[LN] Futago Matomete “Kanojo” ni Shinai? ~ Volume 1 ~ Chapter 9 [IND]

 


Translator : Nacchan 

Proffreader : Nacchan 


Chapter 9 : Apakah Usami Hikari Seorang Jenius...?

Malam setelah berkencan dengan Chikage, Sakuto merasa lelah namun sulit untuk tidur. Bukan karena masih terbawa suasana kencan, melainkan karena percakapan di kereta pulang dengan Chikage terus terngiang di kepalanya.

"──Hikari adalah seorang jenius, ya..."

Saat menatap langit-langit yang redup, dia terbayang senyuman Hikari.

Dalam perjalanan pulang dengan kereta, inilah yang dibicarakan Sakuto dan Chikage.

"Sebetulnya, Hii-chan adalah seorang jenius."

"Jenius? Maksudmu dia pandai dalam hal belajar?"

"Ya... dia memiliki bakat yang luar biasa juga──"

Menurut Chikage, Hikari belajar fisika kimia di rumah. Ketika di sekolah menengah pertama, dia pernah mendapatkan penghargaan dari Japanese Junior High School Science Awards dan kompetisi lainnya yang diadakan oleh yayasan publik. Dia melakukan penelitian di berbagai bidang secara mandiri, dan pengetahuannya sangat luas.

Selain itu, Hikari meraih peringkat satu dalam Tes Nasional Kelas 9, yang berarti dia selevel dengan Sakuto.

Tergantung pada bagaimana kita mendefinisikan jenius, Hikari jelas memiliki bakat yang luar biasa. Ketajaman dan intuisi yang kadang-kadang dia tunjukkan membuat Sakuto merasa lebih paham setelah penjelasan Chikage.

Namun, Sakuto tidak menganggap dirinya setara dengan Hikari. Jika dibandingkan, jelas terlihat perbedaannya, dan Sakuto sendiri tidak pernah menganggap dirinya seorang jenius.

(Tidak perlu dibandingkan, kan... aku hanya orang biasa dengan ingatan yang baik...)

Sakuto hanya memiliki nilai dan hasil akademis di sekolah. Kalau harus dikatakan, mungkin hanya kemampuannya dalam mengorganisir ingatan yang menonjol.

Dia selalu berpikir bahwa ujian tertulis atau tes nasional standar hanya bisa mengukur tingkat akademis, tidak dapat menjadi tolok ukur apakah seseorang adalah jenius atau tidak.

Sementara itu, Hikari telah mencapai berbagai prestasi hingga saat ini. Dia pastilah pantas disebut sebagai jenius.

(Meskipun begitu, kenapa Hikari tidak mau pergi ke sekolah...?)

Kaitan antara seorang jenius dan ketidakhadiran di sekolah tampaknya tidak masuk akal. Apakah karena pelajaran di sekolah tidak sesuai dengan levelnya, atau ada alasan lain yang lebih mendasar?

(Apakah mungkin karena tekanan harapan yang berlebih...?)

Hikari dengan perilaku polos dan cerianya, sering menghabiskan waktu dengan bermain di arcade dan menjalani hidup dengan bebas. Jika dia memang merasakan tekanan besar dari harapan orang-orang di sekitarnya, bisa jadi ketidakhadirannya adalah bentuk pelarian dari tekanan atau tindakan pemberontakan.

(Ketidakhadirannya dimulai sejak kelas empat SD, ya... Mungkin besok aku harus menanyakannya langsung padanya...)

Dengan pemikiran itu, Sakuto menutup matanya perlahan.

* * *

Janji temu mereka adalah pukul sebelas pagi di Stasiun Yuki Sakura yang sama seperti kemarin. Tiba lima belas menit lebih awal, Sakuto berdiri di depan 'Patung Alice' menunggu kedatangan Hikari. Lebih banyak orang hari ini, mungkin karena ini adalah Minggu pagi.

Cuaca tidak terlalu baik. Menurut prakiraan, hujan akan turun di siang hari, jadi kemungkinan besar mereka akan berkencan di dalam ruangan.

