[LN] Futago Matomete “Kanojo” ni Shinai? ~ Volume 1 ~ Chapter 12 [IND]

 


Translator : Nacchan 

Proffreader : Nacchan 


Chapter 12 : Jika Paku Dibalik...?

"Eh? Sakuto-kun... kenapa kamu ada di sini...!?"

Ketika Sakuto membuka lebar pintu ruang rapat, Chikage terlihat sangat terkejut. Air mata tampak menggantung di pelupuk matanya. Melihat keadaan Chikage, dada Sakuto terasa nyeri. Namun, ia tetap menampilkan senyum untuk menenangkannya.

"Boleh aku masuk dulu?"

Sebelum Chikage sempat menjawab "silakan," suara terkejut terdengar dari dalam ruangan.

"Eh? Takayashiki!?"

"Sakuto...!?"

Shun dan Yuzuki sama-sama terkejut melihatnya. Sudah cukup lama sejak terakhir kali mereka bertemu, tetapi Sakuto hanya membalas dengan anggukan kecil, tanpa basa-basi.

Ia langsung mendekati Chikage dan berbisik kepadanya.

"Kenapa kamu datang?"

"Aku pikir ini saatnya aku serius."

"Eh?"

"Chikage, kamu sedang kesulitan, kan? Makanya aku datang. Maaf kalau aku terlambat, ya."

Sakuto tersenyum tulus ke arah Chikage.

"Itu... aku senang, tapi... aku senang, tapi...!"

Wajah Chikage memerah, dan ia berusaha menyembunyikannya, meski tidak sepenuhnya berhasil. Campuran rasa terkejut dan bahagia membuatnya tidak bisa berkata-kata.

Namun, ini belum selesai.

"Selain itu, aku membawa seseorang lagi untuk membantu."

"Membantu? Siapa?"

Dari pintu yang masih terbuka, muncul sebuah wajah yang mengintip dengan ekspresi sedikit malu-malu.

"Yoo, Chii-chan."

Itu Hikari. Ia tersenyum seperti anak kecil yang ketahuan sedang berbuat nakal.

"Hii-chan...!? Kenapa kamu...?"

"Aku datang untuk membantu Chii-chan... atau begitu, ya? Boleh aku masuk?"

Hikari langsung berjalan menuju Chikage, lalu berkata,

"Oh, benar! Aku punya sesuatu untuk Chii-chan."

Dia mengeluarkan dua Usa-pyoko kecil dari sakunya dan menyerahkan yang berwarna hitam ke tangan Chikage.

"Usa-pyoko...?"

"Ini sama seperti punyaku...─ Ah, bukan, maksudku, maaf ya kalau selama ini aku bikin kamu khawatir? Aku sudah banyak merepotkanmu, jadi kali ini giliranku untuk berusaha demi kamu, Chii-chan!"

Air mata mengalir deras dari mata Chikage.

Tampaknya ia sangat terharu karena Hikari datang ke sekolah hanya untuk membantunya.

"─Lama tak jumpa, Takayashiki. Seorang 'orang luar' ngapain datang ke sini?"

Shun memandang Sakuto sambil menyeringai.

"Hei, bukannya kau itu si 'robot belajar'? Kau nggak dibutuhkan di sini. Jadi, pulang saja, ya?"

Mendengar itu, ekspresi Chikage berubah seketika.

"Apa maksudmu? Perkataanmu barusan... apa-apaan itu...?"

"Chikage, nanti aku jelaskan," kata Sakuto tenang. "Tapi, yang penting sekarang─ Matsukaze, maaf, tapi aku dan Hikari bukan orang luar. Kami baru saja mendapat izin resmi untuk bergabung sebagai sukarelawan dari Tachibana-sensei."

"Hah? Benarkah?"

Shun mengernyitkan dahi, jelas menunjukkan ketidaksenangannya.

"Dan siapa cewek itu?" tanyanya, menunjuk Hikari dengan dagunya.

"Ehhehehe~ Aku Hikari, kakaknya Chii-chan. Senang bertemu denganmu, Masuda-kun."

"Namaku Matsukaze!"

"Oh, begitu, maaf ya, maaf," jawab Hikari tanpa rasa bersalah. Jelas sekali ia sengaja salah menyebutkan nama.

"Ngomong-ngomong, Matsukaze-kun, apa maksudmu dengan 'robot belajar' tadi?"

"─Hikari!?"

Hikari tersenyum cerah, tetapi auranya memancarkan kemarahan yang jelas. Ini pertama kalinya Sakuto melihat Hikari marah. Kemungkinan besar, ia marah demi membela Sakuto dan Chikage.

"Karena, dia itu cuma robot yang bisanya belajar, kan? Benar, Yuzuki?"

"Eh... itu... aku, umm..."

Saat Yuzuki mulai tergagap, Hikari tersenyum lebar, seolah-olah dia baru saja memahami sesuatu.

