Proofreader: Lucretia
Bab 1 : Keluargaku Adalah Keluarga “Racun”
"Hee-hin!"
"Buruheehee!"
"... Hanya mimpi."
Suara kuda meringkik di dekat telinganya. Suara rendah itu menyentuh telinganya, membuat Rest terbangun dari dunia mimpi ke kenyataan.
Rest sedang tidur di sebuah bangunan kecil di halaman rumah... sebuah kandang kuda.
Dari balik pagar, seekor kuda merentangkan lehernya, menggigit rambut Rest yang terkubur dalam jerami dan menariknya.
"Aku tahu, aku akan segera mengambilkan air, jadi tunggu sebentar."
Dengan menguap, Rest bangun dan menepuk-nepuk jerami yang menempel di tubuhnya.
Tidur di kandang kuda, dibangunkan oleh kuda, merawat kuda... sudah menjadi rutinitasnya.
Rest mengganti makan dan air untuk kuda dengan gerakan terampil, lalu membersihkan kandang dengan hati-hati.
Terakhir, ia menyikat tubuh kuda-kuda tersebut, dan mereka mengeluarkan suara senang.
"Hee-hin."
"Apakah kamu merasa lebih baik setelah dibersihkan, Jenny? Lucy?"
"Hin-hin."
"Ah, aku juga merasa senang. Aku baru saja bermimpi tentang ibu."
Rest tersenyum lembut saat mengingat senyum lembut ibunya.
Ibu Rest telah meninggal tepat dua tahun yang lalu.
Penyebabnya adalah penyakit menular. Rest berusaha keras mengumpulkan uang untuk membeli obat, tetapi Sayangnya terlambat.
Meskipun ibu meninggal dengan tenang tanpa rasa sakit, itu mungkin satu-satunya kebahagiaan dalam kesedihan yang besar.
Rest berusia dua belas tahun. Dia datang ke rumah ini ketika berusia sepuluh tahun setelah ibu meninggal.
Di negara ini, usia dewasa ditetapkan pada lima belas tahun. Sebelum itu, seseorang tidak dapat mendapatkan pekerjaan yang layak.
Oleh karena itu, sesuai dengan hukum negara, Rest harus diambil oleh kerabat, yaitu ayahnya yang telah meninggalkan dirinya dan ibunya.
"Yah, meskipun ayahku mungkin tidak ingin mengadopsi aku...," Rest berpikir sambil merapikan jerami dengan alat pertanian, matanya menyipit dingin.
Kemudian ia mengetahui bahwa ayahnya, yang merupakan seorang penyihir istana, memiliki musuh politik dan terlibat dalam perebutan kekuasaan di istana.
Raja yang memerintah negara ini terkenal sebagai orang yang berbudi pekerti.
Jika dia membuang anak yang kehilangan orang tuanya, hal itu bisa membuatnya dicerca.
Agar tidak memberi kesempatan kepada musuh politiknya, ayahnya terpaksa mengambil Rest, meskipun dengan enggan.
(Meskipun begitu... menyuruhku tinggal di kandang kuda menunjukkan betapa buruknya sifat pria itu. Tapi mungkin sifat buruk itu datang dari istri pertamanya.)
"Aduh... waktu sudah tiba. Aku pergi dulu."
"Buhihin."
Rest mengelus kepala kuda-kuda dengan wajah malas... lalu mengaktifkan sihir terakhirnya.
"[Cleanse Clean]"
Udara segar mengalir masuk ke dalam kandang kuda, menghilangkan bakteri dan bau yang tersisa.
(Seandainya dia tahu bahwa aku sebenarnya bisa menggunakan sihir, pasti ekspresi pria itu akan sangat menarik... tapi, itu tidak terlalu penting sih.)
Rest mengangkat bahunya dan keluar dari kandang kuda.
Tugas pagi merawat kuda memang sudah selesai... tapi masih ada satu pekerjaan yang paling menyebalkan yang menanti.
Saat untuk menyenangkan hati ayah, ibu tiri, dan kakak tiri—keluarga yang selalu memandang rendah dirinya.
Ayahnya, Lucas Ebern, seorang bangsawan kehormatan dan penyihir istana, adalah bangsawan baru generasi kedua. Rumah tempat mereka tinggal juga tidak bisa dibilang besar untuk ukuran bangsawan.