Saat memikirkan hal itu, Sakuto merasakan seseorang diam-diam mendekat dari belakang.

(Tampaknya dia sudah datang...)

Ketika Sakuto hendak menoleh, tiba-tiba kedua matanya ditutup oleh sepasang tangan dari belakang.

"Tebak siapa?"

Sakuto langsung tahu siapa dia.

"...Suara ini Hikari, dan yang menutup mataku pastinya Chikage, kan?"

Tangan yang menutup matanya terbuka, memulihkan pandangannya. Ketika dia berbalik, dia melihat dua wajah yang terkejut.

"Hebat! Bagaimana kamu bisa tahu?"

"Bagaimana kamu bisa menebaknya?"

"Mungkin karena aku pacar kalian?"

Nada suara mereka sedikit berbeda, dan suara itu tidak datang tepat dari belakang, melainkan sedikit jauh. Dengan pemikiran yang tenang, sebenarnya tidak terlalu sulit untuk ditebak.

"Kalian berdua, jangan bicara bersamaan..."

Suara stereo memang lebih menusuk telinga dibandingkan suara mono.

"Ngomong-ngomong, Chikage, hari ini penampilanmu berbeda dari kemarin. Ini lebih seperti gayamu yang biasa, ya?"

"Ya... kemarin agak berlebihan... haha..."

Chikage memakai topi baret hitam, blus lengan panjang putih, dan rok lipit kotak-kotak berpinggang tinggi, serta sepatu loafer kasual. Penampilannya tidak hanya imut, tetapi juga menunjukkan sisi dewasa dan elegan dari Chikage.

"Bagaimana dengan aku?"

Hikari mengenakan sweater lengan lonceng berwarna krem dan rok mini hitam berbentuk A, dipadukan dengan aksesori sederhana seperti kalung dan jam tangan Upple. Sepatu bot kulit bertumit tinggi membuatnya terlihat sedikit lebih tinggi dari Chikage.

"Ya, menurutku sangat cocok untukmu."

"Terima kasih, tapi hari ini aku masih tampil sederhana."

(Meski begitu, tatapan orang-orang di sekitar semakin tajam dibandingkan kemarin...)

Sakuto menyadari bahwa sejak tadi banyak pria yang menatap ke arah mereka. Bahkan dengan satu orang yang berpakaian modis dan imut saja sudah menarik perhatian, apalagi dengan dua orang yang kembar di depan mata. Mungkin daya tarik sebagai sepasang kembar juga menjadi faktor.

"Jadi, hari ini Chikage juga ikut?" tanya Sakuto.

"Tidak, aku sebenarnya berencana pergi berbelanja, jadi aku hanya menemani Hikari," jawab Chikage.

"Begitu, jadi aku hanya kebetulan saja..." kata Sakuto dengan nada bercanda seolah merasa kecewa.

"T-tidak! Aku ingin bertemu dengan Sakuto-kun... kenapa kamu membuatku mengatakan hal itu!" seru Chikage, panik dan berbicara sendiri. 

Sakuto sudah menduga reaksi ini, jadi dia hanya tersenyum. Chikage terlihat malu dan berkata, "Aduh," sambil mengipasi wajahnya yang memerah. Mengingat kejadian di kincir ria kemarin membuat Sakuto merasa sedikit malu. Orang yang menyebabkan Chikage bertindak berani kemarin sekarang tersenyum seolah tidak ada yang terjadi.

"Chii-chan, hari ini giliranku, ya?" kata Hikari.

"Aku tahu...!" sahut Chikage.

"Hihi, aku ingin melakukan banyak hal menyenangkan dengan Sakuto-kun, seperti ini dan itu!" ujar Hikari sambil memeluk lengan kiri Sakuto. Dia menempel manja, meletakkan kepalanya di bahu Sakuto.

"Aduh! Tunggu! Kita harus menjalin hubungan yang bersih dan benar!"

"Iya, itu berarti bermain bersama dan makan bersama, kan?"

"Uh...!?"

Wajah Chikage memerah seperti ketel yang mengeluarkan uap.

