Translator : Nacchan
Proffreader : Nacchan
Chapter 12 : Air Mata Archimedes...?
Saat jam istirahat siang tiba, klub koran berkumpul di ruang rapat kecil sambil menunggu siaran langsung dimulai.
"Ugh... Aku benar-benar gugup sekarang~..."
"Saika-senpai, ayo semangat! Aku juga sedikit gugup~."
Sementara itu, anggota klub penyiaran, yang bertindak sebagai staf teknis, sibuk memeriksa peralatan dan mempersiapkan segalanya untuk siaran. Salah satu anggota perempuan mendekati Saika dan bertanya:
"Siaran dimulai sepuluh menit lagi, apakah Anda sudah siap?"
"Y-ya...!"
Namun, Saika terlihat sangat gugup. Sebagai junior, Wakana mencoba menenangkan kakak kelasnya yang tampak ketakutan.
"Saika -senpai, tidak perlu terlalu gugup. Cukup anggap saja seperti obrolan biasa."
"A-aku... ini... sedikit... 'menyobek' kecil di... eh, maksudku..."
"...Menyukai minuman alkohol, begitu maksudnya?"
Saika sudah terlalu panik hingga dirinya tidak sadar apa yang sedang ia katakan. Melihat itu, Wakana pun merasa cemas. Namun, keberadaan Hikari hari ini memberinya rasa tenang yang cukup besar.
"Karena ada Hikari, pasti tidak apa-apa, kan? Ayo semangat!"
"S-semangat...!"
Sambil menyaksikan keduanya, Chikage mulai memikirkan sesuatu yang mengganggu sejak tadi.
(Tapi kenapa ya, Hii-chan dan Sakuto-kun belum juga datang...)
Sudah sepuluh menit menjelang siaran dimulai, namun kedua orang tersebut masih belum juga terlihat. Chikage mencoba mengirim pesan melalui aplikasi LIME, tetapi pesannya tetap tidak terbaca. Merasa khawatir, Chikage akhirnya bertanya pada Wakana.
"Wakana, Hii-chan di mana ya?"
"Huh? Hikari? Aku rasa dia akan segera datang kok..."
"Tapi bukannya kalian tadi bersama setelah olahraga?"
"Oh, tadi dia bilang ingin merapikan perlengkapan lari gawang. Mungkin karena itu sedikit terlambat."
Namun, perasaan tidak nyaman mulai menghantui Chikage.
(Jangan-jangan mereka berdua...)
Di benaknya, Chikage mulai membayangkan apa yang sebenarnya terjadi pada Hikari dan Sakuto.
"──Sebentar lagi siaran langsung dimulai, dan aku benar-benar gugup sekali..."
"Sayangku, wajah manismu itu jadi rusak, lho."
"Sakuto, peluk aku dong...?"
"Ayo ke sini, Sayang. Biar aku yang menghilangkan gugupmu, pelan-pelan..."
"──Apaaan ini!?!"
Chikage tiba-tiba berteriak, membuat Wakana dan Saika tersentak.
"Ada apa, mendadak begitu...?"
"Chikage-chan, kenapa tiba-tiba?"
Keduanya bertanya dengan ekspresi takut-takut, sementara Chikage hanya berdeham pelan.
"...Tidak ada apa-apa. Mungkin semacam serangan mendadak dari penyakit bawaan atau semacamnya..."
Saat itu, Matori mendekat dengan raut penasaran.
"Eh, tapi kok Hikari sama Takayashiki lama banget, sih? Kalau Takayashiki sih terserah, tapi Hikari yang belum datang itu bikin khawatir, tahu nggak..."
Chikage setuju dan langsung menimpali.
"Matori -senpai juga merasa begitu?"
"Iya... ada semacam firasat nggak enak gitu."
"Kalau begitu, ayo kita cari! Aku yakin, ini pasti sesuatu yang besar!"
