasih Vanessa, pria berusia sekitar tiga puluh tahun yang berpenampilan menawan. Dia pria yang tampan, dengan rambut pirang dan mata biru, tetapi aku tahu dia sama sepertiku, seorang bajingan.
Oscar berjalan keluar dengan senyum lembut, tetapi matanya tajam, memeriksa sekeliling dengan waspada. Aku bersembunyi di balik bayangan, memperhatikan. Oscar memberikan sebuah bungkusan kecil kepada Alwyn. Sebagai gantinya, dia menerima sebuah kantong kecil. Suara gemerincing koin terdengar samar-samar. Oscar memeriksa isi kantongnya, lalu mengangguk puas.
“Aku sudah menepati janjiku”
Alwyn menahan amarahnya saat berbicara.
“Kembalikan barang itu sekarang juga.”
“Barang? Barang apa?”
Oscar bertanya dengan nada pura-pura bodoh.
Seperti yang diduga, Alwyn meledak marah.
“Kau menipuku!”
“Sebaiknya kau tidak berteriak di sini.”
Oscar menaruh jarinya di bibir, mengisyaratkan agar diam.
“Kalau orang lain tahu, yang akan celaka bukan aku, tapi kau, bukan? Benar, ‘Red Princess Knights’.”
Meskipun bisikannya pelan, nada suaranya terdengar penuh kemenangan, seolah-olah dia baru saja mengalahkan seekor naga.
“Pakai tudung seperti itu pasti sulit untuk berbicara. Bisakah kau melepaskannya?”
“…”
“Tolong lepaskan tudungmu”
Katanya lagi, kali ini dengan nada lebih tegas.
Dengan enggan, Alwyn melepaskan tudungnya, memperlihatkan rambut merahnya yang berkilau.
“Seperti yang kuduga, kau cantik sekali… Eh, tunggu!”
Alwyn menggerakkan tangannya ke arah pedangnya, tapi Oscar dengan cepat mundur.
“Jangan bersikap kasar. Jika kau menimbulkan keributan di sini, kita berdua yang akan rugi, kan?”
Kata-kata ancaman Oscar berhasil membuat Alwyn ragu. Sang putri pemberani yang biasanya menerobos ke tengah-tengah monster untuk menyelamatkan temannya kini terlihat takut.
Akhirnya, tangannya terlepas dari gagangnya. Yakin akan kemenangannya, Oscar melangkah mendekat, menjaga jarak yang aman dari Alwyn.
“Aku tahu. Aku akan mengembalikan barangmu. Tapi, kurasa sedikit uang ini tidak cukup. Kau pasti tahu nilai barang itu lebih baik daripada aku, kan?”
Oscar menggoyangkan kantong berisi koin, memamerkannya. Jumlahnya setara dengan biaya hidupku selama sepuluh tahun.
Alwyn menggertakkan giginya, wajahnya menunjukkan kepahitan dan kebingungan.
“Karena kita akan bekerja sama dalam jangka panjang, rasanya sayang kalau hanya dibayar dengan uang. Kau mengerti, bukan?”
Oscar mengulurkan tangannya ke rambut merah Alwyn. Meski Alwyn menggeliat sedikit, dia tidak menyingkir.
“Kalau aku melaporkannya, baik aku maupun kau akan hancur. Aku sih tidak apa-apa, toh aku tidak punya apa-apa yang perlu hilang. Tapi kau, itu cerita lain. Bukan begitu?”
“......”
“Nah, kalau kau tetap diam, tak akan ada yang tahu. Mari kita buat hubungan kita lebih... akrab.”
Tangan Oscar bergerak ke lehernya yang putih dan ramping. Aku mencubit hidungku.
“Hoi, kau di sana! Apa yang kau lakukan?”
Tiruan suara serak dari penjaga dengan kulit gelap adalah salah satu dari sedikit keahlianku. Suara serak khas mereka cukup mudah ditiru.
“Kau, Oscar kan? Jangan bergerak!”
Aku meniru suara langkah kaki yang mendekat.
Oscar mendecakkan lidah dan kabur dari tempat itu. Sepertinya dia menabrak seseorang dalam kepanikan, terdengar teriakan melengking. Ditinggalkan begitu saja, Alwyn terdiam sebentar, tapi akhirnya dia mengenakan tudungnya lagi dan mencoba pergi dari tempat itu.
“Tunggu sebentar, Nona.”
Alwyn berhenti dan menoleh.
“Oh ya, aku belum memperkenalkan diri.”
Berusaha membuatnya merasa aman, aku mengangkat kedua tangan dan berbicara dengan nada lembut.
“Namaku Matthew. Senang bertemu denganmu.”
Aku tersenyum dan mengulurkan tangan, tetapi dia tidak membalas jabat tangan itu. Seperti anjing liar yang pernah dipukul, dia terlihat sangat waspada.
“Kenapa kau ada di sini?”
“Itu harusnya pertanyaanku. Tempat ini bukanlah tempat yang pantas untuk seseorang sepertimu.”
“Itu bukan urusanmu.”
“Jangan begitu. Aku kan baru saja menyelamatkanmu dari pelecehan.”
“Pelecehan?”
Dia berkedip-kedip, terlihat bingung.
“Ya, pelecehan. Atau mungkin kau yang hendak melakukannya? Kalau begitu, maaf aku mengganggu. Sebagai permintaan maaf, kau bisa menyentuh pantatku. Itu bagian sensitifku, mungkin aku akan mengeluarkan suara aneh.”
“Jangan bercanda! Aku... tidak... maaf. Kau telah menolongku. Aku lengah.”
Sambil berbicara, wajah Alwyn mulai terlihat lega. Sepertinya dia merasa lega rahasianya tidak terbongkar. Dugaanku ternyata benar.
“Aku akan membalas budi ini nanti. Sekarang, aku harus pergi.”
“Jangan begitu. Mari bicara sebentar. Aku punya uang... ups.”
Dompetku jatuh, dan koin-koin tembaga serta perak berhamburan ke tanah.
“Maaf, bisa kau bantu memungutnya?”
Alwyn mengerutkan kening. Pasti terasa menjengkelkan baginya untuk disuruh-suruh oleh preman sepertiku. Mungkin dia juga teringat pada Oscar tadi.
Meskipun begitu, karena merasa berhutang budi, dia menunduk untuk memungut koin. Dia terlalu ceroboh. Saat itu, aku meraih tangannya dan menyelinap ke dalam saku. Aku mengambil bungkus kecil dari sakunya.
“Apa yang kau lakukan!”
Sebelum dia bisa mengambil kembali barang itu, aku segera mundur beberapa langkah.
“Jangan berteriak.”
Dia terlihat sangat marah, hampir saja menarik pedangnya. Aku buru-buru mengangkat tanganku untuk menenangkannya.
“Benda ini bukan sesuatu yang harus dipegang oleh wanita sepertimu.”
Aku tahu ini terlalu ikut campur, tapi aku juga tahu apa yang akan terjadi jika aku mengabaikannya.
“Di guild petualang, ada seorang penilai handal bernama Vanessa. Kau pasti mengenalnya.”
Di jalan sempit seperti ini, aku tahu jika kami bertarung, aku pasti kalah. Aku terus berbicara, mencoba menghindari konflik.
“Dia penilai terbaik yang pernah ada, tapi sayangnya, dia selalu jatuh cinta pada pria brengsek. Pacarnya saat ini, nah, kau sudah bertemu dengannya, Oscar.”
Tubuh Alwyn tampak gemetar.
“Dia seorang pedagang narkoba terkenal. Dia mendapatkan barang-barang mengerikan dari orang-orang berbahaya dan menjualnya pada orang-orang bodoh yang berpikir mereka bangsawan dari kerajaan gurun, atau petualang yang telah kehilangan akal sehat.”
Wajah Alwyn yang tampak dari bawah tudungnya semakin pucat.
“Benda ini... narkoba, dan kau seorang pecandu, bukan?”
Pada saat itu, Alwyn jatuh terduduk, seolah-olah jiwanya telah meninggalkannya.
“Apakah aku salah?”
Tak ada jawaban, tapi reaksi sang ksatria jelas menunjukkan kebenarannya. Ketakutan, kemarahan, rasa malu, keputusasaan—semua bercampur menjadi satu, bergejolak di dalam dirinya. Tangannya bergerak ke lehernya, mungkin untuk menutupi bintik hitam yang muncul di kulitnya.
Aku membuka bungkus kecil itu. Di dalamnya ada botol kecil berisi bubuk putih. Aku membuka tutupnya dan mencium baunya.
“Release, ya.”
Aku belum pernah menggunakannya, tapi dari cerita yang kudengar, satu kali jilat saja bisa membuatmu merasa melayang, melupakan semua rasa takut. Tapi harganya adalah kehancuran. Dalam beberapa tahun, tubuhmu akan hancur, tulang dan organmu akan membusuk. Meski kau berhenti, rasa sakau itu seperti neraka.
Suara erangan keluar dari mulut Alwyn. Ada nada putus asa dalam suaranya. Meski dia belum melompat padaku, keadaannya jelas semakin buruk. Jika terus seperti ini, dia mungkin akan melakukan apa saja demi mendapatkan dosis lagi.
Aku membuka tutup botol itu, dan membuang botol berisi bubuk putih ke saluran pembuangan terdekat. Bubuk putih itu ikut mengalir bersama botolnya.
“Aku tidak bermaksud mencampuri urusan pribadi, tapi mengandalkan hal seperti ini...”
Tiba-tiba, aku merasakan benturan di bagian belakang kepala. Sang putri ksatria yang matanya memerah penuh kemarahan menerjangku.
“Kau, bajingan!”
Dengan emosi yang meledak-ledak, dia mulai memukuliku. Aku buru-buru mengangkat kedua lengan, tapi kepalan tangannya berhasil menghantam wajahku. Tidak terlalu berat, tapi gerakannya cepat, sulit dihindari. Dia memukulku berulang kali melalui celah di pertahananku, sampai aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke tanah dengan posisi terlentang. Dia segera duduk di atas tubuhku, lalu menghantamku lagi.