"Jadi, Sakuto-kun, ayo kita pergi?" ajak Hikari.

"Oh, ya..." jawab Sakuto.

Hikari tetap memegang lengan Sakuto sambil berjalan bersamanya. Setiap langkah membuat Sakuto merasakan sentuhan lembut dari Hikari, dan dia berusaha keras untuk tetap tenang.

"Jadi, sampai jumpa, Chii-chan... selamat tinggal!" kata Hikari.

"Baiklah, Chikage... jaga dirimu!" tambah Sakuto.

"Eh, kalian mau pergi ke mana!?"

Dengan wajah merah, Chikage panik saat melihat Sakuto mengikuti Hikari yang ceria.

* * *

Setelah makan siang ringan di toko burger, langit akhirnya mulai menangis.

"Hujan mulai turun, ya?" ujar Sakuto.

"Yah, kita di dalam ruangan, jadi tidak berpengaruh, kan?" jawab Hikari dengan ceria.

"Ah, ya, memang di dalam ruangan, tapi..."

Yang dimaksud adalah kamar Hikari di lantai dua rumah keluarga Usami. Setelah meninggalkan toko burger, bukannya pergi ke bioskop, akuarium, atau pusat perbelanjaan, mereka malah menuju ke kawasan perumahan. Sakuto, yang tidak menyangka akan langsung dibawa ke rumah Hikari, berusaha terlihat tenang meski dalam hati merasa sangat gugup.

Kamar Hikari ternyata rapi dan teratur. Meskipun bukan sepenuhnya minimalis, ruangan terasa luas karena tidak banyak barang. Namun, ada aroma manis khas perempuan yang samar-samar tercium, membuat Sakuto merasa agak gelisah.

Di papan gabus di dinding, terdapat foto-foto yang diambil bersama Chikage dan beberapa foto saat menerima penghargaan.

"Sakuto-kun, apakah kamu gugup?" tanya Hikari.

"Tentu saja..."

"Jangan khawatir. Aku tidak akan tiba-tiba mempertemukanmu dengan ayah dan ibu, dan mereka berdua tidak akan pulang sampai malam, jadi kamu bisa merasa santai."

Apakah dia sengaja mengatakan itu? Justru membuat Sakuto semakin tegang. Tidak ada orang tua, dan Chikage pun sedang keluar, yang berarti hanya ada mereka berdua di kamar Hikari. Sulit untuk tidak merasa gugup dalam situasi seperti ini.

"──Oke..."

Tiba-tiba, Hikari melepas sweater lengan loncengnya, menyisakan kaos pendek.

"Sakuto-kun, lepaskan jaketmu juga, nanti jadi kusut."

"Tidak, tidak apa-apa..."

"Tapi, kamu berkeringat, lho?"

"Itu... air mata dari dalam hati."

"Apa maksudnya itu...?" Hikari tertawa kecil sambil memaksa Sakuto melepas jaketnya juga, dan Sakuto akhirnya dengan enggan tinggal memakai kaos. Hikari mendekatkan wajahnya ke jaket Sakuto, bukannya langsung menggantungnya.

"Mmm... aroma keringat Sakuto-kun..."

Hikari terlihat terbuai.

"Tunggu...!? Malu sekali!"

"Benarkah? Aku suka aroma Sakuto-kun..."

Hikari berkata sambil tersenyum, lalu menggantung jaket tersebut.

Namun, Sakuto bertanya-tanya apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Mungkin bermain game, karena Hikari suka bermain game. Selain itu, tidak ada kegiatan lain yang terpikirkan, kecuali mungkin beberapa hal yang biasanya dilakukan pasangan, tetapi tentu saja itu...

"Sakuto-kun, berbaring saja di tempat tidur," kata Hikari tiba-tiba.

"...Eh?"

"Aku akan menyiapkan sesuatu sebentar─"

* * *

Lima belas menit kemudian, Sakuto dan Hikari berbaring di tempat tidur. Hikari menggunakan lengan kiri Sakuto sebagai bantal. Dalam kamar yang gelap dengan tirai tertutup, mereka berdua menatap ke langit-langit.