"Eh, tunggu... kok kamu kelihatan yakin banget?"
Firasat buruk Matori dan intuisi Chikage sebenarnya berbeda. Namun, ketika kedua firasat itu bersatu, hasilnya mengarah pada satu kesimpulan: "Pasti ada sesuatu yang serius terjadi." Dan firasat mereka ternyata tepat──
* * *
Di sisi lain, di gudang dengan pintu roller yang tertutup, Sakuto dan Hikari masih terjebak.
"Haa... haa... Sakuto~..."
"Hikari, sabar sedikit lagi... tinggal sedikit lagi, kok..."
"Dari tadi kamu bilangnya gitu terus... aku... udah nggak kuat lagi~..."
Mereka berdua terus berusaha keras melakukan pekerjaan yang sama: mencoba membuka pintu roller gudang dengan sekuat tenaga.
"Ugh... masih nggak bisa kebuka juga..."
Setelah berulang kali mencoba, pintu itu tetap tidak mau bergeming. Sementara itu, waktu siaran sudah semakin dekat.
"Hmm... sepertinya kita harus menunggu sampai jam kelima ketika kelas olahraga berikutnya dimulai..."
"──Aduh, nggak ada cara lain, ya..."
Dengan lemas, Hikari akhirnya duduk di atas matras lompat tinggi yang besar dan berwarna hijau.
"Hikari... apa kamu menyerah untuk ikut siaran?"
"...Ya. Sepertinya memang nggak ada jalan keluar. Nggak apa-apa, kok..."
Hikari tersenyum pasrah, seolah menerima kenyataan.
* * *
Di sisi lain, di ruang rapat kecil, suasana mulai memanas.
Ketidakhadiran Hikari membuat semua orang mulai panik.
"Kalau mau cari Hikari, sekolah ini luas banget. Kita mulai dari mana, ya?"
Wakana menyela dengan usulan, "Empat jam pelajaran tadi kan olahraga di lapangan. Mungkin dia masih di sana buat beres-beres."
Matori mengangguk sambil berpikir keras. "Lapangan, ya... Kalau gitu, mungkin sekarang dia di ruang ganti cewek?"
"Tidak mungkin Sakuto-kun ada di ruang ganti cewek!"
Chikage langsung menyela dengan ekspresi marah.
"Ya jelaslah, nggak mungkin. Kalau ada, itu malah masalah besar," jawab Matori santai.
Tiba-tiba, Chikage tampak menyadari sesuatu dan dengan cepat membuka tabletnya.
Di layar terlihat peta sekolah dengan tanda hati kecil di beberapa lokasi—ini adalah hasil "pemetaan spot romantis" ala Chikage. Karena Chikage yakin Hikari dan Sakuto sedang bersama, pikirannya langsung melompat ke skenario tertentu: mereka pasti sedang melakukan sesuatu sebelum siaran dimulai.
Chikage mengaitkan lapangan, ruang ganti, dan gudang penyimpanan dalam pikirannya. Setelah menambahkan "elemen tertentu" yang agak aneh, dia tiba-tiba mengumumkan:
"──Aku tahu! Mereka di Gudang Pintu Roller!"
"Hah? Kok bisa tahu?" tanya Matori dengan bingung.
"Karena di sana itu... um, tempat menyimpan peralatan olahraga, bukan spot romantis! Kalau mereka beres-beres, itu pasti di sana!" jawab Chikage dengan yakin, meski sedikit gugup.
Matori mengangguk, "Hmm, mungkin ada sesuatu saat mereka lagi beres-beres. Oke, aku akan ke sana!"
"Aku ikut juga!"
"Siap, ayo pergi, anjing pelacak sekolah!"
"Woof!"
Mereka berdua berlari keluar dengan semangat. Tapi tiba-tiba Matori menghentikan Chikage.
"Tapi, kan, kamu lagi tugas pengawasan di sini? Kalau pergi, nanti dimarahin. Jadi, stay!"