"Oh, aku mengerti sekarang. Kamu cemburu, ya?"

"Apa!? Kamu barusan bilang apa...?"

"Aku bilang emosi yang kamu rasakan itu adalah rasa cemburu, lho."

Ketika Shun melotot marah, Hikari memasang ekspresi serius.

"Kamu tipe orang yang merasa nyaman dengan menurunkan orang yang jelas-jelas lebih baik darimu, ya? Kamu harus tenggelam dalam perasaan superioritas, jadi kamu suka dikelilingi orang yang lebih lemah atau penakut. Kalau orang itu nggak setara atau lebih rendah darimu, kamu nggak puas, kan?"

"A-apa!?"

"Sakuto-kun itu contohnya. Menyebutnya 'robot belajar' sebagai hinaan? Itu artinya kamu mengakui bahwa kamu sendiri bahkan nggak sanggup jadi sepertinya. Mungkin kamu harus menyadari bahwa kamu cuma seorang ponkotsu (rongsokan)?"

"Hikari, tunggu... itu keterlaluan!" kata Sakuto buru-buru mencoba menghentikan Hikari.

Bagaimanapun juga, mereka harus bekerja sama dalam acara gabungan ini. Tidak ada gunanya memperkeruh suasana sejauh ini.

"Kau siapa, sih? Dan dari tadi ngoceh terus... Kami ini teman SMP-nya Takayashiki, tahu? Kami kenal dia jauh lebih lama daripada kamu, jadi jangan ikut campur dalam hubungan kami!"

"Tentu saja aku ikut campur. Karena sekarang, aku dan Sakuto-kun punya hubungan yang 'lebih dekat'. ──Tapi, aneh, ya? Kalau kalian teman lama, kenapa kelihatannya kalian sama sekali nggak memahami Sakuto-kun?"

"Hah?"

"Atau mungkin... kamu takut untuk memahaminya? Ah, atau sebenarnya kamu sudah paham, tapi itu menakutkan bagimu, makanya kamu merendahkannya? Tapi kenapa ya? Apa alasanmu ingin menunjukkan superioritas terhadap Sakuto-kun──"

Hikari memandang Shun dan Yuzuki bergantian dengan tatapan tajam, seolah mencoba membaca isi hati mereka. Keduanya tampak tidak nyaman, jelas terpojok oleh ucapannya.

Sakuto, meski terbiasa dengan intuisi Hikari yang luar biasa, tetap merasa sedikit gelisah. Seberapa jauh sebenarnya Hikari bisa memahami orang lain?

"Hikari, cukup sampai di situ..." Sakuto akhirnya mencoba menghentikannya.

"....Baiklah. Kalau Sakuto-kun yang bilang begitu, aku akan berhenti."

* * *

Beberapa waktu kemudian, setelah keadaan agak mereda, Sakuto menerima penjelasan dari Chikage tentang situasi sejauh ini.

"──Itulah sejauh mana keputusan telah dibuat hingga saat ini."

"Jadi, dengan kata lain, semua pekerjaan ini, semuanya, dilemparkan ke Chii-chan kesayanganku, ya? Aku benar kalau begitu, kan...?" tanya Hikari sambil menatap Chikage dengan penuh perhatian.

Ketika Hikari tersenyum manis, Shun dan Yuzuki tampaknya merasa terintimidasi.

"Hikari, nggak perlu marah seperti itu..."

Shun tetap seperti biasa—kepemimpinannya setengah-setengah, suka melemparkan tugas kepada orang lain. Tak ada yang berubah sejak masa SMP.

"Ngomong-ngomong, rencana ini... Serius?"

Sakuto tampak terkejut.

"Ada masalah? Kami pikir anak-anak di TK pasti akan senang dengan ini—"

"Aku nggak bilang itu buruk. Masalahnya adalah jumlah orang yang bisa dilibatkan terbatas. Kalau hanya tiga orang yang mengurus seperti tahun lalu di Ajisai Festival, mungkin bisa dilakukan. Tapi ini melibatkan pertunjukan boneka, lomba permainan, dan macam-macam lainnya... Apa yang ingin dilakukan dan apa yang bisa dilakukan itu dua hal yang berbeda."

"Kalau kita berusaha, pasti bisa, kan...!"

"Kalau punya lima orang, mungkin. Tapi dengan tiga orang, bagaimana? Jangan bilang rencananya cuma membebankan semuanya pada Chikage?"

Saat Sakuto menatap tajam ke arah Shun, dia tampak sedikit mundur, tetapi segera menatap balik.

"Kamu kenapa? Sejak kapan kamu berani ngomong seperti itu ke aku?"

Sakuto sedikit terkejut. Shun jarang sekali langsung berkata seperti itu kepadanya. Selama ini, Shun selalu memandang rendah Sakuto, sehingga tidak perlu berkata apa-apa untuk menunjukkan hal tersebut.

Mungkin saja Shun juga kehilangan rasa percaya dirinya.

