LN] Bishoujo-zoroi no Eirei ni Sodaterareta Ore ga Jinrui _ Volume 1 ~ Chapter 4

LN] Bishoujo-zoroi no Eirei ni Sodaterareta Ore ga Jinrui _ Volume 1 ~ Chapter 4

 

Translator: Lucretia 
Proofreader: Lucretia 




CHAPTER 4 : Di Tanah Isteria 

IBab 4 – Di Tanah Isteria

Pagi-pagi sekali, di penginapan kota Isteria.

“Eh, aku beneran boleh nggak ikut kelas hari ini?”

"Iya, tidak masalah kok."

Melihat Rain tersenyum manis, William yang baru saja mau kembali tidur di kamar yang dialokasikan untuknya, langsung yakin satu hal.

Ini mencurigakan. Pasti ada udangnya di balik batu.

Semua bermula pagi ini. Entah kenapa, Rain tiba-tiba bilang sambil tersenyum, “Kamu sudah bekerja keras kemarin, jadi boleh bolos pelajaran hari ini.”

Saat ini, William dan rombongannya sedang tinggal di kota Isteria, kota pusat ekonomi dan distribusi yang berada di wilayah timur, salah satu lumbung pangan terbesar di negara ini. Hari ini seharusnya menjadi hari pertama praktik penaklukan monster di daerah tersebut, dan para siswa lain dari akademi pun sudah berangkat bersama para guru pembimbing mereka. Tapi berbeda dari mereka, William mendapat izin untuk bolos dari Rain dan akhirnya tinggal sendirian di penginapan.

Buat William, Rain ngasih izin bolos di tengah ekspedisi resmi ke wilayah timur itu rasanya sama aja kayak bilang, “Ini ada yang janggal, ya.” Langsung bikin curiga.

Lagian, sekalipun Rain ngasih izin, kalau Meia sang wali kelas nggak setuju, tetap aja nggak ada gunanya. William jelas mikir nggak mungkin Meia yang biasanya ketat itu bakal ngizinin. Tapi saat dia menyampaikan saran dari Rain, “Sepertinya aku agak maksa pas lawan griffon kemarin,” Meia yang biasanya tegas mendadak malah kelihatan khawatir dan langsung bilang, “Kalau begitu, jangan dipaksakan dan istirahat saja hari ini,” sambil ngasih izin dengan mudah.

William yang nggak ngerti apa yang sebenarnya terjadi malah ngerasa merinding. Bukan senang, bukan terkejut, tapi lebih ke arah “ini nggak beres deh.”

Kenapa mereka khawatir banget, sih?

Padahal cuma lawan griffon doang, pikir William sambil menikmati sarapan di ruang makan penginapan. Ini juga pertama kalinya dalam sekian lama dia bisa makan pagi dengan santai. Tentu saja, dia sempat curiga kalau ini bagian dari jebakan, tapi nyatanya dia bisa menyelesaikan makan tanpa insiden apa pun.

Namun, tentu saja William yang veteran dalam dunia “bolos kelas” nggak semudah itu tertipu. Apalagi dia udah paham betul: para arwah pahlawan yang ngaku sebagai “guru”-nya itu bukan orang-orang yang bisa dipercaya begitu saja.

Biasanya, kalau udah begini, ujung-ujungnya malah dikasih tugas yang lebih berat dari pelajaran biasa. Maka dari itu, sambil tetap waspada, dia kembali ke kamar… dan di situlah Rain sedang menunggunya dengan senyum hangat.

"Mumpung ada waktu, bagaimana kalau tidur lagi saja? Kasurnya empuk banget, pasti tidurnya nyenyak deh."

Gila, ini jelas-jelas jebakan!

Tawaran yang terlalu manis itu bikin alarm waspada William meledak. Serangkaian kejadian yang nggak masuk akal terus terjadi. Ini udah jelas ada yang aneh. Nggak mungkin “malaikat neraka” yang nyuruhnya latihan tanpa tidur selama seminggu atau “si pembantai dengan wajah manusia” yang pernah bikin dia ngalamin pengalaman mati suri, tiba-tiba ngasih libur tanpa alasan jelas.

Tapi... di saat itulah sifat malasnya mulai muncul.

Ya udahlah, kalau bisa bolos, kenapa harus ribet?

Keinginan untuk kembali ke hari-hari santai yang sudah lama tak ia rasakan pun menang. William pun pasrah pada hasrat tidurnya, dan menjatuhkan diri ke atas kasur. “Hari ini tidur aja seharian,” pikirnya sambil membiarkan kesadarannya menghilang...

…sampai tiba-tiba jendela di dekat tempat tidur terbuka dengan keras, dan angin kencang menerpa ke dalam ruangan.

"Lama nggak ketemu, aku pulang sekarang."

Iris, yang sudah beberapa waktu pergi, kembali ke penginapan bersama Sofia.

William tak tahu sihir macam apa yang mereka pakai, tapi begitu mendengar suara itu, firasat buruk langsung muncul di benaknya.

"Semua sudah kumpul seperti rencana, ya. Karena situasinya darurat, kita akan adakan rapat darurat. Dan kau, bocah—mulai sekarang, kau akan mengalami situasi yang jauh lebih berat dari apa pun yang pernah kau alami. Kau akan menyesal karena nggak ikut pelajaran hari ini. Jadi siap-siaplah."

“Sudah pasti kuduga ada jebakannyaaaaaaaaaaaaaaaaa!?”

Teriakan William menggema di seluruh penginapan.

"Griffon yang William kalahkan kemarin ternyata menyimpan sedikit kekuatan ilahi di dalamnya."

"Sepertinya para “awakened” alias para yang terbangun itu sedang bikin pesta monster besar-besaran di wilayah timur."

"Kalau begitu, wilayah timur bisa berada dalam bahaya besar."

"Kalau cuma wilayah timur yang kena, sih, masih mending. Soalnya, kalau ngelawan para awakened, satu negara pun bisa musnah."

Di tengah obrolan serius antara Iris dan yang lain, William terlihat ngantuk dan menguap besar. Hal itu langsung menarik perhatian Rain.

"William, ini masalah yang juga menyangkut dirimu, jadi tolong dengarkan dengan serius."

“Ya tapi aku bener-bener nggak ngerti apa yang kalian omongin. Kata-katanya asing semua. Lagian, awakened itu siapa sih? Dulu waktu kita baru ketemu, kalian sempat bilang mereka itu orang-orang berbahaya, tapi nggak pernah dijelasin secara detail.”

"Awakened—para yang terbangun—adalah orang-orang tolol yang tergoda oleh kekuatan dewa dan menyimpang dari jalan kemanusiaan. Karena mereka udah keluar dari batas-batas manusia, pandangan soal benar dan salah mereka pun udah beda total dari kita. Makanya, demi mencapai tujuan mereka, mereka bisa melakukan apa pun… termasuk memusnahkan satu kota, bahkan satu negara, tanpa rasa ragu sedikit pun."

“Gila, orang-orang seberbahaya itu beneran ada di wilayah timur? Terus... yang mereka sebut ‘Pesta Monster’ itu maksudnya apa sih?”

"Fufu~ Karena kamu spesial, aku akan jelaskan secara khusus. Pesta Monster itu semacam ritual yang kadang-kadang dilakukan para awakened demi mendapatkan kekuatan yang lebih besar. Mereka membagikan sedikit demi sedikit kekuatan ilahi mereka ke para monster, lalu membiarkan monster-monster itu saling bunuh demi memperkuat diri."

“Lalu apa yang terjadi setelah itu?”

"Monster yang tercemar oleh kekuatan ilahi akan terobsesi untuk membunuh monster lain demi mencuri kekuatan mereka. Mereka terus tumbuh jadi lebih kuat, dan selama proses itu, jumlah kekuatan ilahi dalam diri mereka juga bertambah. Biasanya, setelah itu si awakened tinggal dateng dan ambil kembali kekuatan yang sudah diperkuat tadi. Dengan kata lain, alasan kenapa monster di wilayah timur jadi lebih aktif, kemungkinan besar ya gara-gara ritual ini."

“Wah... kedengarannya serem. Tapi, ujung-ujungnya semua itu bakal mengarah ke apa?”

"Masih belum nyambung juga? Kamu ini lambat banget, sih. Ya tentu aja monster terakhir yang menang dari pertarungan itu bakal dapet kekuatan luar biasa dan jadi Raja."

“Raja?”

William masih belum bisa mencerna semuanya, jadi Mio pun ikut bantu menjelaskan.

"Iya. Raja itu nantinya akan memimpin para monster lainnya dan membentuk pasukan besar. Lalu mereka akan menyerang kota tempat kita berada sekarang, dengan tujuan memusnahkan umat manusia."

“J-jadi maksud kalian… akan terjadi Stampede!?”

William sampai berdiri dari tempat tidur saking kagetnya. Iris memandangnya dengan ekspresi jengkel.

"Bukankah itu sudah kami bilang sejak tadi? Kenapa jadi panik begitu?"

“Ya panik dong! Urusan kayak gini kan biasanya ditangani pasukan kerajaan! Gawat nih, terus aku harus gimana sekarang?”

"Justru karena nggak ada orang lain yang percaya sama omongan kami, maka hanya kamulah yang bisa menangani ini."

“Jangan becanda deh! Bukannya masih ada Sofia dan Mio yang jauh lebih kuat dariku? Mereka aja yang urus!”

Tapi anehnya, baik Sofia maupun Mio malah terlihat ragu dan pasang wajah sulit dijelaskan.

“Hei, kenapa kalian diam aja?”

"William, omongannya Iris barusan bukan sekadar bercanda. Soalnya Sofia dan Mio itu sekarang──"

"Udah, cukup. Hei bocah, kalau kamu pria, jangan banyak ngeluh. Santai aja. Nggak ada yang perlu ditakutin. Kita udah tahu langkah apa yang bakal diambil para awakened, jadi tinggal cegah dari awal aja."

Rain yang tadi hampir buka rahasia, langsung dibungkam Iris yang mulai ngomong dengan semangat.

"Kita sudah sadar ada yang aneh sejak awal, itu keuntungan besar. Monster-monster di timur memang banyak, tapi satu per satu mereka masih bisa kamu kalahkan. Bahkan kamu yang lemah pun bisa."

“Apa-apaan itu, gaya bicaranya sengaja banget ya?”

"Dan lebih beruntungnya lagi... metode pelatihan “Shura” yang kuciptakan itu justru dirancang untuk membuatmu semakin kuat dengan memburu monster. Kamu bener-bener beruntung, ya."

“E-eh!? Nggak mungkin… jangan bilang kalau…”

"Iya, betul sekali."

“A-aku ogah banget! K-kasus ini kan bukan tanggung jawabku doang, kan!? G-gimana kalau kita lapor ke Cecile aja? Kalau aku jelasin sungguh-sungguh, dia pasti mau bantu nyelidikin hal ini meski terdengar gila!”