"Ku~n..." Chikage terduduk lesu, merasa seperti anjing yang baru saja disuruh diam.
"Tenang aja. Aku pasti bawa Hikari kembali. Sakuto sih, terserah. Ya, sampai nanti!" Dengan itu, Matori pun berlari pergi.
Sementara itu, Wakana dan Saika hanya bisa memandang dengan cemas.
"Menurutmu, Hikari bakal sempat datang nggak, ya?"
"Aku... aku nggak tahu..."
"Kalau dia nggak datang, gimana dong~..."
"W-Wakana-chan, s-s-sebaiknya kita persiapkan naskah dulu, ya...?"
* * *
Ketika Matori berlari keluar dari ruang rapat kecil──
Hikari duduk di atas matras hijau besar dengan memeluk lututnya, seolah telah sepenuhnya menyerah.
"Ah... kenapa semuanya selalu jadi seperti ini ya..."
"Hm?"
"Setiap kali aku mencoba melakukan sesuatu dengan orang lain, semuanya tidak pernah berjalan lancar."
"Benarkah?"
"Iya... seperti kali ini, aku malah terjebak di sini. Rasanya seperti tidak pernah beruntung..."
Dalam cahaya redup, Hikari tersenyum kecil. Namun, bagi Sakuto, itu terlihat seperti senyuman yang dipaksakan.
"Awalnya, terus terang, aku tidak terlalu suka dengan tiga orang itu..."
"Begitu ya..."
"Tapi, setelah membuat koran bersama mereka, aku menyadari kalau sebenarnya mereka adalah orang-orang yang baik."
Sambil tetap tersenyum, Hikari menatap langit yang sempit di bingkai jendela.
"Soalnya, meskipun aku menjaga jarak dengan mereka, mereka──"
“──Aku ingin berteman dengan Hikari. Itu yang kupikirkan.”
Jantung Hikari berdegup kencang──
“Karena kita sekelas, sepertinya akan mudah mengobrol denganmu... Terus terang, kamu terlihat sangat bersinar, menarik, dan mempesona──”
Mereka mengejarku, menginginkanku. Mereka bilang ingin menjadi temanku.
Azuma Wakana, teman sekelas, adalah tipe yang agak sulit untuk dihadapi karena sifatnya yang penuh tekanan.
Namun, dia serius dan pekerja keras, sifat yang mirip dengan Chikage.
Ada juga seorang senpai yang suka menggoda Wakana dengan cara yang lucu──
“Hikari, kenapa tidak mencoba tampil? Aku tidak akan pernah terlihat bagus di depan kamera, tapi kamu pasti akan terlihat keren──”
Wakil ketua klub, Kousaka Matori, sedikit aneh.
Nada bicaranya kasar, penuh semangat, dan jujur saja, aku masih agak kesulitan menghadapinya.
Namun, dia adalah orang yang paling hidup dengan caranya sendiri. Aku juga tidak membenci wajah lembut yang terkadang dia tunjukkan.
Dan ada satu lagi, seorang senpai yang perhatian dan berhati lembut──
“Hikari-chan, senang bekerja sama denganmu.”
Ketua klub, Uehara Saika, sangat imut seperti malaikat, tenang, dan lembut.
Namun, dia tipe yang lemah dan terus terang, kadang-kadang sulit diandalkan.
Saat berbicara dengannya, ada satu momen yang sangat berkesan.
Itu ketika aku, Sakuto, dan Chikage berada di gedung timur.
Dia dengan sengaja datang mencariku.
Saat itu, aku sengaja menjauh karena tidak ingin Sakuto dan Chikage mendengar tentang klub koran, lalu aku berbicara dengan Saika──
“──Aku, di klub koran?”
“Iya. Bagaimana kalau kembali dan mencoba beraktivitas bersama kami? Memang awalnya kamu tidak diwajibkan untuk muncul, tapi… kami mendengar kamu sempat tidak masuk sekolah untuk beberapa waktu, jadi kami benar-benar khawatir...”
