Translator: Nacchan
Chapter 5 : Ciuman di Ruang Klub...?
Malam hari setelah memutuskan untuk membantu klub koran.
Ketika Sakuto pulang lebih lambat dari biasanya, sepatu pump bibinya, Mitsumi Kisezaki, tersusun rapi di depan pintu masuk. Sepertinya dia sudah pulang lebih dulu.
Aroma makan malam tercium sampai ke pintu masuk. Sepertinya malam ini masakan daging.
"Aku pulang, Mitsumi-san."
"Selamat datang, Sakuto."
Mitsumi tersenyum dan menunjukkan wajahnya dari dapur.
Penampilannya yang muda sama sekali tidak terlihat seperti pertengahan tiga puluhan, tapi suara seraknya terdengar tenang dan menyenangkan di telinga. Meskipun dia sendiri sepertinya khawatir bahwa "suaranya tidak imut", Sakuto menyukai suara dewasanya itu.
"Hari ini pulang terlambat ya? Mampir ke suatu tempat?"
"Tidak, hari ini ada kegiatan klub sedikit. Kami baru saja membersihkan ruang klub."
Mitsumi menunjukkan ekspresi bingung, "Eh?"
"Kamu bergabung dengan klub?"
"Bukan bergabung, tapi membantu. Nanti akan kujelaskan..."
Sambil berkata begitu, Sakuto langsung menuju ke kamarnya.
Setelah berganti pakaian rumah dan kembali ke ruang makan, makanan yang disiapkan Mitsumi sudah tersaji di meja. Apakah hanya perasaannya saja kalau terlihat lebih mewah dari biasanya?
"Ada apa hari ini? Ada yang dirayakan?"
"Sudah, duduk saja dulu."
Sambil merasakan sesuatu yang mencurigakan, Sakuto duduk berhadapan dengan Mitsumi yang tersenyum memandangi wajahnya.
"Kalau begitu, selamat makan..."
"Ya, silakan."
Memang Mitsumi terlihat lebih ceria dari biasanya.
Itu hal yang baik, tapi tetap mencurigakan. Dia tidak makan dan hanya memandangi Sakuto makan dengan senyum lebar.
"...Ada apa? Sepertinya kamu lebih ceria dari biasanya..."
"Kalau begitu, aku tanya langsung... kamu sudah punya pacar?"
Bukan apa-apa. Dia sudah menduga hari seperti ini akan datang. Untuk saat ini, dia ingin tahu reaksi Mitsumi.
Sakuto tidak menyangkal atau mengiyakan, hanya tersenyum kecut memandang Mitsumi.
"Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?"
"Insting wanita. Kamu jadi lebih sering merawat penampilan, waktu melihat smartphone juga bertambah. Oh ya, soal smartphone, kamu juga mulai meletakkannya terbalik di meja, dan membawanya ke toilet... Jadi kupikir, mungkin ada sesuatu yang tidak bisa kamu katakan padaku yang tinggal bersamamu."
Untuk yang disebut "insting wanita", pengamatannya terlalu spesifik seperti investigasi perselingkuhan. Sakuto merasa seperti pria yang dicurigai selingkuh oleh pacar yang tinggal bersamanya.
Tapi, apakah hanya dari smartphone bisa tahu sampai sejauh itu? Ke depannya harus lebih hati-hati.
"Lalu, soal pergi liburan musim panas. Aku heran kenapa tiba-tiba ingin pergi liburan."
"Ya, karena aku ingin pergi dengan dua teman sekelas..."
"Kelihatan, kelihatan~ Aura pink di belakang Sakuto bertambah banyak~"
"Ah, ya... kenapa tiba-tiba punya kemampuan spiritual...?"
Saat bertanya setengah terkejut, Mitsumi tertawa dan berkata "Bercanda."
"Sebenarnya hari ini, aku tidak sengaja melihat Sakuto pulang bersama dua gadis di depan stasiun."
"Eh!?"
"Kalian pergi ke kafe di depan stasiun sambil bergandengan tangan kan? Dasar anak muda~, ufufu."