"Jangan. Itu terlalu berbahaya."

“Lah kenapa!?”

"Kalau si awakened sampai tahu kamu berhasil membongkar rencana mereka lewat Cecile, mereka pasti langsung datang buat bunuh kamu."

“G-gimana kalau aku pura-pura nggak tahu aja…”

"Awakened bisa melihat wujud spiritual seperti kami. Kami dan mereka adalah musuh bebuyutan sejak ribuan tahun lalu. Karena kamu dipilih oleh kami, mereka tidak akan pernah memaafkanmu. Mau kamu ngumpet kayak gimana pun, kalau ketahuan kamu tahu rencana mereka, mereka pasti akan memburumu."

“J-jadi, satu-satunya jalan yang tersisa adalah...”

"Iya. Mulai latihan dan jadi lebih kuat, dari sekarang."

William pun lemas, bahunya langsung turun. Tapi Iris yang barusan bicara dengan tenang, kini berubah jadi iblis sejati dan menatap tajam ke arahnya.

"Kau akan menyesal karena pernah meremehkanku. Bahkan kalau kau mati saat latihan pun, aku tak akan memaafkanmu."

“Hiiiiiii!? T-tolong, nggak ada pilihan lain yaaaa!?”

William memohon sambil melirik Sofia dan Mio, tapi keduanya cuma memalingkan pandangan dengan canggung. Iris pun tersenyum penuh rasa puas dan menyatakan dengan tegas:

"Tidak ada."


"Akhirnya, kamu bisa ikut latihan dariku. Gimana? Senang kan, bocah?"

“Apanya yang senang. Dibunuh sih nggak mau, tapi latihan juga nggak pengin. Sama-sama nggak enak.”

William kini duduk di hadapan Iris dan yang lainnya dalam keadaan terikat rapat dengan tali. Lokasinya berada di bagian tenggara Isteria—tepatnya di pinggiran luar dari hutan raksasa yang membentang ke arah selatan dari sisi timur kota.

Dia ditangkap setelah mencoba kabur demi menghindari latihan gila di tempat terpencil, dan kini… ya, beginilah akhirnya.

"Melarikan diri dari Iris-sama adalah hal yang mustahil. Jadi terimalah nasibmu."

“Ugh…!?”

Karena ditegur oleh Rain yang berdiri tegak penuh wibawa, William pun tertunduk lemas di tempat.

"Jadi, menurut kalian, seberapa kuat William sekarang?"

"S-sangat... sangat biasa aja sih!?"

"Y-ya, dalam kondisi sekarang, dia masih belum bisa diandalkan ya!?"

Entah kenapa, kedua guru itu menjawab dengan nada yang jelas-jelas gugup, tapi Iris tampaknya tidak terlalu peduli.

"Begitu ya. Jadi bahkan mereka yang memiliki kekuatan setara denganku saja sampai nggak bisa bikin dia berguna... artinya dia memang sangat payah."

“Ma-maaf ya!”

"Yasudah. Tapi, kalau sudah di tanganku, meningkatkan kekuatanmu ke level berbeda itu urusan gampang."

…Nggak mungkin ini latihan yang waras!!

Dengan satu gerakan tangan, angin berhembus sebentar, dan tali yang membelenggu William pun terlepas. William yang sadar lari pun percuma, akhirnya pasrah dan berdiri menghadap Iris.

“Hei, bisa nggak suruh mereka berhenti ngelihatin aku kayak gitu? Jadi nggak bisa konsen nih.”

"Sofia, Mio. Serahkan tempat ini padaku."

"Kalau memang begitu, ya sudah deh."

"Padahal aku pengen lihat wajah Iris pas kaget nanti..."

"Apa maksudmu? Aku udah tahu anak ini cupu, jadi aku nggak bakal kaget."

Kalau dari dia yang ngomong, rasanya nyebelin banget, pikir William dengan ekspresi sebal. Dan parahnya lagi, dia bakal dijeblosin ke pelatihan yang dirancang oleh Raja Iblis dari seribu tahun lalu. Siapa yang nggak putus asa coba?

"Baiklah, pertama-tama aku akan jelaskan dulu tentang pelatihan “Shura”."

Semoga aja latihannya nggak sampai bikin aku mati… William pun dalam hati berdoa penuh harap.

"Dengarkan baik-baik. “Shura” adalah latihan revolusioner di mana aku akan mengaktifkan sihir yang menarik monster agar terus datang menyerangmu! Kau akan bertarung tanpa henti, dan dengan begitu tubuhmu akan semakin terlatih! Gimana? Hebat kan!?"

Iris menjelaskan dengan ekspresi bangga seolah-olah baru saja menemukan teori terbesar abad ini. William menatapnya dengan kosong selama tiga detik, lalu berteriak dari lubuk hatinya.

“Kepalamu udah rusak banget yaaaaa!?”

"Apa!? Kau berani menghina aku lagi!? Hebat juga nyalimu!?"

Detik berikutnya, Iris mengaktifkan sihir dengan mudah seolah sedang bernapas. Serangan itu melesat melewati sisi William dan meledak hebat di kedalaman hutan beberapa detik kemudian. Wajah William langsung pucat pasi.

"Kalau kau protes lagi, serangan tadi akan kutujukan langsung ke tubuhmu. Masih mau ngomel?"

“…………(geleng-geleng panik)”

Yang bisa William lakukan hanya menggeleng cepat. Melihat itu, Iris tersenyum puas.

"Bagus, sepertinya kau sudah mengerti. Aku lanjutkan penjelasan. Dalam “Shura”, kau akan menyerap mana dari monster yang kau kalahkan, dan itu akan meningkatkan mana-mu secara efisien. Tapi tentu saja, jumlah peningkatannya ada batasnya. Mana-mu nggak akan bisa melebihi kapasitas wadah dalam tubuhmu. Selain itu, setelah membunuh sejumlah monster dengan level yang sama, peningkatan mana akan berhenti. Jadi kalau mau terus berkembang, kau harus terus mengalahkan monster yang lebih kuat."

…Artinya aku harus terus bertarung lawan monster makin kuat buat bisa jadi kuat!?

"Baik, sekarang tunjukkan hasil latihanmu sejauh ini. Minimal, kau harus bisa mengalahkan monster peringkat E sendirian, kalau tidak... nggak ada gunanya."

“Eh? Kamu nggak denger Mio bilang aku yang ngalahin Griffin kemarin?”

"Itu kan dibantu sama Mio dan yang lain, kan? Aku pengen tahu seberapa kuat kau sendirian."

“Ya ampun, dengerin dulu! Aku kalahin dia sendiri tahu nggak!”

"Hmph. Kalau cuma omong sih siapa aja bisa. Kalau sampai segini aku jelaskan tapi kau masih ngeyel, aku jadi kecewa, bocah. Kalau gitu tunggu di sini. Jangan kabur cuma karena aku pergi."

Setelah berkata begitu, Iris pun menghilang ke dalam hutan besar.

Apa yang mau dia lakuin...?

William mulai merasa nggak enak, dan benar saja, beberapa suara ledakan—seperti sihir ofensif—terdengar dari dalam hutan.

Beberapa saat kemudian, Iris muncul kembali, kali ini dalam wujud fisik, dan menarik seekor monster berkepala banteng berkulit hitam—Black Minotaur—yang diikat dengan semacam jaring sihir.

“Ini monster yang baru saja aku tangkap.”

Black Minotaur yang terikat tampak sudah kehilangan semangat bertarung, bahkan tampak ketakutan menatap Iris.

“Monster ini mungkin nggak sekuat Griffin, tapi di wilayah timur, dia termasuk standar. Sekarang, lawan dan kalahkan dia. Kalau berhasil, aku akan percaya ucapanmu.”

“Bentar, ini monster ‘standar’, tapi lebih lemah dari Griffin? Bukannya Griffin itu monster kelas receh?”

William melontarkan keraguannya. Rain pun langsung menjawab dengan nada panik.

"Y-yang dimaksud adalah… rata-rata kekuatan monster di wilayah timur itu sebenarnya nggak terlalu tinggi, kan!?"

“Eh? Tapi bukannya monster di timur itu yang paling berbahaya di negara ini sekarang—”

"G-g-Griffin dan monster yang satu ini juga… sebenarnya nggak terlalu kuat, kan!?"

“Ya, itu benar sih.”

…Berarti ini cuma monster biasa yang sedikit lebih lemah dari Griffin, ya.

“Aku kasih tahu dulu ya, kalau kamu nekat bertarung tanpa memperhitungkan kemampuanmu dan malah celaka, aku nggak bakal menolongmu. Kalau memang kamu cuma sok jago, sebaiknya ngaku aja sekarang. Jangan sepelein, kamu bisa terluka parah, bahkan mati. Masih mau lanjut?”

“Ya jelas dong. Udah, buruan lepasin ikatannya.”

Begitu Iris menghilangkan sihir pengikatnya, Black Minotaur itu berdiri perlahan dan dengan hati-hati mengangkat kapak besarnya, bersiap menyerang. Sementara itu, William menarik keluar pedang ksatria dari udara kosong dan bersiap tanpa gentar.

“Aku udah lulus dua jenis latihan gila. Monster kelas rendahan kayak gini pasti bisa kukalahkan.”

“Hmph, kau masih belum sadar betapa bodohnya bertarung tanpa kenal batas… (dilangkau) …kalau kau bertarung dalam tim, sikap nekatmu bisa membahayakan semuanya. Itu bukan hal yang bisa dibanggakan… (dilangkau) …tapi karena ini situasi khusus, kalau kau benar-benar hampir mati, aku akan menolongmu. Tapi ingat, meskipun kau kalah nanti, jadikan itu pengalaman. Jangan cuma gagal, pelajari sesuatu darinya… (dilangkau) …dan jangan lupa, kau punya guru sepertiku. Kalau kau nurut, hampir semua kesulitan bisa kita atasi—”

“Cerewet banget, ah.”

Tanpa tunggu lama, William langsung menembakkan tiga [Magic Arrow] ke arah Black Minotaur yang ukurannya hampir dua kali tubuhnya. Semuanya tepat sasaran, dan dari tubuh monster berkulit tebal itu terdengar erangan kesakitan.

…Masih belum tumbang juga?

Kelihatan ada darah, tapi Black Minotaur itu masih berdiri. Meski sempat terkejut karena daya tahannya, William langsung maju dengan jurus pergerakan cepat. Tapi Minotaur itu nggak kalah cepat merespons: ia mundur sambil mengayunkan kapak raksasanya secara presisi, berniat menebas William dalam sekali serang.

Namun perbedaan kemampuan mereka sudah jelas.

…Jadi monster rendahan segini cuma segini doang, ya.