Di antara musik yang diputar sebagai BGM, terdengar suara AC yang berhembus, suara hujan mengetuk jendela dan atap, serta nafas lembut Hikari yang tidur di lengan Sakuto, bersama dengan detak jantung yang berdetak kencang entah milik siapa.

"...Sakuto-kun, kalau begitu kita mulai, ya? Boleh?"

"Uh, ya..."

"Baiklah... nyalakan─"

Hikari mengoperasikan remote, dan langit-langit berubah menjadi hamparan bintang. Langit-langit yang bersinar kebiruan berkilau seperti ilusi. Perlahan, langit berbintang itu berputar. Bintang-bintang terhubung oleh garis-garis, membentuk pola, dan rasi bintang muncul di langit malam yang diciptakan.

"Bagaimana? Ini planetarium untuk rumah. Ayah memberikannya sebagai hadiah."

"Wow, ini luar biasa..."

"Aku suka melihat bintang seperti ini sambil tertidur."

"Benar-benar menarik..."

Sakuto merasa ingin memarahi dirinya sendiri lima belas menit yang lalu. 

(Apa yang sudah aku bayangkan...)

Memiliki fantasi yang salah mungkin merupakan hal yang alami bagi anak laki-laki yang sehat, tetapi dia merasa bersalah telah mencemari bagian dari kepolosan Hikari ini. 

Mengingat sifatnya yang ceria dan kejadian kemarin dengan Chikage, wajar jika dia memiliki harapan yang berbeda.

"...Lalu, kenapa planetarium?"

"Apakah tidak menyenangkan melihat bintang? Selain itu, dengan cara ini kita bisa bersantai bersama, dan aku bisa terus dekat denganmu... hehe."

"Ya, memang benar..."

Hikari bergerak sedikit dan tiba-tiba mengecup pipi Sakuto dengan lembut.

"Kenapa tiba-tiba begitu...!?"

"Yah? Aku pikir pipimu imut. Bukankah kamu ingin mencium pipi anak kecil yang lucu?"

"Tapi, aku ini bukan anak kecil..."

"Jangan khawatirkan itu."

"Tidak, aku harus khawatir! Aku bukan seorang pertapa, jadi itu sulit...!?"

"Oh, begitu, ya... hehehe," gumam Hikari sambil tertawa kecil saat Sakuto panik. Dengan sengaja, Hikari terus menempelkan bibirnya, seolah menikmati reaksi Sakuto. Kemudian, dia mulai "berjalan" dengan jari telunjuk dan jari tengah di dada Sakuto, berhenti tepat di atas jantung, dan meletakkan tangannya dengan lembut di sana.

Hikari kemudian mendekatkan kepalanya ke dada Sakuto, menempel lebih erat. Sakuto merasa bingung dan tidak tahu bagaimana harus bereaksi, tetapi akhirnya menyadari bahwa Hikari melakukannya dengan sengaja untuk mendengarkan detak jantungnya. Jelas sekali bahwa jantungnya berdetak kencang.


"Jantungmu berdegup kencang, ya? Gugup?" tanya Hikari.

"Kamu tidak gugup, Hikari...?" balas Sakuto.

"Tentu saja aku gugup juga... mau coba dengar?" 

Hikari mengambil tangan Sakuto yang bebas dan perlahan menariknya ke arah dadanya. Jika dibiarkan, tangan Sakuto akan menyentuh dada Hikari.

Merasa itu tidak tepat, Sakuto segera menguatkan dirinya, bangkit, dan berbalik, membuat Hikari berada di bawahnya di tempat tidur.

Di hadapan Sakuto, ada wajah Hikari yang memerah dan matanya terbuka lebar. Matanya yang indah seperti kaca menunjukkan ketegangan dan keterkejutan. Melihat Sakuto yang tampak bersemangat, Hikari mungkin merasa sedikit cemas. Mereka saling menatap lurus, dan kemudian─

"Sakuto-kun...?" panggil Hikari.

"To..." balas Sakuto.

"To...?" tanya Hikari, bingung.

"Toilet, di mana...?"

"Di ujung lorong lantai satu..."