Meski begitu, dibandingkan dengan kandang kuda, perbedaannya seperti langit dan bumi. Rumahnya terawat dan tampak rapi dari luar.
Jumlah pelayan yang bekerja di rumah itu sekitar sepuluh orang. Di rumah bangsawan besar, biasanya anak-anak dari keluarga bangsawan bekerja di sana juga, tapi karena ini rumah bangsawan baru, semua pelayannya berasal dari kalangan rakyat biasa.
“Selamat pagi.”
“...Selamat pagi. Hari ini juga kamu melakukan itu, ya?”
“Yah, begitulah.”
“Begitu ya... semangat. Jangan menyerah, ya.”
Salah satu pelayan muda menepuk bahu Rest dengan ekspresi simpati.
Rest memasuki rumah besar itu, menyapa para pelayan yang ia lewati, dan menuju ruang makan.
Begitu mengetuk, izin masuk langsung diberikan. Rest menghela napas panjang lalu membuka pintu.
“Permisi. Selamat pagi semu—”
“Eii!”
“Aduh...!”
Begitu pintu terbuka, sesuatu yang keras melayang ke arahnya.
Benda seukuran telapak tangan itu menghantam kening Rest dan jatuh ke lantai.
“Hahaha! Tepat sasaran! Aku berhasil!”
Yang bersorak sambil bertepuk tangan adalah kakak tirinya—Cedric Ebern.
Duduk di meja makan, Cedric tersenyum lebar sambil mengejek Rest yang kini mengucurkan darah dari dahinya.
Meski disebut kakak, ulang tahun Rest dan Cedric hanya berselisih setengah tahun.
Saat istri sah sedang hamil, ayah mereka tidur dengan pembantu dan menghamilinya—itulah asal-usul Rest.
(Meskipun... meski umur kami hampir sama, perlakuan terhadap kami sangat jauh berbeda.)
Rest mengeluarkan kain lusuh seperti lap pel dan menyeka darah yang mengalir dari dahinya.
Di ruangan itu ada tiga orang—ayah, ibu tiri, dan kakak tirinya.
Di atas meja sudah tersaji sarapan, dan mereka sedang makan bersama.
“...Selamat pagi. Ayah, Ibu, Tuan Cedric.”
“...Hmph.”
Tanpa menyebutkan lukanya sedikit pun, Rest membungkukkan kepala dan menyapa mereka.
Ayahnya—Lucas, kepala rumah ini—tidak menegur Cedric yang sudah keterlaluan, hanya mendengus bosan.
“Aduh, hari ini juga kamu kelihatan kotor ya. Cuma melihatmu saja rasanya bisa tertular kemiskinan.”
Yang mengucapkan sindiran itu adalah istri Lucas sekaligus ibu Cedric, Lady Liza Ebern.
Dengan tatapan seperti sedang melihat sampah, Liza melayangkan telunjuk yang dipoles manikur ke lantai dan mulai mengomel seperti biasa.
“Anak hina yang lahir dari rahim kotor, cocoknya makan seperti anjing! Cepat makan jatahmu hari ini!”
“Iya, iya! Cepat makan tuh, darah najis!”
Sambil tertawa terbahak-bahak, Cedric yang duduk di seberang ibunya menghentakkan kakinya ke lantai berulang kali.
"Yah... saatnya berangkat, deh"
Rest menghela napas panjang penuh rasa jengah, lalu berjalan menyusuri lorong menuju halaman rumah, tempat ia harus menemani latihan Cedric.
Ayah dari Rest dan Cedric, Lucas Ebern, adalah seorang penyihir istana.
Tugas penyihir istana sangat beragam, tapi tanggung jawab Lucas adalah mengelola benda-benda sihir—terutama artefak berbahaya yang tidak boleh disimpan di istana kerajaan. Ia menyimpannya di rumah sebagai bentuk kepercayaan yang diberikan langsung oleh Yang Mulia Raja. Ia selalu membanggakan hal itu.
Lucas memang sombong dan punya ambisi besar sebagai seorang elit, tapi bukan tanpa alasan—kemampuannya dalam sihir termasuk yang terbaik di negara. Bakat luar biasanya itu juga diturunkan pada anak kandung satu-satunya yang ia akui, Cedric.