Mungkin serangannya bisa mematikan, tapi dibandingkan tebasan mengerikan Mio yang seperti bisa merenggut nyawa, gerakan Minotaur ini terasa kasar dan mudah dibaca. William terus mengejar jarak sambil menebas beberapa kali, mengukir luka demi luka di tubuh lawannya. Dan akhirnya, saat monster itu mengayunkan serangan besar dari atas, William melompat, menyelinap ke dalam jangkauan, dan melepaskan serangkaian tebasan dalam sekali gerakan cepat sambil menurunkan semua pembatas kekuatan otaknya.

Di belakang William, Black Minotaur ambruk dengan semburan darah ke segala arah.

Melihat pemandangan itu, Iris terbelalak. Setelah tiga detik terdiam, dia pun berteriak:

"A-apaaaaa!? S-sejak kapan bocah ini jadi sekuat itu!?"


Gak mungkin…!?

Bocah ini dulunya cuma pemula yang bahkan belum bangkitin sihir-nya…!?

Karena begitu syok, Iris sampai kehilangan wibawanya. Di sampingnya, Rain berbisik dengan tenang, seperti sudah tahu ini akan terjadi:

"Iris-sama, jangan biarkan dia menyadarinya. Kalau William sampai tahu dia punya bakat luar biasa, bisa-bisa dia malah berhenti latihan."

“G-gak mungkin dia sebodoh itu, kan!? …Tapi ya, kalau ingat sifatnya, ya bisa jadi. Malah kemungkinan besar begitu.”

“Hei, kenapa kalian pada aneh gitu?”

William, yang menyadari keanehan di sekitar, bertanya heran karena Iris tiba-tiba berteriak tanpa sebab.

“B-bukan apa-apa!? K-kau sana, renungi pertarungan tadi dan pikirkan kesalahanmu!?”

Iris yang tadinya sudah bersiap menolong kapan pun itu, akhirnya menghilangkan wujud fisiknya dan memandang ke langit seolah sedang kena migrain.

"Ini di luar dugaan. Kalau dia nggak sadar betapa kuatnya dirinya, itu juga bisa jadi masalah."

"Soal kesiapan mental ya."

"Benar. Kau tahu sendiri, bocah itu belum punya alasan untuk bertarung. Nggak ada tujuan, nggak punya tekad buat mempertaruhkan nyawa. Tapi dia punya bakat luar biasa yang bisa bikin orang iri. Dia itu jenius aneh."

Iris menatap William yang sedang menutup mata, merenungkan pertarungannya barusan.

"Cepat atau lambat, bocah itu pasti sampai di titik di mana dia harus memilih: mau melindungi masa depan umat manusia, atau menyelamatkan nyawanya sendiri. Aku nggak tahu keputusan mana yang bakal dia ambil. Tapi setidaknya, aku harus pastikan dia nggak menyesal karena kurang kuat. Itu tanggung jawabku sebagai gurunya."

Sebelumnya, Iris pernah ngobrol dengan Sofia soal tanda-tanda zaman yang mulai bergerak. Waktu itu, dia belum yakin soal William. Tapi ternyata itu kesalahan besar. Pusat dari arus perubahan zaman itu… ada tepat di depannya.

Iris pun berdiri di depan William dan, dengan suara seolah nggak ada yang spesial, berkata:

"Yah, masih jauh dari cukup."

“Hei, maksudmu apa coba? Barusan kan aku menang dengan gampang banget.”

William memprotes, seolah merasa dipermalukan tanpa alasan. Padahal kenyataannya, ia memang berhasil menunjukkan hasil yang luar biasa—tapi karena akan merepotkan kalau sampai mengakuinya, Iris tak punya pilihan selain manyun dan membalas ketus.

"J-jangan jadi besar kepala, ya!? M-m-monster barusan itu cuma monster paling payah di antara yang payah di wilayah timur, alias monster rendahan super cupu! Jadi, ya… ya wajar aja kamu bisa ngalahin dia!"

“Hah!? Tadi kamu bilang itu monster dengan kekuatan rata-rata di wilayah timur, kan!?”

"S-salah dengar tuh!? E-e-eh, itu tuh… iya! Karena monster itu biasanya bergerak dalam kawanan, jadi kalau sendirian level ancamannya jadi rendah! K-kamu nggak tahu itu? B-bodoh banget sih, kamu!?"

“Gununununu!?”

Sebenarnya monster itu memang tipe yang bertarung sendirian. Tapi Rain, yang berdiri di samping, memilih diam dan tidak membongkar kebohongan itu.

"Yasudahlah, setidaknya sekarang aku udah tahu kekuatanmu. Kalau begitu kita bisa mulai latihan. Pertama-tama, aku akan memberimu kutukan untuk menyerap kekuatan dari monster yang kamu kalahkan."

“K-kutukan!?”

"Tenang saja. Ini lebih kayak “tanda sihir” yang biasa dipakai sebagian kaum iblis untuk meningkatkan kekuatan. Nggak ada efek samping seperti memperpendek umur atau semacamnya. Cepat, keluarkan lengan kananmu."

Dengan berat hati, William pun mengulurkan lengannya. Iris kemudian menyalurkan sebagian dari simbol Raja Iblis yang ia miliki ke tangan William.

Segera, rasa sakit yang menusuk hebat menyebar di lengan William. Ia memprotes keras, namun Iris hanya menanggapinya santai:

"Aku nggak pernah bilang ini nggak akan sakit, kan?"

"Dengan ini, kalau kamu menghancurkan inti sihir monster, kamu bisa menyerap kekuatannya. Selanjutnya, aku akan memberimu sihir yang membuatmu jadi umpan hidup. Tapi tenang aja, yang ini nggak sakit kok."

Cahaya samar menyelimuti tubuh William sejenak.

“Hmm… rasanya sih nggak ada yang aneh ya.”

"Ya, memang begitu. Tapi sekarang kamu mengeluarkan aroma yang sangat menggoda buat para monster."

“Geh!? Bauku sampai separah itu!?”

Sambil William panik memeriksa bau tubuhnya, Iris tetap melanjutkan penjelasan:

"Dengarkan baik-baik. Buat semua monster di sekitar sini, kamu sekarang adalah makanan paling menggoda. Jadi mereka akan langsung mengejarmu. Memang sih, monster-monsternya lemah dan bisa kamu kalahkan, tapi bukan berarti mereka akan datang satu-satu."

Dan tepat setelah itu—ketika William masih sibuk mencium ketiaknya sendiri—dua monster muncul dari balik pepohonan: seekor laba-laba beracun raksasa bernama Deadly Spider, dan raksasa bermata satu Cyclops.

“D-dua sekaligus!? H-hei, kamu bantuin satu, kan!?”

"Nggak mungkin lah. Semua monster yang muncul, kamu yang harus kalahkan. Kalau kamu lambat, mereka bakal datang terus dan kamu bakal kewalahan."

“J-jangan seenaknya ngomong gitu! Aku juga punya alasan—”

"Yasudah, kami cabut dulu. Kerjakan dengan baik, ya."

"Semangat ya, William-san."

Dengan suara jentikan jari “pacchin!”, Iris mengaktifkan sihir 【Invisible】. Seketika itu juga, William tak lagi bisa melihat mereka.

“Hah!? E-eeh!? Beneran pergi beneran!?”

Tak punya siapa pun untuk diandalkan, William kini harus menghadapi kedua monster itu sendirian. Setelah sempat ragu sejenak, ia pun menguatkan hati dan menyerbu ke depan.

“Dasar sialaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan──────!?”

Ia langsung menghantam Deadly Spider dengan pedang ksatrianya dari atas, lalu menyusul dengan dua [Magic Arrow] bertubi-tubi. Sesaat kemudian, sinar ungu pucat keluar dari tubuh Deadly Spider yang roboh dan terserap ke lengan kanan William.

Tanpa ragu sedikit pun, William langsung menghadapi Cyclops. Pertarungan berlangsung sengit. Sementara itu, aroma tubuh William memancing lebih banyak monster untuk berdatangan ke area itu. Tapi William tetap bertahan. Ia percaya penuh bahwa lawannya hanyalah monster rendahan.

“Kalau udah ngumpul sebanyak ini──”

William memunculkan lusinan lingkaran sihir di sekelilingnya.

“Kalian pikir aku bakal kalah cuma gara-gara jumlah!? Jangan mimpi, dasar makhluk rendahan!!”

Semua lingkaran sihir itu memuntahkan [Magic Arrow] secara bersamaan. Tembakan sihir itu menembus dan meledakkan para monster yang datang. Tak berhenti sampai di situ, William langsung melompat ke tengah kawanan dan menyerang dengan pedangnya tanpa ampun.

“Berani-beraninya kalian, yang cuma bisa nyerbu bareng-bareng, songong sama aku!!”

Beberapa saat kemudian…

Sekeliling William dipenuhi oleh tumpukan mayat monster, berserakan dan berlumuran cairan tubuh. Tubuh William sendiri sudah penuh darah dan kotoran monster, tapi dialah satu-satunya yang masih berdiri tegak di sana.

Iris yang datang untuk memantau perkembangan langsung menahan napas melihat pemandangan itu.

"D-dalam waktu cuma tiga minggu, dia sudah sejauh ini……!?"


Tengah malam, di asrama kota Isteria.

"Kalian semua! Kenapa nggak ngasih tahu dari awal hal sepenting ini!? Bocah itu bisa jadi bakat sejuta tahun sekali, tahu nggak!?"

Itu adalah teriakan Iris yang meledak tak lama setelah William tumbang dan langsung tertidur nyenyak sepulang dari latihan hari pertama.

Setelah mengetahui kekuatan sejati William, Iris mengumpulkan semua yang ada dan mulai menginterogasi mereka dengan nada kesal.

"Bukan berarti kami sengaja menyembunyikannya. Tapi…"

"Sebanyak apa pun kami jelaskan dengan kata-kata, siapa juga yang bakal percaya? Mana ada jenius abnormal setingkat itu yang hidup di zaman ini?"

"Aku kan udah ngasih petunjuk. Aku bilang sendiri, "Melihat langsung itu lebih meyakinkan daripada seratus penjelasan."""Ugh, i-itulah…"

Mendadak Iris merasa seperti baru saja mengucapkan sesuatu yang fatal, dan jadi diam.

"Kuh… menyerah deh, menyerah. Aku salah."

Dengan tangan menyilang dan dada didorong ke depan, Iris mengaku dengan enggan dan wajah jengkel.

"Aku benar-benar nggak nyangka ada orang yang punya kepribadian dan bakat sehebat itu, tapi nggak nyambung sama sekali. Biasanya orang berbakat tuh harusnya lebih rendah hati dan lurus, kan?"

"Yah, itu benar sih." 

"Iya, setuju."

""Seperti aku ini.""Seperti aku juga dong.""

Ketiganya saling menambahkan diri mereka sebagai model ideal, lalu saling melirik dengan tatapan tidak puas. Rain, dengan batuk kecil "ehem", mencoba mengembalikan fokus ke pembahasan utama.