"Hmph... Sok percaya diri karena si kembar itu suka sama kamu, ya? Padahal kamu cuma robot belajar..."

Sakuto hampir saja terpengaruh oleh ucapan itu.

Tapi dia tidak takut. Kali ini berbeda. Sekarang ada dua orang yang mendukungnya.

Dengan keyakinan penuh, Sakuto menjawab:

"Aku bukan robot yang bergerak sesuai keinginanmu."

"A-apa maksudmu tiba-tiba ngomong begitu...?"

"Hal yang sama berlaku untuk Chikage dan Hikari."

Dengan suara rendah, Sakuto berbicara, dan Hikari, yang hendak berdiri, kembali duduk dengan tenang.

"Tadi kamu bilang, karena Sekolah Arisuyama cuma punya satu orang, makanya harus mengikuti dua orang dari Sekolah Yuuki, kan? Sekarang, kami ada tiga orang. Berdasarkan logikamu, seharusnya Sekolah Yuuki yang mengikuti kami, kan?"

"A-aku bukan maksud seperti itu..."

Shun terpojok, suaranya mulai melemah.

"Logika bodoh seperti itu, tapi kalau soal pendapat mayoritas dan minoritas, memang mayoritas lebih kuat, kan? Lagipula, tadi kamu bilang nggak masalah kalau Chikage yang memimpin, kan?"

"Ugh...!?"

"Baiklah, kami yang akan memimpin. Tapi Sekolah Yuuki harus mengikuti pendapat Sekolah Arisuyama, setuju?"

Shun tidak bisa membalas, hanya menggigit giginya dengan kesal.

"...Tapi ya, bercanda aja sih. Ini acara gabungan, nggak ada gunanya rebutan posisi seperti anak kecil. Kami yang akan memimpin, tapi beban akan dibagi rata untuk kedua sekolah. Bagaimana?"

Saat itu, Yuzuki menarik lengan Shun. 

"Shun-kun, aku rasa kita harus mengikuti saran Sakuto dan yang lainnya kali ini..."

"Kalau Yuzuki yang bilang, ya sudah..."

Walaupun tampak enggan, Shun akhirnya setuju. Dia mungkin ingin mengumpat, tapi setidaknya tidak meninggalkan rapat hanya karena kesal. Shun tidak serendah itu.

"Jadi begini: Chikage dan Hikari akan menjadi inti dalam menjalankan acara ini. Chikage akan memberi arahan ke kami. Hikari bebas bergerak membantu sesuai kebutuhannya. Shun dan Yuzuki, kalian akan mengikuti instruksi dariku dan Chikage. Setuju?"

"Dimengerti!"

"Serahkan saja pada kami!"

Chikage dan Hikari tersenyum saat menjawab.

"Baiklah..."

Shun, yang sudah kehabisan argumen, hanya bisa mengangguk setuju.

Namun, Yuzuki mengangkat tangannya sedikit dengan wajah khawatir.

"Aku setuju, tapi... Apa kalian yakin? Maksudku, benar-benar yakin dua orang itu bisa diandalkan?"

Sakuto menjawab dengan penuh keyakinan.

"Tentu saja. Kalau ada yang salah, aku akan tanggung semua tanggung jawabnya."

"Sakuto-kun..."

Chikage dan Hikari memandang Sakuto dengan wajah merah padam. Bahkan, di bawah meja, mereka diam-diam menggenggam tangan Sakuto. Sakuto hampir ingin berteriak, "Berhenti, nanti semua ketahuan!"

Shun, yang terlihat tidak senang, menatap Sakuto tajam.

"Ingat kata-katamu itu, ya? Kalau gagal, tanggung jawabmu sendiri."

"Tentu saja."

Shun mendengus kesal, sementara Yuzuki tampak tidak senang dan menunduk.

"Kamu benar-benar percaya sama mereka berdua... atau, ya sudahlah, lupakan saja."

Melihat keraguan Yuzuki, Sakuto tersenyum kecil.

"Mereka berdua luar biasa. Itu sebabnya aku mempercayai mereka lebih dari siapa pun—"

Sebagai pacar mereka. Tentu saja, dia tidak mengatakan bagian terakhir itu.

"Kalau begitu, kita mulai, ya."

Ketika Sakuto berkata demikian, Chikage berdiri dan menuju papan tulis, sementara Hikari dengan sigap membuka laptop di depannya.

Dari sana, semuanya berjalan dengan kecepatan yang mengagumkan.

Chikage dengan arahan yang jelas memimpin seluruh kelompok, Hikari menyelesaikan tugas-tugas administratif dengan kecepatan luar biasa, sementara Sakuto mendukung mereka dari belakang sambil berbagi pekerjaan dengan Shun dan Yuzuki.

Sakuto melihat sisi baru dari saudara kembar itu.

Chikage menunjukkan kemampuan kepemimpinan yang jarang terlihat, memperlihatkan bahwa dia sangat cocok untuk memimpin.