Ini buruk. Dalam kondisi sekarang, aku bahkan tak bisa menang melawannya secara fisik. Sang putri ksatria tampaknya benar-benar terbakar emosi, gerakannya juga semakin kasar. Aku menundukkan kepala sedikit dan menahan pukulan dengan dahiku. Meski tubuhku masih kuat, kepalan tangannya mulai terasa sakit. Saat dia mulai ragu karena rasa sakit di tangannya, aku berhasil menyelinap keluar dari bawah tubuhnya.
“Kalau kau ingin 'obat' itu, kenapa tidak coba mencarinya di saluran pembuangan? Mungkin baunya masih ada di sana.”
Mendengar itu, Alwyn tersentak sadar dan berhenti bergerak. Dia melihat tinjunya yang merah, saluran pembuangan, dan aku secara bergantian. Seolah-olah dia merasa malu dengan dirinya sendiri, dia menundukkan kepala dan berjongkok. Kupikir dia akan mulai menangis, tapi tak ada suara yang keluar.
Setelah beberapa saat, aku bangkit, menepuk debu di pakaianku, lalu mengulurkan tangan padanya.
“Kalau kau mau, aku bisa mendengarkan ceritamu.”
Aku membawa sang putri ksatria ke lantai dua dari guild petualang. Di dalam guild, ada beberapa ruangan yang biasanya digunakan oleh para petualang untuk berbicara secara rahasia. Suara dari dalam ruangan ini tidak akan terdengar keluar, bahkan jika berbicara dengan sedikit keras. Karena itu, ruangan ini juga sering digunakan untuk menghukum seseorang secara diam-diam. Di sini, kami tidak perlu khawatir ada yang mencuri dengar. Aku sempat berpikir untuk membawanya ke rumahku, tapi dalam situasi seperti ini, dia mungkin akan salah paham dan mengira aku memiliki niat buruk. Kebetulan, Polly sedang keluar untuk bekerja dan tidak akan pulang sampai larut malam.
Di tengah ruangan sempit ini ada meja yang penuh dengan goresan, seperti seorang prajurit berpengalaman yang bertahan di banyak pertempuran. Alwyn duduk di kursi yang kakinya goyah sesuai arahanku.
Dengan wajah pucat, dia menundukkan kepalanya, meletakkan telapak tangannya di atas lutut, seperti seorang terdakwa yang menunggu vonis.
“Kamu tidak perlu terlalu tegang. Anggap saja aku seperti seorang pendeta”.
Meskipun aku tak pernah punya iman yang kuat, setidaknya aku bisa mendengarkan masalah seseorang.
“Terus terang saja. Kamu terkena 'Penyakit Dungeon', bukan?”
Alwyn tetap diam, tapi kedua tangannya yang mengepal dan lututnya yang saling menempel sudah cukup menjadi jawabannya.
“Ini cerita yang sering terjadi”
Dalam gelapnya dungeon tanpa cahaya, maut selalu mengintai. Bahaya bisa datang dari medan, monster, perangkap, atau bahkan dari sesama petualang. Kapan saja, malaikat maut bisa datang dari belakang tanpa peringatan. Sejak tiba di kota ini, aku telah melihat banyak orang seperti dia.
Begitu seseorang terkena 'Penyakit Dungeon', tidak ada penyembuhan, bahkan dengan sihir sekalipun. Miracle dari seorang pendeta yang meningkatkan semangat bertarung hanya bersifat sementara. Tak lama setelahnya, seseorang akan kembali menjadi seperti anak kucing penakut. Mereka yang hanya terkena secara ringan mungkin masih bisa bertahan jika tidak masuk ke dalam dungeon lagi. Tapi, sebagian besar tak bisa bertarung lagi. Bagi seorang petualang, hidup mereka berakhir ketika mereka tak lagi bisa mempertaruhkan nyawanya.
Beberapa yang tak bisa lagi menghadapi ketakutan itu akan beralih ke 'obat'. Tampaknya, Sang Red Princess knights tidak terkecuali. Ini bukan cerita yang luar biasa. Tapi tetap saja, itu bukanlah pilihan yang bijaksana.
Akhirnya, dia tampaknya menyerah. Dengan kepala tetap tertunduk, dia mulai berbicara pelan-pelan.
“Aku mulai... menggunakan obat itu sekitar setengah tahun yang lalu.”
Dia bercerita bagaimana ketakutan akan pertempuran dan dungeon membuatnya tak tahan, sehingga dia mulai menggunakan obat itu. Secara diam-diam, dia mulai mendapatkannya dan menggunakannya sedikit demi sedikit.
“Awalnya semuanya terasa baik. Semangatku terangkat, dan pengeksplorasianku di dungeon berjalan jauh lebih cepat dibanding sebelumnya. Tapi, tak lama kemudian aku menerima konsekuensi dari kebodohanku.”
Keseringan pemakaian obat semakin meningkat, dan kini dia tak bisa bertahan sehari tanpa menggunakannya. Jika dia tidak menggunakannya, gejala putus obat akan muncul, tangannya bergetar, dia jadi mudah marah, dan sering melampiaskan emosinya tanpa alasan. Untuk menyembunyikan kondisinya, dia terus menggunakan obat itu. Siklus yang buruk.
“Pada akhirnya, aku bahkan memberikan kalung giok peninggalan leluhurku kepada para bajingan itu.”
Kalung itu, yang konon dibawa oleh seorang putri dari negeri jauh ketika menikah ke kerajaannya, adalah benda yang sangat berharga. Dia rela menukar benda berharga itu demi obat... atau lebih tepatnya, dia sudah melakukannya sekali. Ini adalah sisi mengerikan dari obat. Bahkan seorang putri yang suci dan kuat bisa kehilangan akal sehatnya.
Setelah menyesalinya, dia berusaha mengumpulkan uang untuk menebusnya, namun malah mendapat ancaman.
“Sebagai simbol penyelamat Kerajaan Mactarod, aku tidak boleh membiarkan rakyatku tahu bahwa aku menggunakan hal seperti ini untuk mengatasi rasa takutku. Kau mengerti, bukan?”
“Kalau kau takut, kenapa tidak pensiun saja?”
“Itu... tidak mungkin”
“Aku tahu ceritanya. Kau harus terus masuk ke dungeon demi mendapatkan harta untuk memulihkan kerajaanmu, bukan? Jujur saja, orang-orang di sekitarmu semuanya pecundang tak berguna. Kalau hanya ingin mendengar kisah heroik, mereka bisa membayar penyair dengan beberapa koin tembaga. Tak perlu membuatnya jadi kenyataan.”
Jika mereka ingin menyelamatkan kerajaannya, mereka bisa bekerja sama dan melakukannya dengan kekuatan yang tersisa. Tapi, menyerahkan nasib sebuah kerajaan kepada seorang wanita sendirian adalah tindakan bodoh.
Jika kerajaan itu ingin bangkit, ada banyak cara lain. Mereka bisa membuka lahan di padang gurun di selatan, atau menginvasi negara lain. Menjadi bawahan suatu kerajaan dan kemudian mengambil alihnya juga bisa menjadi pilihan. Semua itu jauh lebih realistis daripada bergantung pada mimpi konyol.
“Kalau kamu takut, katakan saja kamu takut. Apakah kamu benar-benar mempercayakan punggungmu pada orang-orang yang bahkan tak bisa menerima kebenaran yang sederhana itu?”
“Itu bukan urusanmu.”
“Benar, memang bukan urusanku.”
Aku menghela napas dan bersandar di sandaran kursi.
“Kita hanya bicara sebentar sebelumnya, bahkan aku tidak sempat menyebutkan namaku. Aku mengakui itu. Tapi sekarang, aku ingin bertanya satu hal. Ada berapa orang yang tahu penderitaanmu? Aku berani bertaruh, jawabannya nol.”
Jika dia bisa mengungkapkan penderitaan atau ketakutannya, dia mungkin tidak akan pernah menyentuh 'Obat' itu.
Semua orang menganggapnya sebagai putri yang agung, suci, dan murni, lalu menaruh mahkota ekspektasi di atas kepalanya, hanya memujanya tanpa memikirkan seberapa besar beban yang ditanggung sang putri. Mereka itu ceroboh, bodoh, dan tidak berguna. Seharusnya mereka semua mati saja.
“Saran dariku. Berhenti menggunakan 'Obat' itu mulai sekarang. Menggunakan benda semacam itu adalah sebuah kesalahan. Aku tidak punya kebiasaan mencampuri urusan orang lain, dan aku tahu aku tidak punya hak untuk memerintah. Tapi aku tetap akan bilang hentikan. Sekarang juga.”
Saat aku mengatakan itu, rasa muak kembali memenuhi dadaku.
“Aku sudah melihat banyak orang yang menggunakan 'Obat', tapi tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki akhir yang bahagia. Ada yang melakukan perampokan demi mendapatkan uang untuk membeli 'Obat' dan akhirnya dieksekusi, ada yang menjadi gila dan mengira monster itu ibunya sendiri lalu menyerahkan diri untuk dimakan, dan ada juga yang tak tahan dengan gejala putus obat hingga menusuk tenggorokannya sendiri. Kau tidak sedang mencari cara mati yang unik, kan?”
Mereka semua menunjukkan pertunjukan buruk yang tidak kuminta.
“Khususnya 'Release' itu, karena efeknya kuat, gejala putus obatnya juga tidak main-main. Lebih parahnya lagi, penawar racun tidak akan berhasil.”
Di dunia ini ada sihir yang berguna, untuk menyembuhkan luka atau menetralisir racun di dalam tubuh. Tapi ada hal-hal yang tidak bisa disembuhkan. Penyakit mental seperti 'Penyakit Dungeon', dan kecanduan narkoba adalah dua di antaranya. Khususnya 'Release', yang katanya terbuat dari ramuan dengan kekuatan sihir khusus sehingga penawar racun tidak bisa dibuat.
“Cara terbaik adalah berhenti mencari harta di 'Dungeon' dan memulihkan kerajaan, lalu pensiun dari dunia petualang. Pergilah ke pedesaan, nikmati pemandangan laut sambil memulihkan dirimu. Biar orang lain yang melanjutkan perjuangan. Entah itu karena sakit atau cedera, alasan bisa dibuat. Kau sudah melakukan yang terbaik. Serahkan sisanya pada mereka yang lebih rendah darimu.”
“Aku menghargai nasihatmu.”
Dia menggelengkan kepala dengan ekspresi sulit.
“Tapi... saat ini, aku membutuhkannya.”