“Kenapa kamu peduli?”
“....Karena aku seperti ini. Aku juga pernah mengalami masa-masa sulit di SMP, sampai-sampai aku tidak bisa datang ke sekolah. Tapi, alasan aku bisa berada di sini sekarang adalah karena Matori-chan dan Wakana-chan. Aku sangat berterima kasih pada mereka.”
“Situasiku berbeda denganmu, Saika-senpai…”
“Aku tidak akan mengatakan kalau aku benar-benar memahami perasaanmu, Hikari-chan. Tapi sebagai ketua klub, aku bisa menjamin satu hal—klub koran adalah tempat yang menyenangkan. Jadi, bagaimana? Mau bergabung dan melakukan ini bersama kami? Jika kmau membutuhkan kami, kami akan melakukan segalanya untuk menjawab kebutuhan itu──”
“──Eh, huh…?”
Air mata tiba-tiba mengalir dari mata Hikari, meskipun dia tersenyum.
“Seharusnya… tidak mungkin seperti ini…”
Dia selalu menjaga jarak yang pas dengan orang lain.
Meskipun merasa dibutuhkan, dia tidak pernah mengatakan bahwa dia membutuhkan mereka.
Meski tersenyum saat bersama mereka, dia yakin tidak pernah benar-benar membuka hatinya──
“Hmm… Artikel ini sangat bagus! Kamu benar-benar menangkap inti dari kepribadian orang yang diwawancarai, dan menyampaikan dengan cara yang jelas dan menyentuh!”
“Kamu juga memperhatikan siapa target pembacanya. Luar biasa!”
“Kali ini, aku kalah…”
Dipujian, diakui, dan dibutuhkan—jujur saja, rasanya menyenangkan──
“Terima kasih, Hikari…!”
“Bagus sekali! Kita gunakan foto ini ya! Terima kasih, Hikari.”
“Ini semua berkat Hikari-chan. Terima kasih banyak.”
Dia sebenarnya menyadarinya.
Dengan setiap senyuman, dengan setiap ucapan terima kasih, hatinya perlahan melunak──
“──Kalau begitu, ayo kita tampil bersama, Hikari!”
Ketika suara Wakana bergema di pikirannya untuk terakhir kalinya, Hikari mengepalkan giginya rapat-rapat.
Sakuto, yang diam-diam mengamati dari samping, duduk di sebelah Hikari dan menggenggam tangannya dengan lembut.
“Hikari, apa kamu senang dibutuhkan oleh semua anggota klub koran?”
“Iya...”
“Apa kamu merasa ingin berusaha untuk mereka?”
“Iya…”
Hikari hanya mengangguk, tapi seluruh tubuhnya memancarkan keinginan itu.
Sakuto menampilkan senyum lepas ke arahnya.
“Kalau begitu, kita harus menemukan cara untuk keluar dari sini, kan?”
Hikari mengusap air matanya.
“Kamu benar… Iya! Aku harus pergi demi semua orang!”
***
──Pada saat yang sama, di ruang rapat kecil…
“Bagaimana ini!? Hikari belum datang!”
“Te-tetapi tenanglah! Aku akan membaca naskah bagian Hikari-chan!”
Sambil melihat Wakana dan Saika yang semakin panik, Chikage mulai merasa cemas juga. Namun, kekhawatirannya lebih kepada apakah kedua orang itu bisa tampil untuk siaran dengan kondisi seperti ini.
(Tanpa Hii-chan, semuanya jadi serumit ini… Begitu pentingnya Hii-chan bagi klub koran, ya…)
Di tengah kecemasan itu, Chikage juga merasa senang mengetahui bahwa Hikari begitu dibutuhkan oleh semua orang.