Di sisi lain, Hikari menunjukkan kemampuan membaca situasi dan bertindak tiga atau empat langkah lebih maju dari yang lain, membuat pekerjaan mereka terasa lebih mudah.

Sebagai tambahan, acara gabungan ini menjadi alasan Hikari mulai rutin datang ke sekolah dari pagi. Chikage sendiri tampak lebih ceria dari biasanya.

Ketika mereka mulai terlihat sering pergi-pulang sekolah bersama, atau menghabiskan waktu dengan harmonis, pandangan orang-orang terhadap mereka juga perlahan berubah menjadi lebih positif.

Sakuto menikmati waktunya bersama mereka, meskipun terkadang harus menghadapi momen yang membuat jantungnya berdebar, seperti saat makan siang atau setelah sekolah. Namun, bagi orang lain, mereka hanya terlihat seperti saudara kembar yang manja terhadap Sakuto.

Di sisi lain, Shun dan Yuzuki, yang mengunjungi Sekolah Arisuyama setelah sekolah, mulai mengakui kemampuan dan kepribadian baik Chikage dan Hikari.

Meskipun begitu, Shun masih menunjukkan sikap enggan sepenuhnya menerima mereka. Ketika tidak sedang berbicara dengan Yuzuki, dia sering menunjukkan wajah tidak senang dan kadang mencoba menyela. Namun, Chikage dan Hikari selalu memberikan penjelasan yang detail—atau lebih tepatnya, mematahkan argumen Shun sampai dia tidak bisa membalas.

Meski begitu, Shun tidak pernah benar-benar mencoba menghindar dari tugas, yang membuat Sakuto sedikit lega.

"Kalau begitu, aku pergi ke ruang guru sebentar, ya."

Setelah Sakuto pergi ke ruang guru, keempat orang yang tersisa memulai pembicaraan berikut—

"Hei, Chikage-san, Hikari-san..."

Yuzuki perlahan membuka pembicaraan.

"Apa kalian tidak berpikir kalau Sakuto-kun itu orang yang aneh pada awalnya...?"

"Eh?"

"Ma-maksudku... karena dia seperti terkucilkan waktu SMP..."

Tidak ada nada merendahkan dalam ucapannya. Sebaliknya, terdengar seperti dia mengkhawatirkan sesuatu, seperti ingin memastikan sesuatu.

"Aneh... bagaimana ya? Menurutku dia bukan aneh, tapi sejak awal sudah kuanggap orang yang luar biasa. Hmm... orang yang bisa mengubah dunia? Seperti pahlawan begitu."

"Pahlawan..."

Yuzuki spontan bereaksi pada kata itu, tapi sebelum dia sempat berpikir lebih jauh, Chikage angkat bicara.

"Sakuto-kun sangat menjaga kami. Karena itu, kami percaya padanya dan merasa aman saat bersamanya. Karena itu, dia adalah pahlawan bagi kami. Iya kan?"

"Ya, benar!"

Si kembar berkata sambil tersenyum ceria, seperti sedang membicarakan orang yang berharga.

Yuzuki berpikir bahwa si kembar dan Sakuto pasti sangat dekat.

"...Apa yang berbeda... antara aku dan..."

Gumaman pelannya tidak terdengar oleh si kembar, tapi hanya Shun yang berada di dekatnya, yang menundukkan pandangannya dengan ekspresi rumit.

* * *

Setelah itu, Hikari mengerjakan tugas-tugas administratif, sedangkan Sakuto mengurus hal-hal kecil lainnya.

Shun dan Yuzuki membantu sesuai arahan Chikage, dan persiapan berjalan dengan cepat.

Sakuto menyadari tatapan Yuzuki, tapi dia tidak mengajaknya bicara dan hanya mengerjakan tugasnya dengan tenang.

Ternyata, mereka menyadari bahwa ketika bertiga, hubungan mereka tidak akan ketahuan.

Dan Sakuto pun menghadapi masa lalunya sendiri—

"—Sakuto..."

Di tengah persiapan hari sebelumnya, Yuzuki memanggilnya dengan lembut.

"Hm?"

"Waktu pertama kali bertemu, aku tidak sempat bertanya... apa kabarmu?"

"Hm? Yah, seperti yang kamu lihat."

Sakuto tersenyum.

"Jadi, ada perlu apa denganku?"

"Um, ada banyak hal yang ingin kuminta maaf..."

"Eh?"

"Maaf, saat pertama kali bertemu, aku bersikap tidak menyenangkan... Dan juga, waktu SMP... saat itu—"

"Tidak, sudah cukup."

Sakuto memotong dengan senyuman, berusaha untuk tidak menggali masa lalu.

"Ngomong-ngomong, bagaimana sekolahmu? Menyenangkan?"

"I-iya... lumayan..."

Yuzuki sedikit melunakkan ekspresinya.

"Aku juga senang bisa sekolah di sini."