"L-lebih penting dari itu, soal tekad si bocah. Kita nggak bisa terus begini. Kalau dia terus berkembang dengan kecepatan sekarang, cepat atau lambat dia bakal menghadapi masalah besar."

"Benar juga. Kalau Will terus mengalahkan monster seperti ini, populasi monster bakal menurun, dan itu bisa mempercepat kemunculan “Raja”. Kurasa tidak lama lagi “Raja” bakal bangkit."

"Kalau perkembangan William tetap stabil seperti sekarang, bukankah dia bisa mengatasinya?"

"Secara kemampuan mungkin iya. Tapi menurutku, si bocah itu masih berpikir kalau nanti saat krisis datang, kita yang bakal mengalahkan Raja itu."

"Aku juga merasa begitu. William belum menunjukkan semangat untuk melindungi wilayah timur."

"Setuju. Karena selama ini dia diremehkan sebagai "senjata terlemah", rasa bangga dalam dirinya belum tumbuh."

"Itu… mm, kurasa kalian benar juga."

Rain terlihat ragu, tapi ekspresinya seperti masih ingin bicara. Sayangnya, karena posisinya sebagai pelayan, dia memilih diam. Iris pun memutuskan untuk langsung mempersilakan.

"Rain, kau ingin mengatakan sesuatu?"

"I-itu hanya…"

"Sebagai pendukungnya, kamu pasti lebih sering berinteraksi secara langsung dengan bocah itu dibanding kami. Kamu yang paling tahu soal dia. Jadi nggak usah ragu, katakan saja."

"Baik. Seperti yang kalian bilang, saat ini William memang belum punya tekad untuk melindungi wilayah timur—atau bahkan siapa pun. Tapi, dia juga bukan orang jahat. Aku merasa, suatu saat nanti… kalau ada pemicu yang tepat, dia akan menyadarinya sendiri."

"Kalau itu kamu yang bilang, yang selama ini paling dekat dengannya, berarti memang akan ada waktunya. Tapi masalahnya, kita nggak punya kemewahan untuk menunggu sampai saat itu datang. Kita harus bertindak, meskipun agak memaksa."

"Maksudnya… kita akan memberitahukan kebenaran padanya!? Tapi, William…"

"Pasti marah. Wajar, karena dia akan tahu kita semua berbohong selama ini. Tapi, dengan keputusan penting semakin dekat, justru sekarang waktunya yang paling pas."

"Betul. Harapan kami adalah Will bisa jadi pelindung dunia ini dengan kekuatannya. Tapi saat dia membuat pilihan nanti, kami nggak boleh menyimpan kebohongan."

"Iya. Kami bisa mengajarinya cara bertarung, tapi alasan untuk bertarung itu cuma bisa ditemukan sendiri olehnya. Dengan keputusan besar di depan mata, nggak boleh ada dusta yang tertinggal. Kalau pada akhirnya Will menolak peran itu, kami pun harus bertanggung jawab. Dan kalau perlu, kami akan melindungi tanah ini bahkan dengan nyawa kami."

Mendengar keseriusan mereka, Rain sampai membuka matanya lebar.

"Iris-sama, sebenarnya… seperti apa kalian memandang hubungan antara guru dan murid itu?"

"Jelas saja. Kami mewariskan kekuatan—dan itu berarti juga mewariskan nasib dunia ini."


Hampir enam hari telah berlalu sejak William dan yang lainnya tiba di wilayah timur.

Selama itu, William tidak pernah sekalipun muncul di kelas khusus. Ia berbohong, mengatakan bahwa luka dari pertarungan melawan Gryphon belum sembuh. Akibatnya, Meia sempat mencurigainya.

“Kamu yakin benar masih belum pulih dari luka? Atau jangan-jangan kamu cuma bolos? Soalnya aku dengar kamu sering pergi pagi-pagi dan baru pulang larut malam. Jangan-jangan kamu cuma jalan-jalan keliling kota seharian?”

Melihat reputasi William selama ini, Meia jelas punya alasan untuk curiga.

Namun—

“Menurutmu, ini wajah orang yang sedang asyik foya-foya keliling kota?”

Wajah William yang sudah kurus kering dan pucat karena tiap hari bertarung mati-matian melawan monster, dengan lingkaran hitam di bawah mata, menjawab segalanya.

Karena wajah itu, kesalahpahaman Meia pun langsung terpecahkan.

Setiap hari bolos kelas cuma buat latihan... ya, memang kedengarannya aneh sih.

Pagi itu, saat baru bangun dan menuju ke ruang makan, William nggak punya ekspresi lain selain kesal. Tapi buat orang-orang yang udah jelas-jelas nggak bisa diajak pakai logika normal, ngomong pun rasanya percuma.

Begitu masuk ke ruang makan, William melihat para murid akademi lainnya—yang seharusnya lebih sering menghadapi pertarungan monster berat daripada dirinya—tapi tetap bisa duduk tenang dengan wajah segar seperti biasa. Rasanya seperti ditampar kenyataan tentang betapa jauhnya perbedaan kemampuan mereka.

Gimana bisa mereka tetap kelihatan sekuat ini? Apa ini yang namanya perbedaan bakat? Ngomong-ngomong, tempat latihanku hari ini kan bakal deket sama area mereka juga ya…

Awalnya William memang latihan di tenggara Isteria, tapi karena makin lama makin sedikit monster yang muncul, Iris bilang kemungkinan besar monster-monster di sekitar situ mulai takut dan sengaja menghindari tempat latihan William.

Makanya, lokasi latihan William dipindah makin ke utara, menyusuri pinggiran hutan besar. Sementara itu, para murid akademi seperti Cecile dan kawan-kawan, yang awalnya latihan di barat laut, kelihatannya juga mulai menaikkan level latihan mereka, dan bergerak makin ke arah timur.

Oh iya, waktu aku pulang ke asrama kemarin, Iris sempat ngomong sesuatu yang agak aneh...

"Sebenarnya aku ingin sebisa mungkin menghindari kalian bertemu murid akademi lain. Tapi yah, dengan situasi sekarang, kita perlu buru-buru basmi monster sebanyak mungkin."

Saat itu William sempat bertanya-tanya, kenapa sih ketemu murid lain jadi masalah? Tapi dia sudah terlalu capek untuk peduli, jadi langsung rebahan di ranjang dan ketiduran. Rasa penasarannya pun belum terjawab.

Saat sedang cari tempat duduk di ruang makan, William dipanggil oleh Cecile dan teman-temannya, jadi akhirnya dia duduk bareng dan sarapan bareng mereka.

“Kalau aktivitas monster meningkat terus, lama-lama nggak bakal bisa dikendalikan. Bahkan sekarang aja, mereka katanya udah minta bantuan ke guild petualang karena kekurangan orang,” kata Leonard setelah menyeruput sup kacangnya. Nada suaranya biasa aja, tapi isi pembicaraannya cukup serius.

“Kapan pun bisa kejadian stampede. Tapi penyebabnya masih belum jelas,” kata Cecile sambil mengernyit.

“Aku dengar pasukan timur udah coba nyelidiki daerah tak dikenal buat cari tahu penyebabnya, tapi malah diserang monster kuat dan pulang dengan tangan kosong,” tambah salah satu dari mereka.

Semua yang ada di sana mulai menyadari betapa seriusnya situasi ini, dan suasana pun terasa berat. Sementara itu, William cuma menunduk dan menyeruput supnya dengan canggung.

"Kenapa, William-san? Kelihatannya kamu murung."

(Soalnya aku tahu penyebabnya, tapi nggak bisa bilang ke mereka. Rasanya agak... ya, bersalah juga.)

"Kalau begitu, mau bantu mereka?"

(Nggak. Aku nggak punya kewajiban sejauh itu buat orang-orang yang dulu cuma bisa ngeremehin aku. Lagian, kalau aku aja bisa ngebasmi cukup banyak monster, harusnya mereka juga bisa ngurusin sisanya, kan?)

"……………………"

(Lho, kenapa mendadak diem? Jangan-jangan... jumlah monster di timur sebanyak itu, ya?)

"Bisa jadi. Bahkan… kalau bukan karena kontribusi William-san akhir-akhir ini, mungkin wilayah timur udah hancur sekarang."

(Gila aja. Nggak mungkinlah. Kamu ngomong apa sih?)

Belakangan ini, Rain sering banget ngomong hal-hal aneh sambil muka serius. William mulai khawatir kalau Rain juga udah "terinfeksi" penyakit aneh yang bikin orang-orang di sekitarnya terlalu melebih-lebihkan dirinya.

“Kamu kenapa?” tanya Cecile.

“E-enggak, bukan apa-apa. T-tapi… kenapa sih kalian ngajak aku ikut dengerin obrolan penting begini?”

“Aneh juga kamu nanya gitu. Kalau ada apa-apa di timur, semuanya kena dampaknya. Jadi saling tukar informasi itu penting,” jawab Leonard.

“Yah, buat kalian iya. Tapi aku? Aku tahu pun, emangnya bisa ngaruh?”

“Kenapa kamu pikir itu nggak penting? Justru kamu yang paling harus tahu,” kata Cecile.

“Bener banget. Soalnya, kalau situasi makin gawat, orang yang paling bisa diandalkan ya kamu.”

“Aku!? Kalian ini ngomong apaan sih? Mana mungkin aku sekuat itu!”

Leonard memandangi mereka dengan wajah curiga.

“Maksud kalian apa?”

“Yah, kayak biasa aja sih.”

“Biasa?”

“Entah kenapa, kayaknya kamu punya alasan buat nutupin kekuatan aslimu, kan?”

“Udah sering aku bilang, itu nggak bener—”

“Nah, William. Gimana kalau hari ini kamu ikut kelas dan ikut kita basmi monster? Dengan kondisi timur yang makin kacau, kita pengin tahu sejauh mana kekuatanmu sekarang.”

“Jangan ngomong aneh-aneh. Jelas aja aku nolak.”

William pun berdiri, berniat kabur dari percakapan yang nggak nyaman itu. Tapi tiba-tiba Cecile meraih lengannya.

“Will… sebenarnya kamu masih inget soal janji itu, kan? Makanya kamu diam-diam jadi sekuat ini, kan?”

“Apa-apaan sih. Mana mungkin aku lakuin itu. Aku ini kan senjata paling lemah.”

“Kalau gitu… alasan kamu jadi kuat itu apa?”

“A-aku udah bilang aku lupa soal janji itu! L-lagian, kamu juga... kenapa sih masih aja keikat sama janji lama kayak gitu?”

Saat Cecile perlahan melepaskan tangannya dengan ekspresi kecewa, rasa bersalah pun menggerogoti hati William. Tapi dia pura-pura nggak sadar dan tetap pasang wajah cuek.

Setiap hari bolos kelas cuma buat latihan itu sebenarnya aneh juga, pikir William sambil berjalan ke ruang makan dengan wajah penuh keluhan.