"Baiklah..."

Sakuto perlahan menjauh dari Hikari dan menuju pintu. Saat hendak keluar, dia melihat sekilas Hikari yang meletakkan kedua tangannya di dadanya sendiri, berbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit.

* * *

(Ini buruk... buruk, atau sebenarnya tidak buruk? Tidak, ini pasti buruk...)

Sambil terus berdebat dengan dirinya sendiri, Sakuto menuruni tangga menuju toilet. Dia tidak membenci sikap Hikari yang aktif, dan kedekatan serta sentuhan yang sering terjadi sejak awal. Bahkan ketika merasa bingung, dia sebenarnya menyukainya.

Namun, berada di ruangan yang gelap berdua saja ─ meskipun mungkin ada sedikit bercanda ─ membuat kedekatan mereka terlalu intim, dan Sakuto merasa kehilangan kendali.

Jika dia terus terbawa suasana... atau mungkin memang seharusnya dia terbawa?
Pikirannya kacau. Bagaimana dia harus menghadapi Hikari setelah ini? Dia tidak tahu. Namun, dia juga memikirkan Chikage. 
Apakah Chikage akan marah jika mengetahui hal ini? Apakah dia akan merasa tertantang karena mereka sudah lebih maju? Karena mereka berhubungan dengan keduanya, apakah hal seperti ini...

(Apa yang kupikirkan...!)

Pikirannya benar-benar kacau. Dia harus tenang sejenak...

"──Eh? Sakuto-kun...?"

Sakuto melihat ke arah suara tersebut. Tepat di area ruang ganti kamar mandi, dia bertatapan dengan Chikage.

Namun, yang harus dipikirkan adalah mengapa dia bertatapan dengan Chikage di tempat itu.

Chikage tampak seperti baru saja mandi dengan pakaian lengkap, basah kuyup dari kepala hingga kaki. Tentu saja, hujan deras turun... tapi ini bukan saatnya berpikir santai. Dia sedang dalam proses melepas pakaiannya.

Roknya sudah jatuh ke lantai, dan dia baru saja melepas kancing terakhir dari blus putihnya yang basah dan tembus pandang. Hampir dalam kondisi setengah telanjang, blusnya yang setengah terlepas...

"Ah... ahhhhhh...!?"

Chikage berjongkok, mencoba menutupi tubuhnya. Wajahnya memerah dan hampir menangis. Sakuto segera mengalihkan pandangannya, tetapi sudah terlanjur melihat kulitnya yang indah.

"Ma-ma-maaf!"

"Ke-kenapa kamu ada di rumahku!?"

"Hikari mengajakku ke sini...!"

"Hii-channnn...!"

Ini benar-benar masalah. Sakuto tidak menyangka Chikage sudah kembali. Chikage mungkin juga tidak tahu bahwa Hikari dan Sakuto ada di rumah. Terjebak dalam hujan deras, mungkin dia tidak sempat melihat sepatu di depan pintu ─ namun, kecelakaan telah terjadi.

"Pokoknya, maaf...!"

"A-aku akan berganti pakaian, jadi tolong berpaling!"

"Baik! Aku akan ke toilet!"

"Silakan──!"

Dalam kekacauan, Sakuto berhasil berlari ke toilet.

(Aduh, aku benar-benar melakukannya...!)

Di toilet keluarga Usami, Sakuto merasa ingin berteriak sekeras-kerasnya.

Beberapa saat kemudian, ada ketukan di pintu.

"Sakuto-kun... aku sudah selesai berganti pakaian..."

Ketika Chikage berbicara, Sakuto dengan hati-hati membuka pintu. Chikage sudah berganti pakaian dengan pakaian rumahan, menatap ke bawah dengan malu.

"Yang tadi itu, bisa dianggap kecelakaan, kan…?"

"Ya… itu tidak sengaja… maaf…"

Saat Sakuto meminta maaf dengan tulus, Chikage menggeliat malu-malu.

"A-aku juga tidak mempermasalahkannya lagi, dan aku juga yang membiarkan pintunya terbuka, jadi maaf..."