Meskipun begitu… bukan cuma bakat yang diturunkan. Kepribadian buruk dan moral yang bengkok pun diwariskan tanpa sisa.
"Ahahahahaha! Ayo, lari terus!"
"Kuh...!"
Cedric terus menembakkan sihir ke arah Rest.
Bola-bola api sebesar kepalan tangan mengejar Rest yang berlarian, membakar pakaiannya dan melukai kulitnya.
"Kenapa diam aja!? Kalau berhenti, kena, loh! Ahahahahahaha!"
Sambil tertawa dengan suara yang menyakitkan telinga, Cedric melemparkan bola-bola api ke arah Rest yang berlari menghindar di taman.
Sebagai calon penyihir istana seperti ayahnya, Cedric menggunakan latihan ini untuk meningkatkan kemampuannya—dengan menjadikan Rest sebagai sasaran hidup.
Anak-anak meniru orang tuanya. Melihat sang ayah merendahkan Rest, melihat ibunya menyiksa Rest... maka Cedric pun menemukan kesenangan dalam menyakiti adik tirinya.
Tak ada satu pun yang menghentikannya. Latihan yang lebih mirip upaya pembunuhan itu pun makin menjadi-jadi setiap harinya.
"Ampuni Aku... tolong, beri hamba belas kasihan...!"
(Nggak pernah bosen ya dia… Memang anaknya pantas dapat orang tua begitu. Nggak akan jadi manusia bener deh anak ini.)
Sambil pura-pura memohon penuh iba, Rest dalam hati melontarkan hinaan ke arah keluarga tirinya.
(Keluarga Viscount Ebern ini isinya memang sampah semua. Ayahku, si pemerkosa ibuku… Ibu tiri yang iri dan menyiksaku tanpa alasan… Tempat ini sarang busuk.)
"Baiklah, serangan terakhir! Rasakan sihir baru ini... 【Thunderbolt・Thunder Ball】!"
"Aaaaaaaaaaaaaaahhh!"
Bola listrik ungu yang menggelegar menghantam punggung Rest.
Listrik seperti pisau menyayat tubuhnya dan ia pun tumbang, tak bergerak.
"Hah! Udah selesai? Memang anak rakyat biasa tanpa bakat sihir itu payah!"
Cedric mengangkat dagu dengan puas, lalu menendang Rest yang tergeletak dengan ujung kakinya.
"Bersihin taman ya! Kalau malas-malasan, kau tahu akibatnya!"
"…………"
"Hahaha, benar-benar sampah! Nggak nyangka makhluk kayak gini masih bisa kupanggil adik! Jijik!"
Setelah melontarkan hinaan terakhir, Cedric pun melenggang keluar dari taman.
"Haaah… akhirnya, selesai juga"
Rest, yang sedari tadi berpura-pura pingsan, perlahan bangkit saat merasa Cedric sudah benar-benar pergi.
"Ugh..."
Ia berdiri dan langsung menggunakan sihir. Luka-lukanya disembuhkan dalam sekejap, lalu kotoran dan debu yang menempel di tubuhnya juga ikut lenyap.
Sekilas memang tampak seperti ia hanya menjadi sasaran serangan sepihak... tapi kenyataannya, ia tak menerima kerusakan apa pun.
Dengan sihir Physical Up untuk memperkuat tubuh, Rest melindungi dirinya sendiri dan berpura-pura kesakitan sambil berlari secara dramatis.
"Kali ini sihir petir, ya... dia memang cukup terampil juga"
Setiap kali Cedric mempelajari sihir baru, ia selalu mengujikannya pada Rest.
Terlepas dari kepribadiannya yang busuk, bakat sihir Cedric memang nyata. Ia telah menguasai berbagai jenis sihir yang cukup beragam.
(Aku memang nggak kenal penyihir lain seumuranku, tapi... bisa jadi dia memang jenius)
Kalau saja kepribadiannya juga baik, Rest mungkin bisa menghormatinya sebagai kakak dengan tulus.
Kata orang, "Tuhan tidak memberikan segalanya pada satu orang." Dalam kasus ini, sang Dewi hanya memberikan bakat sihir luar biasa pada Cedric—tanpa membekalinya dengan kebaikan hati untuk menggunakan kekuatan itu dengan benar.