“Membangun kembali kerajaan dengan mengandalkan 'Obat'? Apa yang akan ditulis dalam sejarah kerajaan? 'Putri Alwyn yang ketakutan dengan 'Penyakit Dungeon' mulai menggunakan 'Release' dan meski kecanduan, dia berhasil mendapatkan harta dan menghidupkan kembali kerajaannya'?”
“Aku sudah siap jika keadaan terburuk datang.”
“Rahasia dan ketakutan semuanya ditelan dan kamu akan pergi ke dunia bawah? Berhentilah. Menjadi kambing hitam bukanlah tugas seorang putri.”
“Mengapa kamu begitu mencampuri urusanku? Kamu sendiri yang mengakui bahwa kau tidak ada hubungannya dengan ini.”
“Jika kamu melihat seekor anak kucing yang kelaparan, tidakkah kau memberinya sepotong roti? Jika kau melihat bunga yang hampir layu, tidakkah kau memberinya air? Itu saja. Ini yang disebut dengan rasa kepedulian yang dimiliki setiap manusia.”
Aku sadar ini adalah urusan orang lain. Seharusnya aku bisa mengabaikannya, atau bahkan menjual berita ini pada orang lain. Skandal tentang ‘Red Princess Knights’ akan laku dijual dengan harga tinggi. Dia yang terhormat, anggun, dan berakhlak tinggi, sangat berbeda dengan diriku. Melihat dia terjatuh, merangkak di tanah dan menjilat lumpur akan membuat banyak orang merasa puas. Bahkan aku sendiri akan merasa puas, seharusnya aku tidak ikut campur. Tapi ada secercah hati nurani di dalam diriku. Mungkin aku juga sedikit bersimpati pada ksatria putri yang meringkuk ketakutan di depanku ini.
“Lalu bagaimana dengan rakyatmu? Mereka diserang oleh gerombolan monster, para ksatria, prajurit, bahkan keluarga kerajaan tidak bisa berbuat apa-apa. Tanah mereka, keluarga mereka, dirampas. Semua itu tanpa kesalahan apapun.”
“Bukan berarti kau yang menarik monster-monster itu, kan?”
Merasa bertanggung jawab itu bagus, tapi terlalu banyak memikul beban tidak baik.
“Selain itu, rakyat biasa itu biasanya lebih kuat dari yang kita duga. Mereka bisa hidup di mana saja, selama ada uang dan makanan, mereka akan baik-baik saja. Hanya segelintir yang merasa tidak bisa hidup tanpa Kerajaan Maktaroad.”
Lalu Alwyn berkata dengan nada ingin tahu.
“Siapa sebenarnya dirimu?”
“Aku hanya seorang parasit.”
“Parasit? Apa itu?”
Putri yang naif.
“Di sebuah kota pelabuhan yang jauh dari sini, konon ada wanita-wanita yang bekerja dengan menyelam ke laut untuk menangkap ikan dan kerang.”
Aku memberi isyarat padanya dengan mata untuk tetap diam, lalu melanjutkan ceritaku.
“Karena area dangkal sudah kehabisan ikan dan kerang, mereka naik perahu kecil dan menyelam lebih dalam di tengah laut. Jika tenggelam, nyawa mereka bisa melayang. Maka dari itu, mereka mengikatkan tali di pinggang mereka. Setelah menangkap ikan dan kerang sebanyak mungkin, dan ketika mereka sudah tidak bisa menahan napas lebih lama, mereka akan menarik tali itu sebagai tanda untuk para pria di atas perahu agar menarik mereka kembali. Karena itulah, pria-pria itu disebut parasit atau 'tali kehidupan'.”
Aku hanya mendengar cerita ini, jadi aku tidak tahu apakah benar atau tidak.
“Mengapa para pria tidak ikut menyelam?”
“Mungkin pekerjaan mereka adalah mengemudikan perahu, atau mungkin dibutuhkan tenaga pria untuk menarik mereka kembali. Aku juga pernah mendengar bahwa wanita lebih tahan dingin, jadi mereka bisa menyelam lebih lama.”
Jangan tanyakan lebih banyak padaku, aku hanya mendengar cerita ini sekilas.
“Intinya, para pria ini membantu, menyembuhkan, dan menghibur para wanita dengan imbalan yang sedikit. Bisa dibilang mereka ini semacam mentor bagi wanita.”
“Jadi kau ini, mentor itu?”
“Kira-kira begitu.”
Saat ini aku hanya hidup dari wanita pekerja seks. Aku hanyalah sampah tidak berguna.
“Rakyat dan kerajaan memang penting, tapi tidak seharusnya kau mengorbankan dirimu untuk itu.”
“Tidak, bukan begitu.”
Alwyn menggeleng dengan ekspresi sulit.
“Memang benar, memulihkan kerajaan itu penting, tapi bukan itu yang utama sekarang.”
“Kalau begitu, apa yang terjadi?”
“Putri Melinda hilang.”
Melinda adalah teman Alwyn, katanya. Sebagai seorang ksatria yang baik hati, dia bergaul dengan semua kalangan setelah menjadi petualang. Melinda adalah salah satunya. Suaminya menghilang tak lama setelah anak mereka lahir, dan dia membesarkan anaknya seorang diri dengan menjual tubuhnya. Anak itu hilang sejak kemarin. Setelah mencari dengan setengah gila, dia mengetahui bahwa anaknya diculik oleh sebuah organisasi kriminal.
“Melinda juga tidak terlihat. Mungkin dia pergi mencari anaknya.”
“Organisasi kriminal apa?”
“'Tri-Hydra', si Three Headed Hydra.”
“Sialan.”
Salah satu organisasi yang bersembunyi di kota ini. Meskipun kecil, mereka terlibat dalam penjualan 'Obat'. Belakangan, mereka juga mulai melakukan perdagangan manusia. Mereka juga memelihara beberapa orang gila, jadi melawan mereka akan sangat merepotkan. Tentu saja, penjaga kota tidak bisa diandalkan. Mengandalkan penjaga yang menerima suap sama saja seperti menyerahkan diri ke tiang eksekusi. Alwyn tahu itu, dan tampaknya dia berencana untuk menyelamatkan anak itu sendiri. Aku rasa itu nekat. Jika aku berada di posisinya, aku pasti sudah kabur di malam hari.
“Pengikutmu ke mana? Anak yang memukulku waktu itu pasti akan dengan senang hati menuruti perintahmu.”
Alwyn menundukkan matanya dengan sedih.
“Ralph tidak suka hubunganku dengan Melinda. Dia merasa bahwa seorang putri yang terhormat seharusnya tidak berbicara dengan seorang pelacur, katanya itu menjijikkan. Yang lainnya juga berpikiran serupa. Bahkan jika aku ingin menyelamatkan putri Melinda, mereka tidak akan mau membantuku.”
Tinggalkan saja mereka.
“Selain itu, mereka bukanlah pengikutku. Mereka adalah orang-orang yang dikumpulkan oleh Tuan Lusta melalui koneksinya. Dia juga menentang pencarian ini.”
Ah, aku tahu. Si ksatria tua itu, mungkin dia masih perjaka.
“Bagaimana dengan petualang lainnya?”
“Aku sudah mencoba berbicara dengan beberapa orang, tetapi begitu aku menyebut 'Tri-Hydra', mereka semua menolak.”
“Tentu saja.”
Aku pun akan menolak. Berperang demi hidup dan mati berbeda dengan bunuh diri.
Tidak ada bala bantuan. Meskipun dia ingin melawan para penjahat sendirian, tubuhnya sekarang sudah bergantung pada 'Obat' untuk bertarung. Saat dia mencoba mendapatkan kembali kalungnya sambil membeli lebih banyak obat, dia malah diancam dan hampir diperkosa. Lalu dia bertemu denganku di saat-saat terakhir.
“Aku mengerti situasinya.”
Aku menghela napas dalam-dalam dan berkata.
“Pilihanmu hanya satu. Tinggalkan saja Melinda dan putrinya.”
Mata Alwyn terbelalak.
“Tuan itu benar. Menyerang sarang penjahat sendirian adalah tindakan bodoh. Kamu pasti akan terbunuh. Bahkan jika kamu berhasil menyelamatkannya, pelacur di kota ini tidak akan hidup lama. Mereka pasti akan terbunuh oleh orang gila atau mati karena penyakit aneh.”
“Itu…”
“Itu pasti.”
Aku menyisir rambutku untuk menghapus bayangan yang melintas di pikiranku.
“Aku sudah melihatnya berkali-kali.”
Alwyn diam. Sepertinya dia sadar bahwa aku tidak berbohong.
“Bahkan jika kamu kuat, kamu bukanlah dewa, jadi ada orang yang tidak bisa kamu selamatkan. Begitu adanya. Niatmu untuk menyelamatkan seseorang memang mulia, tapi kamu harus menyelamatkan dirimu sendiri terlebih dahulu. Jika kamu lebih dekat dengan anggota partymu, mungkin kamu tidak perlu diselamatkan olehku. Bukankah begitu?”
Aku bangkit berdiri. Aku sudah memberikan nasihat. Aku sudah mencoba menunjukkan niat baikku. Sekarang semua tergantung pada sang ksatria wanita. Mati, hidup, atau menjadi pecandu, terserah dia. Seperti yang baru saja kukatakan, ada orang yang bisa diselamatkan dan ada yang tidak. Semoga wanita di hadapanku ini termasuk yang pertama. Setelah urusanku selesai, aku berjalan ke arah pintu keluar.
“Kamu, bagaimana denganmu?”
Suara memanggilku dari belakang. Ada sedikit harapan dalam suara indah itu.
“Tolong jangan.”
Aku akan bermasalah jika dia bergantung padaku. Kecuali mereka berada di bawah sinar matahari sepanjang hari.
“Upahku tinggi. Harganya adalah selaput dara milikmu, jika masih ada.”
“Jangan bercanda…”
Ketika aku berbalik, aku melihat wajah Alwyn memerah karena malu atau marah. Aku pikir dia akan memukulku, tetapi dia hanya menggerakkan kakinya dengan gugup dan mengalihkan pandangannya.
“Jangan khawatir tentang Oscar. Aku berhutang padanya. Aku akan mengurusnya. Aku juga akan mengambil kembali kalungmu.”
“Apa?”