Rasanya seperti diberi pukulan terakhir.
Tapi, masih terlalu cepat untuk menyerah. Pada tahap ini, masih bisa beralasan hanya mampir ke kafe dengan si kembar yang berteman baik.
Meski begitu, Mitsumi yang memandangi wajah Sakuto terlihat sangat senang.
"Mereka si kembar yang sangat imut ya~ Salah satunya calon pacar?"
"Bukan, bukan calon pacar..."
--Sebenarnya keduanya sudah jadi pacar, tapi tidak bisa mengatakannya.
"Oh? Itu sepertinya akan jadi masalah yang sayang untuk dilewatkan..."
Mitsumi meletakkan tangan di dagu seperti sedang berpikir.
Untuk saat ini, sepertinya dia puas dengan kesimpulan keponakannya diapit si kembar.
"Jadi, siapa si kembar itu?"
"Namanya kakak beradik Usami, mereka anak-anak yang sangat pintar. Meski kepribadian mereka berbeda, keduanya baik hati, serius, dan bisa diandalkan."
Mitsumi tersenyum jahil.
"Mata mereka berdua itu, mata gadis yang sedang memandang laki-laki yang disukainya lho."
"Be-begitu...?"
"Aduh, tidak boleh tidak peka lho? Pura-pura tidak tahu juga tidak baik? Apalagi karena mereka kembar, kalau salah menyebut nama bisa melukai perasaan mereka, jadi hati-hati ya?"
Bagi Sakuto yang bukan hanya salah nama tapi juga salah membalas pernyataan cinta dan bahkan salah mencium, kata-kata Mitsumi menusuk hatinya.
Sakuto merasa harus berterima kasih atas toleransi Hikari dan Chikage.
"Soal itu, yah, tidak apa-apa... Awalnya memang 'banyak' salah paham, tapi sekarang tidak akan salah paham lagi."
Mendengar itu, Mitsumi tertawa kecil.
"Itu kelebihan Sakuto. Tidak menyamaratakan orang lain, selalu memandang dan berbicara dengan mereka sebagai individu. Mungkin itu yang membuat si kembar menyukaimu?"
"Begitu ya?"
"Iya. --Jadi, siapa nama si kembar?"
"Yang kakak namanya Hikari, adiknya Chikage. Keduanya kelas satu. Mereka beda kelas denganku tapi--"
Sambil bercerita tentang kakak beradik Usami, Sakuto merasa tidak baik kalau pembicaraan ini digali lebih dalam.
Mitsumi adalah pengacara yang bisa berargumen dengan sistematis di pengadilan. Kalau tidak hati-hati berbicara, dia mungkin bisa sampai pada kebenaran. Meskipun sudah berusaha memilih kata-kata dengan hati-hati, sepertinya suatu saat akan ketahuan juga.
Sudah saatnya mengganti topik.
"Ngomong-ngomong, kenapa hari ini Mitsumi-san terlihat senang? Makanannya juga mewah."
"Akhirnya kasus yang kutangani selesai. Ini perayaan untuk itu, dan juga perayaan karena Sakuto-kun mendapat dua teman yang manis."
"Te-terima kasih..."
Melihat senyum Mitsumi membuat hatinya sedikit tidak enak.
Terhadap Mitsumi yang selalu mengkhawatirkannya, dia tidak bisa mengatakan tentang pacarnya, dan malah berbohong kalau mereka hanya teman.
"Oh iya! Bagaimana kalau mengundang Hikari-chan dan Chikage-chan ke rumah?"
"Eh?"
"Kebetulan, aku ingin bertemu dan mengobrol dengan mereka. Bagaimana?"
Mitsumi berbicara dengan gembira.
Sakuto juga punya alasan ingin mempertemukan si kembar dengan Mitsumi.
"Mitsumi-san, ada yang ingin kubicarakan soal itu..."
* * *
--Mundur sekitar satu jam.