Tapi ngomong apa pun sama orang-orang yang nggak bisa diajak pakai logika itu cuma buang-buang tenaga.

Sesampainya di ruang makan, William melihat para murid akademi lainnya yang pasti juga sudah sering bertempur melawan monster, tetap terlihat segar bugar seperti biasa. Ia mendadak merasa bahwa memang ada “kelas” yang berbeda di antara mereka.

Ada hal-hal di dunia ini yang memang nggak bisa diapa-apain.

Bagi seseorang yang dianggap tidak berbakat, ada batas yang sulit dilampaui.

Memang, William sudah berhasil membangkitkan kekuatan sihir. Tapi meskipun dia berusaha sekeras apapun dari sekarang, untuk menyamai Cecile saja rasanya mustahil. Apalagi mimpi menjadi yang terkuat di dunia—itu cuma angan-angan belaka.

“Aku sih bersyukur kalian yang jauh lebih kuat dari Aku masih peduli sama Aku… tapi siang hari tuh Aku ada urusan penting yang nggak bisa Aku tinggalin. Jadi, maaf ya, Aku nggak bisa ikut.”

Dengan kata-kata itu, William meninggalkan ruang makan, seolah kabur dari situasi.


Beberapa saat setelah sarapan, di timur laut Isteria.

Cecile bersama teman-teman sekelasnya sudah mendekati area yang cukup dekat untuk melihat hutan besar.

Meski ini adalah kelas praktik pembasmian monster, mereka tidak punya niat masuk ke dalam hutan besar yang belakangan ini makin berbahaya. Bahkan di bagian luar saja katanya sudah penuh dengan monster kuat, dan tidak sedikit yang tidak bisa dihadapi oleh murid akademi.

Tugas pengawasan area sekeliling diserahkan pada murid-murid lainnya, sementara Cecile mengarahkan perhatiannya pada arah hutan besar. Di sampingnya berdiri dua orang yang akhir-akhir ini cukup dekat dengannya—Leonard dan Zest.

“Jadi, kita ditolak lagi sama Will. Kira-kira dia bolos kelas buat ngapain, ya?”

Kenangan soal percakapan tadi pagi dengan William di ruang makan masih tersisa dalam kepala Cecile.

“Entahlah. Tapi yang jelas, dia nggak luka. Waktu lawan griffon, dia keluar tanpa satu goresan pun,” ujar Leonard.

“Kalau Aku sih jelas bakal keluyuran kalau bolos. Tapi Will nggak kelihatan kayak orang yang ngabisin waktu buat main doang. Aneh juga sih.”

Semua sama-sama bingung, lalu Cecile tiba-tiba membuka suara.

“Eh, kalian ngerasa nggak sih… akhir-akhir ini badan Will kelihatan jauh lebih fit?”

“Oh! Aku juga nyadar. Memang nggak kelihatan jelas dari balik bajunya, tapi kamu bisa ngeh juga ya, Cecile. Aku sih taunya waktu kemarin mandi bareng. Badannya bener-bener udah kayak atlet tempur. Itu bukan otot buat gaya-gayaan, tapi otot hasil latihan beneran.”

“Kamu tahu kira-kira sejak kapan dia mulai berubah begitu?”

“Hmm… nggak tahu pastinya, tapi kayaknya sih sejak ujian praktik waktu itu.”

Dapat informasi penting dari Zest, Cecile meletakkan jari di dagunya dan mulai berpikir dalam.

“Kamu kenapa, Cecile?” tanya Zest.

“Aku ngerasa Will belakangan ini berubah banget. Bukan cuma fisiknya, tapi juga sifat dan auranya. Waktu baru masuk akademi dan ketemu aku lagi, dia masih keliatan ragu-ragu. Tapi waktu lawan griffon kemarin, dia berdiri dengan sangat percaya diri.”

Sejak pertama Will masuk sebagai murid pindahan, Cecile sudah memperhatikan perubahan yang terjadi padanya. Dia sangat terpukau dengan berbagai teknik sihir tingkat tinggi yang Will perlihatkan saat ujian praktik, seolah Will sudah mencapai puncak sebagai seorang penyihir.

Dan sejak saat itu, Cecile terus memikirkan satu hal: Apa rahasia di balik kekuatan Will?

“Eh, aku mau nanya hal aneh nih. Gimana kalau ternyata Will beneran baru bangkitin kekuatan sihirnya pas hari ujian praktik itu? Gimana menurut kalian?”

“Maksudmu apa?” tanya Leonard.

“Jadi aku udah sempat cari tahu. Tapi ternyata nggak ada satu pun orang di akademi ini yang tahu kalau Will udah bangkitin sihirnya sejak dulu. Padahal buat bisa punya kemampuan setinggi itu, biasanya butuh latihan bertahun-tahun. Harusnya sih ada satu dua orang yang pernah lihat dia latihan, tapi kenyataannya nggak ada.”

“Tunggu sebentar. Maksudmu kamu percaya kalau Will baru bangkitin sihir pas ujian praktik? Aku sih nggak ada di sana, tapi kalau ada orang yang langsung bisa pakai sihir tingkat tinggi padahal baru bangkit, itu sih omong kosong,” kata Leonard, langsung memotong.

Zest, di sisi lain, terlihat merenung dalam.

“A-aku juga pernah mikir soal kekuatannya Will. Aku lihat langsung waktu ujian praktik, gerakannya... itu gerakan orang yang udah latihan keras banget. Jadi aku mikir, ‘Nggak mungkin ini orang baru bangkit hari ini’.”

Zest mengatakannya sambil terlihat agak ragu.

“Waktu itu aku pakai sihir buat cek... dan ternyata dia nggak bohong. Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi sebagai orang yang hidup bareng dia di akademi, aku merasa... Will memang berubah total sejak hari itu. Seolah-olah sebelumnya dia bukan siapa-siapa, terus tiba-tiba jadi orang yang beda.”

“Apa yang mau kamu katakan sebenarnya?”

Leonard masih belum bisa menangkap maksud mereka, sampai akhirnya Cecile bertanya langsung.

“Aku tahu ini terdengar gila. Tapi kamu percaya nggak ada orang yang baru bangkitin sihir langsung bisa bertarung seperti penyihir hebat?”

“Jelas aja nggak. Kamu mau bilang aku salah?”

Semua terdiam. Nggak ada yang berani membantah argumen Leonard, karena secara logika dia memang benar.

Tapi Cecile, yang sudah lama memperhatikan Will sejak dia masuk, yakin ada jawaban lain yang belum terungkap.

“Sejauh yang aku tahu, Will bukan orang yang suka bohong tanpa alasan. Dan kalau sampai dikeluarkan dari keluarganya dan dicap ‘nggak berguna’ di seluruh negeri, nggak masuk akal kalau dia masih sengaja nyembunyiin kekuatannya.”

“Kalau begitu, maksudmu kekuatannya itu… apa?”

Leonard menatapnya tajam. Cecile pun mengerutkan kening, tampak benar-benar bingung, dan belum punya jawaban pasti.

“Aku juga nggak tahu. Tapi aku yakin Will menyembunyikan sesuatu. Dia memang berusaha nutupin, tapi... entah kenapa terasa janggal. Mungkin karena itu juga pembicaraan kita soal waspada terhadap stampede jadi selalu nggak nyambung. Nggak bisa kujelasin dengan pasti... tapi aku rasa ada satu bagian dari dirinya yang belum lengkap.”

Saat itu, mata Cecile sempat menangkap sosok William berlari di antara celah-celah pepohonan di pinggiran hutan besar.

“Eh!?”

“Kenapa kamu tiba-tiba teriak?”

“W-Will! Aku lihat dia barusan! Sepertinya dia masuk ke dalam hutan besar!”

“Serius!? Kamu yakin?”

“Apa-apaan sih dia, mikir apa sih dia masuk ke sana!?”

Begitu dua temannya mulai panik, Cecile langsung melepaskan ransel dari punggung dan menyerahkannya ke Zest agar bisa bergerak lebih cepat.

“Mau ngapain?” tanya Zest.

“Aku mau nyusul Will dan cari tahu apa yang sebenarnya dia lakukan. Tolong bilang ke guru kalau aku nggak ikut kelas hari ini.”

Zest buru-buru menahan.

“Tunggu, maksudmu gimana!?”

“Kurasa kuncinya ada di waktu dia bolos kelas. Rahasia kekuatannya pasti ada di situ.”

Kalau cuma menebak nggak akan ketemu jawaban—itu kesimpulan Cecile. Tapi mendengarnya, Zest tampak nggak yakin.

“Tapi itu kan...”

“Aku tahu ini bisa dibilang nggak sopan. Aku juga ngerti kalau seorang penyihir punya hak buat merahasiakan kemampuannya. Tapi kalau situasi di timur makin parah, kita butuh kekuatan Will. Makanya kita harus tahu sekarang sebelum semuanya terlambat.”

Di wilayah timur, sudah ditemukan beberapa monster ‘spesial’—makhluk yang jauh lebih kuat dari monster biasa. Bahkan pasukan kerajaan dan akademi kesulitan menghadapinya. Hanya penyihir peringkat tinggi seperti Cecile yang bisa dikerahkan ke lapangan.

Dan Cecile sendiri merasakan—makhluk-makhluk itu terus berkembang makin cepat dan makin kuat. Kalau pertumbuhan mereka sesuai perkiraannya, bukan nggak mungkin bencana besar akan terjadi dalam waktu dekat dan dia sendiri tak akan mampu mengatasinya.

“Kalau kita nggak tahu kekuatan Will yang sebenarnya, bisa-bisa kita kehilangan satu-satunya harapan.”


Timur Laut Isteria, di pinggiran hutan besar.

“Ngomong-ngomong, kemarin kamu sempat bilang pengin ngehindarin ketemu murid akademi. Emang ada masalah?” tanya William.

"Cih, jadi kamu denger juga ya. Tapi itu urusan kami, nggak ada hubungannya sama kamu! Lebih penting, kenapa ekspresimu lemes banget hari ini!?"

Dengan wajah kosong kayak orang habis kehabisan jiwa, William menguap panjang.

“Gimana dong, tiap hari Aku dipaksa latihan sambil dipaksa nyawa melayang terus. Mana bisa semangat terus. Yang namanya perkembangan dan semangat tuh kayak timbangan—kalau satu naik, yang satu turun. Memang sih jumlah sihir Aku nambah gara-gara nyerap magic stone, tapi semangat Aku juga jeblok.”

Dan tanpa merasa bersalah, dia menguap lagi.

"Apa-apaan itu!? Semangat tuh tinggal dikuatin aja pakai tekad!"

“Tekad aja nggak cukup, kali. Pemikiran kayak gitu tuh udah jadul. Gimana kalau hari ini Aku tutup latihan lebih awal dan tidur aja? Santai dikit kenapa.”