Syukurlah, masalah ini tidak berkembang menjadi lebih besar. Namun, Sakuto merasa bahwa efek dari kejadian ini mungkin akan berlanjut untuk sementara waktu.

* * *

"Jadi, Hikari mengajakmu kencan di rumah… hmm~…"

Setelah menjelaskan situasinya kepada Chikage, dia tampak tidak senang dan menggelembungkan pipinya.

"Maaf, seperti mendobrak masuk ke rumahmu tanpa izin…"

"Itu tidak masalah, tetapi… tidak ada hal yang tidak pantas, kan?"

Sakuto terdiam sejenak, mengingat bahwa dia hampir terjebak, tetapi berhasil menghindarinya.

"Begitulah, Hikari…"

"Ah, kamu menghindar, ya?"

"Tidak, tidak menghindar, haha…"

Sakuto mencoba tertawa untuk mengalihkan perhatian, dan meski Chikage tampak kesal, ekspresinya tiba-tiba melembut.

"Yah, tapi Sakuto-kun bukan tipe yang mudah terjebak pesona, kan?"

"Ya, mungkin…"

Itu adalah topik yang sulit untuk dijelaskan.

"Kalau Hiu-chan mencoba sesuatu, larilah."

"Ya, aku mengerti…"

Sebenarnya, dia sudah melarikan diri tadi. Mereka mengobrol sambil naik ke lantai dua. Di bagian atas tangga, ada plakat kayu imut bertuliskan "Chii's Room," yang menunjukkan kamar Chikage. Sementara di sebelahnya, plakat bertuliskan "Hii's Room" untuk kamar Hikari.

"Aku akan di sebelah, ya."

"Oke."

"Aku tidak akan menguping, jadi tenang saja."

"Aku tidak menanyakan itu…"

Chikage masuk ke kamarnya, meninggalkan Sakuto di lorong dengan perasaan campur aduk.

(Setelah semua yang terjadi tadi…)

Sakuto merasa sedikit canggung untuk bertemu dengan Hikari setelah kejadian tadi. Namun, sudah sekitar sepuluh menit berlalu, dan dia tahu dia tidak bisa membiarkan Hikari menunggu lebih lama lagi.

(Sebaiknya aku beri tahu bahwa Chikage sudah pulang...)

Dengan pikiran itu, Sakuto membuka pintu.

"Selamat datang kembali," sapa Hikari

"Terima ka...──"

Sakuto tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena pemandangan mengejutkan yang langsung menyapa matanya ketika pintu terbuka.

Ruangan sekarang terang benderang dengan lampu langit-langit menyala. Sebelumnya hanya diterangi cahaya biru lembut dari planetarium, tetapi sekarang Hikari berdiri di sana dalam pakaian dalam, kulit putihnya bersinar dalam cahaya terang.
Dia tidak berpakaian.

Mengapa... bagaimana Hikari bisa menyambutnya dengan santai dalam keadaan seperti ini? Memang, salam itu penting, tetapi apakah ada norma sosial yang mengatakan bahwa salam tetap penting bahkan tanpa pakaian? Sakuto sangat bingung.

"H-Hikari...!?"

"Maaf, maaf. Aku masih dalam proses berganti pakaian," kata Hikari dengan senyum canggung.

Mengapa dia tidak berusaha menutupi seperti Chikage? Atau mungkin dia tidak berniat menutupi? Sakuto semakin bingung dan segera memalingkan wajahnya.

"A-ayo cepat pakai baju!"

"Iya, aku akan pakai, tunggu sebentar─tapi sebelumnya... haiya!"

Dengan keadaan seperti itu, Hikari tiba-tiba memeluk Sakuto dari belakang.

"Apa yang kamu lakukan!?"

"Umm... merasa kesepian, jadi ingin memeluk?"

"Tidak, tidak, itu bisa dilakukan setelah kamu berpakaian!"

"Karena kamu tadi kabur, Sakuto-kun."

"Sekarang pun aku merasa ingin kabur!"

"Kalau begitu, aku harus menahanmu. Haiya, haiya!"