"Begitu ya... apa itu berkat si kembar?"

"Ya."

Ada hal yang bisa dia katakan dengan percaya diri.

Hikari dan Chikage—jika dia tidak bertemu dengan mereka berdua dan tidak menghabiskan waktu bertiga seperti sekarang, mungkin dia masih akan berpura-pura menikmati kehidupan yang biasa-biasa saja.

* * *

Pada hari festival Ajisai.

Sakuto bersama Shun mengatur lalu lintas dan memberi pengarahan. Jumlah orang tua murid cukup banyak, kalau sendirian pasti akan kewalahan.

Ketiga gadis itu menemani anak-anak TK bersama guru-guru TK.

"Kakak, sini sini! Ayo ikut!"

"Kak Hikari! Sini juga sini!"

"Ahaha, semuanya, tunggu ya..."

Tidak mengejutkan, Hikari sangat populer. Sosoknya yang mengenakan celemek dan bermain dengan anak-anak TK sambil tersenyum terlihat sangat cocok. Dia cocok jadi guru TK.

Sementara Chikage populer di kalangan anak laki-laki.

"Ayo, berbaris yang rapi. Harus tertib ya?"

"Baik!"

Chikage juga menunjukkan kepemimpinannya dengan instruksi yang tegas. Tak kalah dengan Hikari, dia juga terlihat cocok mengenakan celemek.

Sendiri, Yuzuki berbicara dengan seorang anak laki-laki di sudut ruangan. Dia tersenyum sambil berbicara dengan anak yang tidak bisa bergabung dengan anak-anak lain. Dia masih seperti dulu dalam hal itu.

Saat melihat ketiga gadis itu,

"Tidak kusangka yang kutemui di game center adalah Usami Hikari..."

Tachibana menyapa.

"Kakak beradik Usami sangat populer ya. Kusanagi juga perhatian seperti itu. Tadi guru-guru TK meminta mereka untuk datang lagi. Tentu saja, kerja kerasmu dan Matsukaze juga dihargai. Sebagai penanggung jawab, aku bangga."

"Oh begitu. Syukurlah kalau begitu."

"Lalu, kenapa anda tersenyum-senyum begitu?"

"Sa-saya tidak tersenyum-senyum..."

Tachibana tersenyum kecil.

"Begitu ya... yah, tidak apa-apa. Ngomong-ngomong, anda sangat membantu. Sekali lagi... terima kasih, Takayashiki."

"Ah, tidak, ini belum selesai..."

Sakuto menggaruk hidungnya karena merasa malu.

"Oh ya, saya dengar dari adik Usami. Anda tidak hanya membantu acara ini, tapi juga berhasil membujuk kakak Usami yang lama tidak masuk sekolah untuk keluar rumah kan? Ada apa denganmu yang tidak suka menarik perhatian? Apa yang membuatmu berubah?"

"Perubahan... tubuhku bergerak begitu saja secara alami."

"Begitu... jadi anda mengikuti perasaan dan hatimu?"

Tachibana terkekeh.

"...Apa ada yang aneh?"

"Tidak, itu reaksi 'biasa' seperti yang anda katakan. Hanya saja, 'biasa' menurutmu sepertinya sedikit berbeda dengan 'biasa' menurutku..."

"Eh?"

Tachibana tersenyum lembut.

"Tidak, bukan apa-apa... Ngomong-ngomong, apa anda sudah bicara dengan Matsukaze dan Kusanagi?"

"Tentang apa?"

"Kupikir kalian punya banyak cerita karena berasal dari SMP yang sama. —Yah, kalau tidak terlalu akrab, mungkin memang tidak ada yang perlu dibicarakan..."

Sakuto menghela napas pelan dan memasukkan tangan ke sakunya.

Dia merasakan sentuhan kertas.

* * *

Setelah pertunjukan boneka Hikari, Chikage, dan Yuzuki berakhir dengan sukses, mereka mengucapkan selamat jalan pada anak-anak TK yang pulang bersama orang tua mereka.

Para siswa SMA juga akan pulang, tapi si kembar masih tertahan berbicara dengan guru TK. Sakuto senang melihat kerja keras mereka dihargai, tapi sepertinya pembicaraan itu masih akan berlangsung lama.

Sakuto berjalan duluan ke gerbang. Saat keluar dari TK,

"—Ah...! Sakuto..."

Yuzuki memanggilnya.

"Um... itu..."

"...? ...Ada apa?"

Di hadapan Yuzuki yang terbata-bata, Sakuto memasukkan tangan ke sakunya. Ada surat yang dia bimbang apakah harus diberikan pada Yuzuki. Haruskah dia memberikan surat ini sekarang? Sepertinya hanya ada kesempatan ini—

Tapi Yuzuki lebih dulu membuka mulutnya.

"Um, aku—"

"—Yuzuki! —...Eh? Takayashiki?"

Saat Yuzuki hendak mengatakan sesuatu, Shun datang.