Dengan santainya, William rebahan telentang di tanah dan nggak bergerak lagi, kayak saklarnya dimatiin.

"Masih belum siang juga! Jangan bicara hal! Bangun cepat, dasar anak nakal, ntar Aku hajar "

"T-Tenang dulu, Iris-sama! William-san memang begini orangnya! Ini kayak... semacam penyakit!"

"Ughh〜〜〜〜〜!? T-Tapi kalau dibiarkan begini terus──"

"A-Ada kok solusinya! Sofia-sama dan Mio-sama juga pernah ngadepin hal kayak gini dan berhasil ngatasinya. J-Jadi ada cara menghadapinya!"

"Benarkah? Cepat katakan! Gimana caranya!?"

"U-Um... e-errr... j-jadi..."

Rain terlihat gelisah dan gugup saat dia mendekat ke Iris dan berbisik.

"A-Apa!? B-Benarkah itu!?"

Rain mengangguk pelan. Wajahnya jadi merah padam. Lalu... entah kenapa, Iris langsung mewujud dalam bentuk fisik, mendekati William, lalu... pelan-pelan merogoh ke punggungnya dan… memperlihatkan bra yang baru saja dia lepas.

“L-Lihat nih! I-Ini yang kamu mau kan!? D-Dasar mesum!”

“APAAN COBA!?!? Kenapa ujung-ujungnya begini!?!? Aku nggak butuh begituan!!”

“N-Ngapain sih!? P-Padahal ini hadiah spesial loh!?”

Ini orang beneran mau ngehancurin harga diri Aku!?

Terpukul batin, William langsung berdiri dan mulai latihan hari itu dengan penuh semangat.

“Hoi, jangan cuma nonton! Kalau lo emang mentor, kasih tahu Aku teknik atau latihan yang beneran berguna dong!”

Setelah menembus tenggorokan burung raksasa hitam yang sedang mengamuk di tanah—Garda, William mengalihkan wajahnya ke Iris yang sedang mengawasi dari samping setelah memberi kutukan sihir padanya.

Sudah hari keenam sejak dimulainya Shura, dan tampaknya kekuatannya sudah cukup berkembang. Berkat kekuatan ilahi, dia menjadi semakin brutal dan kuat dari hari ke hari. Bahkan serangan dari makhluk-makhluk luar biasa yang menjadi ancaman karena menjadi sangat agresif tidak lagi menjadi masalah baginya.

"Memang tampaknya kekuatanmu sudah cukup meningkat. Kebetulan aku juga ingin mengajarkanmu cara menggunakan kekuatan itu."

Saat itu, seekor Cyclops yang tertarik oleh aroma muncul dan mencoba mendekati.

“Fuh, pas banget nih!”

Iris yang kembali mengkondisikan wujudnya menjadi nyata kali ini mengambil pedang hitam dari udara kosong.

“Anak kecil, kau sudah melewati Shura dan kekuatan sihirmu membesar. Tapi karena tidak tahu cara memanfaatkan kekuatan itu, aku akan mengajarkanmu teknik dari pedang sihirku.”

“Pedang sihir? Maksudmu teknik pedang sihir?”

“Hmm, kau memang nggak tahu apa-apa, ya. Di antara teknik pedang sihir, ada satu teknik yang mematikan sekaligus membuat lawan tak sempat melihat serangannya—yang disebut sebagai pedang sihir yang nggak masuk akal.”

“Jadi, ini semacam serangan yang sangat bahaya, ya?”

“Kurang lebih begitu. Pokoknya, aku cuma akan memperlihatkan satu kali saja, jadi perhatikan baik-baik.”

“Kalau kelihatannya berguna, mungkin aku akan ingat.”

William yang mengangguk lalu mengalihkan pandangannya.

Mungkin teknik pedang sihir yang dimiliki Iris ini sangat kuat, tapi William, yang pernah menyaksikan kekuatan luar biasa dari roh pahlawan dari seribu tahun lalu seperti Sofia dan Mio, merasa yakin bahwa dia tidak akan mudah terkejut oleh apa pun.

Iris yang menatap Cyclops itu kembali mengarahkan pedangnya, dan mulai membalutnya dengan aura hitam yang samar-samar seperti gelap yang menyelimuti seluruh ruang. Sesuatu yang benar-benar gelap dan mengerikan, seolah-olah mampu merobek ruang itu sendiri. Kekuatannya sama seperti saat dia menghancurkan Blizzard-Blossom dalam ujian praktik sebelumnya.

“A-apa kekuatan itu?!”

Sekarang aku mengerti mengapa Cecile begitu takut saat itu. Betapa dahsyanya kekuatan itu—dan aku pun bisa merasakannya sekarang.

“Setelah mengumpulkan kekuatan sihirmu sebanyak mungkin dan mengompresnya ke dalam kutukan yang aku berikan, lalu menyatukan semuanya ke pedang ini. Inilah pedang sihir Judgement—Pedang Penghakiman.”

Cyclops yang menyadari ada yang aneh segera mencoba menjauh, tapi sudah terlambat. Iris tanpa bergerak, mengayunkan pedang hitamnya secara acak. Biasanya, jarak itu terlalu jauh untuk serangan semacam itu menyentuh.

Tapi William yakin bahwa serangan itu akan sampai.

Anehnya, dia yakin akan hal itu.

Tak lama kemudian, arus cahaya hitam yang menyilaukan menyambar cepat, dan Cyclops itu seolah-olah tubuhnya terguncang dan terbagi, lalu hancur di tempat.

Kalau harus menggambarkan serangan mematikan ini, itu benar-benar kekerasan dan kezaliman. Aku memang tahu bahwa roh pahlawan dari seribu tahun lalu luar biasa, tapi serangan ini melampaui semua yang kubayangkan.

"Kalau aku sedikit berlemah lembut saja, kekuatan ini bisa menghancurkan seluruh area. Kalau aku gunakan sepenuhnya, bisa-bisa seluruh tempat ini hancur berkeping-keping. Nah, aku ingin kau mengingat ini."

“Y-yi, aku yang melakukan ini?!”

William yang saat itu membuka kembali wujudnya, tampil dengan ekspresi sulit dipahami.

“Ini sih sudah terlambat, tapi... apa aku boleh belajar pedang sihir yang kayak gini dari aku?”

"Ada masalah apa?"

“Kalau dipikir-pikir, aku nggak yakin aku boleh menguasai pedang sihir yang bisa menghancurkan segalanya ini. Kekuatannya terlalu berbahaya untukku.”

"Hmm, jadi kau takut kekuatan yang terlalu besar akan menghancurkan dirimu, ya? Tapi itu salah. Jangan anggap remeh kemampuan seorang penyihir—kita nggak sama dengan manusia biasa. Jika mau, kita bisa dengan gampang menghancurkan satu kota, atau bertarung tanpa tidur selama tiga hari tiga malam. Seorang penyihir bisa berevolusi menjadi makhluk yang jauh lebih kuat dari manusia biasa. Jadi, tetap berpikir seperti manusia biasa itu malah berbahaya."

“Hmm, jadi ada juga penyihir yang bisa menjadi begitu kuat?”

"Kau tampaknya menganggap ini urusan orang lain. Memang benar, karena kau selama ini selalu diremehkan sebagai senjata terlemah, jadi aku paham kalau kau merasa kurang percaya diri. Tapi, kalau kau nggak bisa membayangkan dirimu yang sudah menjadi kuat, itu bukti bahwa kau masih belum dewasa."

“Walaupun aku mengerti kalau aku sedang dimarahi, aku juga tahu sendiri kalau aku masih belum cukup kuat.”

"Hmm, begitu ya."

Entah kenapa, Iris tampak sedikit kesal dan wajahnya berubah sedikit tak puas.

"Yah, pokoknya, fokuslah dulu belajar pedang sihir. Tanggung jawab dan kewajiban dari kekuatan besar yang kau dapatkan nanti bisa dipikirkan setelahnya."

“Ya, nggak mau pusing mikirin hal rumit-rumit begitu. Lebih baik aku langsung coba aja.”

Segera saja, dari belakang William terdengar suara Iris yang memberi arahan.

"Yang penting, kumpulkan kekuatan dari kutukan yang aku berikan dan kendalikanlah. Jangan sampai kekuatan yang mengamuk itu menguasai dirimu."

“Baik, baik. Aku akan hati-hati.”

Setelah mendapatkan nasihat itu, William menutup matanya dan memusatkan perhatian.

Ingat kembali—rasakan lagi sensasi itu!

Tangkap bayangan si dia!

Kalau ini bisa muncul di tubuhku, pasti aku juga bisa, meskipun aku nggak berbakat sekalipun!

Setelah membuka mata dan menyalakan kembali kekuatannya, William terus berusaha menguji dan mengasah kemampuan pedang sihirnya melalui latihan langsung di medan tempur.

Begini kira-kira.

Meskipun aku sudah mengumpulkan kekuatan dari kutukan dan menyelimuti pedang dengan aura hitam itu, aku belum bisa benar-benar menyatu padanya.

Tidak, aku harus melatih lagi dan lagi.

Kini, aura hitam itu mulai menyelimuti pedang sihirnya.

Aku coba memotong monster dengan pedang yang berisi aura hitam ini. Tapi, serangannya sama saja dengan serangan biasa. Gagal lagi.

Tidak, aura Iris seharusnya lebih tajam dari ini. Lebih kejam.

Aku terus mencoba, gagal, merenung, lalu mencoba lagi.

Setelah melalui dua latihan keras itu, William, yang sudah terbiasa dengan prosesnya, tetap fokus dan tenggelam dalam usaha tersebut.

Kalau begitu, mungkin ini caranya. Tapi... tidak, ini juga salah. Ini caranya. Tapi... tidak juga. Kalau begitu, bagaimana kalau seperti ini? Lebih baik dari sebelumnya. Tapi, aura-nya kurang. Kalau mau menyeluruh ke seluruh pedang, harus diisi lagi. Ah, terlalu banyak. Kalau terlalu banyak, kendalinya jadi sulit. Baik, kali ini timing-nya pas. Tapi, kecepatan aura-nya lambat. Kalau begitu, nggak akan berhasil dalam pertarungan nyata. Harus lebih cepat, lebih tajam. Lebih, lebih, lebih—!

Karena kekuatan sihirnya sudah meluap, William terus menguji pedang sihir itu sebanyak mungkin selama fisiknya mampu. Tak terasa, napasnya tersengal dan tubuhnya penuh keringat, sementara matahari yang tinggi bersinar dari celah-celah pohon di atas.

Tak lama kemudian, William merasa yakin bahwa semuanya sudah sempurna.

Dalam sekejap, pedang Judgement yang mulai terbentuk itu menghancurkan Minotaur seperti permen gulung, tercipta dan pecah berkeping-keping.

"Masih siang, tapi sudah selesai saja?"