Hikari dengan sengaja memeluknya erat.

"Hikari, tunggu...!? Di sebelah! Di sebelah ada Chikage!"

"Chii-chan seharusnya tidak pulang sampai sore, jadi kamu tidak bisa lari dariku~," kata Hikari dengan nada menggoda.

"Tidak, sungguh! Karena hujan deras, dia pulang lebih cepat─"

"Hi-Hii-chan!? Apa!? Kenapa kamu pakai pakaian seperti itu!?" seru Chikage yang baru keluar dari kamar, terkejut melihat Hikari.

Tak perlu dikatakan lagi, setelah kejadian itu, Hikari mendapat ceramah panjang dari Chikage.

* * *

Beberapa saat kemudian, ketiganya duduk di sofa tiga tempat duduk di ruang tamu lantai satu rumah Usami. Sakuto duduk di tengah, dengan Hikari di satu sisi dan Chikage di sisi lainnya.

"Hii-chan, kamu harus mempertimbangkan perasaan Sakuto-kun, oke?" kata Chikage tegas.

"Yah... aku agak menyesal tentang itu..."
 jawab Hikari, sedikit menyesal meskipun tidak sepenuhnya serius.

Sakuto, yang duduk di antara mereka, akhirnya berbicara, "Dengar, kalian berdua..."

"Apa?" jawab keduanya serempak.

"Kenapa... kenapa pakai kostum bunnies...?"

Rasa bingung dan lelah muncul bersamaan dari mulut Sakuto.

"Ehhehe, aku pikir Sakuto-kun akan senang," kata Hikari dengan senyuman lebar, mengenakan kostum bunnies berwarna putih. Atasannya berupa tube top, dan bawahannya adalah celana pendek, terpisah satu sama lain. Ada juga aksesori seperti bando, pelindung tangan, dan pelindung kaki yang melengkapi penampilannya.


Kostum berbulu yang dikenakan Hikari tampak nyaman disentuh, meskipun Sakuto tidak berani mencobanya.

"A-aku... hanya ikut-ikutan...! Karena Hikari memakainya duluan!" kata Chikage dengan malu, mengenakan kostum bunnies klasik berwarna hitam. Modelnya high-leg dengan stocking jala, serta manset putih menyerupai lengan kemeja.

Sakuto, yang terjepit di antara dua gadis dengan telinga kelinci, merasa sangat canggung. Situasi ini mengingatkannya pada suasana di klub malam bertema tertentu.

"Kenapa kalian punya kostum ini...?"

"Kami membelinya untuk Halloween tahun lalu," jawab Hikari ceria.

"A-aku tidak minta dibelikan kostum ini...!" tambah Chikage dengan gugup.

Sakuto akhirnya mengerti. Hikari adalah akselerator, sedangkan Chikage adalah rem. Hikari cenderung terlalu bersemangat, sehingga Chikage harus sesekali menahan laju dengan menjadi lebih tenang. Namun, kadang-kadang, rem itu bisa gagal, seperti yang terjadi sekarang.

"Mari kita adakan turnamen game sekarang!" seru Hikari penuh semangat.

"Dengan pakaian itu!?"

"Kalau begitu, aku akan menyiapkan camilan," tambah Chikage.

"Dengan pakaian itu!?"

Tampaknya situasinya sudah tidak bisa dihentikan lagi. Sakuto, yang ingin meningkatkan kecepatan hubungannya secara perlahan, bertekad untuk menjaga rem rasionalitasnya agar tidak rusak.


Twintalk! 4: Tentang Hari Esok...

Setelah Sakuto pulang sekitar jam enam, Chikage yang sudah kembali tenang berdiri dengan tangan terlipat, masih mengenakan kostum bunnies berwarna hitam.

"Hii-chan... bukankah hari ini kamu terlalu berlebihan?" tanya Chikage.

"Hmm... aku bersenang-senang, tapi mungkin ya?" jawab Hikari sambil memandang ke atas, masih dalam kostum bunnies putihnya, berpikir.

"Seberapa jauh kamu mendekati Sakuto-kun...!?"