Dia terdengar terkejut. Kenapa reaksi seperti itu? Aku yang ingin berteriak.
“Oh, apa kamu sudah lupa namanya? Kamu tahu, si penjual yang tadi. Yah, tidak apa-apa jika kamu tidak ingat.”
“Benar juga…”
Akhirnya, dia mengingatnya. Dia berdiri di atas es tipis.
“Benarkah, kamu lupa?”
“...Maaf.”
“Tidak masalah. Kamu pasti punya banyak kekhawatiran. Tentu saja, aku tidak akan mengatakan apa pun meskipun lidahku dipotong.”
Mungkin. Meskipun aku belum pernah kehilangan lidah sebelumnya…
Aku melemparkan bungkusan kecil dari saku celanaku.
“Ini untukmu. Sebagai tanda terima kasih atas yang terjadi sebelumnya.”
“Apa ini?”
“Permen. Ada campuran herbal di dalamnya, bagus untuk tenggorokan. Cocok untuk saat kamu merasa kesepian. Juga bisa menenangkan pikiranmu.”
Ksatria wanita yang mulia ini terlalu sibuk mengkhawatirkan pelacur dan anaknya, sampai dia melupakan bahaya yang baru saja menimpanya. Mungkin dia bahkan tidak menyadari bahwa dia bisa memenggal leherku untuk menutup mulutku.
Aku melambai tangan sambil berkata, “Sampai jumpa,” dan akhirnya keluar dari kamar. Ketika aku turun ke bawah, kebetulan aku bertemu Dez.
“Bagaimana dengan istri dan anakmu?”
“Seorang wanita di sebelah yang menjaganya. Aku hanya kembali untuk mengambil sesuatu yang tertinggal. Aku akan segera pulang.”
“Sebelum itu, bisa pinjamkan uang?”
Wajah penuh jenggotnya mengerut.
“Buat apa?”
“Sudah jelas.”
Aku menjawab.
“Aku mau pergi ke tempat seorang wanita cantik dan bermesraan dengannya. Berada berdua saja dengan seorang wanita cantik membuatku merasa gatal.”
Di luar sudah gelap gulita. Sambil mengawasi gerbong yang semakin menjauh, aku membungkukkan punggung dan bergegas pulang. Aku baru saja mandi, jadi tidak perlu khawatir tercium baunya. Sudah lama sejak aku terakhir kali seperti ini, tubuhku terasa kaku. Dulu ini bukan masalah, tapi sekarang tubuhku terasa sakit. Luka di pipiku juga terasa perih. Mereka benar-benar keterlaluan.
“Aku harus pulang cepat. Jika Polly sudah pulang, akan jadi masalah.”
“Hei, Matthew!”
Tiba-tiba, sebuah tangan menarikku dari gang. Aku kehilangan keseimbangan dan melihat siapa yang menarikku. Aku merasa lega.
“Jangan kagetkan aku, Maggie. Tubuhku memang besar, tapi jantungku kecil seperti kutu. Kalau terkejut bisa berhenti berdetak...”
Meskipun aku bercanda, Maggie malah menangis dan bersandar ke dadaku.
“Ada apa?”
Aku memegang kedua pundaknya dan melihat ke wajahnya. Bukan ekspresi bercanda.
“Sejak kemarin, Sera belum pulang. Kau tidak melihatnya?”
“Tidak. Aku belum melihatnya… Dia belum pulang?”
“Jadi, bukan kamu, ya? Ah, ternyata memang bukan.”
Dia terjatuh di tempat itu. Meski sudah berlutut di atas lantai batu yang keras dan dingin, dia tidak menunjukkan tanda-tanda untuk bangkit.
“Ada apa? Apa kamu tahu sesuatu?”
“Ada yang melihat seorang pria besar dengan tampang kasar membawa anak itu. Jadi aku berpikir mungkin... mungkin saja...”
Perasaan tidak enak semakin membesar. Sera itu anak yang manis. Dan juga anak yang cerdas. Kalau para bajingan yang berbisnis dengan perdagangan manusia, mungkin mereka memang akan tertarik padanya. Tapi, apakah anak yang cerdas akan begitu saja diculik? Seharusnya dia akan melawan atau setidaknya meninggalkan jejak.
“Apakah kamu tahu di mana tempatnya?”
“Menurut cerita orang yang melihatnya, di sekitar Jalan Snake Eat Stone... Biasanya, dia tidak akan pernah mendekati tempat seperti itu... Aku sudah minta bantuan penjaga atau petualang, tapi mereka semua hanya menggelengkan kepala. Hanya satu orang yang mau membantu, tapi orang itu...”
Aku menatap langit. Itu adalah wilayah kekuasaan “Tri-Hydra” di daerah sana. Menculik seorang anak, sungguh tindakan yang nekat. Sebanyak apapun mereka menyuap, penjaga juga punya batas. Kemungkinan besar pelakunya adalah orang yang sama yang terlibat dalam kasus Melinda... atau tunggu dulu.
“Maggie, nama panggungmu apa?”
“Mengapa bertanya begitu tiba-tiba?”
Menjadi seorang pekerja seks itu, sering kali mereka harus berhadapan dengan lelaki-lelaki gila. Oleh karena itu, banyak dari mereka yang memakai nama lain.
“Apakah itu namanya Melinda?”
“Ya, benar.”
“Apakah kamu punya hubungan dekat dengan Nona Ksatriat itu?”
“Kamu tahu? Ya, benar.”
Dia mengangguk dengan semangat, seperti terbakar oleh semangat.
Ternyata, dia berteman dengan sang Nona Ksatria sejak diselamatkan dari serangan pelanggan yang kasar. Terpesona dengan kebaikan hati Alwyn yang tidak membeda-bedakan, wanita yang bekerja di pinggiran kota ini menjadi sangat terobsesi padanya.
“Dia orang yang sangat baik. Dia juga yang mengatakan akan menyelamatkan Sera. Tapi meskipun begitu, teman-temannya yang lain, begitu tahu aku pekerja seks, langsung memandangku dengan tatapan jijik... Apa-apaan mereka itu! Cuma bisa besar di bawah sana, tapi saat dibutuhkan sama sekali tidak berguna!”
“Ah, Matthew!”
April memasuki gang sambil memanggil namaku.
“Jangan berjalan sendirian seperti ini di malam hari.”
Seberbahaya apapun, meski dia adalah cucu Kepala Guild.
“Ini lebih penting dari itu. Hey, kamu tidak melihat Sera? Dia hilang!”
“Kamu juga...”
Aku menceritakan semua informasi yang aku tahu, dan April bersandar ke dinding dengan wajah yang pucat.
“Coba kamu ceritakan ke kakekmu.”
Dengan wewenang Kepala Guild, mereka bisa menggerakkan para petualang. Aku tidak tahu jumlah pastinya, tapi di kota ini saja jumlahnya sudah lebih dari seratus orang. Mereka memang orang-orang bodoh, tapi keahlian mereka tidak main-main.
“Tidak mungkin.”
Dia menggelengkan kepala dengan sedih.
“Kakekku bilang, petualang tidak boleh digerakkan untuk orang yang tidak ada hubungannya dengan guild.”
Kalau mereka menerima permintaan melalui guild, Maggie tidak punya uang. Para petualang tidak sebodoh itu untuk mempertaruhkan nyawa demi uang receh. Mereka juga pasti tidak ingin berurusan secara terbuka dengan “Tri-Hydra.”
“Aku sudah memohon kepada semuanya, tapi selain Alwyn, tidak ada yang mau mendengar.”
Pengaruh sebagai cucu Kepala Guild tidak berguna jika kakeknya sendiri bersikap ragu-ragu.
“Apa yang harus aku lakukan, sementara Sera mungkin...”
“Tenanglah dulu.”
Aku berbicara sambil memeluk bahu Melinda... atau lebih tepatnya Maggie, mencoba menenangkannya.
“Kita belum yakin kalau ini sudah pasti. Dengarkan aku. Kamu tinggal di rumah dan tunggu di sana. Kalau kamu bergerak sembarangan, kamu malah bisa membahayakan dirimu sendiri.”
“Tapi...”
“Tidak ada tapi-tapian. Kamu harus melakukannya. Satu-satunya orang yang bisa menyambut seorang anak yang tersesat di rumah adalah ibunya sendiri.”
Maggie sempat terdiam sejenak, tapi akhirnya dia mengangguk dengan mantap.
“April, antar dia pulang. Paling tidak, para pengawal di belakangmu tidak akan mengeluh.”
Ketika aku melihat ke arah bayangan hitam itu, mereka langsung menghilang ke balik bayang-bayang. Tidak mungkin Kepala Guild membiarkan cucu kesayangannya berjalan-jalan di malam hari tanpa pengawal. Mereka selalu mengawasinya dari belakang. Namun, mereka adalah anak buah Kepala Guild, bukan orang yang bisa diperintah oleh April.
“Aku juga ingin mencarinya.”
Aku menggelengkan kepala.
“Kakekmu dan Dez benar. Aku ini bajingan. Tapi aku tahu satu hal, kamu harus pulang.”
“...”
“Tolonglah. Jangan buat aku melakukan hal yang memalukan lagi.”
Aku tidak terbiasa mengajari anak-anak seperti ini.
April mengangguk dengan berat hati.
“Aku akan mencoba meminta bantuan kakek lagi.”
“Aku akan mencoba mencari di sekitar sini. Kalau ada yang aku temukan, aku akan beritahu.”
“Tolonglah, Matthew, kamu satu-satunya harapan kami. Pria lain sama sekali tidak bisa diandalkan...”
Setelah beberapa kata-kata penghiburan, aku meninggalkan tempat itu. Mendengar permintaan tolong Maggie, aku merasa tidak enak. Jika berurusan dengan “Tri-Hydra,” dalam sekejap saja aku akan berakhir di alam baka.
Mungkin saja Sera tidak akan pernah kembali. Anak kecil yang manis, cerewet, dan sayang pada ibunya tidak akan pernah kembali. Mungkin dia akan dijadikan mainan orang-orang gila, atau dipaksa melayani pervert yang gemar menyiksa anak kecil. Apa pun itu, akhir yang menantinya tidaklah baik. Seorang gadis kecil yang tidak bersalah akan dipukuli, wajahnya lebam-lebam, berdarah, menangis dan memohon bantuan dari ibunya, kehilangan martabatnya, dan akhirnya mati seperti kain lap yang sudah usang. Pemandangan terakhir yang dilihatnya mungkin adalah langit malam dari lubang tempat dia dikubur hidup-hidup, atau senyuman pria yang akan membunuhnya.