(Padahal dulu dia bahkan berpura-pura menjadi aku untuk kabur… tapi sekarang, dia menjadi seseorang yang diandalkan oleh semua──)
Tiba-tiba, sebuah ide muncul di kepala Chikage.
(Ah! Tapi… tidak, tidak, tidak, itu tidak mungkin! Sama sekali tidak mungkin!)
Dia menggelengkan kepalanya, berusaha menyingkirkan ide tersebut dari pikirannya. Namun──
"Saika-senpai! Itu dialogku!"
"Ma-maaf! Aaaah! Tinggal tiga menit lagi──!"
Melihat Wakana dan Saika yang semakin gugup, Chikage mulai mengerang sambil bergumul dengan pikirannya.
"Ugh… ugh… aaarrghhh!"
"Tinggal dua menit lagi…!"
"Hyaaa! Umm, umm── apa yang harus aku lakukan!?"
Di satu sisi, Chikage ingin menunggu Hikari, tetapi di sisi lain, dia tidak tega membiarkan kedua orang itu panik seperti ini. Dia berpikir, apa yang bisa dilakukan untuk menenangkan mereka sekaligus menggantikan Hikari yang tampaknya terlambat? Ide yang tadi ia coba tolak kini muncul kembali, siap untuk dijalankan.
Dalam pikirannya, suara hatinya berseru──
(Jalur aman! Sistem siap sepenuhnya! Kapan saja bisa dijalankan!)
(Benar! Ini saatnya, Usami Chikage! Lindungi klub koran sampai Hii-chan datang! Dan setelah selesai, manjalah sepuasnya pada Sakuto-kun!)
“Chikage, kamu luar biasa! Memang pacar hebat sepertiku yang pantas untukmu! Kamu boleh meminta apa saja dariku!”
“Ah, Sakuto-kun… aku sangat menyukaimu──”
Tiba-tiba, mata Chikage bersinar penuh semangat seperti api yang berkobar.
"Meminta apa saja…!? Kalau begitu── Usami Chikage, maju!"
Perlu diingat, Sakuto sama sekali tidak mengatakan apa-apa.
***
Sementara itu, di dalam gudang dengan pintu besi tertutup, Sakuto dan Hikari mulai berusaha mencari cara untuk keluar.
"Hikari, menurutmu bagaimana kita bisa keluar dari sini?"
"Kalau ada sesuatu yang bisa digunakan──"
──Pikiran Hikari menjelajah ke seluruh penjuru gudang dengan pintu besi tertutup rapat.
Meski mencoba membuka pintu dengan tangan kosong, pintu besi itu tetap tidak bergeming. Jendela yang ada terlalu tinggi, dan meskipun bisa mencapainya dengan bantuan alas, ukurannya terlalu kecil untuk dilalui.
Satu-satunya jalan keluar tetaplah melalui pintu besi tersebut.
Tantangannya sekarang adalah bagaimana cara membuka pintu itu dalam situasi seperti ini──
"Hikari, kamu tahu bagaimana struktur pintu ini?"
"Tunggu sebentar──"
Baton itu berpindah ke Sakuto, yang mulai mengingat informasi dari sebuah tayangan di televisi yang pernah dia tonton, sebuah segmen berita sore berjudul "Solusi untuk Masalah Rumah Anda."
Kemungkinan penyebab pintu besi yang tidak bisa dibuka adalah──
"──Pulley, atau poros logamnya aus."
Struktur pintu besi semacam ini biasanya melibatkan poros berbentuk pipa (disebut shaft), yang terhubung dengan roda penggerak kecil (disebut pulley). Pintu digulung ke atas oleh bagian-bagian yang disebut slat, yang terhubung ke pulley dan poros tersebut.
"Hikari, mungkin pulley atau porosnya yang aus sehingga pintu tidak bergerak."
"Pulley-nya ada di mana?"
"Di dua sisi, kiri dan kanan."
Sekali lagi, baton berpindah kembali ke Hikari.