Ketika waktu pulang sekolah mendekat, tepat saat Hikari selesai membaca edisi lama dan Sakuto dan yang lain selesai bersih-bersih, saat mereka berlima berdiskusi tentang rencana ke depan, Matori Kousaka memberi usulan--
"--Eh? Aku yang menulis artikel wawancara pekerjaan?"
"Ya. Karena kamu mau membantu, kupikir bisa minta tolong bagian itu."
Menurut Matori, di "Koran Yugaku" yang diterbitkan klub koran, ada artikel wawancara pekerjaan di setiap edisi, yang biasanya diisi dengan mewawancarai wali murid atau kenalan anggota klub.
"Tapi kalau dibilang kenalan orang dewasa..."
Ibu Sakuto sibuk dan sulit mengatur waktu. Kalau orang yang mungkin bbisa-
"Ah... Mitsumi-san..."
"Hm? Siapa Mitsumi-san?"
"Dia orang yang tinggal bersamaku, bibiku."
"Oh, dia kerja apa?"
"Pengacara."
Mendengar itu, Matori mencerahkan ekspresinya.
"Kalau begitu cocok dong! Ada juga yang masuk fakultas hukum dari SMA Arisuyama, kalau pengacara mungkin bisa jadi artikel bagus!"
Dan begitulah, Sakuto ditugaskan melakukan wawancara pekerjaan.
Tapi, masalahnya adalah setelah itu.
Setelah meninggalkan ruang klub dengan Hikari dan bertemu dengan Chikage--
"--Oh, jadi klub koran akan mulai beraktivitas dengan benar ya?"
Di meja kafe, Chikage yang duduk di hadapan berkata seperti sedikit lega.
"Yah... untuk tahap pertama, setidaknya bisa membuat mereka berutang budi. Sesuai rencana, Chikage bisa melakukan audit dengan ketat."
"Baik! Serahkan padaku!"
Setelah Chikage menunjukkan semangatnya, kini Hikari yang duduk di sebelah Sakuto membuka mulut.
"Ngomong-ngomong, soal wawancara pekerjaan..."
"Ah, ya. Ada apa?"
"Aku ingin mewawancarai bibinya Sakuto-kun."
"...Hah?"
Hikari tersenyum ceria. Semangatnya memang hal yang baik, tapi--
"Kenapa tiba-tiba!?"
"Ehehe, waktu membaca edisi lama, artikel wawancaranya menarik sih."
"Ah, ya... Aku akan berusaha menulis artikel wawancara yang menarik?"
"Lho? Apa ada alasan tidak ingin mempertemukan aku dengan bibimu?"
"Ti-tidak ada... Tidak ada, tapi..."
Entah kenapa malu rasanya memperkenalkan keluarga. Sakuto juga merasa canggung. Sebagai orang yang menumpang, apakah pantas membawa gadis ke rumah.
(Tapi, ini Mitsumi-san sih...)
Mitsumi pasti akan mengizinkan, bahkan mungkin akan mengatakan ingin bertemu, tapi tidak bisa memberitahu kalau mereka pacar. Meski begitu, kalau mengundang seorang gadis ke rumah-- dia tidak bisa tidak memikirkan masalah yang akan muncul setelahnya.
"--Aku setuju dengan ide itu."
Mendengar suara pelan itu, Sakuto tersentak.
"...Chikage?"
"Curang! Masa cuma Hii-chan yang boleh bertemu bibinya Sakuto-kun!"
"Bukan, ini bukan masalah curang atau apa, lagipula aku belum mengizinkan--"
"Chii-chan juga ingin bertemu bibinya Sakuto-kun kan~?"
"Ya. Bertemu... bertemu? Ha... hawawa---!?"
Ah, sepertinya ada switch aneh yang aktif, pikir Sakuto.
"Kalau bertemu dengan bibinya Sakuto-kun, secara alami cerita tentang diriku akan sampai ke orang tua Sakuto-kun kan!?"
"Ah, ya... bukan secara alami, tapi pasti akan langsung disampaikan..."
"Berarti---!?"
"Hihihi, Chii-chan juga sadar ya?"
Ada apa ini?