"Kalian berdua membicarakan apa?"

Yuzuki buru-buru menundukkan wajahnya.

"Ti-tidak ada..."

"Ya. Tidak ada apa-apa..."

"Ngomong-ngomong Takayashiki, apa kau melakukan debut SMA atau semacamnya?"

"Eh? Kenapa?"

"Soalnya kau berubah sekali. Berbeda dengan waktu SMP..."

Menghadapi Shun yang berbicara dengan nada menahan sesuatu, Sakuto tersenyum kecut.

"Kalau menurutmu begitu, mungkin berkat Yuzuki dan Matsukaze?"

"...Hah?"

"Tidak, bukan apa-apa... Bagaimanapun juga kali ini menyenangkan. Terima kasih."

Shun mendengus.

"...Yuzuki, ayo pulang?"

"I-iya..."

Saat keduanya mulai berjalan menuju stasiun, langkah Yuzuki terhenti. Dia berbalik dan menatap Sakuto dengan serius.

"Sakuto, bisakah kita bertemu lagi...?"

Sakuto tersenyum.

"...Kalau ada kesempatan."

Sepanjang jalan, Yuzuki beberapa kali menoleh ke arah Sakuto.

Sambil berpikir bahwa mungkin ini terakhir kalinya dia berbicara dengannya, Sakuto mendorong surat di sakunya lebih dalam lagi.

Jiiiiii...

Tiba-tiba dia merasakan tatapan dari belakang. Hikari dan Chikage menatapnya dengan pandangan curiga.

"O-oh, kalian sudah selesai...? A-ada apa...?"

"Yuzuki-chan, mencurigakaaaan?"

"Ja-jangan-jangan, Yuzuki-chan itu mantan pacar Sakuto-kun!?"

"Ah tidak tidak... Yuzuki itu tetangga dan teman masa kecilku. Lagipula apa maksudnya mantan pacar..."

Hikari dan Chikage saling berpandangan.

"Eh? Teman masa kecil?"

"Ya, tetangga. Kami satu SD dan SMP, tapi baru mulai bicara sekitar kelas 4 SD."

"Hmm. Berarti tidak terlalu dekat ya?"

"Ah, tidak... dulu kami cukup dekat... Aku bisa jadi seperti sekarang ini berkat Yuzuki."

"Maksudnya apa?"

Berpikir tidak akan menyenangkan jika terjadi kesalahpahaman, Sakuto memutuskan untuk menceritakan tentang Yuzuki.

"Bagaimana kalau kuceritakan sambil jalan pulang—"

Seperti biasa, mereka bertiga berjalan bersama dan memutuskan untuk mampir sebentar sebelum pulang.

Di taman dekat stasiun, ketiganya duduk bersebelahan di bangku taman.

Sakuto mulai menceritakan kepada si kembar tentang kehidupannya selama ini—

* * *

Dan kemudian.

Saat Sakuto kelas 3 SMP.

Meskipun sudah jarang berkomunikasi dengan Yuzuki, dia tetap berusaha keras untuk menjadi pahlawan.

Tentu saja dia tahu bahwa 'pahlawan' bukanlah sebuah profesi.

Sebagai gantinya, dia ingin mendapatkan pekerjaan yang bisa membantu orang—polisi, pemadam kebakaran, pengacara, dokter—dia ingin menjadi salah satu dari itu.

Akankah Yuzuki senang?

Berkat kata-kata itu dia bisa berubah seperti ini. Bisa berusaha untuk berubah.

Tidak, bahkan sebelum itu—

Saat pertama kali dia mengulurkan tangan, dia bingung melihat senyumannya.

Tapi sekarang dia tahu ekspresi apa yang harus ditunjukkan.

Ngomong-ngomong sebentar lagi ulang tahun Yuzuki. Apa yang sebaiknya dia berikan tahun ini?

Saat dia memikirkan hal itu, Yuzuki memanggilnya di sekolah. Pertengahan Juli, seminggu sebelum liburan musim panas.

"Um... sepulang sekolah nanti, ada yang ingin kubicarakan dengan Sakuto..."

Wajahnya terlihat canggung. Seperti menyimpan kekhawatiran.

Sakuto menduga sesuatu dan pergi ke belakang gedung sekolah setelah jam pelajaran selesai.

Yuzuki sudah menunggu di sana. Dia terlihat gelisah dan berbicara terbata-bata, tapi—

"Aku... sudah lama menyukai Sakuto..."

"Eh...?"

"Maukah kau... pacaran denganku?"

"...Kenapa tiba-tiba?"

Saat itu, entah kenapa jantungnya berdebar kencang.

Apakah dia benar-benar menyukaiku? Tidak, bukan itu.

Sebenarnya dia sudah tahu. Bahwa gadis itu sudah lama menemukan tempat yang berbeda darinya.

Karena itu debaran jantungnya hanyalah "keterkejutan". Bukan kesalahpahaman yang menyenangkan.