"【Thunderbolt】"
Rest mengumpulkan mana, lalu memancarkannya keluar tubuh. Sebuah bola listrik muncul di telapak tangannya, berdesis dan memercikkan cahaya.
Sihir yang sama dengan yang digunakan Cedric sebelumnya.
"Dia selalu memamerkan sihir barunya setiap kali belajar, jadi ya... cukup jadi bahan pelajaran juga sih"
Alasan Rest tidak pernah benar-benar kabur dari latihan Cedric adalah karena itu.
Mungkin ini bagian dari “bonus reinkarnasi”—Rest memiliki mana yang tak terbatas, dan bisa meniru sihir apa pun hanya dengan sekali lihat.
Sebagai anak rakyat jelata, Rest tidak diizinkan belajar dari buku atau punya guru privat. Tapi karena Cedric menjadikannya sasaran eksperimen, ia bisa mempelajari banyak sihir dengan cara ini.
(Kalau si bodoh itu tahu kalau dia membantu adiknya yang dia remehkan tumbuh lebih kuat, kira-kira bakal pasang wajah kayak gimana ya?)
Cedric mungkin jenius dalam sihir.
Tapi soal bakat... Rest yakin, dirinya jauh di atas.
Kalau ia menunjukkan kemampuan ini pada ayahnya, mungkin perlakuan terhadapnya akan berubah—tapi itu bukan sesuatu yang diinginkannya.
"Belum saatnya... Aku belum boleh menunjukkan taringku. Tiga tahun lagi. Sampai aku dewasa"
Rest mengepalkan tinjunya, meneguhkan tekadnya.
Ia baru dua belas tahun. Di negeri ini, seseorang dianggap dewasa di usia lima belas—masih ada tiga tahun tersisa.
Tak peduli sehebat apa pun sihirnya, anak di bawah umur takkan bisa mendapat pekerjaan yang layak.
Jadi sekarang bukan saatnya tampil. Bukan waktunya melawan.
Sekarang adalah waktunya untuk bertahan, mengasah kemampuan, dan menyimpan kekuatan dalam diam.
(Suatu saat nanti... aku akan melampaui mereka. Ayah, Cedric, semuanya.)
Uang, status, kekuasaan—ia akan mengungguli mereka dalam segala hal.
Ia akan berdiri di puncak, cukup tinggi untuk memandang rendah keluarga bangsawan Ebern, dan menginjak mereka di bawah kakinya.
(Demi tujuan itu... jadi anjing uji coba pun akan kuterima. Aku akan bertahan hidup)
Waktu untuk bertahan. Seperti kisah lama "berbaring di atas kayu bakar, menjilat empedu pahit"—istilah klasik untuk menyimpan dendam dan bersiap balas dendam.
Tidur di kandang kuda yang dingin, makan sisa-sisa seperti anjing—itulah hidupnya sekarang.
Dengan tekad bulat, Rest mengepalkan tinjunya dan mulai membereskan halaman.
"Aku pulang..."
"Hihiii~n!"
Begitu selesai membersihkan taman, Rest kembali ke kandang kuda. Dua ekor kuda meringkik menyambutnya dengan gembira.
Ia mengelus kepala kuda yang menyender manja padanya, lalu menengok ke sekeliling kandang.
"Oh... ada titipan lagi hari ini, ya. Maaf banget, jadi merepotkan"
Di sudut kandang, ada sebuah bungkusan kain yang diletakkan dengan hati-hati agar tidak mencolok.
Saat membuka bungkusan itu dan memeriksa isinya, Rest menemukan roti, daging kering, dan salep untuk luka.
Itu adalah kiriman diam-diam dari salah satu pelayan di rumah bangsawan tersebut.
Beberapa pelayan senior yang bekerja di rumah ini dulunya mengenal baik ibu Rest. Mereka tahu kisah di balik kelahiran Rest, dan diam-diam bersimpati padanya.
Karena takut pada majikan, mereka tak bisa secara terbuka membelanya. Tapi seperti ini—mereka memberinya makanan secara sembunyi-sembunyi, menunjukkan perhatian mereka dalam diam.
(Sepertinya Ibu punya rekan kerja yang baik. Sayangnya, dia nggak seberuntung itu soal majikan...)