Saat Sakuto yang sama sekali tidak mengerti memiringkan kepalanya, Hikari tersenyum dan berbicara.
"Sakuto-kun, apa kamu mengerti apa artinya bertemu dengan keluarga pacar?"
"...Tidak, apa artinya?"
Hikari menggerakkan jari telunjuknya ke kiri dan kanan.
"Pernah main permainan bisik berantai?"
"Yah, waktu SD..."
"Bertemu dengan keluarga berarti nantinya akan tersampaikan ke orang tua Sakuto-kun dalam bentuk tertentu. Bisa dibilang ini 'permainan bisik berantai variabel' dimana kesan baik atau buruk tentang kita akan tersampaikan?"
"Variabel...?"
Memang dalam permainan bisik berantai terkadang pesan tidak tersampaikan dengan tepat, tapi--
(--Ah, begitu. Kalau penampilan dan kepribadian disampaikan secara lisan...)
Akhirnya Sakuto mengerti maksud mereka berdua.
"Kalau bisa memberi kesan yang sangat baik pada Mitsumi-san, akan tersampaikan lebih baik lagi ke ibu sebagai pendapat objektif. Ada kepercayaan antar keluarga juga, kalau Mitsumi-san yang bilang pasti tidak salah."
"Tepat sekali. Sebaliknya, kalau memberi kesan buruk pada bibi--"
Hikari berhenti di situ, dan Chikage menunjukkan ekspresi putus asa.
"Awawa, tekanannya! Jadi tegang...!"
"Tidak, kan sudah kubilang belum mengundang--"
"Aku tidak percaya diri dengan sup miso buatanku... Apa akan dibilang 'Rasanya beda dengan buatan kami. Mungkin sebaiknya belajar dari awal dulu?'"
"Ah, ya... Aku sangat bingung kenapa harus membuat sup miso, tapi Mitsumi-san tidak terlalu pemilih soal rasa jadi tenang saja... Dan lagi, kenapa pakai logat Kyoto?"
Saat Sakuto memandang Chikage dengan heran, Hikari menatap Sakuto dengan mata memelas.
"Hei, apa kamu benar-benar tidak ingin mempertemukan kami dengan bibi...?"
"Meski bicara dengan imut juga..."
--Tidak, tapi.
Kalau hanya Hikari, nanti Mitsumi pasti akan bertanya macam-macam.
Tapi kalau Chikage juga ikut, mungkin bisa dialihkan sebagai teman baik seperti biasa.
Struktur si kembar yang berteman baik dengan keponakan-- kalau ini bisa diatur dengan baik, meski bisa membayangkan akan merepotkan nantinya, Mitsumi pasti tidak akan pernah bermimpi mereka bertiga pacaran.
"...Baiklah. Kalau begitu, Mitsumi-san bilang Sabtu libur kerja, bagaimana kalau hari itu? Meski harus tanya dulu apa ada jadwal..."
"Ya! Aku bisa!"
Lalu Chikage melihat smartphone-nya dan mulai panik.
"Ah, tinggal dua hari lagi! Bagaimana ini!? Belum reservasi salon! Lalu kuku, spa, barium, dan rontgen juga!?"
"Bukankah semakin ke belakang semakin tidak ada hubungannya? Lagi pula, mungkin bagian dalam dirimu akan dilihat, tapi organ dalammu tidak akan dilihat jadi tenang saja..."
"Kesehatan itu penting!"
"Ah, ya... Memang benar sih..."
Khayalan Chikage sudah mulai tidak terkendali.
--Lalu.
Tiba-tiba, nafas Hikari menyentuh telinga Sakuto, dan suaranya terdengar seperti bisikan mesra.
"...Aku akan berusaha agar disukai bibi."
Terjemahan ke Bahasa Indonesia:
Hikari tertawa kecil dan menjauh dari Sakuto, namun senyuman ceria khasnya tetap terpancar di wajahnya.
Santai sekali, pikir Sakuto.
Dia selalu menikmati situasi yang tidak terduga. Sebaliknya, mungkin itu berarti dia merasa bosan dengan kehidupan sehari-harinya. Sakuto bahkan berpikir, mungkin Hikari sedang mencari sesuatu yang lebih menantang atau menarik.