"Umm... nihihi," Hikari tersenyum penuh arti.

"Jangan hanya tertawa, ceritakan padaku!"

"Mungkin tidak sejauh yang kamu lakukan kemarin? Mungkin?" jawab Hikari dengan senyum.

Meski Chikage tampak kesal dan Hikari tersenyum, mereka tidak mempersoalkan kostum mereka yang aneh.

"Jadi, tentang hari esok..."

"Apa itu?"

"Apakah kamu akan pergi ke sekolah?"

"Hmm... aku berpikir untuk pergi..."

"Tapi kamu masih belum siap?"

Hikari mengangguk.

"Aku merasa senang karena ada kamu dan Sakuto-kun..."

"Tapi?"

Hikari hanya tersenyum samar, tidak mengatakan lebih lanjut. Melihat kakaknya seperti itu, Chikage menghela napas.

"Jumlah ketidakhadiranmu sudah mengkhawatirkan..."

"Apakah aku akan tinggal kelas?"

"Ya, mungkin... apakah kamu membicarakan ini dengan Sakuto-kun hari ini?"

"Tidak... apakah Sakuto-kun khawatir?"

"Ya, kemarin kita sempat bicara sedikit, dan dia memang terlihat khawatir."

Ketika Chikage mengatakan itu dengan jujur, Hikari tersenyum pahit dan berkata, "Begitu ya."

"Apakah itu karena aku pacarnya?"

"Meski bukan pacarmu, aku yakin Sakuto-kun tetap akan khawatir. Dia memang orang seperti itu," kata Chikage.

"Benar juga... syukurlah kita bisa pacaran," jawab Hikari lega.

"Jangan lupa, aku juga pacarnya!" tambah Chikage.

Setelah itu, mereka memutuskan untuk mandi bersama, sesuatu yang jarang mereka lakukan sejak masuk SMP.

"Ngomong-ngomong, Hii-chan, kamu kadang-kadang pakai sampo dan kondisionerku, kan?"

"Ya, baunya enak sekali, maaf ya?"

"Pantas saja cepat habis."

Saat Chikage mulai mencuci rambutnya, Hikari mengambil alih dari belakang. Mereka dulu sering mandi bersama seperti ini, tetapi frekuensinya berkurang setelah mereka masuk sekolah menengah.

"Ada yang gatal?"

"Jangan di sekitar telinga."

"Permintaan yang aneh..." kata Hikari sambil berpura-pura menjadi petugas salon, dengan lembut mencuci rambut Chikage.

Setelah membilasnya, Hikari tiba-tiba tersenyum mengingat sesuatu.

"Ngomong-ngomong, Sakuto-kun tadi tampak lucu saat panik."

"Kalau didekati dengan agresif, apalagi dipeluk dengan pakaian dalam, cowok manapun... itu tidak boleh, tahu!"

"Kamu juga memeluknya dengan pakaian dalam, kan?"

"A-aku tidak memeluknya! Tadi itu... tidak disengaja!"

"Apakah Sakuto-kun lebih senang dengan kejadian tidak sengaja seperti itu? Hmm..."

Chikage menghela napas melihat adiknya khawatir tentang hal yang salah.

Kemudian, mereka bertukar posisi, dan Chikage mulai mencuci punggung Hikari.

"Ngomong-ngomong, bagaimana kesanmu tentang kencan kemarin?"

"Yah... berkat bantuanmu, semuanya berjalan lancar. Sepertinya Sakuto-kun juga gugup, jadi kurasa itu bagus."

"Syukurlah, aku bisa berguna sebagai kakak, ya?"

"Ya, terima kasih, Hii-chan."

"Ehhehe, jangan ragu untuk berkonsultasi lagi, Chikage."

Setelah itu, meski sudah larut malam, mereka tidak segera tertidur. Mereka memutuskan untuk tidur bersama di kamar Chikage, berbicara tentang Sakuto—kencan, kehidupan sehari-hari, dan masa depan.

Mereka tertidur tanpa sadar, dan meski memikirkan orang yang sama, hubungan mereka sebagai saudara perempuan justru semakin erat.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Join the conversation