"──Oke! Aku tahu! Archimedes!"
Hikari mendapatkan ide cemerlang dan segera mulai mengumpulkan benda-benda di gudang yang bisa digunakan.
Dua alas yang ia temukan adalah podium merah-putih yang biasa digunakan oleh pemimpin regu pemandu sorak.
Dia juga menemukan beberapa batang besi panjang yang bersandar di dinding. Batang ini adalah alat yang disebut kanteko, biasanya digunakan untuk membuat lubang di tanah sebelum memancangkan tiang. Dia mengambil dua batang tersebut.
Kini alat-alatnya sudah lengkap. Mereka juga punya dua orang untuk melakukannya.
Langkah berikutnya adalah meletakkan alas di dekat sisi kiri dan kanan pintu besi. Di atas masing-masing alas, batang besi akan diletakkan. Salah satu ujung batang ditempatkan di bawah pintu besi, sedangkan ujung lainnya akan diberi tekanan oleh berat tubuh mereka.
Dengan pengaturan ini, posisi titik tumpu dan titik tekan dapat menghasilkan kekuatan yang cukup besar untuk mengangkat beban berat.
Itulah prinsip dasar dari tuas.
Meski hanya konsep sederhana yang diajarkan di sekolah dasar, asal-usulnya dapat ditelusuri hingga sekitar tahun 250 SM.
Archimedes, seorang ilmuwan terkenal dari Yunani kuno, tidak hanya menciptakan prinsip tuas ini, tetapi juga mempelopori berbagai penemuan lainnya, seperti prinsip daya apung, metode penghitungan luas menggunakan parabola, lingkaran, dan bola, hingga menciptakan alat pengangkat air.
Dengan bantuan warisan pengetahuan dari seorang jenius masa lampau ini, Hikari menemukan cara untuk melarikan diri──
"Kalau kita memberikan tekanan secara bersamaan pada bagian pulley di sisi kiri dan kanan, dan mendorongnya lurus ke atas, pintunya mungkin bisa bergerak!"
"Oke! Kalau begitu, kita perlu menciptakan celah untuk memasukkan batang besi ini dulu, kan?"
"Ya, tolong!"
──Namun.
"Ugh… tetap saja, berat…!"
Hanya tinggal sedikit lagi—jika saja mereka bisa menyelipkan batang besi di bawah pintu besi, mungkin mereka bisa mengangkatnya. Tetapi pintu itu tidak memberikan sedikit pun celah.
Hikari ikut membantu, namun meskipun mereka berdua berusaha bersama, pintu itu tetap tidak mau terbuka.
──Pada saat itulah.
“Hikari! Kamu di situ, kan!?”
Suara Matori terdengar saat dia berlari mendekat.
"Suara itu… Matori-senpai!?"
"Aku juga di sini! Matori-senpai, bantu kami!"
“Dimengerti! Apa yang harus kulakukan!?”
Hikari dengan cepat memberikan instruksi kepada Matori.
"Senpai, tolong angkat pintunya! Kami hanya butuh sedikit celah saja!"
“Baik! Serahkan padaku!”
Sakuto, dengan panik melihat waktu yang terus berjalan, berteriak melalui pintu.
"Waktunya hampir habis, kan!?"
“Tinggal tiga menit lagi!”
Tanpa ragu, Matori bergabung dengan mereka. Kini bertiga, mereka mencoba mengangkat pintu itu.
“Apa-apaan ini!? Berat banget──…!”
Namun berkat kekuatan mereka bertiga, cahaya yang bocor dari celah kecil antara pintu dan lantai beton mulai melebar sedikit demi sedikit. Hanya sedikit lagi──
"Sudah sedikit terangkat! Hikari, sekarang──eh!?"
Sayangnya, sedikit kelengahan itu menjadi malapetaka.
Pintu yang sempat terangkat mulai kembali turun──
──Gak!