Tiba-tiba, tangan Sakuto yang tergeletak di atas meja digenggam erat.
"Sakuto-kun, tolong saat bertemu dengan bibi nanti, peganglah tanganku seperti ini...! Aku mohon! Jangan lepaskan, ya~..."
"Ah, iya... tapi kurasa itu nggak mungkin kalau di depan Mitsumi-san, ya... ──"
* * *
── Begitulah yang terjadi, dan meskipun merasa canggung, Sakuto tetap meminta pendapat dari Mitsumi.
"Masalahnya begini, Hikari dan Chikage bilang mereka ingin main ke rumahku, kalau bisa Sabtu ini. Bagaimana menurutmu?"
"Kebetulan sekali! Kalau sudah diputuskan begitu, aku harus bersiap-siap menyambut mereka dengan semangat, kan──"
"Ah, tapi tunggu. Masalahnya bukan itu... Ini soal klub koran sekolah..."
Sakuto lalu menjelaskan tentang wawancara pekerjaan.
"──Begitu ya. Jadi, aku hanya perlu menjawab pertanyaan dari Hikari-chan, kan?"
"Iya, bisa?"
"Tentu saja. Sebagai alumni Yuugaku, aku senang bisa membantu."
"......Eh? Mitsumi-san juga lulusan Yuugaku?"
"Lho? Aku belum pernah bilang, ya? Aku lulusan Yugaku dan jurusan hukum di Universitas Yuuki. Ngomong-ngomong, itu mengingatkanku pada masa-masa dulu... Aku belajar keras sekali waktu itu."
"Ibuku bilang, Mitsumi-san, nilaimu dulu cukup bagus, ya?"
"Yah, lumayan. Tapi aku selalu di peringkat dua. Waktu itu aku suka sama seseorang, dan aku nggak pernah bisa mengalahkan dia..."
Melihat Mitsumi berbicara dengan nada nostalgia, Sakuto menyadari bahwa dia juga pernah merasakan jatuh cinta, dan itu membuatnya tersenyum kecil.
"Lalu, aku bertemu lagi dengan orang itu setelah dewasa. Kebetulan kami bertemu lewat pekerjaan."
"Eh? Lalu, sekarang dia di mana? Apa masih saling kontak?"
"......Dalam masa percobaan. Aku yang menjadi pengacaranya──"
"Ah, iya... aku nggak mau tanya lebih lanjut, dan memang nggak mau tahu..."
Ternyata ada juga pertemuan kembali seperti itu.
* * *
Keesokan harinya, setelah jam pelajaran berakhir, Sakuto bertemu dengan Hikari dan Wakana di lorong. Mereka bertiga kemudian menuju ruang klub koran.
Ketika Sakuto membuka pintu, ruang klub yang sebelumnya gelap dan lembap kini terlihat terang dan rapi.
Saika dan Matori sudah menunggu di dalam.
"Yo, terima kasih atas kerja kerasnya~"
"Karena semuanya sudah berkumpul, mari kita mulai kegiatan hari ini. Dan juga, sekali lagi──"
Saika berbicara dengan nada tenang, lalu berbalik melihat Sakuto dengan ekspresi penuh rasa bersalah.
"Takayashiki-kun, maaf atas kejadian kemarin... Hal seperti itu tidak akan terjadi lagi ke depannya..."
"Tidak apa-apa, aku sudah tidak memikirkannya."
"Selain membersihkan ruang klub dan bekerja sama seperti ini, aku benar-benar tidak tahu bagaimana mengucapkan terima kasih..."
Kemudian Saika menoleh ke arah Matori.
"Matori-chan, jangan sampai merepotkan orang lain lagi, ya? Ayo, minta maaf."
"Aku tahu kok... Maaf ya, Takayashiki."
"Aku juga... maafkan aku."
Wakana pun ikut menundukkan kepala.
"Permintaan maaf tidak perlu lagi. Untuk saat ini, mari kita selesaikan koran ini. Dan..."