"Um, itu... —"

Saat itu, telinga Sakuto menangkap suara samar langkah di kerikil. Bukan Yuzuki atau dirinya, seseorang berada di dekat situ. Ah, jadi begitu—Sakuto cepat memahami.

Sebenarnya belakangan ini ada kata-kata yang sering dia dengar di kelas—

"—Apa ada yang menyuruhmu untuk menyatakan perasaan?"

"Eh...?"

"Maksudku, ini pernyataan cinta sebagai hukuman... bukan?"

"...!?"

Mata Yuzuki terbelalak kaget, tubuhnya gemetar.

Sakuto tidak mengerti. Apa yang membuatnya takut?

Mungkin ini hanya lelucon ringan dari permainan dengan teman-temannya. Atau mungkin dia dipaksa? Kalau begitu, dia harus memperingatkan mereka yang memaksa.

Karena itu, dia tidak bermaksud menyalahkan Yuzuki, dan dia yakin bisa memaafkannya karena itu Yuzuki.

Karena dia teman masa kecil yang berharga yang telah menunjukkan jalan untuknya.

—Tapi kenapa dadanya terasa begitu sesak?

Ekspresi apa yang seharusnya ditunjukkan padanya saat ini—ah, benar.

Saat seseorang merasa cemas—dia tahu ekspresi untuk saat seperti ini. Ekspresi yang tidak bisa dia tunjukkan di hari Yuzuki menyapanya. Secara alami, seperti yang Yuzuki lakukan—

Sakuto, untuk pertama kalinya sepengetahuannya, tersenyum. Senyuman yang menunjukkan kepedulian dari lubuk hatinya, memaafkan, memberi semangat, dan menyampaikan rasa terima kasih selama ini.

Senyuman lembut tanpa beban itu menusuk hati Yuzuki.

"—Sakuto, um... maaf, sungguh maaf...!"

Yuzuki yang pucat berbalik dan berlari pergi.

Dari balik tembok, terdengar suara beberapa siswa laki-laki dan perempuan. Ada yang kebingungan, ada yang tertawa.

Sakuto yang ditinggal sendirian tetap tersenyum, menatap tempat Yuzuki berdiri tadi.

Tiba-tiba pandangannya mengabur. Tetes-tetes air jatuh di ujung sepatunya.

Meski tersenyum, entah kenapa air mata mengalir.

Kenapa, mengapa—apakah karena dia robot, dia jadi rusak?

Bukan itu.

(Ah, begitu ya... jadi ini—)

Begitu dia memahaminya, dia merasa sangat lega. Saat merasa lega, wajahnya berkerut.

—Dia berpikir bahwa dia bukan lagi robot.

Inilah sosok "orang biasa" yang dia inginkan.

Kalau begitu, tidak ada lagi alasan untuk menjadi pahlawan.

Akhirnya dia bisa menjadi seperti itu.

Menjadi "orang biasa" yang sangat normal, yang bisa menangis karena emosinya meluap.

Akhirnya dia bisa menjadi sosok yang dia inginkan demi dia—

* * *

—Setelah Sakuto selesai menceritakan semuanya, si kembar mengerutkan alis dengan ekspresi sedih.

"Tidak mungkin, hal seperti itu..."

"Itu terlalu menyakitkan..."

Sakuto berekspresi tenang.

"Tapi aku tidak punya dendam atau semacamnya pada Yuzuki. Berkat kejadian itu, aku jadi bisa mengekspresikan perasaanku seperti sekarang... mungkin terdengar aneh, tapi berkat pernyataan cinta hukuman itu, akhirnya aku bisa menjadi manusia normal."

Sakuto mengatakannya dengan nada tenang seolah itu adalah kenangan yang baik.

"Hatiku memang hancur, tapi aku lega karena menyadari bahwa aku juga punya hati yang bisa hancur."

Setelah mengatakan itu, wajahnya berubah canggung.

"Yuzuki melakukan pernyataan cinta hukuman itu karena salahku."

"Kenapa kamu berpikir begitu...? Yang salah itu orang-orang yang membuat permainan hukuman..."

Sakuto menggelengkan kepala.

"Karena di mata orang lain, aku seperti robot... Mungkin wajar kalau mereka ingin mengejekku. Aku juga penyendiri..."

Mengingat kembali, rasanya wajar dia dipilih sebagai target. Meski dia tidak menyangka mereka akan menggunakan Yuzuki.

Namun bagi Sakuto, Yuzuki lebih seperti korban daripada pelaku. Gadis yang lemah itu pasti dipaksa oleh orang-orang di sekitarnya dan tidak punya pilihan selain menurut.

Setelah menekankan hal itu pada si kembar, Sakuto mengeluarkan benda itu dari sakunya.

"Ini surat yang kutulis untuk Yuzuki. Tidak sempat kuberikan, tapi mungkin memang lebih baik tidak kuberikan."

"Apa isinya?"