──Aku merasa mual.
Dengan menahan rasa tidak enak di perut, aku kembali ke kamar. Pintu terkunci. Apakah ini pencuri di kamar usang seperti ini? Aku masuk dengan hati-hati.
Aku menarik lilin dan menyalakannya. Ada bayangan hitam duduk di kursi. Ketika aku mendekatkan cahayanya, aku terkejut dan hampir muntah.
“Jangan menakutiku seperti itu, Polly.”
Tidak ada jawaban. Dia tertunduk di atas meja sambil terisak. Dengan sedikit bosan, aku menggoyangkannya dengan lembut.
“Ada apa? Kamu dipukul lagi? Tidak apa-apa, ini bukan salahmu.”
Pergelangan tanganku tiba-tiba dicengkeram.Karena terkejut Polly mendongan ,Riasan tipisnya meleleh oleh air mata dan ingus, meninggalkan penampilan yang menyedihkan. Banyak pria mungkin akan marah jika wanita yang mereka bayar untuk pelukan berakhir seperti ini.
“Aku sudah menggunakannya...”
“Menggunakan apa?”
“Ini...”
Yang dia ulurkan di atas meja adalah sebuah kantong kain kecil. Isinya kosong.
“Ada koin perak di dalamnya. Aku tidak menghitungnya, tapi dia bilang ada tiga puluh.”
Jelas itu bukan penghasilannya sebagai seorang pelacur. Harganya terlalu mahal untuk tarifnya. Mungkin ada orang dengan selera aneh, tapi kalau begitu akan lebih cepat jika dia dibeli saja. Ditambah lagi, bicaranya kacau. Dia pasti sangat mabuk.
“Pelanggan itu bilang dia sedang mencari anak kecil. Seorang anak kecil yang imut. Jadi, aku memberitahunya. Aku bilang padanya ada urusan penting, dan dia datang.”
Jantungku terasa seperti diremas.
“Kamu... menjual Sera?”
“Aku merasa itu salah. Jadi, aku pikir setidaknya aku harus memberikan uang itu kepada Maggie. Tapi dalam perjalanan, aku merasa sangat menyesal, sangat salah, sampai aku tidak bisa menahan diri.”
Dia minum sampai mabuk berat. Begitu rupanya. Ibu dari gadis itu juga punya pekerjaan yang sama, dan dia pasti mengenal Sera. Jadi begitulah dia ditipu.
“Hei, Matthew.”
Polly menempel padaku.
“Maafkan aku, ini salahku, kan?”
“Laki-laki itu, seperti apa dia?”
“Hei, kamu marah? Ya, aku tahu, lebih baik aku mati saja, ya?”
“Dengarkan, Polly.”
Aku memegang bahunya dan menatap matanya. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali kita saling menatap seperti ini. Hubungan di mana kami saling menjilat luka masing-masing, hanya bergantung satu sama lain, memang terasa nyaman. Tapi, meskipun kami saling menatap seperti ini, tidak ada apa pun yang sampai ke hati kami. Baik ke hatiku, maupun ke hatinya.
“Aku tidak menyalahkanmu. Aku juga tidak marah. Aku hanya ingin tahu di mana Sera berada. Seorang anak kecil berusia tujuh tahun dipisahkan dari ibunya dan berada di tangan penjahat. Waktu kita tidak banyak. Saat kita bicara, dia mungkin sudah dijual ke tempat yang jauh. Mengerti?”
“Ya, aku sangat mengerti.”
Polly mengangguk berulang kali.
“Sepertinya memang aku yang salah. Hei, Matthew, jangan tinggalkan aku. Maafkan aku, aku minta maaf.”
Tiba-tiba, dia melepaskan diri dari genggamanku, berlutut, dan menangis terisak-isak.
Setelah itu, dia terus meminta maaf, tapi tidak sekalipun meminta maaf kepada Sera atau Maggie.
Aku memanfaatkan celah untuk menjauh darinya, mengambil kantong berisi barang-barang tua yang aku lempar ke lemari, dan menuju pintu keluar seolah ingin melarikan diri. Saat ini, jika aku tertangkap, sulit untuk keluar.
“Tunggu! Jangan tinggalkan aku!”
Polly merangkak mengejarku, tapi tersandung kursi dan terjatuh. Dia memukul wajahnya ke lantai, rambutnya terurai berantakan saat dia meraihku dengan tangan terentang.
“Hei, jangan pergi, Matthew. Tolong. Jangan tinggalkan aku!”
Aku menoleh sambil berkata saat keluar.
“Bukan salahmu.”
Aku turun tangga dan keluar. Aku sudah punya tujuan. Jika tempat penyimpanan barang “Tri-Hydra” ada di ujung Jalan “Snake Eat Stone”. Mungkin mereka mengumpulkan anak-anak di sana, lalu secara bertahap membawanya keluar dari kota. Bahkan jika penguasa kota ini adalah orang bodoh, mereka tidak bisa berjalan-jalan dengan anak-anak yang diculik secara terang-terangan. Dan dengan kota yang dikelilingi tembok ini, mereka harus melalui gerbang untuk keluar masuk. Gerbangnya sudah ditutup. Jika mereka mencoba memaksa masuk, itu akan menjadi keributan besar.
Mungkin besok pagi, mereka akan melewati gerbang dengan kereta yang menyamar setelah memberikan suap kepada para penjaga yang korup dari “Tri-Hydra”.
Di luar sudah sangat gelap, tapi waktu kami tidak banyak. Jika menunggu sampai besok, Sara mungkin sudah dijual ke luar kota.
Kakiku dengan sendirinya menuju Jalan “Snake Eat Stone”. Jika ada urusan keras, paling baik meminta bantuan Dez, tapi dia juga punya posisinya. Dalam kasus ini, serikat petualang tetap bersikap netral. Jika dia melawan gangster dengan cara yang salah, dia bisa dipecat.
Ah, Matthew, kapan kau berubah jadi sebodoh ini? Meski Sera jadi mainan bagi para maniak, atau Maggie menangis karena anaknya yang tak kunjung pulang, itu bukan urusanmu. Kalau kau menutup mata dan berpura-pura tidak tahu, kau masih bisa melihat matahari pagi esok. Jika orang lemah yang tidak berdaya masuk, mereka pasti mati. Mengorbankan diri untuk orang lain, itu bukan gaya kita.
“Tunggu.”
Tiba-tiba, seorang wanita berkerudung muncul di depanku. Aku segera mengenali suaranya. Itu Alwyn. Aku terkejut, tapi tidak bersuara.
“Dez, si kurcaci itu, memberitahuku. Katanya kamu tinggal di sekitar sini.”
Jenggot gila yang suka bicara. Lain kali akan aku kepang jadi tiga.
“Tolong, bantu aku.”
“Bayarannya apa?”
Dia mengangkat wajahnya yang menunduk, membuka tudungnya, dan berkata dengan suara yang tegas.
“Aku bisa menyerahkan diriku padamu.”
Meskipun wajahnya memerah, matanya tidak menunjukkan keraguan.
“...Aku masih punya sedikit harga diri.”
Aku menggerutu sambil menggaruk kepala, berusaha mengatur emosi yang meluap-luap.
“Kenapa kamu sampai sejauh ini?”
“Janet mati tepat di depan mataku.”
Aku langsung sadar bahwa Janet adalah salah satu rekannya yang mati di “Dungeon”.
“Kamu pernah bilang sebelumnya. Berapa banyak teman yang tahu aku sedang menderita? Dia salah satunya. Tidak, dia satu-satunya teman. Aku kehilangan teman seperti itu.”
Dia pasti mengingat kejadian itu. Wajahnya pucat seperti tanpa darah.
“Bukan hanya Janet. Saat itu, ayahku dimakan oleh monster mulai dari kepalanya, dan ibuku diinjak sampai mati. Semuanya, tepat di depan mataku. Orang-orang terkasihku direnggut di depan mataku, dan aku tidak bisa melakukan apa-apa.”
Itu pasti saat wabah monster besar-besaran. Mungkin sejak saat itulah Alwyn membawa luka di hatinya. Namun, demi kerajaan dan rakyatnya, dia terus berjuang, membunuh dirinya sendiri, menguras semangatnya, dan kehilangan keseimbangan jiwanya.
“Aku pengecut. Aku tidak sehebat yang orang-orang pikirkan. Lemah, tidak berdaya, dan sering memilih jalan yang salah. Tapi, meskipun aku seperti ini, aku merasa tidak bisa memaafkan orang-orang jahat yang menculik anak-anak.”
“...”
“Janet tahu kelemahanku. Seperti kamu, dia juga mengatakan bahwa aku lebih penting daripada pemulihan kerajaan. Jika aku meninggalkan Maggie dan yang lainnya sekarang, aku akan menyesal lagi. Aku tidak ingin menyesal. Bukankah kamu yang mengajarkanku itu? Bahwa penyesalan bukanlah sesuatu yang bisa 'diminum'. Aku mungkin tidak punya keberanian atau keadilan, tapi jika aku bisa menjaga sedikit ketertiban dan keadilan di kota ini, itu sudah cukup.”
“Begitu, ya.”
Dia bukanlah wanita yang kuat seperti yang sering diceritakan oleh para penyair pengembara. Sebaliknya, dia adalah wanita yang biasa-biasa saja, seperti kebanyakan orang. Dia memendam kelemahan, hampir terpuruk oleh ekspektasi orang-orang di sekitarnya, menyesal, mengeluh, menderita, tetapi tetap berusaha untuk menjadi kuat. Terluka, jatuh, tetapi bangkit kembali. Atau setidaknya berusaha untuk bangkit. Bersinar terang justru di tengah kesulitan. Seperti bintang yang berkilauan di malam gelap. Seperti bunga yang mekar di tengah lumpur.
Dia sangat terhormat. Bukan karena dia seorang putri, tapi karena dia adalah Alwyn Maybel Primrose Mactarod.
Dia sangat berbeda dariku.
“Kalau kamu sudah siap, aku tak punya apa-apa lagi untuk dikatakan. Aku akan membantumu.”