“Enak…”
Ia menggigit roti itu, lalu mengunyah daging kering.
Rasanya memang sederhana, tapi jika dibandingkan dengan sisa-sisa makanan yang disajikan untuknya saat sarapan, ini jauh lebih nikmat—bagai langit dan bumi.
“……”
Sambil makan, Rest melirik jendela kandang kuda tanpa sadar.
Di luar sana, terlihat rumah besar keluarga Ebern. Cahaya oranye dari perapian di dalam rumah mengalir keluar melalui jendela-jendela, tampak begitu hangat.
Berbeda jauh dengan kandang kuda ini, yang tiap malam diterpa angin dingin dari sela-sela dinding.
(Buat mereka, aku mati kedinginan pun pasti nggak peduli)
Ibu tiri yang berselingkuh dan kakak tiri bernama Cedric, itu masih bisa dimengerti. Tapi kenapa ayah kandungnya, Lucas, bisa sedingin itu padanya?
Dia adalah anak kandungnya sendiri—anak yang lahir dari pemerkosaan. Tapi ayahnya tidak pernah menunjukkan sedikit pun rasa tanggung jawab.
(Apa karena dia "bangsawan baru", dia jadi merasa lebih hebat? Padahal cuma ‘baronet kehormatan’ yang nggak punya wilayah. Bedanya sama rakyat biasa pun nyaris nggak ada, tapi lagaknya luar biasa)
Begitulah isi hati Rest—penuh kebencian dan sarkasme. Tapi ia tahu, jika berani mengucapkan satu kata pun dari itu di depan Lucas, kemarahan ayahnya akan meledak dan membabi buta.
Keluarga Ebern memang bergelar bangsawan. Tapi gelar itu tidak bisa diwariskan.
“Bangsawan kehormatan” adalah gelar sementara yang diberikan bersama dengan jabatan tertentu. Begitu jabatannya dicopot, maka gelar pun akan dicabut, dan orang itu kembali menjadi rakyat biasa.
Lucas menjabat sebagai Penyihir Istana—seorang penyihir di bawah langsung Raja. Berkat jabatan itu, ia dianugerahi gelar Baronet Kehormatan.
Mereka suka menyombongkan diri sebagai bangsawan, padahal secara teknis mereka tak jauh berbeda dengan rakyat biasa.
(Tapi... kalau Cedric dapat gelar baronet juga, keluarga mereka bisa jadi bangsawan sesungguhnya)
Meski sementara, gelar kehormatan bisa berubah menjadi gelar turun-temurun jika satu keluarga menerima gelar yang sama selama tiga generasi berturut-turut. Hal ini tertulis dalam hukum.
Dalam kasus keluarga Ebern, sang kakek dan Lucas (ayah Rest) telah menjadi Penyihir Istana dan menerima gelar baronet. Jika Cedric juga menjadi Penyihir Istana dan diberi gelar yang sama, maka mereka akan diangkat sebagai bangsawan sejati dengan gelar Viscount (anak baron).
(Makanya Cedric dimanja habis-habisan. Biar dia jadi penerus yang bisa membuat keluarga ini diakui secara resmi sebagai bangsawan. Konyol banget)
Kalau benar mereka menganggap Cedric pewaris penting, seharusnya dia dididik lebih baik—supaya tahu sopan santun dan bisa menjaga nama baik keluarga.
Kalau nanti benar jadi bangsawan sejati, dia pasti bakal sering tampil di hadapan orang penting. Tapi dengan kelakuan seperti itu, dia hanya akan mempermalukan keluarga sendiri.
(...Yah, aku sih nggak peduli. Mau Cedric mempermalukan diri di mana pun, itu bukan urusanku. Yang penting aku terus melatih sihirku)
Begitu usianya menginjak lima belas tahun—usia dewasa di negeri ini—Rest akan meninggalkan rumah ini dan berjuang untuk mencapai kesuksesan.
Untuk itu, ia harus terus mengasah kemampuannya. Terus menjadi lebih kuat.
“…Malam ini, aku ke hutan lagi, ah.”
Ia memasukkan potongan terakhir daging kering ke mulut, lalu berbisik pelan.
Rumah keluarga Ebern, bangsawan kehormatan itu, terletak di pinggiran ibu kota kerajaan. Tak jauh dari sana, terdapat sebuah hutan yang dihuni oleh makhluk-makhluk buas.