Ketika Iris yang mengawasi tampak terkesan penuh hormat, William menyadari ada seseorang di samping Minotaur yang jatuh itu.

“Dia itu siapa?”

“A-Apa yang baru saja terjadi?!”

Ketika Minotaur yang miring dan jatuh itu akhirnya roboh, di sampingnya berdiri seorang gadis yang tampak ketakutan dan merunduk ketakutan. Suara yang familiar membuat William segera bergegas mendekat.

“Apakah itu Cecile? Kenapa dia ada di sini?”

“Aku melihatmu yang seharusnya sedang cuti dari pelajaran masuk ke Hutan besar, jadi aku penasaran dan ikut mengejarmu. Tapi di tengah jalan aku kehilangan jejak, dan tersesat di dalam Hutan besar. Lalu aku bertemu Minotaur ini, dan saat aku mencoba menghindar dari serangannya, aku menemukanmu di sini.”

“Hmm, jadi begitu. Pasti susah juga mencari aku di dalam hutan. Tempat ini banyak monster, jadi pasti sulit juga buatmu.”

William membantu Cecile yang jatuh dan membantunya bangkit dengan lembut. Cecile, sambil menyeka debu-debu, memandang sekumpulan bangkai monster yang berserakan di tempat berburu hari ini, matanya membelalak terkejut.

“Eh, William, kamu yang melakukan ini?”

“Ya, aku yang melakukannya. Begitu.”

“B-benar-benar kamu yang melakukan ini?! Kalau bohong, ini bisa jadi masalah besar, tahu?”

“Aku bilang memang begitu. Ngapain aku harus bohong soal hal sekecil ini?”

“B-benar-benar yang melakukannya?!”

“Bukankah nggak perlu sampai begitu curiga? Walaupun aku paling lemah, aku tetap bisa mengalahkan monster sebesar ini.”

“Begitu ‘sekitar’nya… Kamu nggak sadar sama sekali apa yang sudah kamu lakukan?”

Mereka terus meminta konfirmasi, tapi William sendiri tidak mengerti mengapa dia disangka begitu.

Aduh, harus jawab apa lagi, ya?

Tiba-tiba, matanya tertumbuk pada cincin keunggulan yang dipakainya di jari tangan kanan. Sejak mendapatkan cincin itu, hal ini selalu terjadi, pikir William dengan rasa tidak suka.

‘William-san, tolong dengarkan cerita Cecile dengan serius,’

(Apa?! Kamu malah menyuruhku ikut-ikutan salah paham ini?)

‘Kalau tidak salah paham, apa yang akan kamu lakukan?’

(Tidak mungkin, kan?)

Melihat Rain dengan rasa heran, dia tampak sangat serius, seolah-olah akan pergi ke medan perang.

(Apa yang terjadi, kenapa wajahmu begitu menakutkan?)

Tanya William, tapi tidak ada jawaban dari Rain. Mengira dia diabaikan, William kembali memandang Cecile, dan saat itu dia mengalami kejadian yang tak terduga.

Cecile yang tampak serius dan penuh tekanan menatapnya dengan ekspresi yang sama tajamnya seperti Rain.

“Kalau aku harus bilang, kamu pasti salah satu penyihir terbaik di sekolah ini, bahkan di seluruh negeri ini.”

“Omong kosong! Nggak mungkin aku yang bilang begitu!”

“Itu bukan omong kosong atau pujian semata. Menurut pengamatanku, kamu sudah memiliki kekuatan di atas penyihir istana.”

“Yah, yah, jangan usil dulu.”

“Jangan pura-pura bodoh! Kenapa kamu berusaha menyembunyikan kekuatan asli seperti itu?”

“Aku bilang aku nggak menyembunyikan apa-apa, kan? Kamu juga nggak usah sok tahu. Kalau aku salah paham dan mengira aku kuat, lalu melawan monster yang sangat kuat, apa yang akan kamu lakukan?”

“Monster yang sangat kuat...? ”

Cecile menunggu sebentar, ragu-ragu, lalu bibirnya bergetar sedikit.

“Apakah kamu benar-benar nggak sadar bahwa kamu sebenarnya sudah menjadi orang yang kuat?”

Tak lama kemudian, angin aneh berhembus menyusup ke dalam hutan yang sebelumnya tenang, membuat pohon-pohon bergoyang seakan-akan suaranya diikuti oleh suara angin yang tak dikenal. Namun, William tidak bisa memastikan apakah itu benar-benar angin yang aneh. Karena dirinya sendiri sedang diselimuti oleh perasaan gelisah yang sangat kuat.

Entah kenapa, dia merasa ada kesalahan fatal yang besar yang sedang dia lakukan, dan itu membuatnya merasa sangat cemas. Tapi, karena kejadian mendadak ini begitu membingungkan, dia sama sekali tidak tahu harus menjawab apa.

Saat William terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa, suara Iris yang mendekat secara diam-diam terdengar.

‘Ada hal penting yang harus aku bicarakan. William, maaf, aku butuh waktu sebentar.’

(Hei, dia memanggil namaku…—)

Rasa tidak nyaman mulai menyelimuti William, tapi dia berhenti berbicara dan membalikkan badan. Saat dia menoleh, dia merasa seolah-olah Iris di depannya tampak seperti orang lain sebentar.

Suasana serius dan berat yang dipancarkan Iris sangat kuat, bahkan bagi William yang memiliki pengalaman hidup yang sangat terbatas, dia bisa merasakannya dengan jelas.

“Maaf, ada urusan mendadak. Sampai di sini saja. Hati-hati saat pulang.”

“Eh, tunggu sebentar! Aku belum selesai bicara, lho! Tunggu dulu!”


“Kenapa kamu tiba-tiba memanggil aku dengan namaku? Apa yang lagi kamu lakukan?”

Ketika mereka berhadapan langsung, William yang lebih dulu membuka suara.

‘Karena kamu bukan anak kecil lagi, aku memanggilmu dengan nama.’

William menyadari bahwa Iris tampak sangat serius dan penuh beban, tetapi dia tidak menyadari bahwa suasana itu berasal dari rasa tekad yang sangat kuat.

Karena dia selalu menghindar dari hal-hal yang tidak menyenangkan, dia belum pernah memutuskan untuk berkomitmen dan menghadapi sesuatu secara serius. Jadi, William sama sekali tidak memahami betapa pentingnya apa yang akan dikatakan berikutnya.

‘Jujur saja, kami semua sebenarnya telah menipumu dan membohongi kamu.’

“Apa? Menipu?”

“Ah, kamu mungkin berpikir bahwa kamu terikat oleh sumpah sehingga menjadi murid kami, tapi sebenarnya kami tidak pernah menggunakan sihir sumpah apa pun. Itu bohong. Jika kamu mau, kamu bisa meninggalkan kami dan menjadi orang biasa seperti dulu.”

“Apa?! Kenapa kamu nggak bilang hal penting seperti itu sejak awal?!”

‘Kalau aku jujur, aku takut karakter kamu yang sulit ini akan membuatmu berhenti menjadi lebih kuat di tengah jalan. Kamu tampaknya tidak ingin berjuang keras untuk menjadi kuat.’

“Ya, wajar saja. Tidak mungkin aku, sebagai senjata terlemah, berharap terlalu tinggi.”

‘Berkhayal tinggi?’

“Apa aku bilang sesuatu yang aneh? Aku tahu baik-baik kemampuan dan batasanku. Aku cukup paham apa yang bisa dan apa yang nggak bisa aku lakukan.”

Iris yang melepas pandangannya dari William, tiba-tiba menengadah ke langit.

‘Kamu sudah menjadi salah satu dari yang terkuat di negeri ini. Kamu bisa membalas semua orang yang dulu mencibirmu sebagai senjata terlemah.’

“A-apa?!”

William langsung terkejut dan meninggikan suaranya.

“Kamu tadi ngomong sesuatu yang nggak masuk akal lagi. Jangan-jangan kamu berbohong lagi buat menipu aku!”

‘Ini adalah pembicaraan yang serius. Demi harga diriku, aku tidak akan berbohong di sini.’

“Kalau begitu…”

Apakah aku benar-benar kuat?

Kalimat mendadak dari Iris membuat William merasa bingung sekaligus mulai memahami beberapa hal—mengapa Zest dan Leonart, entah kenapa, tertarik padanya, dan juga Cecile, yang sejak dulu adalah sahabat sekaligus jenius penyihir yang selalu memperhatikannya.

Apakah semua yang mereka katakan selama ini memang benar?

‘Ngomong-ngomong, apakah kamu benar-benar tidak ingin menjadi kuat?’

“Eh, apa?! Kamu mau bilang aku melihatnya seperti itu?”

‘Dari apa yang aku lihat, sepertinya kamu tidak mencari kekuatan. Tapi, aku juga tidak melihat bahwa kamu benar-benar ingin mengatakannya secara jujur. Aku hanya tahu sebagian kecil, tapi aku rasa alasan kamu tetap bersekolah di akademi meskipun selalu dianggap tidak berguna adalah karena kamu tidak bisa melepaskan keinginan untuk menjadi lebih kuat.’

Kata-kata itu membuat William tidak bisa membantah.

Memang benar, dia melanjutkan sekolah di sana karena setengah malas dan setengah terpaksa. Tapi, dia juga tidak bisa menyangkal bahwa ada keinginan dalam dirinya—sesekali, bahkan sangat jarang, dia berharap memiliki kekuatan.

Dengan kata lain, William bergantung pada kemungkinan adanya keajaiban yang bisa terjadi di panggung akademi penyihir tertinggi di negara ini. Kemungkinan itu sangat kecil, bahkan mungkin nol, tapi pada akhirnya—keajaiban itu benar-benar terjadi.

Itulah sebabnya William sekarang berada di sini.

‘Kalau begitu, bagaimana denganmu sekarang? Kamu sudah tidak lagi menjadi senjata terlemah. Di akademi, kamu sudah berteman dan ada orang yang peduli padamu. Apa arti mereka bagimu?’

“Aku nggak tahu. Aku belum pernah memikirkannya,” jawab William.

‘Mari aku ubah pertanyaannya. Apakah orang-orang itu, bagimu, adalah hal yang tidak penting?’

“Apa?! Kenapa kamu terus bertanya hal yang nggak masuk akal?”

William benar-benar bingung bagaimana harus menjawab. Selama ini, seluruh negeri menganggapnya sebagai senjata terlemah. Di satu sisi, dia menganggap Cecile dan yang lain sebagai teman, tapi di sisi lain, ada pemikiran bahwa tanpa kekuatan, mereka mungkin tidak akan memperhatikan dia. Dan yang paling membingungkan, dia tidak mengerti apa maksud dari pertanyaan Iris.

Namun, semua itu langsung hilang saat kata-kata berikutnya dari Iris keluar.

‘Kalau kamu masih punya sedikit rasa, aku ingin kamu membantu melawan para Penjelas. Kalau kamu tidak bangkit, wilayah timur ini—bahkan dunia ini—akan musnah.’