Namun, pintu itu tiba-tiba berhenti bergerak, tertahan oleh sesuatu.
Di antara pintu dan lantai beton, ada benda hitam yang menyelip. Hikari dan Sakuto melihatnya, lalu wajah mereka menunjukkan ekspresi tak percaya.
"Itu… bukankah ini kamera Matori-senpai…?"
"Kenapa… kenapa kamera itu ada di situ…?"
Ternyata, saat pintu mulai turun kembali, Matori dengan cepat menyelipkan kameranya yang sangat berharga di celah pintu untuk menghentikan gerakan pintu.
Namun, tekanan pintu menghancurkan kamera itu, menghasilkan suara berderak yang tidak menyenangkan.
"Itu… kamera penting Senpai…!?"
“Aku bisa beli lagi dengan kerja part-time! Cepatlah, ini kesempatan kalian! Aku ingin Hikari berhasil keluar!”
"──…!? Hikari, sekarang waktunya untuk menyelipkan batang itu!"
"Iya…!"
Dengan cepat, Hikari menyelipkan batang besi ke celah di sisi kiri dan kanan pintu.
"Sakuto, kita lakukan bersama! Satu… dua… tiga…!"
"Ayo! Satu… dua… tiga──!"
Sakuto dan Hikari mulai mengangkat pintu besi menggunakan tuas, sementara Matori mengangkat bagian tengahnya ke atas.
Kombinasi kekuatan ketiganya perlahan-lahan membuat pintu itu terbuka, meski dengan suara berderak keras, "Gak, gak, gak." Mereka tidak perlu membuka pintu sepenuhnya—cukup celah kecil saja.
Melalui celah itu, Sakuto dan Hikari berhasil merangkak keluar ke luar gudang.
"Akhirnya… selamat…"
Hikari jatuh terduduk, tubuhnya lemas karena kelelahan.
Sakuto dan Matori juga menghela napas panjang hampir bersamaan, tapi mereka tahu tugas mereka belum selesai.
"Baik, sekarang pergilah ke sana!" kata Matori sambil memberi instruksi.
"Bagaimana dengan Matori-senpai?" tanya Sakuto.
"Aku akan pergi ke ruang guru untuk menjelaskan situasinya. Pintu ini sepertinya benar-benar rusak."
Matori tersenyum masam, sedikit bercanda untuk meredakan ketegangan.
Sakuto dan Hikari membungkuk dalam-dalam.
"Terima kasih banyak, Matori-senpai!"
"Benar-benar terima kasih! Kami akan membalas budi ini nanti!"
"Ah, tak perlu repot. Ayo cepat pergi!"
Dengan senyum lebar dan tawa kecilnya, Matori mendorong mereka untuk segera berlari menuju ruang rapat kecil.
──Setelah ditinggalkan sendirian, Matori perlahan mengambil kameranya yang hancur.
Dia membelai kamera itu dengan lembut, seolah menenangkannya. Lalu dia menekan tombol daya, tapi layar yang retak hanya menunjukkan kegelapan tanpa kehidupan.
"Tiba-tiba terpikir sesuatu… Kamera yang dihancurkan oleh pintu, ya… shutter dan shutter... hah, lelucon buruk…"
Beberapa tetes air mata jatuh ke tanah lapangan, meninggalkan bercak kecil di tanah berdebu.
"…Maaf, KANON-chan… pasti sakit sekali, ya… Maaf… dan terima kasih…"
***
Hikari, masih mengenakan seragam olahraganya, berdiri di depan ruang rapat kecil bersama Sakuto. Suara ramai terdengar dari dalam ruangan.
"Acara ini sudah mulai, ya…? Sepertinya kita tidak sempat…" Hikari mulai tampak putus asa.
Namun, Sakuto tersenyum hangat.
"Tidak, sepertinya bukan itu masalahnya──"
Keduanya mengintip ke dalam ruangan melalui celah pintu.