Rest sering pergi ke hutan itu untuk berlatih sihir dengan cara berburu monster.
Tengah malam. Saat penghuni rumah telah terlelap, Rest keluar diam-diam dari kandang kuda.
Satu-satunya cahaya yang menerangi langkahnya berasal dari tiga buah bulan di langit malam—merah, biru, dan kuning.
Melihat ketiga bulan itu bersinar di angkasa, Rest kembali disadarkan bahwa dirinya benar-benar berada di dunia lain.
“[Night Vision – Night Scope].”
Begitu ia melafalkan mantra, pandangannya langsung menjadi terang. Dengan efek sihir yang membuatnya bisa melihat dalam gelap, dunia malam pun terlihat sejelas siang hari.
Sihir ini bukanlah sesuatu yang diajarkan Cedric padanya. Mayoritas sihir—terutama sihir serangan—Rest pelajari saat dijadikan kelinci percobaan oleh Cedric. Tapi di luar itu, ia juga punya beberapa kemampuan lain.
Sihir [Night Vision] ini dia pelajari dulu saat masih tinggal bersama ibunya, dari seorang pria paruh baya yang biasa duduk di gang belakang sambil menenggak alkohol.
Sebagai ganti sepotong roti, pria itu mengajarinya sihir. Rest tidak pernah tahu siapa pria itu sebenarnya.
Namun berkat dia, Rest bisa menggunakan sihir seperti [Night Vision], [Unlock], dan [ Life Search]. Rest sangat berterima kasih untuk itu.
(Lebih baik jangan tahu dia kerja apa... melihat jenis-jenis sihir yang diajarkan, dia pasti bukan orang biasa...)
Sambil larut dalam kenangan itu, Rest akhirnya tiba di pintu masuk hutan.
Rimbunnya pepohonan yang menjulang tinggi menghalangi cahaya bulan, membuat bagian dalam hutan terlihat seperti mulut monster yang menganga dalam kegelapan. Tanpa sihir penerang, bahkan satu meter ke depan pun takkan terlihat.
“[Life Search].”
Dengan sihir untuk merasakan kehadiran makhluk hidup, Rest mulai mencari keberadaan monster.
Di dekat pintu masuk hutan, ia merasakan ada tiga sosok.
Ia mendekat secara perlahan, berhati-hati agar tak mengeluarkan suara. Di hadapannya, tampak tiga ekor serigala bermata tiga—memiliki bola mata di dahi—tengah asyik melahap sesuatu.
(Yang mereka makan itu... huh, goblin ya.)
Makhluk yang sedang dilahap itu berkulit hijau dan bentuknya menyerupai monyet. Makhluk yang dikenal sebagai “goblin” dalam dunia fantasi. Namun, melihat makhluk mirip manusia dilahap habis—hingga tulang dan isi perutnya berhamburan—tetap saja membuat perut terasa mual.
“Grur?”
Salah satu serigala yang tengah lahap menyantap daging, tiba-tiba mengangkat kepalanya dan mulai melihat-lihat sekeliling.
Sepertinya, lewat aroma atau perasaan naluriah, ia menyadari keberadaan Rest.
(Serangan duluan... sekarang!)
“[Thunderbolt – Lightning Orb]!”
Dari balik bayangan pohon, Rest melompat keluar dan melemparkan sihir yang baru saja dikuasainya.
Thunderbolt yang mengeluarkan suara menyambar itu menghantam tubuh salah satu serigala, membuat tubuhnya langsung kejang-kejang hebat.
“GUUUUUUUUHHH!?”
“GAU!”
“GAA!”
Melihat kawannya roboh, dua serigala lainnya segera melompat menyerang ke arah Rest.
“[Thunderbolt]!”
“GYAN!!”
Tanpa panik, Rest menembakkan Thunderbolt kedua. Serangan itu tepat mengenai salah satu serigala lagi.
Ia segera bersiap menembakkan Thunderbolt ketiga, tapi…
Satu serigala terakhir sudah lebih cepat—melompat ke arahnya dengan kecepatan tinggi!
"GAAGH!!!"
"Ugh...!"
Rest melompat ke samping untuk menghindari serangan, tetapi cakar serigala itu hampir mengenai dan meningga