(Note: penjelas itu sama seperti rasul tadi yang ingin menghancurkan dunia, pengirim monster sebelumnya dan merencanakan stampde kali ini)

“Serius?! Kamu menanyakan semua ini hanya karena aku?!”

Amarah dan rasa malu membakar William, dan dia berteriak dengan penuh emosi.

Dia tidak bisa menerima bahwa motivasi utama Iris untuk melawan para Penjelas hanyalah sebagai alasan agar dia bangkit. Dia tidak mau mempercayai kata-kata itu.

Iris dewasa, dan William masih anak-anak. Mereka memiliki pemahaman bahwa kekhawatiran dan keraguan kecil William tidak sebanding dengan kedamaian dunia. Tapi, William sendiri tidak sadar akan hal itu.

“Jangan bercanda, ngomong seenaknya sendiri! Setelah kalian menipu aku demi kepentingan kalian sendiri, kenapa aku harus ikut berjuang?! Kenapa aku harus peduli pada orang-orang di negeri ini?!”

Tak seorang pun di seluruh negeri yang dihina sebagai senjata terlemah bisa merasa tenang. Tapi William tetap bertahan. Karena dia dilahirkan tanpa kekuatan sihir, dia terus terluka. Awalnya, dia berusaha keras, tapi hasilnya tidak pernah sesuai harapan.

Akhirnya, banyak orang mulai mengejek dan mencemoohnya. Bahkan, seluruh negeri—bahkan keluarganya sendiri yang seharusnya menjadi pendukungnya—menertawakannya. Tidak ada orang yang bisa bertahan dari ejekan dan penghinaan tersebut. Ketika merasa tidak mampu lagi, dia menutup diri dan berhenti berjuang.

Dengan bersikap malas dan tidak melakukan apa-apa, dia bisa menerima kenyataan bahwa dia dihina.

Dengan menerima dirinya yang jatuh dan penuh kekalahan, dia merasa bisa membenarkan untuk tidak berusaha lagi.

Akhirnya, untuk melarikan diri dari neraka hidup yang selalu direndahkan dan dihina, dia terpaksa menerima jalan itu.

“Aku nggak peduli sama orang-orang yang selama ini meremehkan aku, pasti mereka nggak berarti apa-apa buatku!!”

Meskipun dia mengatakannya dengan jujur, hati William terasa sakit. Dia sendiri tidak mengerti alasannya.

“William?!”

‘Tak apa, biarkan saja dia berkata apa yang dia mau.’

‘Tapi…?!’

‘Awalnya, kami yang memintamu untuk melakukan hal yang sulit itu. Kalau kamu merasa marah dan kecewa, itu wajar.’

‘Kami tahu itu, tapi aku nggak peduli sama mereka.’

‘Apakah kamu benar-benar puas dengan keputusanmu ini?’

William tahu bahwa dengan keputusannya ini, orang-orang di sekitarnya akan berada dalam bahaya. Dia juga sadar bahwa dia hanya melepaskan semua kemarahan yang selama ini terpendam.

Namun, perasaan bahwa dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan Iris lebih kuat daripada segalanya.

“A-ya, aku puas,” jawab William ragu-ragu.


Setelah kembali ke tempat penginapan, William mengemasi barang-barangnya secara sembarangan ke dalam tas ransel dan berusaha meninggalkan lokasi upacara kebangkitan para Penjelas di wilayah timur.

Saat keluar dari bangunan, dia bertemu dengan Cecile dan yang lain yang baru saja selesai dari aktivitas hari itu.

“Hey, mau ke mana kamu bawa barang segitu besar?!”

Zest yang pertama kali menyapanya, menegur.

“Aku akan kembali ke ibu kota karena wilayah timur berbahaya,” jawab William singkat.

“Apa?! Kenapa tiba-tiba begitu?!”

Zest menyambut dengan wajah penuh curiga, tetapi William mengabaikannya dan mencoba lewat. Namun, Leonart menyekat jalan.

“Situasi di wilayah timur tidak stabil. Kamu, sebagai penyihir hebat, nggak boleh pergi keluar dari sini. Kalau kamu nggak di sini, siapa yang akan melindungi rakyat di sana?”

“Aku nggak peduli sama orang-orang yang nggak penting itu,” balas William dingin.

“Tidak boleh meninggalkan rakyat yang tak bersalah! Di mana harga diri penyihirmu?!”

“Percuma, aku nggak punya itu. Kalian kan selalu merendahkanku sebagai senjata terlemah!”

Semakin dia mengatakannya, semakin nyeri di dadanya, tapi William nggak bisa menahan untuk mengeluarkan kata-kata itu.

“Apa yang aku pikirkan soal mereka yang tiba-tiba berubah sikap begitu aku menunjukkan bahwa aku berguna, aku nggak peduli!”

“Apakah kamu kira kami melakukan ini karena alasan itu?” tanya Leonard dengan tegas.

“Bukan begitu. Aku nggak akan bilang aku nggak tahu bagaimana kalian dulu memperlakukan aku, apalagi di rumahku sendiri. Aku tahu, aku selalu dihina karena aku nggak punya kekuatan sihir, nggak dihargai, dan selalu dianiaya. Kami yang menciptakan situasi seperti ini, lalu sekarang kalian datang dan minta aku untuk menyelamatkan semuanya?”

“Tapi William, dia sudah punya kekuatan sekarang. Jadi, kita harus meminta dia membantu,” sela Cecile.

“Kalau begitu, aku mau tanya: apa kalian berhak meminta aku melakukan itu?” balas William.

Leonard tampak bingung dan berusaha membujuk lagi, tetapi Cecile menggeleng kecil.

“Aku nggak tahu bagaimana kalian memperlakukan William di akademi, tapi aku tahu dari masa lalu—di rumah, bagaimana dia diperlakukan. Betapa dia berusaha keras, tapi karena dia nggak punya kekuatan sihir, dia selalu diremehkan dan disiksa. Kami yang menciptakan situasi itu, lalu sekarang, apa yang kalian harapkan aku lakukan?”

“William sudah punya kekuatan sekarang. Jadi, kita harus memintanya,” kata Leonard dengan nada putus asa.

“Tapi kami nggak punya hak untuk memintanya. Selama ini, kami menilainya rendah dan menghina, lalu tiba-tiba dia jadi kuat. Sekarang, kalian mau dia berjuang demi kalian? Hanya orang yang selama ini merendahkannya dan percaya padanya sebagai penyihir sejati yang berhak memintanya,” jawab Cecile tegas.

William sendiri tidak pernah merasa diremehkan oleh Cecile. Tapi, itu tidak berarti bahwa dia pernah dianggap sejajar dengannya.

“William, aku ingin tanya sesuatu,” kata Cecile.

“Apa?”

“Sejak kalah dari kamu, aku berusaha jadi lebih kuat dari kamu. Jadi, apa yang kamu lakukan untuk meraih kekuatan sebesar ini?”

Alasan mengapa pertanyaan itu diajukan William sendiri tak mengerti.

“Kalau begitu, benar ya. Akhirnya aku mengerti sekarang. Kamu hanya anak kecil yang cuma kuat saja,”

William merasa bahwa Cecile telah memahami semuanya.

“Di hari itu, aku dikalahkan dengan kekuatan yang luar biasa, dan aku terpesona oleh kekuatanmu. Tapi, ada yang membuatku heran. Aku merasa kekuatanmu itu tidak mengandung semangat atau rasa bangga. Seharusnya, selama latihan dan usaha untuk mendapatkan kekuatan, pikiran dan jiwamu juga harus diperkuat. Tapi, aku tidak merasakannya darimu. Seperti seolah-olah kekuatan dan semangatmu berasal dari sumber yang tiba-tiba muncul, tidak seimbang dan aneh,”

Dengan poin yang sangat tepat sasaran, William tidak punya kata-kata balasan. Mungkin Cecile di luar sana, yang terus-menerus berhadapan langsung dengan sihir, mampu melihat inti dari semuanya.

“Sekarang, aku rasa apa yang aku katakan tentang kebanggaan seorang penyihir tidak akan berarti apa-apa lagi buatmu. Kalau tempat ini bukan tempat yang penting buatmu, lebih baik kamu pergi saja.”

Eh!?

William yang awalnya mengira dirinya akan dihina, terkejut dan melebar matanya.

“Eh, William—”

‘Orang yang tidak berkeinginan untuk berjuang tidak akan mampu melewati kesulitan yang menantinya di depan,’

Seketika, mata William yang terkejut itu tampak memandang jauh ke depan, dan dia merasa bangga melihat Cecile—yang selalu berpikir keras dan bertindak dengan sungguh-sungguh—sangat tinggi dan penuh harga diri.

Dia merasa bangga dengan cara hidup dan keberanian yang telah dia bangun selama ini, keberanian dan keteguhan hati—bukan kekuatan fisik, tapi kekuatan hati yang belum pernah dicapai walaupun sudah menjalani latihan dan pelatihan keras.

“Ingatlah satu hal ini. Kamu mungkin tidak tahu bagaimana kamu mendapatkan kekuatan itu, tapi orang yang punya kekuatan besar pasti memiliki takdirnya sendiri. Tanpa bergantung pada kehendak atau keinginan mereka, akan datang saat di mana mereka harus bertarung. Kalau kamu ingin tetap hidup sebagai penyihir, kamu harus siap menghadapi itu. Jadi, sebelum saat itu tiba, aku berharap kamu bisa bangga dengan dirimu sendiri,”

Saat Cecile tersenyum lembut dan tampak rapuh dalam situasi saat ini, William merasa bahwa gambaran dirinya saat berjanji dulu kembali muncul di pikiran. Dia merasa seolah-olah dia tidak boleh berpisah dari Cecile di sini, dan tanpa sadar dia mencoba mengulurkan tangannya.

Tepat saat itu, suara gong keras terdengar dari tembok kota, menandakan adanya bahaya besar.

“Apa?!”

Saat Cecile mengucapkan kekagetan, suara gong itu bergema ke seluruh kota. Setiap tempat di kota itu menghidupkan kembali alarm yang telah dipasang untuk memberi tahu bahaya.

“Ini…! Apakah itu serangan besar lagi?!”

Leonard yang berkeringat di dahi, menunjukkan wajah cemas dan tegang. Zest juga tampak sama, dan Cecile yang selalu serius, menunjukkan wajah paling serius dan mengkhawatirkan.

“Segera lari dari sini. Segera, tempat ini akan menjadi medan perang,”

Dengan mengikuti prosedur darurat, Cecile dan yang lain bergegas menuju alun-alun pusat, sementara William hanya diam menyaksikan mereka pergi.

Dia sama sekali tidak punya niat untuk mengorbankan dirinya dalam pertempuran itu.



إرسال تعليق

الانضمام إلى المحادثة