"Kabar terkini dan ucapan terima kasih. Karena tanpa Yuzuki, aku tidak akan ada di sini sekarang. Tapi, mungkin dia akan bingung kalau menerima surat seperti ini, dan sepertinya sudah tidak perlu lagi—"

Saat Sakuto hendak merobek surat itu,

"Pinjam surat itu—"

Tiba-tiba Hikari merebutnya.

"Hikari? Mau kamu apakan?"

"Aku akan menyimpannya."

"Kenapa?"

"Ini surat yang berisi perasaan penting Sakuto-kun saat ini kan? Aku tidak akan membiarkanmu merobeknya sampai suatu hari nanti kamu ingin memberikannya!"

Melihat Hikari yang tidak biasanya berbicara dengan nada tinggi, Sakuto tidak bisa meminta surat itu kembali.

(Yah, mungkin tidak apa-apa Hikari yang menyimpannya... meski sepertinya tidak akan pernah kuberikan—)

Kemudian, dengan ekspresi tenang Sakuto menatap Chikage.

"Aku mulai les di tempat yang sama dengan Chikage setelah kejadian itu. Aku memilih tempat yang agak jauh supaya Yuzuki tidak merasa tidak enak saat melihat wajahku."

"Begitu..."

"Yah, hasilnya baik karena ada saat ini. Di sana aku bertemu dan disukai Chikage, dan sekarang kita bisa pacaran."

Air mata menetes dari mata Chikage.

"Jadi, alasan Sakuto-kun tidak ingin menonjol adalah..."

"Paku yang menonjol akan dipukul. Tapi kupikir, di ujung paku yang dipukul itu selalu ada orang-orang yang berharga. Aku tidak ingin membuat orang sedih karena diriku. Seperti Yuzuki."

Memikirkan orang-orang yang berada di bawah ujung paku yang runcing, dia tidak bisa menyusahkan mereka. Ibunya yang mengkhawatirkan dan membimbingnya, bibi Mitsumi, Yuzuki—dan sekarang ada Hikari dan Chikage. Mereka semua orang yang berharga baginya.

Dia tidak bisa menyusahkan siapapun karena dirinya yang berbeda dari orang lain.

Karena itu dia pikir "biasa saja" sudah cukup.

Selama ini dia terus menekan hati dan tindakannya, ketakutan dengan lingkungan sekitar.

Dan dia merasa aman dengan tidak menonjol, membiarkan dirinya mengalir ke jalan yang mudah.

Dia sadar bahwa sejak hari pernyataan cinta hukuman itu, dia terus melarikan diri—

"Setelah bertemu Chikage, lalu bertemu Hikari, cara berpikirku berubah. Tidak, aku ingin berubah."

"Seperti apa...?"

Hikari bertanya dengan mata berkaca-kaca.

"Cukup balik pakunya. ...Mungkin ini yang disebut pemikiran terbalik? Kalau paku dibalik, bagian runcingnya ada di atas. Mungkin lebih baik jadi begitu runcing sampai tidak ada yang bisa memukulnya."

"Maksudnya apa...?"

Hikari mengusap matanya.

Mungkin dia sudah mengerti maksudnya. Dia sangat tajam. Terkadang ketajamannya membuatnya merinding, tapi sekarang tidak perlu lagi berpura-pura.

Dia akan menghadapi Hikari dan Chikage dengan sungguh-sungguh—

"Aku ingin menjadi pacar yang bisa dibanggakan Hikari dan Chikage. Karena aku takut sendirian... aku ingin terus bertiga bersama kalian. ...Tidak boleh?"

Saat Sakuto mengatakannya dengan senyuman, air mata meluap dari mata Hikari dan Chikage,

"Uwaaaaaaaaaa~~~~~..."

Keduanya memeluknya dari kedua sisi.

"Eh!? Ada apa!? Kalian berdua...!?"

Dia tidak mengerti kenapa keduanya menangis.

Terlebih lagi, karena mereka terisak-isak, dia tidak bisa menanyakan alasannya.

Dia semakin bingung.

Ekspresi seperti apa yang harus ditunjukkan saat seperti ini?

Saat seseorang menangis, ah benar—dia tahu ekspresi untuk saat seperti ini.

Memang ekspresi yang dipelajarinya dari Yuzuki.

Tapi juga ekspresi yang kemudian dipelajarinya dari Hikari dan Chikage.

Sakuto tersenyum. Senyuman yang menunjukkan kepedulian dari lubuk hatinya, memberi semangat, kasih sayang, menyampaikan rasa terima kasih selama ini, dan harapan untuk ke depannya.

"—Terima kasih, kalian berdua. Mohon bantuannya untuk ke depannya ya?"

Dengan senyuman lembut tanpa beban itu, dia terus mengelus kepala keduanya untuk beberapa saat sampai mereka berhenti menangis.


Previous Chapter | ToC | Epilog

Post a Comment

Join the conversation