Alwyn menghembuskan napas lega. Senyumannya tampak mengasihani.
Aku sudah jatuh cinta pada berbagai wanita sebelumnya. Jumlah wanita yang pernah kutiduri mungkin seratus kali lipat lebih banyak. Namun, perasaanku pada Alwyn tampak berbeda dari yang pernah kurasakan sebelumnya. Apakah ini cinta, kekaguman, kesetiaan, atau sesuatu yang lain, aku tak tahu. Yang pasti, aku merasa tak masalah jika harus mengorbankan nyawa demi wanita ini.
“Kalau seandainya aku bisa berkata, ‘bayaran di muka”
Ucapku sambil tersenyum
“Tapi kita tak punya waktu. Tak masalah jika bayarannya nanti.”
“Terima kasih”
“Kebetulan tujuan kita sama. Dan perjalanan ini jadi lebih menyenangkan dengan pendamping secantik ini.”
Alwyn tersenyum miring.
“Kita harus menyelamatkan mereka.”
Gudang “Three-Headed Hydra” yang terletak di “Jalan Snake Eat Stone” dibangun dengan batu dan diplester rapat. Tahan kelembapan? Tidak sama sekali, tetapi kekuatannya adalah daya tarik utamanya. Menghancurkan tempat ini sedikit sulit.
Pintu gudang besar lebih tinggi dari manusia, dengan dua daun pintu yang bisa dibuka lebar. Seperti yang sudah kuduga, di depan gudang itu ada beberapa pria berwajah garang yang sedang berjaga, sambil menyalakan api unggun.
Aku mengintip dari tempat persembunyian, melihat sebuah kereta dengan terpal tiba di depan gudang. Beberapa anak kecil yang tampak lusuh keluar dari dalamnya. Tangan mereka terikat, mulut mereka disumpal kain. Mereka berbaris masuk ke dalam gudang.
Sepertinya, ini memang tempatnya.
Aku memberitahu Alwyn tentang rencana yang sudah kupikirkan di perjalanan.
“Aku akan mengalihkan perhatian mereka. Sementara itu, kau menyelinap dari pintu belakang dan selamatkan anak-anak yang diculik.”
Ada gembok di pintu belakang, tapi dengan pedang ksatria putri ini, pasti mudah dipatahkan.
“Kau tahu kan siapa Sera? Jika kau melihatnya, katakan padanya, ‘Ibunya sedang menunggu.’”
Alwyn mengangguk dan menatapku dengan makna tersembunyi.
“Jangan sampai mati.”
“Aku tak berniat begitu.”
Aku menghela napas sambil melihat punggungnya. Mungkin ini akhir dari hidupku. Tapi aku tak merasa takut. Aku sudah melakukan banyak hal yang kusuka. Kalau ini waktunya tirai ditutup, biarlah. Aku akan berjuang sekeras mungkin sampai saat itu tiba.
“Hai, apa kabar, kawan?”
Setelah memastikan Alwyn menghilang di belakang pintu belakang, aku mengangkat tangan dan perlahan mendekat. Seketika, beberapa pria bertampang menakutkan mendekat dan mengelilingiku dengan bahu mereka menegang. Meski tubuh mereka lebih pendek dariku, mata mereka menunjukkan keseriusan, siap menusuk perutku dengan pisau jika diperlukan.
“Minggir.”
Pria dengan tato singa di wajahnya berbicara pertama kali, menekan dengan gertakan.
“Jangan begitu”
“Aku sedang mencari rumah bordil tapi malah tersesat. Apa kau tahu jalan keluarnya?”
Sebagai jawaban, aku merasakan pukulan keras di perut. Sepertinya pria di depanku yang melakukannya. Aku membungkuk, memegangi perut. Sakit sekali.
“Pergi.”
Tatapan mata mereka semakin tajam. Jika aku berlama-lama, mereka mungkin akan menikamku dengan pisau.
“Oke, oke, jangan marah begitu.”
Aku tertawa ringan sambil bangkit.
“Sebetulnya, aku bawa kabar baik buat kalian. Gudang ini... sedang jadi target.”
Pisau melesat di hadapanku. Pria bertato tadi menghunuskan pisaunya dari balik jubahnya dengan cepat.
“Bicara.”
“Kalian tak perlu seburuk itu. Aku akan bicara, tenang saja.”
Sambil tertawa, aku memasukkan tanganku ke dalam saku celana.
“Sebenarnya, saat aku tersesat mencari rumah bordil, aku mendengar beberapa orang dengan wajah mencurigakan bicara soal meledakkan tempat ini. Mungkin mereka dari ‘White Monkey’ atau kelompok semacamnya…”
Bersamaan dengan tanganku keluar dari saku, sebuah bola putih jatuh dan bergulir di tanah. Ketika bola itu menyentuh tanah, asap abu-abu keluar dengan deras dari celahnya. Keahlian membuat ‘bom asap’ yang kukembangkan di masa menjadi petualang masih belum tumpul. Dalam sekejap, asap tebal menyelimuti sekelilingku.
“Ugh, apa-apaan ini!”
“Kau kurang ajar!”
Pria di belakangku menyerang, tapi aku sudah menduganya. Aku berjongkok dan berguling ke samping, keluar dari kepungan.
“Jangan marah begitu.”
Aku pun dalam keadaan darurat. Aku melemparkan beberapa bom asap lagi berturut-turut. Para penjaga yang mendengar keributan mulai berdatangan dan terjebak dalam asap tebal.
“Dan ini tambahan!”
Aku mengeluarkan bola hitam dari kantong kainku dan melemparkannya dengan lemparan bawah yang kuat. Jika aku melemparnya biasa, mungkin tidak akan sampai atau malah meleset jauh. Bola hitam itu bergulir di atas jalan berbatu dan mengarah tepat ke arah api unggun. Dalam kegelapan seperti ini, tentu saja mereka menyalakan api unggun untuk berjaga. Seperti yang kuduga. Aku segera menutup mata, menutup telinga, dan membungkuk.
Bola hitam itu melompat ke dalam api unggun. Ledakan keras dan cahaya terang serentak terjadi. Cahaya putih menyilaukan bahkan menembus kelopak mataku yang tertutup.
Saat aku bangkit, suasana sekitar sudah kacau balau. Di bawah cahaya bulan, ada yang batuk tercekik karena asap, ada yang berguling-guling kesakitan sambil menutupi mata, ada yang berteriak keras karena telinganya mungkin sudah rusak. Bom cahaya buatan Dez, mantan anggota “Thousand Blade”, benar-benar kejam. Untungnya, aku masih menyimpan bom yang dia buat dulu untuk keadaan darurat seperti ini.
“Itu dia! Bunuh dia!”
Pria yang sudah pulih menunjuk ke arahku dan memberi perintah. Aku ingin sekali melarikan diri, tapi aku masih belum tahu bagaimana keadaan Alwyn dan yang lainnya. Jika termasuk yang keluar dari gudang, ada lebih dari sepuluh orang yang sekarang mengarah padaku.
“Orang yang salah!”
Aku berteriak sambil melemparkan 'bola asap'. Namun, karena mereka sudah mengetahui trikku, mereka segera menembus dinding asap sambil menutup wajah dengan tangan. Keringat dingin mengalir di punggungku. Sial, aku sudah kehabisan 'bola asap'. 'Bola cahaya' juga tinggal satu yang terakhir tadi.
Aku berusaha melarikan diri dengan berputar-putar, namun si Matthew si lamban ini dengan cepat dikepung lagi.
“Sialan.”
Aku melemparkan karung kosong. Terbang meluncur ke tanah tertiup angin. Namun, sekali lagi, aku dikelilingi oleh anak buah 'Tri-Hydra'. Mereka berhati-hati terhadap 'bola asap' sehingga mereka agak menjaga jarak, tetapi dengan jumlah orang ini, aku bisa mati dalam hitungan detik.
“Kau menggunakan trik kuno seperti 'bola asap'“
“Kau mantan petualang?”
“Mungkin saja.”
Tidak ada untungnya mengungkapkan identitasku di sini. Jika mereka tahu wajahku dan yang lain-lain, si Matthew, si pria tampan, akan segera habis nyawanya.
“Apa yang harus kita lakukan, Pak Reggie? Haruskah kita memaksanya bicara?”
Pria jangkung berjanggut tipis yang dipanggil Reggie bertanya. Sepertinya dia adalah pemimpinnya.
“Bunuh saja”
“Tidak peduli siapa dia. Semua yang menantang kami akan mati.”
“Tapi, jika dia petualang, bukankah kita akan memusuhi guild mereka...?”
Darah terciprat. Pisau Reggie mengiris leher si jangkung di sampingnya. Pria itu jatuh telungkup, matanya menunjukkan ketidakpercayaan. Darah menyebar di tanah. Dalam kondisi seperti ini, dia mungkin akan segera mati karena kehabisan darah.
“Kami tidak butuh pengecut. Siapapun mereka, jika melawan kami, mereka adalah musuh.”
Seseorang menelan ludah dengan suara keras. Selain Reggie, para anak buah lainnya menahan ketakutan mereka dan mengarahkannya padaku dengan penuh kebencian.
Nah, bagaimana cara keluar dari situasi ini? Saat aku siap-siap untuk menghadapi situasi terburuk, pintu gudang terbuka dengan suara keras. Seorang pria terjatuh dengan semburan darah. Yang menginjak-injak tubuhnya adalah putri ksatria kita yang mengenakan tudung.
Sepertinya dia berhasil.
“Naiklah!”
Dengan suaranya, anak-anak segera berlari ke gerobak kuda. Ada juga sosok Sera. Syukurlah dia selamat. Sementara itu, Alwyn menebas musuh di sekitar gerobak dengan sekali tebasan. Memang luar biasa. Setelah memastikan tidak ada musuh di sekitar, dia naik ke kursi kusir dan memacu kudanya. Suara pekikan kuda yang tinggi diikuti oleh gerobak yang mulai mempercepat.
“Hentikan mereka!”
Reggie memerintahkan dengan suara marah, tetapi siapa pun pasti enggan menghadapi gerobak dengan dua kuda secara langsung.
“Naiklah!”
Alwyn mengarahkan gerobak ke arahku. Syukurlah. Aku berusaha sekuat tenaga untuk melompat naik.
“Bawa kemari!”