Sakuto memberikan isyarat dengan matanya ke arah Hikari.
Hikari lalu mengeluarkan SD card dari tasnya.
"Matori-senpai, data foto kemarin berhasil dipulihkan."
"Wow, serius!? Hebat banget!?"
"Tapi, data yang berhubungan dengan aku, Sakuto-kun, atau adikku, sudah aku hapus dan tidak bisa dipulihkan lagi."
"Ah, hahaha... kamu sama saja seperti Takayashiki, ya~..."
Melihat Matori yang hanya bisa tersenyum masam, Hikari menunjukkan senyum ceria yang terasa sedikit dingin.
Setelah keadaan tenang, Saika tersenyum manis sambil bertepuk tangan.
"Baiklah! Kalau begitu, mari kita tentukan tugas masing-masing dan pergi untuk melakukan wawancara."
Sakuto berpikir, Dia ini seperti guru SD yang sering muncul di anime atau manga.
Tapi di dunia nyata, kalau dia jadi guru SD, mungkin kelasnya bakal kacau balau. Melihat kondisi klub koran yang kemarin begitu berantakan, kemungkinan besar perkiraan itu benar.
"Baiklah! Wakana, bisakah kita pergi?"
"Iya! Mohon bantuannya, Matori-senpai!"
Matori dan Wakana meninggalkan ruang klub terlebih dahulu. Entah bagaimana, meskipun sering bertengkar, mereka tampaknya cukup akrab.
"Maaf, aku akan tetap di ruang klub. Masih ada beberapa bagian yang belum selesai dibereskan, dan aku juga ingin merapikan semua dokumen."
"Baiklah, kalau begitu Takayashiki-kun, tolong urus ruang klub, ya? ──Hikari-chan, aku serahkan padamu."
"Siap! Aku akan melakukannya dengan baik."
Setelah mengantar Saika dan Hikari pergi, Sakuto segera memulai tugasnya merapikan ruang klub. Namun, baru beberapa menit berlalu, Hikari kembali masuk ke dalam.
"Ada apa?"
"Ehhehe~ Aku lupa sesuatu."
Tanpa peringatan, Hikari tiba-tiba memeluk Sakuto dari depan.
"──Eh...!? Hi-Hikari──"
Dia melingkarkan lengannya di leher Sakuto, berjinjit, dan mengecup bibirnya.
Semua itu terjadi begitu mendadak. Terkejut, Sakuto hanya bisa membuka matanya lebar-lebar.
Setelah ciuman itu selesai, Hikari perlahan melepaskan pelukannya, mundur satu atau dua langkah, dan menatap Sakuto.
"Kenapa tiba-tiba begini?"
"Ehhehe~ Itu ciuman pergi dulu!"
Dengan wajah puas, Hikari berkata begitu lalu berlari kecil keluar dari ruang klub.
"……Apa-apaan itu tadi…?"
Sakuto yang kini sendirian hanya bisa terpaku, memandangi pintu yang baru saja dilewati Hikari. Tapi dia segera menggelengkan kepala, berusaha untuk fokus kembali, dan melanjutkan pekerjaannya. Namun, rasa aneh di hatinya tidak kunjung hilang.
(Hikari kembali hanya untuk itu...?)
Apakah dia hanya ingin mencoba mencium seseorang di ruang klub, atau ada alasan lain?
(Apa aku terlalu sering mencari alasan di balik semua tingkah lakunya?)
Ruangan itu terasa pengap karena AC yang tidak berfungsi dengan baik. Berkeringat, Sakuto memutuskan untuk membersihkan filter AC terlebih dahulu. Dia naik ke kursi lipat untuk mencapainya.
Dari posisi itu, dia bisa melihat keluar jendela. Di depan gedung ruang klub, lapangan terbentang luas. Dia melihat Hikari bersama Saika di area klub sepak bola.
Entah kenapa, punggung Hikari tampak lebih kecil dibanding Saika, yang tubuhnya memang lebih mungil.
Previous Chapter | ToC | Next Chapter