Acara baru saja masuk ke segmen perkenalan diri.
“Menurut Hikari-san, apa motivasi kamu bergabung di klub koran ini?”
“Hmm… menurutku sih… aku nggak terlalu punya motivasi besar, ya? Malahan, mungkin aku lebih seperti musuh?”
“Hikari, kamu gimana sih!? Di bagian ini seharusnya kamu bilang sesuatu yang bagus tentang klub koran, dong!”
“Bagus? Hmm… ya, mungkin ada, tapi kalau ditanya ada atau nggak, ya mungkin nggak ada juga?”
“Makanya, Hikari! Bilang sesuatu yang positif, dong───!”
“Ahaha!”
Pertukaran seperti lawakan antara Hikari dan Wakana membuat Ishizuka, pembawa acara, tertawa terbahak-bahak, meningkatkan suasana menjadi lebih meriah. Saika, yang awalnya tegang, kini sudah tersenyum lembut seperti biasanya.
"Eh, itu… Chikage!?"
Sosok Chikage, yang duduk di kursi dengan senyum manis, tampak mencolok. Rambutnya yang biasanya terikat kini tergerai, dan seragamnya dipakai dengan gaya yang santai—benar-benar bukan gaya Chikage yang biasa.
"Sepertinya dia sengaja mengulur waktu sampai kamu datang. Lihat saja, suasana di dalam ruangan terlihat baik-baik saja," kata Sakuto.
"…Padahal kalau Wakana-chan atau Saika-senpai saja yang menggantikan aku pasti cukup, kan?"
"Mungkin itu tidak semudah itu," jawab Sakuto.
"Tapi, mereka hanya perlu membaca naskah, kan…?"
"Seperti yang Matori-senpai bilang tadi, Chikage juga pasti ingin Hikari yang tampil. Menurutku, tidak ada yang bisa menggantikan kamu."
Meskipun itu hanya soal membaca naskah, semua orang tahu bahwa ada makna yang lebih dalam di balik tugas itu. Sakuto, Chikage, Matori, bahkan Wakana dan Saika memahami bahwa kehadiran Hikari-lah yang memberikan arti.
"Kalau Chikage menggantikan aku, apa aku jadi tidak dibutuhkan?"
Hikari menggelengkan kepala dengan tegas.
"Tidak. Aku tidak akan lari lagi. Aku tidak ingin lari. Aku tahu sekarang kalau semua orang membutuhkan aku. Aku juga sudah menyadari apa yang benar-benar penting bagiku!"
Ekspresi Hikari yang penuh keyakinan dan terang benderang itu adalah sesuatu yang belum pernah Sakuto lihat sebelumnya.
"Begitu ya..."
Sakuto menampilkan senyuman tipis di wajahnya.
"Kalau begitu, Hikari, selamat jalan—eh...!?"
Di saat itu, tiba-tiba Hikari mendekat, dan bibirnya menempel pada bibir Sakuto.
Itu adalah ciuman yang ringan, seperti salam perpisahan, dan hanya berlangsung sekejap.
"Ni-shi-shi-shi! Ini ciuman 'selamat jalan'!"
"Ini di lorong..."
"Makanya aku hanya melakukannya secara ringan. Tapi, setelah siaran selesai, kita bisa melakukan yang lebih... intens, oke?"
Hikari mengatakannya dengan nada bercanda, lalu membuka pintu ruang rapat kecil dengan penuh semangat dan masuk ke dalam dengan percaya diri. Dari dalam ruangan, terdengar suara beberapa orang yang terkejut, "Eh, aaaaah!?"
"Ringan katanya... sungguh..."
Sakuto tetap berdiri di depan ruang rapat kecil itu untuk beberapa saat, dengan ekspresi setengah malu, namun sekaligus merasa lega. Senyuman kecil tersungging di wajahnya.
Previous Chapter | ToC | Epilog