Dari sudut mataku, aku melihat Reggie merebut sebuah senjata dari anak buahnya. Itu adalah bola yang disebut bola peluru, senjata lempar dengan pemberat di ujung tali. Reggie memutarnya dan melemparkannya ke arah kuda. Sial.
Aku mencoba melompat ke gerobak tetapi malah menendang bagian belakangnya, memanfaatkan momentum untuk mengubah arah dan menyambar bola itu di udara dengan seluruh tubuhku. Tubuhku jatuh ke tanah, sementara gerobak melaju ke pusat kota. Sebelum menghilang dalam kegelapan, aku merasa Alwyn memanggil namaku.
“Nampaknya, berhasil”
Begitu aku menghela napas lega, aku ditendang. Dengan menahan sakit, aku menoleh dan melihat Reggie dengan wajah yang tampak seperti monyet besar.
“Kau berhasil”
Aku ingin melarikan diri, tapi tali bola itu mengikat erat sehingga aku sulit bangkit. Selain itu, anak buahnya yang sudah pulih dari efek 'bola cahaya' mulai mendekat dengan tongkat besi, kapak, dan tombak di tangan.
“Bagaimana, tidak ada lagi 'bola asap'?”
“Sayangnya, stok habis. Tunggu tujuh hari sampai pengiriman berikutnya.”
“Aku menginginkannya sekarang.”
Aku ditendang lagi. Kali ini di rahang. Aku terjatuh telentang. Lalu, pesta penyiksaan dimulai. Pukulan, tendangan, injakan, hantaman. Mereka bersenang-senang. Aku cukup kuat untuk menahannya, tapi orang biasa sudah pasti mati. Mereka tak menahan diri, berniat membunuh. Aku meringkuk, menahan rasa sakit yang tak kunjung berhenti. Seberapa lama mereka akan memukulku? Terus sakit begini juga merepotkan. Aku hampir menangis.
Dalam kesadaran yang memudar, aku melihat Reggie dan anak buahnya mengarahkan senjata dengan tatapan penuh kebencian. Apakah ini akhirnya? Mungkin aku bisa menggigit leher satu orang untuk diajak mati bersama. Ketika aku mencoba mengangkat tubuhku untuk perlawanan terakhir...
“Tunggu!”
Dengan hembusan angin, pedang tajam berkilau. Teriakan terdengar saat beberapa anak buah terjatuh. Yang muncul di antara mereka adalah ‘Red Princess Knights’.
Berbeda dengan preman-preman ini, dia sangat terampil. Dalam sekejap, dia menjatuhkan tiga orang. Bahkan Reggie sadar situasi berbalik dan mundur.
Kemudian, Alwyn mengeluarkan peluit kecil dan meniupnya keras-keras. Suara yang familiar itu membuat wajah mereka berubah. Itu adalah peluit penjaga.
“Sial!”
Mengutuk, Reggie dan anak buahnya kabur.
“Kau baik-baik saja?”
Dalam kesempatan itu, dia memotong tali bola dan mengulurkan tangannya padaku. Aku sempat terdiam, tapi aku meraih tangannya dan berdiri.
“Lukamu parah. Apa kau bisa berdiri?”
‘Masih bisa’ aku ingin mengatakan begitu, tapi yang keluar adalah kata-kata lain.
“Mengapa kamu kembali?”
“Tentu saja untuk menyelamatkanmu.”
Dia menjawab seolah itu hal yang wajar.
“Aku tidak akan meninggalkan rekan.”
Aku tersenyum. Hatiku tiba-tiba terasa hangat. Seorang bajingan sepertiku, ternyata ada yang peduli. Aku benar-benar sudah lelah.
“Anak-anak itu aman”
“Itu bagus.”
Rasanya, dipukuli seperti ini tidak sia-sia. Meskipun, seandainya bisa, aku lebih memilih tidak dipukuli.
“Mereka sudah selesai. Dengan kekacauan kali ini, pasukan penjaga kota mulai bergerak. Mereka akan benar-benar memulai pembasmian terhadap ‘Tri-Hydra’. Ini akan membuat kota ini sedikit lebih baik.”
Meskipun mereka menerima suap, ada batasannya. Beberapa penjaga kota juga menerima suap dari organisasi yang bertentangan seperti ‘Spotted Wolf’ atau ‘Black Ruller Alliance’. Biasanya mereka saling menahan, tetapi bagi mereka, bukti perdagangan manusia dari ‘Tri-Hydra’ adalah kesempatan bagus untuk meraih keuntungan. Jadi, seseorang mungkin telah mendorong mereka bergerak cepat, seperti seorang kakek yang dihormati dalam dunia bawah tanah dan lemah terhadap air mata cucunya.
“…Apa itu seruling tadi?”
“Aku meminjamnya dari penjaga kota tadi”
“Ciuman tak langsung?”
“Jangan bodoh, aku sudah membersihkannya”
Dia berkata dengan nada cemberut. Lucu sekali.
“…Kenapa? Kenapa kamu tertawa?”
“Tidak, aku hanya teringat sesuatu karena kamu”
“Apa itu”
“Aku ternyata sedikit lebih baik dari yang aku kira”
Setelah itu, aku menyerahkan segala sesuatunya pada Alwyn dan kembali ke tempat tinggal. Meskipun seluruh tubuhku masih sakit, berkat kekuatan alami, aku bisa bergerak setelah istirahat sebentar.
Saat itu, Polly mungkin sedang tertidur setelah menangis. Begitu aku melihat wajahku, dia mungkin akan kembali merangkul dan menangis. Memikirkan hal itu, perasaan hangat yang membara di dadaku perlahan memudar. Aku kembali dengan hati-hati tanpa membuat suara dan menemukan pintu terbuka. Aku menyalakan lilin yang ada.
Di dalam kamar, keadaan sangat kacau. Kursi terbalik, pakaian dan pakaian dalam tersingkir dari lemari, dan uang perak dan tembaga berserakan bersama pecahan vas bunga di lantai. Sepertinya Polly marah lagi. Saat aku mencoba untuk membersihkan dalam keadaan lelah, aku memperhatikan sesuatu yang aneh di dinding.
Ada buah yang menempel di dinding. Aku pikir itu adalah cairan merah yang tersebar, tetapi ternyata tidak. Meskipun sangat kacau, itu adalah tulisan.
‘Jangan buang, Matthew’.
Aku merasa kedinginan secara tiba-tiba. Buah yang menempel itu jatuh karena tidak mampu menahan beban. Aku mundur secara otomatis dan menabrak pinggir tempat tidur. Ketika aku berbalik, aku melihat bahwa bagian dalam selimut menonjol. Dengan hati-hati, aku membukanya. Tidak ada mayat Polly. Sebagai gantinya, semua pakaianku telah dikeluarkan dan sobek-sobek dengan senjata atau benda tajam. Tampaknya dia melukai tangannya sendiri di tengah proses tersebut, dengan noda merah menyebar seperti bekas luka bakar.
“Ini buruk”
Ini jauh berbeda dari amarah dan tangisan sebelumnya. Polly tidak dalam keadaan waras. Keseimbangan jiwanya terganggu. Aku harus menemukannya karena aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan. Aku keluar untuk mencarinya.
“Polly, di mana kamu? Keluar! Maafkan aku. Mari kita bicara”
Aku terus memanggil sambil berjalan di jalanan malam, tetapi tidak menemukannya. Pagi tiba, dan aku menghubungi penjaga kota dan Vanessa, meminta mereka untuk memberi tahu jika mereka menemukannya.
Kelelahan dan kurang tidur membuat tubuhku limbung saat kembali ke kamar. Aku harus membereskan ini, tapi tubuhku secara alami menuju ke tempat tidur. Aku membuang pakaian yang sudah hancur dan jatuh ke tempat tidur. Ada banyak hal yang harus dilakukan, tetapi yang utama adalah menemukan Polly. Ya, Polly tidak ada di kamar ini. Ada rasa kesepian dan kesedihan. Tentu saja, aku khawatir tentang keadaannya. Tapi, sama besar atau mungkin lebih dari itu, aku merasa lega. Segera setelah aku memikirkannya, aku tertidur nyenyak.
Beberapa hari kemudian, aku pergi ke tempat Vanessa. Dia menggelengkan kepala dengan sedih.
“Tidak berhasil. Aku juga mencoba mencari informasi, tapi tidak menemukannya”
“Aku juga begitu. Aku bertanya pada teman-teman pelacur, tetapi tidak ada yang melihat”
Faktanya, kejadian dengan Sera telah menyebar sebagai rumor. Jaringan informasi para pelacur ternyata sangat luas dan cepat. Dunia mereka juga memiliki aturan. Polly, yang menyimpang dari norma, tidak akan bisa bertahan sebagai pelacur di kota ini. Jika dia mencoba berbisnis, dia akan menjadi sasaran pemukulan.
Vanessa melanjutkan, mengatakan bahwa ini adalah rumor yang tidak pasti.
“Pada malam dia menghilang, ada yang melihat gadis yang mirip naik ke kereta kuda…”
“Apakah itu berarti dia meninggalkan kota? Atau diculik? Oleh siapa?”
“Tidak tahu”
Karena kejadian itu terjadi dari jarak jauh dan pada waktu subuh, bentuk keretanya tidak jelas. Yang pasti adalah dia menuju keluar dari kota.
Target penculikan tidak hanya anak-anak. Bahkan wanita dewasa lebih dicari. Jika Polly diculik, kita tidak tahu oleh siapa, dan sudah terlalu lama. Polly mungkin sudah tidak ada di kota ini. Atau mungkin dia sudah mati. Polly yang malang. Dia adalah anak yang baik. Bodoh, tidak pandai berurusan dengan dunia, malas, tapi baik hati.
“Kemana dia pergi…”
Vanessa menutupi wajahnya dengan tangan. Aku memeluk bahunya yang bergetar. Keleluasaan murninya membuatku iri. Aku tidak bisa menangis untuk Polly.
“Oh, ya. Polly adalah anak yang malang”
Bahkan kata-kata penghibur pun harus kuucapkan dengan menahan ekspresi yang hampir melonggar.
Setelah Vanessa tenang, aku memutuskan untuk pergi.
“Baiklah, aku pergi. Mari kita tetap berharap. Baik aku maupun kamu”
Setelah keluar dari ruangan pemeriksaan, aku bersin. Udara terasa dingin. Aku lelah karena berbagai hal yang terjadi akhir-akhir ini. Aku ingin beristirahat di tempat tidur seharian, tetapi tidak bisa. Masih ada pekerjaan terakhir yang tersisa. Setelah keluar dan makan pagi yang terlambat, aku menunggu di lantai dua guild petualang. Sambil menunggu sambil mengantuk, terdengar ketukan di pintu. Ketukan itu ragu-ragu. Alwyn datang dengan pedang di pinggangnya, tetapi tanpa armor seperti biasanya.
“Maaf telah memanggilmu mendadak. Aku hanya ingin memastikan sesuatu”
Alwyn kemudian memerah.
“Tentang janji itu. Tentu saja, aku tidak lupa… itu”
“Oh, tidak, bukan itu”
Dia mulai menghindari tatapan dan tampak canggung, aku menghentikannya dengan tangan.
“Aku menghargai semangatmu, tapi itu bukan itu. Ini lebih seperti tahap persiapan atau konfirmasi”
Aku keluar dari guild bersama Alwyn. Tentu saja, sang putri ksatria memakai jubah dengan tudung untuk menyembunyikan identitasnya.
“Oh ya, masalah Oscar sudah selesai. Dia tidak akan kembali lagi. Tapi kalung zamrud masih belum ditemukan. Kami masih mencarikannya. Harap tunggu sedikit lebih lama”
“Bagus”
Aku merasa tidak sepenuhnya terlibat dalam kabar baik itu.
Menjauh dari jalan utama, suasana semakin memburuk setiap kali kami belok ke jalan sempit. Kami tiba di “Kota Cockatrice”. Ini terletak di samping ‘Snake eat Tone Road’ dan merupakan wilayah kekuasaan ‘The Steath Alliance’ Kami akhirnya sampai di tempat yang dituju. Begitu kami berbelok, dinding tinggi dari markas ‘The Stateh Alliance’’ langsung terlihat. Tentu saja, ada beberapa orang bersenjata yang berjaga di depan pintu.
“Perhatikan itu”
Ketika Alwyn menoleh, matanya terbuka lebar.
Anak-anak kecil sedang dimasukkan ke dalam kereta dengan jeruji besi. Tangan mereka terikat, mengenakan pakaian seragam, dan satu per satu mereka dimasukkan ke dalam kereta dengan wajah penuh keputusasaan. Alwyn meraih pedangnya, dan aku meletakkan tangan di atas tangannya.
“Itu bukan kejahatan. Itu legal. Anak-anak itu dijual oleh orang tua mereka sendiri.”
Perdagangan budak menghasilkan uang, dan ada banyak orang tua yang menjual anak-anak mereka. Baik di kota ini maupun di mana-mana di dunia.
Melihat reaksi Alwyn yang terkejut, aku melanjutkan.
“‘Tri-Hydra mencoba menggunakan cara-cara kasar karena mereka kekurangan uang. Jadi mereka akan dihancurkan. Setelah organisasi itu hancur, organisasi lain akan merebut wilayah mereka. Keadilan dan ketertiban kota ini tidak akan terpengaruh oleh hal-hal semacam itu.”
Alwyn mengangkat wajahnya dengan tampak sangat lelah.
“Jadi, apakah kamu membawaku ke sini hanya untuk menunjukkan hal ini?”
Aku menggelengkan kepala.
“Ini hanyalah pengantar. Sebenarnya, aku ingin mengingatkanmu agar tidak terjebak dalam bahaya yang sama seperti sebelumnya.”
Kejadian kebetulan seperti yang lalu tidak akan sering terjadi. Kami berdua bisa saja mati.
“Kita harus pergi ke sini. Ayo.”
Aku menggenggam tangannya dan menariknya pergi. Alwyn seringkali menoleh ke belakang dengan rasa enggan sampai kami keluar dari “Kota Cockatrice”.
Ketika kami tiba di gerbang kota di sisi timur ‘Grey Neightbor’, April berlari mendekat sambil melambaikan tangan.
“Sudah terlambat.”
“Jangan bilang begitu, kita masih sempat.”
Aku mengelus kepala April yang tampak membengkak.
“Jangan, rambutku akan kusut.”
Dia menyingkirkan tanganku dan merapikan rambutnya sendiri.
“Benar-benar tidak bisa dipercaya.”
“Maafkan aku. Aku minta maaf.”
Tiba-tiba April menjadi serius.
“Aku mendengar dari Sera dan Maggie. Kamu menyelamatkan mereka dengan taruhan nyawa.”
“Yang menyelamatkan mereka sebenarnya adalah sang putri kesatria.”
“Tidak, katanya kamu menjadi umpan dan dipukuli oleh orang-orang jahat.”
“Jangan khawatir tentang itu. Aku tidak mahir berkelahi, hanya tahan banting.”
“Eh!”
April tiba-tiba mendorongku. Aku kehilangan keseimbangan dan jatuh ke tanah.
“Kasihan sekali, apa yang kau lakukan?”
“Ini sebagai balasan atas tadi.”
Dia kembali mengelus rambutku.
“Benar-benar lemah.”
April tersenyum geli.
“Terima kasih, Matthew-san.”
Aku tertawa pahit sambil menghapus debu di pantatku.
“Oh, kakak!”
Ketika aku menoleh, Maggie dan Sera menunggu. Keduanya sudah siap untuk bepergian. Di samping mereka ada kereta bersama menuju kota sebelah.
“Terima kasih banyak atas kemarin. Kamu benar-benar kuat meski terlihat cantik. Aku sangat terkejut.”
Sepertinya ibu dan anak itu sudah menjadi penggemar putri kesatria.
“Hei, Sera.”
Aku menegur kelakuan anak perempuannya, tetapi Alwyn menggelengkan kepala, menunjukkan bahwa itu tidak masalah.
“Melinda, maksudku Maggie, jadi kalian akan meninggalkan kota?”
“Setelah apa yang terjadi, dan juga, ayah anak ini sedang mencari kami... Kami disarankan oleh Matthew untuk segera pergi. Dia juga membayar biaya kereta...”
Mereka juga melarikan diri dari suami yang kekerasan. Meskipun aku tidak pernah bertemu dengannya, dikatakan bahwa pria itu memiliki bekas luka seperti luka bakar di atas mata kanannya. Bahkan tanpa masalah suami, hidup lama di kota ini tidak mungkin. Lebih baik pergi ke tempat lain untuk masa depan anaknya.
Setelah sedikit berjalan dari kota sebelah, akan ada perbatasan. Meskipun sebagai petualang, seharusnya tidak mudah bagi mereka untuk mengejar.
“Jadi, lakukan yang terbaik. Ini adalah tanda perpisahan.”
Aku memberikan sebuah kantong. Maggie terkejut. Meskipun hanya koin, aku mengumpulkannya dari rumah. Mungkin setara dengan satu atau dua koin emas.
“Eh, sebanyak ini?”
“Karena Polly telah merepotkan kalian. Anggap saja ini sebagai kompensasi. Dia tidak bisa datang, tetapi dia sering meminta maaf kepada kalian.”
“Ya, kami memaafkan!”
Sera menyatakan, dan aku tertawa.
“Kalau begitu, ini dari aku.”
Sebuah koin emas besar. Satu koin ini setara dengan sepuluh koin emas. ... Orang kaya memang berbeda.
April memberikan buku kepada Sera. Buku untuk anak-anak kecil yang belajar membaca. Aku juga mendapat manfaat dari itu.
“Baca ini dan belajar. Kirim surat ketika kamu sudah tenang. Hanya jika bisa.”
“Eh, belajar?”
Sera tampak enggan.
“Aku akan menunggu.”
April mengatakan dengan penuh perhatian, dan Sera menggumamkan persetujuannya dengan suara kecil.
Saatnya kereta berangkat.
Sera melambaikan tangan dari jendela kereta, terus melambaikan tangan sampai mereka menghilang dari pandangan.
April berlari hingga ke dekat gerbang, terus melambaikan tangan sambil berteriak, “Kirim surat, ya!”
Sementara aku memperhatikan punggung mereka, Alwyn membuka mulutnya.
“Jadi, ini yang kamu sebut sebagai pengantar?”
“Ya, benar.”
Aku menjawab.
“Yang kamu hancurkan adalah kehidupan yang tidak ada artinya bagi seorang ibu yang menunggu anaknya yang tidak akan pernah pulang, yang bahkan bereaksi terhadap suara angin di jendela. Dan yang kau lindungi adalah hak seorang gadis kecil yang ketakutan di malam hari untuk tidur di ranjang ibunya sambil mendengarkan lagu pengantar tidur. Aku rasa ini jauh lebih keren daripada keadilan dan ketertiban.”
“......Iya”
Kata Alwyn sambil mengangguk.
“Pastinya lebih baik. Keren... ya? Ya, keren.”
“Dan”
Akhirnya aku bisa masuk ke inti pembicaraan.
“Aku ingin memastikan, meski hasilnya tidak sesuai dengan idealismu, apakah janji itu masih berlaku.”
Aku bertanya sambil menatap. Alwyn membuka matanya lebar-lebar, menggenggam tangannya dengan kuat, tapi tiba-tiba melonggarkan genggaman dan menggelengkan kepala.
“Tidak, tidak ada apa-apa. Ini sudah cukup. ... Ini sudah benar.”
“Baiklah, kalau begitu aku lega.”
Aku menghela napas lega.
“Dengan ini, aku bisa dengan tenang bersamamu. Tidak pernah ada kesempatan untuk mendapatkan gadis cantik seperti ini. Aku sangat bersemangat.”
Alwyn memerah karena pernyataan yang blak-blakan itu.
“Y-ya, aku mengerti. Aku tidak akan menolak sekarang. Jadi...”
Sebelum dia sempat mengucapkan sesuatu, aku berkata.
“Tapi, aku juga punya urusan. Aku akan sangat senang jika kamu bisa menunggu sebentar. Mungkin seratus tahun atau bahkan dua ratus tahun. Sementara itu, lakukan saja apa yang kau suka.”
“Eh?”
“Rawat tubuhmu dengan baik. Kau pasti bisa menjadi ratu yang luar biasa.”
Aku meninggalkan Alwyn yang tampak bingung dan tidak bisa memahami situasi, dan pergi dari tempat itu.